Rabu, 24 Februari 2021

MENELUSURI BEKAS KEKEJAMAN TENTARA JEPANG DI PULAU BABAR MALUKU BARAT DAYA


Masa pendudukan Jepang di Nusantara yang saat itu masih bernama Hindia Belanda dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan M. Hatta.

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Jerman Nazi. Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga dan mengalihkan ekspor untuk Kekaisaran Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal pada Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara pada bulan Desember di tahun yang sama. Pada bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pengalaman dari penguasaan Jepang di Nusantara sangat bervariasi, tergantung tempat seseorang tinggal dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan tanpa alasan dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang. Tak terkecuali masyarakat Maluku khususnya di wilayah Selatan yaitu di pulau Babar yang juga mengalami penderitaan ini.


MASBUAR

Jepang dari Saumlaki menuju Tepa diperkirakan pada tahun 1942. Dan menduduki jemaat/ desa-desa yang ada di pulau Babar salah satunya adalah Masbuar. Proses ini terjadi karena wilayah Babar dan lainnya merupakan perbatasan dengan Australia yang merupakan sekutu/ lawan. Sebelum kedatangan Jepang ke Masbuar, kehidupan warga Jemaat/ masyarakat adalah seperti biasa melakukan pekerjaan senbagai petani. Hal ini mengalmmi perubahan ketika Jepang hadir dan berkuasa di Indonesia (baca Masbuar).

Guru Djoemat saat itu adalah Eduar Lessi yang biasa disebut  “WAKIL”/ Ketua Klasis dan meikah dengan salah seorang wanita yang berasal dari Masbuar. Kehadiran Jepang di Masbuar membuat mereka sering klai melarikan diri ke “puton” (Hutan Masbuar)

Kegiatan Ibadah berjalan seperti biaya yaitu ibadah “Kunci Usbu” pada hari Sabtu, Ibadah Minggu (dilkasanakan pagi hari) dan pada hari Rabu Ibadah “Sharing”. Dan tidak ada penghormatan khusus kepada bendera Jepang ketika mau beribadah kepada Tuhan. Jumlah Jemaat saat itu diperkirakan berjumlah 85  orang.

Gedung Gereja pada saat itu tidak dijadikan sebagai Markas Jepang. Jepang bermarkas di “ Kukkie Onnie” (Pinggir Tanjung). Namun gereja Masbuar pada saat itu dibakar oleh Jepang, dan untuk sementara waktu jemaat saat itu beribadah di sebuag gubuk yang terbuat dari bambu yang cukup kecil ukurannya. Hal ini di sebabkan karena ada beberapa orang Masbuar yang bersepakat dengan orang Emplawas melakukan perlawanan dan pembunuhan terhadap orang Jepang. Selain gereja dibakar ada 11 orang Masbuar di bawa ke Tela dan dibunuh di “Utie Onnie ( Pinggir Pisang).  11 orang itu adalah : Hendrik Wunnara Romsery (Kepala Desa), Tokoh Adat; Dolfinus Naikyera Romsery, Aser I Iwirnai Tiwuly, Yunus Wurwari Okmemera, Petrus Aresi Okmemera, Marinyo; Welem Kiaya Okmemera, Amus Nawoi Okimekma, Paulus Okimekma, Dirk Okimekma, Yulianus Okea Okololy, dan Markkus Newna Gergora.

Khusus Welem Kiaya Okmemera dibunuh dengan cara : diikat diatas bangku, disiram dengan Bensin, ditutupi dengan daun kelapa lalu dibakar hingga hangus. Sedangan 9 orang lainnya dibunuh dengan cara di tikam dengan “bayonet” (piasu panjang yang ada di unjung senjata) dan satu orang lainnya ditembak karena berusaha melarikan diri. Mayat ke -10 orang tersebut kemudian dibuang di tepi pantai Tela yang bernama “Nyuk Metti” (kolam laur). Dan seorang lainnya (tidak diketahui namanya) dikuburkan pada tempat yang terpisah yang bernama Kukkie Onnie (Pinggir Tanjung). Namun anehnya mayat-mayat (10 orang ) tersebut selama sehari penuh tidak berpindah/ hanyut.  Mayat-mayat tersebut tetap ada di “nyuk Metti” akhirnya pemerintah Jepang memerintahkan orang Tela agar mengumpulkan kayu untuk membakar mayat-mayat tersebut. Namun hal itu tidak disetuji oleh Kepala Desa Tela yang bernama Thomas Onarely, dan akhirnya disepakati bahwa mayat-mayat tersebut dikuburkan secara masal  yang bernama “ Ayanne” ( Lihat Gmabar 4, 5). Tempat tersebut telah dijadikan kuburan Umum hingga sekarang ini.

Kebijakan pemerintah jepang saat itu adalah memerintahkan warga jemaat Masbuar khususnya laki-laki dewasa membawa makanan ke Wakpapapy yang saat itu merupakan markas Jepang. Tidak ada “Rumah Panjang” yang dibangun oleh Jepang dengan demikian tidak ada pelecehan seksual di Masbuar. Sekolah yang ada saat itu hanyalah Sekolah Rakyat yang kemungkinan berpusat di gereja. Guru Djoemat ( Eduar Lessi) dibunuh di Wakpapapy dengan cara ditembak oleh tentara Jepang.


TELA

Sejarah Jepang di Tela tidak jauh berbeda dengan Masbuar. Jarak antara Tela dan  Masbuar hanya 3 Km. dengan demikian rentang kendali Jepang terhadap Tela dan Masbuar mudah dilakukan.

Keberadaan warga Jemaat sebelum kedatangan Jepang adalah biasa-biasa saja.  Mereka beraktifitas pada umumnya sebagai Petani . Namun keberadaan ini berubah ketika Jepang datang dari Saumlaki menuju Pulau Babar dan salah satu tempat persinggahan/ posko mereka ada di Tela yang bernama “Utie Onnie” (pinggir pisang) dalam bentuk seperti goa (lih. Gambar 2) namun tempat tersebut  sekarang ini telah tertutup oleh tanah. Ada dua kompi Jepang (tentara Jepang ) yang datang ke Tela yaitu: “Jangker” (Angkatan Laut) dan “Binsang “ (Angkatan Darat ), namun yang menetap di Tela adalah “Jangker”. Yang dipimpin oleh Panglima SIN HO HA RA yang biasa di sebut “tuan besar”.

Guru Djoemat yang bertugas di Tela saat itu adalah Dolfinus Mustamu. Jumlah naggota jemaat saat itu kurang lebih 700 jiwa. Kegiatan peribadatan berjalan seperti biasa yaitu pada hari Minggu (Ibadah Minggu), Sabtu “Ibadah Kunci Usbu” dan hari Ibadah “ Sharing “. Namun harus diakui bahwa keberadaan warga jemaat saat itu penuh dengan ketakutan dan kegelisahan sehingga ada yang tinggal di kebun,hutan, dan tempat ibadah (gereja darurat) juga didirikan di tempat yang bernama “Nuryemna/e” (tempat kenari). Bapak Dolfinus Maustamu meninggal di wakpapapi dengan cara ditembak. Hal ini disebabkan karena kematian “tuan besar dan tiga SPION-nya  yaitu Itariak, Muhamad, dan Abdulah” yang dibunuh oleh Kepala Desa dan warga masyarakat Emplawas dan hasutan dari Kepala desa Tela Thomas Onarely yang menuduh Dolfinus Maustamu “sumpah-sumpah orang Jepang, membawa kabar ke Ambon ” hal ini dilihat sebagai ancaman, sehingga Kurang lebih 600 warga jemaat/ masyarakat Emplawas mati ditembak, 11 orang Masbuar mati di Tela {bnd bagian Masbuar} dan 4 orang (Dolfinus Mustamu, Mustamu Ellans statusnya lebih tinggi dari guru djemat dan berhak melakukan Perjamuan Kudus, Ibrahim orang Emplawas dan Eduar Lessi  wakil/Klasis).


Menurut cerita kematian SIN HO HA RA (tuan besar) adalah sebagai berikut:

“Suatu hari SIN HO HA RA memanggil kepala desa Emplawas (tidak diketahui namanya) datang ke Tela untuk melakukan proses jual beli, penawaran harga Tabaku milik masyarakat Emplawas. Harga yang di sepakati adalah Rp.2000 per kilo. Kepala Desa  kembali ke Emplawas menghimpun masyarakat dan mengajak mereka untuk mengumpulkan tabaku yang nantinya di jual kepada SIN HO HA RA. Kemudian Sin HO HA RA memerintahkan Itariak, Muhamad dan Abdulah  untuk membeli Tabaku di Emplawas. Sesampainya mereka di Emplawas Itariak ternyata hendak membeli tabaku dengan harga Rp 1000 per Kg.  Terjadi pertentangan diantara mereka. Kepala Desa tetap mempertahankan Rp. 2000 sedangakan itariak Rp. 1000. Hal ini di laporkan kepada SIN HO HA RA. Kemudian SIN HO HARA bersama ketiga orang tersebut menuju Emplawas. Sesampainya mereka di Emplawas SN HO HA RA menampar kepala desa Emplawas. Hal ini menjadi pemicu akhirnya SIN HO HA RA di bunuh dengan cara di tikam demikian juga ketiga orang lainnya”

Tidak ada “rumah panjang “ di Tela. Tidak ada perempuan yang dijadikan sebagai korban seksual hal ini karena SIN HA HA RA tidak setuju dengan cara-cara tersebut.

Kebijakan Jepang pada saat itu adalah setiap warga jemaat laki-laki (dewasa) harus mengantarkan makan , sayur-sayuran ke Wakpapapy. Hal ini dirasakan sangat  dan menyiksa dan memberatkan. Ada persungutan dari warga jemaat dan hal ini dilihat sebagai “bom waktu” tetapi tidak ada perlawanan yang dilakukan oleh orang Tela kepada Jepang.

Staf Desa saat itu adalah: Thomas Onarely (Kepala Desa), Amabilis Imea (Kepala Soa Letui) dan Petrus Lukmetiabla (Kepala Soa Lekwari).

Selama keberadaan Jepang di Tela: Gereja tidak dirusak dan tidak dijadikan sebagai markas dan tidak ada larangan beibadah. Seluruh proses pendidikan berpusat di gedung Gereja. Sebagai bukti keberadaan Jepang di Tela , ada juga piring-piring tua yang dianggap sebagai peninggaln jepang. Piring-piring ini di temukan di depan Goa Utie Onnie.


WAKPAPAPI

Jepang hadir di Wakpapapi pada Tahun 1942 s/d Tahun 1945, selanjutnya mereka membuat   Markas atau Basis Utama di Wakpapapi sebelum menuju ke Desa Emplawas. Ketika Tentara Jepang berada di Basis Utama (Desa Wakpapapi) mereka memasang Radio untuk berkomunikasi dengan Desa Masbuar. Selanjutnya kedua desa itu selalu dipantau oleh tentara Jepang. Tentara Jepang melakukan segala aktivitas (berkebun atau bercocok tanam) tetapi seluruh pekerjaan itu menggunakan tenaga masyarakat Wakpapapi dengan cara kekerasan. Dan melakukan ibadah pun secara tersembunyi agar tidak di ketahui oleh tentara Jepang. Guru jemaat yang melayani pada saat itu adalah Bpk. ARNOL TOMASOA, Kepala Desa pada saat itu  DAUD  UNITLY dari Rumah Emlululi dan Staf Saniri Bpk. HENDRIK ORAPLEAN dari mata Rumah Emlululi.


Tentara Jepang Memerintah Masyarakat Wakpapapi dengan kejam. Masyarakat dipaksa  memikul peti-peti peluruh, beras berkarung-karung dari perkampungan naik ke gunung besar dengan menempuh jalan ± 10 km. Semua perintah wajib dilaksanakan. Namun, pajak tidak diberlakukan oleh tentara Jepang  kepada masyarakat. Sekalipun demikian, diberlakukan larangan beribadah di gedung gereja. Gereja dan sekolah pada saat itu masih bersifat darurat. Mereka beribadah dengan tidak merasa tenang karena tentara jepang selalu datang mengintai mereka. Gereja tidak digunakansebagai gudang atau markas. Alasannya,  jangan sampai ketika pesawat tentara sekutu melewati lokasi kemudian menjatuhkan Bom. Kegiatan ibadah di gereja tetap jalan dan di jaga oleh para Tuagama yang harus siap siaga. Jikalau tentara Jepang tiba-tiba datang, Tuagama segera melaporkan kepada anggota jemaat dan selanjutnya disampaikan kepada Pendeta agar mereka harus cepat-cepat keluar dari gedung gereja untuk mencari keselamatan atau perlindungan menuju kebawa dusun-dusun kelapa ataupun ke kebun-kebun untuk melanjutkan Ibadah dalam bentuk kelompok-kelompok.  Daftar permandian tahun 1914 sampai 1945, tercatat anggota Jemaat pada waktu itu sebanyak + 709 orang.

Dari penuturan beberapa orang tua,  yang selalu menjadi sasaran utama adalah Gereja dan Sekolah. Karena itu,  tentara Jepang lebih memilih lokasi persembunyiannya ke liang-liang batu atau goa dan dipinggiran kali, sehingga dapat bersembunyi, sekaligus bisa mandi, makan dan minum.

Tindakan Jepang yang sangat brutal adalah mengambil perempuan sebagai pemuas nafsu kebiadaban mereka terhadap perempuan-perempuan yang belum menikah (BENJEMINA  MALIHU) dan yang sudah menikah (ADELAIDA ORAPLAWAL)bersama-sama dengan dua perempuan dari Yatoke dan beberapa perempuan dari Emplawas yang dianggap sangat cantik dan mereka tidak di bunuh semuanya tertampung di rumah panjang di asrama tentara.

Kewajiban untuk menghormati bendera atau kaisar tidak ada sama sekali karena masyarakat selalu menghindar apabila kehadiran tentara Jepang di lokasi. Kepala Desa  pada saat itu, DAUD UNITLY akhirnya dibunuh karena dianggap sebagai pemberontak. Ia tidak setuju dengan tindakan kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh Tentara Jepang terhadap masyarakat Wakpapapi. Pekerjaan pribadi masyarakat dibatasi. Kematian DAUD UNITLY disebabkan karena ada “Spion” dari masyarakat dari masyarakat Desa Wakpapapi yang bukan anak negeri (Pendatang).  Ia memberikan informasi kepada Tentara Jepang bahwa Kepala Desa DAUD UNITLY membuat surat kepada Kepala Desa Emplawas untuk sama-sama mengadakan perlawanan kepada Tentara Jepang. Padahal in formasi itu tidak benar. Satu saat,  Kepala Desa  meninggalkan Negeri Wakpapapi menuju ke Pulau Marsela untuk urusan keluarga.  Selesai urusan,  ia menumpangi kora-kora  kembali ke Negeri Wakpapapi,  dan ketika ia turun dari kora-kora (masih di pantai),  ia langsung ditangkap. Matanya langsung diikat dengan sepanggal kain, selanjutnya di bunuh bersama-sama dengan Kepala Soa Tutuwawang. Jenazah keduanya dimasukkan ke dalam satu kolam tersendiri.

Selain pembunuhan terhadap Kepala Desa Wakpapapi (DAUD UNITLY), terjadi juga  pembunuhan terhadap Tiga Pendeta yang sebelumnya sudah ditangkap dan dibawah ke Wakpapapi (Markas Utama Tentara Jepang) antara lain : Pdt. TAHALELE (Jemaat Letwurung) Pdt. MUSTAMU, dan Pdt. LESSI (Pdt. LESSI menikah dengan Anak Perempuan dari Pdt. MUSTAMU) yang berkediaman di Kota Tepa. Pembunuhan itu terjadi pada tanggal 24 Desember 1944  Pukul  16.00. WIT. Sebelum terjadi pembunuhan,  Ketiga Pendeta tersebut Melagukan Thalil 76 : 1 “ ROH JIWA DAN TUBUHKU ”. Seusai menyanyi Pdt. LESSI berdoa. Kemudian penembakan itu atau pembunuhan itu terjadi Pdt. TAHALELE dan Pdt. MUSTAMU masing-masing mendapat satu kali tembakan sedangkan Pdt. LESSI  Tiga kali tembakan kemudian dimasukan dalam satu kolam samping Kuburan Masal OIMEHOIPLAT. Sementara untuk Guru Jemaat  dan keluarganya yang ada di Wakpapapi selamat di tangan Yesus karena menghindar dari sekutu Jepang dan di lindungi oleh anggota Jemaat Wakpapapi.


Beberapa catatan pelengkap lainnya : 


1.  Kuburan OIMEHOIPLAT. (Kuburan Masal Emplawas)  kisah ini secara terperinci dapat di galih lewat Masyarakat Emplawas. Hanya saja karena kuburan ini dan seluruh tragedy kekejaman Tentara Jepang terjadi di basis utama (Wakpapapi) singkat cerita orang-orang Emplawas kurang lebih 700 an masing-masing diikat (anak-anak kecil tidak ditutup mata sedangkan orang dewasa matanya di ikat) selanjutnya mereka di ikat menjadi satu dengan tali Nyimu berjejer dan di antar ke Markas Utama, menanti waktu kematian.Untuk anak-anak kecil sebelum di bunuh mereka di buang ke udara,kemudian para tentara Jepang mengangkat pedang samurai maupun pedang Sangkur menghunus tubuh mereka selanjutnya di masukkan ke dalam lobang kubur.Sementara untuk para perempuan yang masih cantik Terlebih dahulu organ tubuh mereka(payudara)di potong dan di hunus pada pedang samurai.Dengan demikian keseluruhan orang Emplawas dimasukkan hidup – hidup  ke dalam Lobang Kubur yang telah tersedia selanjutnya di bunuh.perlu di ketahui pula bahwa yang mengerjakan atau menggalih lobang kubur itu adalah  Masyarakat  Wakpapapi.  Oleh  karena  itu  setiap tanggal 05 Oktober Masyarakat Emplawas turun ke Wakpapapi untuk membersihkan Kuburan OIMEHOIPLAT mengenang sejarah.


2.  Untuk Tim Pasukan Jangkar (TNI-AL) sama sekali tidak datang di Desa Wakpapapi, yang ada hanyalah  Pasukan Belanda (Tahun 1907- April 1908) dan Jepang.


3. Untuk kuburan TIMERKAS secara jelas tidak di ketahui tetapi di samping Kuburan OIMEHOIPLAT terdapat ; Kuburan ketiga pendeta dan kuburan Kepala Desa (DAUD UNITLY) dan Kepala Soa Tutuwawang.


Sumber : Abraham BeresabyKepala Desa. ABRAHAM ORAPLAWAL, Tete. MENASE. LEWIER, Bpk. OBED. UNENOR, Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...