Senin, 06 Oktober 2014

Alumni Koninklijke Militaire Academie (KMA) asal Indonesia


Koninklijke Militaire Academie(KMA) adalah Akademi Militer Kerajaan Belanda sama seperti akademi militer di negara-negara lain yg menghasilkan perwira2 pertama utk:
- Koninklijke Landmacht (KL) = AD Kerajaan
- Koninklijke Luchmacht (KLU) = AU Kerajaan
- Koninklijke Marine (KM) = AL Kerajaan

Berdiri tahun 1828, dimana sebelumnya & akibat dari:
- Putra2 Belanda dari kalangan aristokrat / nobel / keluarga terhormat / kaya, bersekolah militer di Berlin (Prussia). Bikin untung kerajaan lain jadinya.

Dasar2 military modern, filsafat & teori kemiliteran berkembang dari sini, contohnya seperti battle order nya Der Große Frederic & filsafat perang dari von Clausewitz.
- KMA didirikan krn kebutuhan Belanda sendiri setelah kekalahan Prancis di Waterloo, 15 Juni 1815.
Pelajaran berharga dari paman Napoleon yg menelurkan "tentara rakyat" yg dipimpin oleh "perwira2 rakyat" namun well-organized, well-trained, well-educated di masa Napoleon dgn mudahnya menaklukan Belanda & sebagian Eropa, saat Prancis & Inggris rebutan menanamkan pengaruh di Eropa...serta temtu rebutan koloni di dunia.

Namun aspek2 feodal dari Belanda sendiri belum luntur, krn bentuk pemerintahannya sendiri yg masih Kerajaan, maka putra2 Nobel / kaya / terpandang / aristokrat masih diprioritaskan, terlepas apakah mereka memiliki bakat & kemampuan atau tidak.

Inlander menjadi KL??
Yg membedakan KL, KLU, KM dari KNIL adalah status hukum (warganegara) & status daerah, dimana Hindia Belanda adalah koloni Belanda.
Berarti KL & sejenisnya yg merupakan tentara aktif (organic) berisikan "muka pucat", dimana Inlander sebagai prajurit pembantu (Hulp Soldat).
Inlander ingin menjadi tentara aktif...bisa, masuklah ke KNIL. Begitulah garis besar politik pada jaman kolonial Belanda yg membedakan antara "Tuan & saya".

Hal ini sama dgn masa pendudukan Nippon, Heiho (prajurit pembantu) yg bukan tentara aktif, kecakapan militer nya kurang...maka dibentuklah kemudian Peta atas desakan tokoh2 pergerakan nasional, dimana para calon perwira & prajurit nya diajarkan yg sesungguhnya utk military organization, battle strategy, filsafat perang dst.

Cukup banyak orang2 Indonesia yg dikirim ke KMA Breda, namun setelah selesai pendidikan, mereka ditempatkan di KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indisch Leger) = tentara Kerajaan di Hindia Belanda.

Selain KMA di Breda, utk memangkas biaya pendidikan militer yg tinggi bagi Inlander utk di kirim ke Breda, di Indonesia (Bandung) di masa kolonial Belanda didirikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) = Korps Pendidikan Perwira Cadangan.
Produk akhirnya diserap juga oleh KNIL.

Semasa revolusi fisik (perang kemerdekaan) & agresi militer (Belanda menyebutnya aksi kepolisian) oleh Belanda utk menduduki kembali "Hindia Belanda", mayoritas KL & sejenisnya berasal dari wajib militer di negri Belanda sendiri, selain berisikan veteran2 WW2.
KNIL yg dibentuk kembali di "Hindia Belanda" melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration), mayoritas berisikan orang2 Jawa, Ambon (terbanyak), Sunda, Padang, Menado etc. & mereka ini disebut "Andjing Nica" oleh para pejuang & tentara reguler kita.

Mungkin pertanyaannya kembali:
Mengapa hanya golongan nobel / aristokrat / kaya yg bisa atau mempunyai kesempatan masuk ke KMA atau sejenisnya di Eropa, mulai dari masa Renaissance (juga dari era Medieval) sampai Imperialisme modern??

Jawabannya adalah:
- Eropa di masa itu tdk memiliki sekolah2 umum utk rakyat jelata, otomatis rakyat buta huruf, berbeda dgn keadaan di TimTeng dari masa dark ages & juga medieval, dimana mereka memiliki sekolah umum di perkotaan.
Bgmn mau belajar battle order / baca surat penugasan / membuat perintah / baca peta / atur siasat etc kalau buta huruf??
- Dampak dari keadaan ini jelas juga diterapkan di daerah koloni kerajaan2 Eropa.

Salah satu buah dari politik etis adalah dibukanya pintu pendidikan militer di KMA Breda untuk segelintir pribumi Hindia Belanda. Mengapa segelintir? Karena untuk masuk kesana memang bukan sembarang orang. Tubuh kuat dan otak cerdas tidak cukup, dalam diri calon perwira KNIL tamatan Breda harus mengalir darah biru, minimal anak seorang wedana.

Sultan Hamid Alkadrie

Sebuah catatan menyebutkan, pribumi pertama yang menjadi kadet KNIL adalah Sultan Hamid Alkadrie dari Pontianak. Ia lulus dari KMA Breda tahun 1936. Tapi ada yang meragukan catatan ini, karena buku Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI karya Harsja W. Bahctiar jelas menyebut dilantiknya R. Sardjono Soeria Santoso sebagai letnan II KNIL adalah tahun 1921. Tapi Soeria Santoso ternyata bukan yang pertama. Sebelum dia, ada pribumi Maluku bernama L.E. Lanjouw yang mendaftar KMA Breda. Lanjouw dilantik tahun 1918.
Tentang berapa jumlah alumni akmil prestius tersebut, sampai saat ini belum menemukan data pasti. Data yang ditulis rekan Syamaun Peusangan yang mengutip buku Harry Poeze; Di Negeri Penjajah menyebut ada 21 pribumi yang pernah mengenyam KMA Breda. Mereka masuk antara setelah Perang Dunia II hingga jatuhnya tanah Belanda ke tangan Jerman. Namun dari 21 orang tersebut 3 di antaranya batal dilantik karena ketahuan beraktivitas politik selama di Belanda.
Taruhlah data itu benar, siapa saja mereka? Letjen GPH Djatikusumo hanya mampu mengingatnya sampai 12 orang, seperti yang ditulisnya dalam bunga rampai PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air yang diterbitkan 1996. Mereka adalah:

1. R Soeria Santoso (lulus 1921. Terakhir kolonel KNIL, menjadi WN Belanda)
2. GPH Soerjobroto (lulus 1929. Terakhir Mayor kavaleri KNIL)
3. R Poerbonagoro (lulus ? Terakhir Mayjen TNI, sekmil pertama presiden RI)
4. R Soewardi (lulus 1930. Terakhir Mayjen TNI, Gubernur akademi militer yang pertama)
5. R Soetopo (lulus 1930. Terakhir wakil panglima komandemen Sumatera, 1947)
6. R Soedibjo (lulus 1930. Terakhir Jenderal mayor TNI)
7. R Samidjo (lulus? Terakhir Kolonel TNI)
8. R Didi Kartasasmita (lulus 1935. Terakhir Mayjen TNI)
9. R Hidajat Mertaatmadja (lulus 1934. Terakhir letjen TNI, menteri)
10. Sultan Hamid Alkadrie II (lulus 1936. Terakhir Mayor KNIL, ajudan khusus Ratu Belanda)
11. R Soeriadarma (lulus 1934. Terakhir KSAU Marsekal TNI, 1962)
12. R Soerjo Soelarso (lulus 1939. Terakhir Mayjen TNI)

Jumlah ini tentu saja masih kurang. Sayang, belum bisa memastikan sisanya. Namun dalam beberapa buku atau memoar, beberapa orang juga disebutkan alumnus KMA Breda. Mereka tidak termasuk di antara yang disebutkan oleh Djatikusumo. Mereka antara lain:

13. JE Lanjouw (lulus tahun 1918)
14. R Soebijakto (lulus ? Mayor KNIL dan berganti nama menjadi Mansfeld - Namanya disebut TB Simatupang)
15. R Wardiman (lulus 1931. Namanya disebut eks Breda dalam buku Yogya Benteng Proklamasi)
16. J Kaseger (lulus ? Keturunan Manado, turut bertempur dalam PD I di Muluku bersama Didi Kartasasmita)
17. R Poerbo Soemitro (lulus 1939)
18. Rachman Mashjour (lulus ? Terakhir Brigjen TNI)

Jumlah sudah 18. Namun ternyata belum final. Di samping nama-nama di atas, masih ada lagi nama banyak perwira KNIL Pribumi yang dilantik menjadi letnan II dalam periode antara tahun 1921 sampai dengan 1939. Tapi mereka belum bisa dipastikan apakah alumni KMA Breda atau sekolah Perwira KNIL di Meester Cornelis, Batavia - seperti halnya Oerip Sumohardjo. Mereka antara lain:

19. R Soewardi Tjokrohatmodjo (lulus 1922)
20. BPA Nanlohij (lulus 1922)
21. R Atmowardojo (lulus 1922)
22. Dalingga (lulus 1922)
23. R Wirjoko Wirjohoedojo (1923)
24. R Sidhiono Djojopoespito (lulus 1925)
25. M Bassa (lulus 1925)
26. R Partodarmojo (lulus 1926)
27. R Poerwopernoto (lulus 1926)
28. EA Latoeperisa (lulus 1926)
29. R Wirohatmodjo (lulus 1926)
30. R Hatmoperwoto (lulus 1928)
31. M Nanlohij (lulus 1931)
32. R Tirtohatmodjo (lulus 1935)
33. R Harjodiprono (lulus 1935)

Daftar belum usai, masih banyak lagi tokoh-tokoh yang menyandang pangkat perwira KNIL hingga saat menyerahnya Belanda di Kalijati namun tak tercatat darimana kelulusannya. Bisa jadi mereka berasal dari KMA Breda mengingat darah kebangsawanan yang dimilikinya:

34. BRM Jartabitu (Saudara tiri Sultan HB IX. Terakhir Mayor KNIL)
35. BRM Sungangusamsi (Saudarat tiri Sultan HB IX. Terakhir Kapten KNIL)
36. R Soegondo (Mayor KNIL)
37. R Abdulkadir Widjojoatmodjo (Putra bupati Pekalongan. Kolonel KNIL)
38. R Sanjoto (Kapten KNIL 1937)
39. R Soeratman (eks Panglima Komandemen TKR Jateng)
40. R Soesalit (anak RA Kartini - namun data KNIL-nya sumir)
Beberapa nama lain telah pensiun jauh sebelum kedatangan Jepang, termasuk Mayor Oerip Sumohardjo, Mayor AJ Kawilarang dan Kapten Bagoes Soemodilogo.


Alumni KMA Bandung

Pembentukan TNI pada awalnya disokong oleh 3 unsur, eks PETA, eks KNIL dan kelaskaran. Di jajaran perwira, eks KNIL masih terbagi lagi, mereka yang keluaran KMA Breda, lulusan pendidikan perwira di Mesteer Cornelis Jatinegara dan alumni KMA Bandung. Total perwira eks KNIL (termasuk sebagian kadet KMA Bandung yang sebetulnya belum lulus) yang ada pada saat Indonesia Merdeka sekitar 70-80 orang.

KMA Bandung sendiri hadir karena kondisi darurat. Tahun 1940, Belanda diduduki Jerman, sehingga KMA Breda yang menjadi kawah pendidikan perwira militernya tak berfungsi. Bandung akhirnya menjadi KMA alternatif.

KMA Bandung menampung sekitar 200 an orang yang akan dididik sebagai perwira KNIL. Dari jumlah itu calon perwira pribumi hanya 21 orang. Ke-21 orang itu adalah orang pilihan. Sebelumnya, mereka mengikuti terlebih dahulu pendidikan CORO (Corps Opleiding Reserve Officeren - Korps Pendidikan Perwira Cadangan KNIL). Hanya yang cakap yang berhak melanjutkan ke KMA. Yang gagal cukup bintara atau pembantu letnan.
Nama-nama tenar yang hanya terhenti di level CORO antara lain, GPH Djatikusumo (terakhir Letjen TNI - belakangan ia juga ikut pendidikan PETA), Kusno Utomo (terakhir Mayjen TNI - terkenal karena peran pasukannya dalam memberengus PKI Madiun) dan Suwarto (terakhir Mayjen TNI - legenda Seskoad yang disebut-sebut sebagai mentor politik Soeharto di awal karirnya sebagai jenderal).

Sementara ke-21 orang yang lolos terbagi dalam 2 angkatan. Angkatan pertama, masuk awal tahun 1941 dan sempat menjalani wisuda terdiri dari 11 orang. Sedangkan angkatan kedua, masuk pertengahan 1941 dan tak sempat diwisuda terdiri dari 10 orang. Lakon yang mereka jalani setelah itu beraneka ragam. Tak semuanya selamat menghirup kemerdekaan, juga tak semuanya mau bergabung dengan TNI.

Angkatan I
1. TB Simatupang (terakhir Kepala Staf AP 1952, Jenderal Mayor TNI)
2. Aminin (sampai dengan tahun 1954, masih kapten TNI di Pulau Bali)
3. Abdul Haris Nasution (terakhir menhankam, jenderal TNI)
4. Alex Kawilarang (terakhir atase militer di Washington, Kolonel TNI)
5. Mantiri (tewas dalam kapal tawanan Jepang di Sumatera, 1944, letda KNIL)
6. Rachmat Kartakusuma (terakhir kashankam TNI 1962, mayor jenderal TNI)
7. W Tan
8. Samsudarso (tewas dibunuh PKI di Madiun 1948, mayor TNI)
9. Askari (terakhir Kepala Arhanud TNI, letjen TNI)
10. Liem HO King (pensiun sebagai letnan dua KNIL di Belanda)
11. Liem Kay Hoen

Angkatan II
12. Suprapto (terakhir Deputi II Pangad 1965, tewas dalam gestok, mayjen TNI)
13. AY Mokoginta (terakhir Pangkowilhan Sumatra, 1965, mayor jenderal)
14. Soesatyo
15. Luntungan (tewas di kamp Kempetai, 1944)
16. Tjhwa Siong Pik (tewas dibunuh kempetai di Malang, 1944)
17. Rachmat Suryo (ajudan Oerip, wafat karena malaria 1946, kapten TNI)
18. Kadir
19. Suryo Sumarno (tewas dalam agresi militer II 1948 di Jogja, kapten TNI)
20. Satari (terakhir artileri, mayor jenderal TNI)
21. Mas Soeprio (tidak diketahui, menolak ajakan masuk TNI)

Sejarah Maluku hingga RMS Chapter


Ambon sejak awal kolonialisme Belanda telah mengalami masa penjajahan penuh penderitaan dan kekejaman yang berkepanjangan, terutama ketika Belanda menerapkan “de kruideniers politiek,” (politik rempah-rempah) di abad ke-17. Semata-mata untuk menguasai rempah-rempah yang sangat potensial yang menjadi primadona ekonomi bagi negara-negara Atlantik Utara.Mengikut lembaran bangsa-bangsa di Asia-Pasifik, Ambon dan kepulauan Maluku menjadi awal dari mata rantai perdagangan dunia sejak masa silam. Dengan rempah-rempah sebagai komoditi ekonomi utama, turut pula mewarnai sejarah dunia.

Seperti dikemukakan pada lembaran-lembaran sebelumnya, rempah-rempah Maluku sudah dikenal sejak jaman Romawi yang dibawa oleh pedagang-pedagang China yang bermula dengan menggunakan jung-jung China melayari dari kepulauan Maluku hingga daratan Cina dan bersama pedagang-pedagang India melintasi Asia Tengah-Asia Barat hingga berakhir di Beirut, Libanon. Dari negeri budaya Phoenix ini di sebar oleh pedagang-pedagang Arab di seputar Mediterania, dan bagi Eropa berpusat di Florence dan Genoa untuk kemudian disalurkan ke seluruh benua Eropa. Kegunaan rempah-rempah, terutama cengkih misalnya dari Ternate ataupun biji pala dari kepulauan Banda tak hanya digunakan untuk penyedap makanan, tetapi juga untuk ramuan pengobatan hingga memiliki penggemar dari Timur-Tengah, Mediterania hingga Eropa, dan  termasuk sebagai komoditi potensial di berbagai bursa pasar di kawasan-kawasan itu. Potensi ekonomi yang dimiliki kepulauan Maluku turut mewarnai konflik di daratan Tiongkok dengan pergolakan di Tiongkok Barat yang di dominasi oleh pemeluk Islam dengan membendung penetrasi Mandarin dari Tiongkok Utara yang ingin menyatukan Tiongkok sebagai kesatuan. Berlanjut dengan masyarakat China Barat melakukan diaspora, sambil memperkenalkan Islam, menyelusuri Asia Tengah, China Tenggara hingga Champa di Indo-Cina Utara, dan dari sana menuju kepulauan Filipina, Maluku Utara, Banda dan Ambon .Dikepulauan ini mereka menguasai sentra-sentra ekonomi di berbagai kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah dan membentuk mata-rantai perdagangan di Jawa hingga Malaka sambil mengembangkan agama Islam pada penduduk setempat. Dari tempat-tempat ini pula mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Arab. Selain itu, Ambon dan Maluku turut menginspirasi terjadinya pengembangan pencarian benua-benua baru dengan migrasi orang-orang Eropa sebagai dampak dari kaum ulama yang menggunakan agama sebagai alat kekuasaan dengan memberlakukan sistem pemerintahan theokrasi, hingga menimbulkan berbagai pergolakan sosial. Pengenalan kepulauan Maluku di Eropa di mulai sejak kesultanan Otoman menguasai Konstantinopel (kemudian di ubah menjadi Istambul), memaksa negeri-negeri Eropa mencari jalan menuju Maluku. Dengan menggunakan jalur lintas niaga laut hasil rintisan pelaut-pelaut Arab yang mahir dengan ilmu falak, para musafir Portugis dan Spanyol, Belanda dan Inggris berhasil mendarat di kepulauan Maluku –Seram, Haruku, Saparua dan Nusalaut.
    
Pada tiap pulau yang mereka datangi, mereka membangun benteng-benteng dengan maksud untuk melindungi loji-loji niaga sebagai pusat jual-beli rempah-rempah dari penduduk setempat. Misalnya benteng Duurstede di Saparua, benteng Hoorn di Pelau, benteng Zeelandia di Haruku, benteng Beverwijk di Hila, benteng Rotterdam di Lariki, benteng Wantrouw di Manipa dan benteng Overbrug di Luhu. (GWWC Baron van Hoevell: Ambon en meer bepaaldelijk de Oeliasers, 1875). Sebelumnya pihak Portugis sudah membangun benteng Victoria pada 1527. Tetapi pada 23 Februari 1605 benteng ini direbut oleh kekuatan satu eskader Belanda pimpinan Laksamana Steven van der Hagen. 

Sebenarnya Ambon tidak langsung di duduki oleh Portugis ketika mulai mengenal Maluku pada 1512. Kedatangan mereka yang pertama di Hitu ketika disambut ramah oleh penduduk setempat. Baru pada 1525 pihak Portugis mendirikan kantor perwakilan dagang di Ambon. Sebelum kedatangan para musafir Eropa ke Maluku, sudah ada hubungan perdagangan antara Maluku dengan Tuban dan Pati di pantai utara Jawa yang sempat menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dan ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Arab yang juga mengembangkan agama Islam di Jawa hingga Hitu. Sejak abad ke-17 Maluku ramai di kunjungi para ulama Arab dari Jawa. Bahkan Sultan Ternate pernah berkunjung ke Tuban dan Pati serta pernah memasuki pesantren untuk mendalami Islam di Jawa. Sejak itupun terjalin hubungan niaga dengan Kesultanan Tuban. Ambon sebelumnya sudah menjalin dengan dunia luar di masa silam. Kepulauan Maluku sudah menjadi bagian dari lintasan niaga dunia melalui Jawa, Malaka, Tiongkok, India dan Persia dengan kapal-kapal niaga mereka setiap tahun berlayar hingga Ternate, Tidore dan Banda. Dari cerita legenda lama penduduk Ihamahu di Sapurua bahwa mereka turunan dari pelaut-pelaut Kalinga ( India ) yang terpaksa menetap karena kapal mereka tenggelam.
    
Raja dari Nusaniwe di Letimor menurut tulisan Valentijn berasal dari Jawa. Di Hitu terdapat sebuah perkampungan bernama Massapait yang berasal dari Majapahit. Hitu memiliki penulisan sejarah berkat jasa Imam Ridjali, penulis yang giat dengan penulisannya pada kurun 1640-1650. Valentijn menggunakan buku Ridjali, “Hikajat Tanah Hitu” sebagai sumber penulisan bukunya tentang Maluku. Ridjali pada bukunya mengungkapkan bahwa kepulauan Hitu di huni oleh kelompok-kelompok masyarakat dari Tanuno (Seram-Barat, Gilolo ( Halmahera ), Tuban (Jawa) dan Goram, sebuah pulau di Seram Timur. Begitu juga pulau Bacan yang kaya dengan kesuburan tanaman cenkih dan berdekatan dengan Ternate yang juga menjadi daya tarik migrasi penduduk pulau-pulau disekitarnya. Sejak penyatuan Portugis dengan Spanyol pada 1580, ternyata telah melemahkan posisinya terhadap daerah-daerah fazalnya di kepulauan Maluku. Sementara Belanda setelah meraih kemenangan dari perjuangan kemerdekaan melalui perang 80 tahun dari kolonialisme Spanyol di akhir abad ke-16 telah menjadi kekuatan baru di Eropa. Sebagai hasilnya,  posisi Portugis tergusur oleh Belanda sejak abad ke-17, dengan menguasai Ambon pada 1605. Sejak itupun Belanda mengubah benteng Victoria berubah menjadi “Kasteel Victoria ” dan menjadi pusat administrasi pemerintahan untuk wilayah Maluku guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh Maluku. Sejak itupuna Maluku berada dibawah cengkeraman Belanda untuk menguasai komoditi rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956). Ambon sebelumnya sudah menjalin dengan dunia luar di masa silam. Kepulauan Maluku sudah menjadi bagian dari lintasan niaga dunia melalui Jawa, Malaka, Cina, India dan Persia dengan kapal-kapal niaga mereka setiap tahun berlayar hingga Ternate, Tidore dan Banda. Dari cerita legenda lama penduduk Ihamahu di Sapurua bahwa mereka turunan dari pelaut-pelaut Kalinga ( India ) yang terpaksa menetap karena kapal mereka tenggelam. Raja dari Nusaniwe di Letimor menurut tulisan Valentijn berasal dari Jawa. Di Hitu terdapat sebuah perkampungan bernama Massapait yang berasal dari Majapahit. Hitu memiliki penulisan sejarah berkat jasa Imam Ridjali, penulis yang giat dengan penulisannya pada kurun 1640-1650.
    
Valentijn menggunakan buku Ridjali, “Hikajat Tanah Hitu” sebagai sumber penulisan bukunya tentang Maluku. Ridjali pada bukunya mengungkapkan bahwa kepulauan Hitu di huni oleh kelompok-kelompok masyarakat dari Tanuno (Seram-Barat, Gilolo ( Halmahera ), Tuban (Jawa) dan Goram, sebuah pulau di Seram Timur. Begitu juga pulau Bacan yang kaya dengan kesuburan tanaman cenkih dan berdekatan dengan Ternate yang juga menjadi daya tarik migrasi penduduk pulau-pulau disekitarnya. Sejak penyatuan Portugis dengan Spanyol pada 1580, ternyata telah melemahkan posisinya terhadap daerah-daerah fazalnya di kepulauan Maluku. Sementara Belanda setelah meraih kemenangan dari perjuangan kemerdekaan melalui perang 80 tahun dari kolonialisme Spanyol di akhir abad ke-16 telah menjadi kekuatan baru di Eropa. Sebagai hasilnya,  posisi Portugis tergusur oleh Belanda sejak abad ke-17, dengan menguasai Ambon pada 1605. Sejak itupun Belanda mengubah benteng Victoria berubah menjadi “Kasteel Victoria ” dan menjadi pusat administrasi pemerintahan untuk wilayah Maluku guna memperkuat politik monopoli rempah-rempah di seluruh Maluku. Sejak itupuna Maluku berada dibawah cengkeraman Belanda untuk menguasai komoditi rempah-rempah, demikian J Keuning dalam tulisannya, Ambonnezen, Portugezen en Nederlanders,” pada majalah Indonesie, IX, 1956). Keuning menulis: “Dengan 5 kapal perang, di dukung 26 perahu kora-kora dengan kekuatan 900 serdadu dan matros Belanda dan 2000 orang Ambon dari Leitimor dan Uliase, di bawah pimpinan Gubernur Ambon, Herman van Speult dan wakilnya, Jan van Gorcum pada 14 Mei 1625 menyerbu Hoamoal di Seran. Serangan dadakan ini tidak siap diahdapi penduduk. Sekalipun berusaha melawan, tetapi tidak berdaya menghadapi kekuatan penyerang yang dengan kejam dan ganas membantai dengan tembakan dan memancung leher. Selain itu menebang semua tanaman kelapa, cengkih dan semua pohon sagu yang terdapat di pulau itu. Semua perahu perahu penduduk yang berada di pesisir pantai dan tepi sungai dihancurkan. Aksi pembantaian yang dilakukan terhadap pulau-pulau lainnya selama 6 minggu telah membawa penderitaan bagi penduduk. Sekitar 65.000 pohon cengkih ditebang dan di rusak oleh aksi penyerangan ekspedisi Belanda ini. Sejak itupun kebencian terhadap Kompeni di kalangan penduduk sangat besar.” Walau sering melakukan ekspedisi kekejaman, tetapi perlawanan rakyat Maluku tetap berkobar terhadap Belanda. Seperti yang terjadi di Kahiali pada 1634 ataupun di Tuluapessi pada 1646. Pihak Belanda menindak tidak saja terhadap pribumi, tetapi juga dengan pesaing-pesaing dagangnya. Misalnya membantai orang-orang Inggris di Ambon. Peristiwa ini terjadi pada 2 Februari 1623, seorang Letnan Inggris kedapatan oleh seorang serdadu Jepang yang sedang bertugas, memasuki benteng Victoria dan berada di tempat yang tidak boleh di masuki oleh orang asing. Iapun di tangkap oleh serdadu Jepang yang bekerja untuk tentara Belanda. (Waktu itu pihak Belanda banyak menggunakan legiun asing, termasuk orang-orang Jepang sebagai tentara sewaan). Kepada atasannya, tentara Belanda, serdadu Jepang ini mengatakan ia sudah sering melihat letnan Inggris ini bergentayangan di benteng pada malam hari, dan menyelusup pada saat terjadi penggantian garnisun jaga. Esok harinya Gubernur Herman van Speult langsung mengintorigasi perwira Inggris ini. Sebelumnya, ia di siksa berat dahulu hingga mengaku melakukan pekerjaan mata-mata atas instruksi atasan. Pengakuan ini menjadi pegangan van Speult sebagai bukti untuk mengatakan keyakinannya bahwa: Inggris secara rahasia melakukan persaingan curang dan pada suatu kesempatan yang baik bersama penduduk-penduduk pribumi mengusir Belanda. Untuk itu beberapa orang Jepang, yang juga mengaku setelah disiksa berat bahwa Inggris merencanakan penyerbuan terhadap benteng Belanda. Dengan dukungan Dewan, Van Speult menangkap semua orang Inggris. Selama beberapa hari mereka ini disiksa, dimana dua tahanan Inggris karena tidak tahan oleh siksaan meninggal. Mata-mata Inggris itu, Gabriel Towerson, mengakui bahwa ia datang ke Ambon dengan kapal Inggris sambil menunggu hingga benteng Belanda diserbu.Adanya usaha itu, maka pada 6 Maret 1623, Gubernur Van Speult dengan dukungan Dewan kota memvonis hukuman mati terhadap 10 orang Inggris, 10 orang Jepang dan seorang Portugis dan di eksekusi pada hari itu juga. Dua orang Inggris dibiarkan hidup, karena harus mengurus dan bebenah semua perlatan kantor niaga Inggris di Ambon untuk dibawa ke Batavia oleh kedua orang itu. Begitu tiba di Batavia, salah seorang berhasil melarikan ketika dalam perjalanan menuju kantor niaga Inggris.
    
Peristiwa ini terungkap di London dan pemerintah Inggris langsung mengirim surat protes kepada pemerintah Belanda terhadap warganya di Ambon oleh Gubernur van Speult yang di kenal dengan “Ambonse Moord” (Pembantaian Ambon) yang memperburuk hubungan Belanda dengan Inggris cukup lama. Bahkan masyarakat Inggris juga membenci orang-orang Belanda seperti terungkap oleh penyair kenamaan John Dryden, yang pada 1673 dalam syairnya dengan sedih menulis: “Amboyna, or the Cruelties of the Dutch to the English of the Dutch to the English Merchant.” Begitu pula pada 1712 di London muncul tulisan History of the Barbarous Cruelties and Massacres, Committed by the Dutch in the East Indies , (W P Coolhaas: Aantekeningen en opmerkingen over den soogenaamden Ambonschen Moord, 1942).     Setelah dilakukan penyelidikan 40 tahun kemudian, ternyata tuduhan penyelundupan oleh penduduk Hoamoal tidak berdasar dan tidak melanggar aturan hingga penduduk menderita.
   
Setelah itu Gubernur Ambon, Arnold de Vlaming van Oudshoorn melakukan pemindahan pendudukan dengan mengosongkan pulau Hoamoal. Dalam tulisannya, Keuning mengungkapkan mengenai proses pemindahan oleh De Vlaming van Oudshoorn: “Seluruh penduduk di Hoamoal harus di kosongkan, kendati pulau yang subur ini padat penduduk yang berjumlah sekitar 12.000 jiwa. Masyarakat Islam diangkut dan dipindahkan ke pulau Hitu, dan mereka kehilangan Orang kaya-kaya (pemuka) yang dibawa ke benteng untuk di jadikan sandera. Orang-orang biasa dibagi-bagi dan menghuni kampung-kampung yang terdapat di Hitu, dan keluarga-keluarga di pisahkan. Misalnya ayah dan anak, atau adik kakak, tidak boleh hidup bersama dan saling hidup terpisah. Sementara raja-raja dari Hitu, yang berusaha membendung invasi pendatang secara terpaksa dari Hoamoal, karena merasa terancam, tak dapat berbuat apa-apa karena ancaman dari Belanda. Para wanita merasa lebih baik di tinggalkan suami-suami mereka daripada berpisah dengan anak-anak. Gubernur de Vlaming benar-benar kejam, karena siapapun yang melanggar aturan menurut kehendaknya langsung di bunuh. Apa lagi ia di dukung baik oleh pemerintah VOC di Batavia maupun oleh Dewan Kota di Ambon. Belanda dengan semaunya menyiksa dan membunuh penduduk yang menjadi budak, rumah-rumah mereka di jarah… Penduduk pemeluk Kristen dan pemeluk berhala di Hoamoal juga menerima nasib yang sama: mereka di paksa harus pindah ke Leitimor. Pemindahan ini terjadi pada 6 Maret 1656. Yang tragis, 5 perahu yang membawa mereka tenggelam akibat cuaca buruk. Nasib serupa harus pula dialami penduduk pulau-pulau Boano, Kelang dan Amblau yang juga harus di pindahkan. Penduduk-penduduk ini dikonsentrasikan di pulau Manipa, sementara suami-suami mereka dan laki-laki lajang di angkut ke Ambon . Ribuan penduduk pemeluk Islam di Ihamau, Saparua bersama penduduk Madjira ramai-ramai di pindahkan ke Seram. Mereka sama sekali tidak diperkenankan kembali.
    
Pada 1657 banyak orang kaya-kaya yang oleh gubernur De Vlaming yang mulanya berada di benteng –berjumlah 282 orang- di angkut ke Batavia . Sejak itupun pulau Hoamoal benar-benar di kosongkan. Perkampungan- perkampungan disana di bumi hanguskan, pohon-pohon cengkih dikuliti dan dibakar. Perkebunan pohon-pohon sagu dihancurkan. Pokoknya pulau itu di jadikan rata tanah. Dari kesemuanya itu hanya daerah-daerah Ambon dan Uliase yang menjadi pusat produksi penanaman cengkih. Begitu pula pertanian cengkih di Ternate, Halmahera dan Bacan dan pulau-pulau lainnya disekitar Maluku Utara di batasi tetapi diawasi ketat. Sultan Mandarsjah khusus datang ke Batavia dengan beaya sendiri di bawa oleh VOC.
    
Ia hanya memperoleh 12.000 Florin setahun sebagai imbalan, tetapi semua pohon-pohon cengkih di wilayah kesultanan dihancurkan. Operasi Hongi-tochten berlangsung tahunan diluar Ambon dan Uliase. Walau begitu di beberapa pulau yang di izinkan menanam ribuan pohon-pohon cengkih tetapi langsung untuk pihak VOC.”

Aksi Perlawanan Thomas Matulessy

Terdapat disuatu tempat di bagian kota Ambon yang menjadi saksi kekejaman Belanda selama berkuasa. Letaknya di antara darah benteng dengan desa Amahusu. Ditempat itu terdapat sebuah batu yang pada 1818 pahlawan nasional Ambon, Thomas Matulessy atau yang lebih dikenal dengan gelar Pattimura (Panglima) di gantung oleh pemerintah Hindia-Belanda. Setelah itu jenasahnya di masukkan kedalam kerangkeng untuk kemudian di buang kelaut di pantai Batucapeu. Hukuman terhadap Thomas Matulessy merupakan hukuman pertama yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dalam usaha Matulessy memperjuangkan kemerdekaan Maluku dengan aksi perlawanan terhadap Belanda setelah Belanda kembali menguasai Indonesia setelah Perang Napoleon di Eropa berakhir. Perang Napoleon berakhir ketika Napoleon Bonaparte, pelaku utama prahara di Eropa sejak 1793 hingga 1815 dibuang ke pulau Sint Helena. Sejak itupun wilayah Indonesia yang sempat dikuasai oleh Inggris yang direbut dari kaum Republik Belanda yang pro Prancis setelah merebut Jawa pada 1810 dikembalikan kepada Belanda. Walau begitu, pihak Belanda belum dapat menguasai kepulauan Maluku sepenuhnya ketika berusaha menerapkan politik monopoli kembali. Lagi pula masa Inggris berkuasa, praktek “hongi-tochten” langsung dihapuskan, karena Inggris sempat mengalami trauma dan menjadi korban “pembantaian Ambon” oleh Belanda dua abad lalu. Walau jajahan Belanda di Asia-Tenggara sudah di kembalikan, tetapi Belanda belum lagi dapat menguasai Maluku sepenuhnya. Dan penduduk Maluku waktu itu mulai bangkit untuk tidak ingin di jajah oleh Belanda yang kejam. Peristiwanya bermula ketika seorang anak muda Belanda mendarat di Saparua dari Batavia , setelah di tunjuk menjadi residen oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dengan pembawaan sikap angkuh untuk mengembalikan politik monopoli rempah hingga Van den Berg sama sekali tidak di senangi penduduk. Thomas Matulessy yang asal Honimoa dan telah menjadi penduduk Saparua berhasil mengumpulkan penduduk barisan sakit hati dan mendendam oleh kekejaman Hongi Tochten Belanda, mulai bangkit dan dengan cepat menduduki benteng Duurstede dan membunuh semua orang-orang Belanda disitu termasuk Residen van den Bergh. Hanya anaknya yang masih kecil bersama pengasuhnya tidak di bunuh.

Pasukan pertama yang ingin membantu Belanda dan ketika mendarat di Saparua, berhasil di lumpuhkan. Untuk itu pemerintah do Batavia langsung mengirim pasukan dalam jumlah cukup besar melakukan ekspedisi ke Maluku, dan mengalahkan kekuatan para pejuang kemerdekaan Maluku di Saparua serta menangkap Thomas Matulessy dan dibawa ke Ambon untuk di adili dan di vonis hukuman mati. Sebelum di eksekusi, oleh pemuda-pemuda ia di beri gelar “Pattimura” yang berarti melanjutkan perjuangan kemerdekaan Ambon . (JBJ van Doren: Thomas Matualesia, het hoofd der opstandelingen op het eilan Honimoa, na de overname van het Bestuur der Molluken door den Landvoogd Jacobus Middelkoop in 1817 (1857), in P H van der Kemp: Nadere mededeelingen over den opstand van Saparua,” in BKI, 79 (1923).

Aksi perlawanan oleh Thomas Matulessy yang kemudian disebut sebagai “Pattimura” merupakan perlawanan gigih yang menonjol di Maluku menghadapi kolonialisme Belanda. Selanjutnya sejak abad ke-19 hingga 20 Ambon dinyatakan setia kepada kerajaan Oranje, yang mulanya sukar dipercaya, karena masyarakat Maluku sangat menderita oleh kekejaman Belanda dengan operasi “Hongi-tochten” demi kepentingan politik monopoli rempah-rempah. Yang terakhir ini baru mulai dihapus secara respektif pada 1864 dan 1873, ketika di Negeri Belanda mulai dilakukan perombakan terhadap politik perdagangan bagi pembangunan yang selama ini telah merusak citra Belanda hingga pemerintah di kecam oleh publik.

Pengembangan Kristen di Maluku

Pengembangan agama Kristen Protestan di Maluku baru mulai dikembangkan pada abad ke-19 melalui hasil rintisan Pendeta Joseph Kam, yang dimulai dengan setengah dari jumlah penduduk kota Ambon memeluk agama Kristen, sementara yang lainnya tetap menganut agama Islam. (I H Enkelaar: Joseph Kam: Apostel der Molkukken, 1963). Misionaris Amerika, Frank L Cooley dalam disertasinya, Altar and Throne in Central Moluccan Societies menilai bahwa pengertian Kristen yang di ajarkan di Maluku tidak dilakukan secara mendalam, dan lebih mengarah berkiblat pada sistem Kristen Eropa Barat. Penerapan kristiani di Ambon di kembangkan dengan menggunakan bahasa Melayu (baca Indonesia ).Biasanya, para pendeta yang memimpin kebaktian di gereja di lingkungan Gereja Protestan Maluku (GPM), yang merupakan organisasi kegerejaan tertua di Ambon , dengan menggunakan bahasa Belanda melulu menerapkan secara seremonial. Pengembangan agama Kristen di Maluku tumbuh pesat dan turut meningkatkan pembawaan sikap Kristiani, hingga ikut menenangkan keadaan masyarakat yang dilakukan oleh guru-guru agama, untuk menjadi guru ataupun berprofesi menjadi pegawai di pemerintahan, sementara yang lainnya memasuki dinas militer KNIL. Sejak itupun serdadu asal Ambon di nilai paling setia dibawah panji kerajaan Oranje.

Pengenalan Militer

Pengenalan militerisme di Ambon baru mulai terjadi pada 1840. Melalui surat keputusan Kerajaan Belanda pada 12 Juni 1840 terbentuk suatu formasi kesatuan Ambon yang terdiri dari 763 personal. Dalam ultimo pada tahun itu juga terdapat 1030 prajurit Ambon, pada 1850 sebesar 800 dan pada 1850 dengan 790 personal. Formasi kesatuan militer Ambon pada 1852 berjumlah 1744, suatu kenaikan 30%.
Perekrutan pada 1855 mencapai 1118 dan ditambah lagi di tahun itu dengan 350 personal. Sementara pada 1864 menjadi 872 personal.Dalam tingkat penghasilan, jumlah perolehan premi yang diraih prajurit yang berdinas 6 tahun sebesar 60 gulden, sedangkan yang berdinas 2 tahun memperoleh 40 gulden. Walau begitu penggunaan Maluku sebagai prajurit tak dapat bertahan.Pada 1860-67 hanya mencapai 300, dan 1868-73 menurun lagi pada 280 saja. Namun di lain pihak terjadi kenaikan premi menjadi 100 gulden bagi yang berdinas hingga 6 tahun, bahkan pada 1875 meningkat hingga 200 gulden bagi yang berdinas 6 tahun dan 120 gulden yang berdinas 4 tahun. Sehubungan dengan keluarnya surat keputusan pemerintah tahun 1873 (SK 5 September no.24) dan 1875 (SK 13 April no.30) dilakukan perekrutan oleh residen-residen Ternate, Manado dan Maluku. Perolehan premi dinaikkan masing-masing: 50 gulden untuk dinas 2 tahun, 150 gulden untuk 4 tahun dan 240 gulden untuk 6 tahun. Bagi yang di kontrak hingga 25 tahun memperoleh premi 300 gulden untuk sersan, 240 gulden untuk kopral dan 200 gulden untuk fusilier (prajurit bersenapan). Disamping itu juga mendapatkan 50 gulden bagi mereka yang berprestasi di lapangan. Adanya pendapatan ini hingga menyengangkan bagi pribumi memasuki dinas militer, bukan saja bagi orang-orang Malaku, tetapi juga ethnis-ethnis lainnya.Untuk peningkatan karier di bidang militer, orang-orang Maluku baru mendapat kesempatan  memasuki sekolah pendidikan militer baru terjadi pada 1915. Waktu itu pendidikan untuk meraih pangkat Letnan II. Pada 1916 boleh mengikuti KMA (Koninkijke Militaire Academie) sekolah Kadet bagi pemuda-pemuda Maluku. (Ecyclopaedie van Nederlandsch Indie (1917).

Keterampilan perang Kapitan Jonker

Nama Kapitan Jonker asal Ambon juga dikenal pada sejarah kolonial Belanda. Putera dari Sangaji Kuasa dari Manipa yang letaknya antara pulau Seram dan Buru di lahirkan pada 1630. Ia menemani ayahnya ketika orang kaya-kaya Manipa ini menjadi sandera Belanda di Ambon. Pada 1656 ia menjadi pelayan Gubernur Ambon, Arnold De Vlamingh van Oudshoorn yang menyenanginya karena keberanian yang sering diperlihatkannya hingga memberi nama bagi putra pribumi asal Manipa ini menjadi Jonker.

Pada 14 Agustus 1656, setelah bergabung dengan pasukan De Vlaming van Oudshoorn tiba di Batavia . Ia sangat menonjol karena keterampilannya dalam perkelahian hingga ia menjadi pengawal keamanan bagi Gubernur-Jendral Rijcklof van Goens dan turut bersamanya ke Hindia Muka ( India ) dan Ceylon (kini Srilanka). Dalam suatu pertempuran di Jafnapatam, tangan kirinya kena tembakan dan hancur. Sejak itupun ia hanya bertangan satu. Walau begitu ia tetap di ikut sertakan dalam berbagai peperangan. Karena kemahiran dan keberaniannya di medan perang hingga ia memperoleh pangkat Kapten, tetapi sejak itu ia lebih dikenal dengan sebutan Kapitan Jonker yang angker.Pada 1659, Jonker kembali ke Batavia , dan pada 1 Januari 1665, ia diangkat sebagai pimpinan orang-orang Ambon di Batavia. Pada 1666 di bawah pimpinan Verspeet en Poolman ia di ikut sertakan dalam perang di pantai Barat, dan pada tahun itu oleh Cornelis Speelman ia diikut sertakan berperang di Makassar, Ternate, Banda dan Ambon . Dari hasil keterampilan peperangan yang dilakukannya hingga oleh Speelman ketika berada di Batavia pada 1672, Kapitan Jonker memperoleh akte kenaikan gaji bintang jasa dan surat penghargaan yang di tulis di atas kulit binatang dan tutupi dengan kotak berlapis emas.Pada 1679, ia bersama kesatuannya dilibatkan dalam peperangan di pimpin Kapten Couper di Jawa Timur.Setelah itu bersama kesatuannya asal Ambon ditugaskan menjadi pengawal Susuhunan dari Mataram setelah berhasil melumpuhkan kekuatan Trunojoyo yang ingin menyerang Mataram. Sebagai jasanya, ia memperoleh rantai emas bernilai 300 ringgit. Pada 1681, ia mendampingi Kapten F Tang dalam ekspedisi militer di Palembang dan Jambi. Berlanjut ketika mengalahkan kekuatan Sultan Abu’lFatah dalam perang Banten 1682-83.Namanya mulai tenggelam dan dilupakan ketika pelindungnya, Cornelis Speelaman meninggal. Kapten Jonker tewas ketika di Batavia dalam suatu konflik agama antara Kristen dan Islam pada 1689. (Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, II, 1918).

Ambon pada 1930’an

Ambon pada waktu itu kurang disentuh oleh sentimen nasionalisme Indonesia . Pemuda-pemuda pelajar Ambon yang beripkiran maju umumnya berada diperantauan terutama di Jawa dan bergaul dengan rekan-rekan pelajar dari berbagai ethnis di berbagai sekolah dan perguruan-perguruan tinggi di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra . Di Jawa –dan bukan di Ambon – didirikan berbagai kumpulan atau perhimpunan Maluku. Misalnya, pada 1909, dr W K Tehupeori mendirikan Ambonsch Studie-fonds untuk pelajar-pelajar Ambon di Batavia. Organisasi politik pertama untuk masyarakat Maluku di Jawa, Jong Ambon pada 1918 oleh L Tamaela. Kemudian muncul organisasi politik Maluku kedua, Sarekat Ambon pada 9 Mei 1920 oleh John Patty. Di antara kaum nasionalis, asal Maluku, selain John A Patty, juga Mr. Johannes Latuharhary, Oom Piet de Queljoe, dokter Tom Pattiradjawane, Sam Malessy dan Urbanus Pupella.

Walau begitu sebagian besar dari masyarakat Ambon , terutama setelah pasca perang dunia kedua masih terlihat loyal terhadap Belanda dengan ucapan: “door de eeuwen trouw aan het Huis van Oranje.” (Selama-lamanya setia kepada Kerajaan Oranye). Ini terlihat ketika pada masa pendudukan Jepang, sebagian besar dari prajurit-prajurit KNIL asal Ambon tetap setia kepada Belanda hingga memenuhi kamp-kamp tawanan. Padahal di Ambon pada masa pendudukan, berbagai kepulauan di Maluku di jarah habis-habisan oleh tentara Jepang. Ambon juga harus menderita pada Perang Dunia II, karena kota ini menjadi korban dari aksi pemboman bertubi-tubi oleh pembom-pembom Sekutu selama Perang Pasifik. Begitu pula ketika pasukan akan mendarat pada 1945, kota Ambon di hujani pemboman bertubi-tubi hingga sebagian besar dari kota rata tanah. (Ernst Utrecht: Ambon, Kolonisatie, Dekolonisatie en Neo-kolonisatie, 1971).

Latar Belakang berdirinya RMS

Ir. J. A. Manusama dalam bukunya Om Recht en Vrijheid (Memperjuangkan Kemerdekaan) menulis: “Ketika terjadi kapitulasi oleh Jepang pada 15 Agustus 1945, kebangkitan kemerdekaan hampir di seluruh Indonesia tumbuh… sementara masyarakat Maluku Selatan bersikap apatis dan tidak perduli satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena selama ini masyarakat disini terkucil dan tidak pernah tersentuh oleh pengenalan nasionalisme dengan kaum nasionalis dari Maluku yang berada di Jawa yang tak pernah berhubungan sejak sebelum Perang Dunia II. Kendati ketika proklamasi Republik Indonesia tercetus, disambut sangat entusias oleh kaum nasionalis asal Ambon seperti Mr Latuharhary, Oom Piet de Queljoe dan Sam Malessy. Tetapi sebagian besar dari militer KNIL asal Ambon yang umumnya menjadi tahanan masa pendudukan Jepang di Jawa bersikap sama dengan masyarakat di Maluku Selatan. Sementara pemuda-pemuda asal Maluku di Jawa – Herman Pieters, Domingus Nanlohy, Leo Lopulisa, Gerrit Latumahina, Gerrit Siwabessy dan banyak lainnya- dengan spontaan ikut masuk dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan juga memasuki TKR. Begitu pula dua perwira eks KNIL seperti Julius Tahja dan J Muskita bergabung dengan Republik. Bahkan mereka juga membentuk kesatuan asal Maluku dan turut berperan dalam TNI. 

Sementara sebagian lainnya juga menjadi pasukan pengawal Presiden. Ketika pasukan Sekutu mendarat di Ambon dan mengambil kekuasaan dari Jepang, penduduk Ambon yang sebagian besar buta politik, menyambut pasukan Sekutu dan kembalinya kolonialisme Belanda. Dengan cepat Belanda menguasai dan mengendalikan pemerintahan, dan membentuk sistem pemerintahan federal yang merupakan yang pertama diterapkan di Indonesia. Bersama dengan beberapa kumpulan pulau-pulau lainnya terbentuk kelompok Maluku Selatan. Kemudian berkembang dengan pengadaan status otonomi dengan dibentuknya lembaga Zuis-Molukken Raad (ZMR) (Dewan Maluku Selatan). Pada bulan April 1946 untuk pertama kalinya dilakukan pertemuan ZMR. Dewan ini terdiri dari 28 pilihan dan 7 anggota yang ditunjuk. Juga terdapat dari penduduk yang ikut mendukung proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 duduk sebagai anggota dewan. Termasuk pula pemuka Republik, seperti Urbanus Pupella. Salah seorang Republik, dokter J B Sitanala, pemberantas penyakit lepra dan dikenal di dunia internasional juga berada di Ambon. Pada masa pendudukan Jepang, ia berada di Jawa, tetapi pada 1946 ia kembali ke Ambon . ZMR di pimpin oleh residen Belanda, P M Vissers. Pada 24 Desember 1946, pada konferensi akbar di Denpasar, Bali terbentuk Negara Indonesia Timur. Pada 11 Maret 1947, ZMR memutuskan untuk menjadi bagian dari NIT. Tetapi putusan itu ternyata tidak mendapat dukungan sepenuhnya, hingga pada 1950, waktu RMS di dirikan baru diputuskan untuk menjadi bagian dari NIT. 

Para pendiri RMS yang terakhir ini pada awal 1950 tak ingin bergabung dengan Indonesia Timur yang diperkirakan akan bergabung dalam negara kesatuan RI Proklamasi 1945. Hingga awal 1950 di Ambon terdapat 3 partai politik. Yang pertama adalah Partai Indonesia Merdeka (PIM) oleh Urbanus Pupella. Partai ini bertujuan untuk menggabungkan Ambon dalam kesatuan Republik Indonesia . Yang kedua adalah Gabungan Sembilan Serangkai (GSS), yang kepemimpinan dan kepengurusannya terdiri dari pemimpin-pemimpin kampung-kampung ataupun raja-raja yang berhaluan konservatif dan pendukung-pendukung nya adalah para ambtenaar atau pegawai-pegawai administrasi pemerintah yang tidak ingin menggabungkan diri dalam kesatuan Republik Indonesia. Partai yang ketiga adalah Gerakan Democrat Maluku Selatan (GDMS) pimpinan J A Manusama, yang kemudian menjadi Presiden RMS. Partai ini juga ingin berdiri sendiri dan terpisah dari kesatuan RI. Orang-orang Ambon umumnya sangat lugu dan memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Hal ini tergambar pada pandangan Ernst Utrecht dalam bukunya, berpendapat: “Berbicara mengenai dunia politik, pada umumnya masih asing bagi masyarakat Maluku dan belum membudaya. Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri, keluarganya atau teman-temannya terancam, dan bersikap spontan tanpa memahami permasalahannya dahulu dalam mengambil keputusan. Sikap dan pembawaan ini hingga ia mudah menjadi korban politik praktis. Padahal mereka sangat setia dan dalam unsur-unsur keagamaan, rajin kerja di kantor, dan pembawaannya dalam pergaulan sangat ceria dengan siapapun yang disenanginya.” Ketika pada 1945, Belanda kembali menguasai Ambon, langsung dibangun dengan pembangunan rumah-rumah, pertokoan dan gedung-gedung perkantoran hingga Ambon ini mulai berbentuk sebagai kota. 

Kota yang sempat botak, karena pada masa peperangan pohon-pohon kenari di tebang untuk digunakan sebagai kayu baker. Sebagai hasilnya, menjelang penyerahan kedaulatan kehidupan Ambon sudah menjadi lebih baik, dan kota Ambon mulai menjadi indah dan kehidupan menjadi tenang, karena kegiatan ekonomi sudah membaik. Bahkan lebih baik di banding dengan kota-kota besar di Indonesia , terutama Jawa dan Sumatra yang hancur sebagai akibat dari revolusi. Sementara Ambon tidak pernah mengalami revolusi sosial ataupun revolusi fisik setelah pasca Perang Dunia II.

Krisis Politik

Tetapi keadaan berubah sejak awal 1950 dengan munculnya krisis politik di Ambon . Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia . Pada 19 Januari 1950 tiba anggota-anggota militer Paratroep asal Ambon pulang kampung dan mendarat di Ambon . Sebelumnya pasukan-pasukan ini ketika berada di Makassar sudah terkontaminasi oleh Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret merah dan hijau asal Ambon ini. Kegiatan provokasi yang dilakukan oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel Schotborgh, Komandan tentara Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut Kapten Andi Azis melakukan aksi pemerontakan di Makassar. Ambon menjadi tegang dengan kembalinya pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang sebagaian besar terkena disersi, giat melakukan konfrontasi dengan barisan PIM dari Pupella yang saling berlawanan. 

Konflik di Ambon pun tidak terhindar ketika pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian antara anggota-anggota PIM yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di dukung oleh pasukan-pasukan khusus ini. Pemerintah Ambon ketika itu berubah menjadi negara Polisi yang juga berpihak pada kelompok anti-Republik. Dalam peristiwa berdarah ini menimbulkan 19 orang korban. Konflik kemudian menyebar dimana-mana tanpa bisa dicegah. Pada 12 Maret 1950, kepala desa Asilusu, Ibrahim Tangko, anggota PIM, di datangi 10 orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya. Begitu pula pada 17 Maret, di desa yang sama, Awat Betawi, juga anggota PIM didatangi anggota-anggota polisi yang menyiksanya hingga pingsan. Yang tak kalah tragisnya adalah pada hari yang sama di desa Wakasihu, pimpinan PIM setempat, Ohorella, dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi. (Teu Lususina, Ambon )

RMS di dirikan

Di Ambon mulai muncul desas-desus bahwa wilayah Indonesia Timur sudah di kuasai oleh pasukan Jawa (baca APRIS), dan menurut rencana pasukan TNI dari Jawa akan menyerbu Ambon pada akhir Maret. Desas-desus ini menimbulkan kepanikan, terutama di kalangan pemerintahan dan kalangan fungsionaris pedesaan. Kemudian pada 5 April muncul berita yang sangat menyenang pemimpin-pemimpin anti-Republik bahwa pasukan TNI dari Batalyon Worang akan memasuki kota Makassar. Tak lama kemudian tersiar berita bahwa seorang Kapten Bugis muda, bernama Andi Azis bersama batalyonnya telah menduduki kota Makassar dalam usaha untuk mempertahankan kota ini dari serbuan Batalyon Mayor H V Worang. Aksi pemberontakan Andi Azis di Makassar di ikuti dengan seksama dan penuh kecemasan oleh kalangan anti-Republik di Ambon. 

Situasi Ambon menjadi tak menentu ketika mengetahui Andi Azis sudah ditangkap dan Makassar sudah aman dari pemeberontakan setelah Kolonel Alex Kawilarang di angkat menjadi Panglima territorial Indonesia Timur.Pada 18 April 1950, J A Manusama, yang ketika itu menjabat direktur urusan sekolah-sekolah menengah di Ambon, memprakarsai rapat umum di Ambon untuk menenangkan keadaan. Pada 21 April terdengar kabar bahwa Andi Azis dengan resmi menjadi tahanan. Sebelumnya ia datang ke Jakarta yang katanya di janjikan akan dibebaskan bila melapor kepada pemerintah.

Penahanan Andi Azis membuat para pemimpin RMS melakukan pertemuan khusus membahas situasi dan keadaan di Indonesia Timur. Dari pertemuan itu muncul ide pemisahan diri dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 23 April 1950, Sersan Mayor (KNIL) Ibrahim Ohorella, Sersan Mayor Sapulete bersama Ir Manusama memprakarsai pertemuan dengan wakil-wakil militer, polisi dan sipil untuk melakukan persiapan dan menyusun konsep kemerdekaan Maluku Selatan terlepas dari Republik Indonesia Serikat dengan mencetuskan proklamasi Republik Maluku Selatan. Pada esok harinya, konsep ini diajukan untuk mendapat persetujuan dari Kongres Rakyat yang berlangsung di gedung pemerintah di Batugadjah dan dihadiri sekitar 6000 pengunjung, yang secara aklamasi disetujui.
Konsep proklamasi itu kemudian di bacakan pada 25 April 1950 dan di tandatangani oleh J H Manuhutu dan A Wairizal.

Teks proklamasi RMS berbunyi:
Proklamasi
Kemerdekaan Maluku Selatan

Memenuhi kemauan jang sungguh, tuntuan dan desakan rakjat Maluku Selatan, Maka dengan ini kami proklamir KEMERDEKAAN MALUKU SELATAN, defakto dejure, Yang berbentuk Republik, lepas dari dari pada segala perhubungan ketatanegaraan Negara Indonesia Timur dan RIS, beralasan NIT sudah tidak sanggup mempertahankan Kedudukannya sebagai Negara Bahagian selaras dengan peraturan2 Mutamar Denpasar Jang masih sjah berlaku, djuga sesuai dengan keputusan Dewan Maluku Selatan Tertanggal 11 Maret 1947, sedang RIS sudah bertindak bertentangan dengan Keputusan2 KMB dan Undang2 Dasarnya sendiri.

Ambon, 25 April 1950
Pemerintah Maluku-Selatan,

J H Manuhutu

A Wairizal

Pada 26 April terbentuk pemerintahan RMS dengan susunan: 
  1. J H Manuhutu sebagai Presiden; 
  2. A Wairizal (Pimpinan Dewan Rakyat dan pimpinan departemen); 
  3. Mr Soumokil (Luar Negeri); 
  4. D J Gasperz (Dalam Negeri); 
  5. J Toule (Kehakiman); 
  6. J B Pattiradjawane (Keuangan); 
  7. SJH Norimarna (ekonomi); 
  8. H F Pieter (lalu-lintas dan Pengairan), 
  9. P W Lokollo (sandang-pangan) ; 
  10. A Nanlohy (pertahanan) ; 
  11. Ir J A Manusama (Pendidikan) ;
  12. dr Th Pattiradjawane (Kesehatan); 
  13. Z Pesuwarissa (Penerangan)
Pada 2 Mei 1950, di atas gedung pemerintah, berkibar bendera nasional RMS empat warna, biru-putih, hijau dan merah dari hasil kesepakatan pemuka-pemuka desa (raja-raja).

Angkatan Perang RMS dibentuk

Pada 9 Mei di Ambon oleh tentara-tentara eks KNIL dengan menggunakan cara tentara Belanda mendirikan Angkatan Perang Republik Maluku Selatan (APRMS). Kekuatan ini di topang oleh barisan sukarela yang umumnya terdiri dari anak-anak muda usia 16 tahun keatas yang militant dan fanatic mempertahankan RMS. Pada Juni 1950 pucuk pimpinan APRMS dibentuk yang terdiri dari Sersan Mayor Samson sebagai Panglima dan Sersan-Mayor Pattiwael sebagai Kepala Staf APRMS. Anggota-anggota Staf antara lain adalah Sersan-Mayor Kastanja dan Sersan Mayor Pieter dan Sersan Aipassa. Kesemua mereka ini adalah prajurit-prajurit KNIL tua yang kemudian mendapat pangkat dari Kolonel hingga Mayor.
Pulau Seram juga mendapat tempat sebagai basis pertahanan, hingga juga terbentuk satuan kekuatan militer dengan sebutan Tentara Panah  terdiri dari sekitar 10.000 orang.

Ketika RMS diproklamirkan, beberapa minggu kemudian, diantara serdadu-serdadu KNIL asal Maluku memasuki APRMS dan jumlahnya berkisar 4.000 personal dan melikuidasi dari garnisun di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Mereka menyatakan solider dengan RMS dan menolak di pindahkan ke APRIS, untuk itu menuntut di demobilisasi dan di pindahkan di daerah-daerah non-RIS, apakah di wilayah RMS ataupun di Papua.

Tuntutan mereka ini ditolak oleh Belanda yang tidak mau lagi direpotkan setelah peristiwa pemberontakan Andi Azis yang dilakukan oleh kalangan militer KNIL asal Ambon di Makassar. Untuk itu banyak diantara pasukan KNIL asal Ambon di Makassar di evakuasi ke Jawa, dan disana mereka di kosentrasikan pada 5 daerah garnisun, masing-masing: Jakarta , Bandung , Surabaya , Malang dan Semarang .
Merekapun mendapat pilihan, demobilisasi di Jawa atau ikut bersama APRIS membebaskan Maluku dari RMS.

Yang menolak, hingga pada kelima garnisun itu dibentuk panitia untuk melayani dan mengatasi mereka yang membangkang. Untuk mengatasi keadaan, pihak militer Belanda melakukan pendekatan dengan Perwakilan Rakyat Maluku, hingga satu delegasi di pimpin Sersan-Mayor Aponno di kirim ke Negeri Belanda untuk berunding dengan pemerintah Belanda.

Ketika pada 26 Juli 1950, KNIL secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, yang sehari sebelumnya, semua personal eks KNIL diberhentikan. Walau begitu ke-4000 pasukan pembangkang yang pro RMS berada di bawah tanggung jawab militer Belanda. Pemerintah Belanda melarang dilakukannya demobilisasi di wilayah Indonesia bagi para pembangkang. Untuk mengatasinya, tidak ada pilihan, yakni mengangkut mereka ke Negeri Belanda, dengan beaya satu juta gulden untuk setiap kapal. Untuk itu, oleh pemerintah Belanda yang tidak mendukung ataupun mengakui RMS menekan delegasi Aponno di tekan untuk menerima putusan ini, dan tidak dibenarkan dikembalikan ke Ambon.

Sebagai hasilnya pada bulan Maret/April 1951, prajurit-prajurit eks KNIL di berangkatan ke Negeri Belanda terdiri dari: 6 pendeta militer; 3 perwira ajudan; 35 sersan-mayor; 372 sersan dan fourier; 821 kopral dan 2341 serdadu. Secara keseluruhan bersama isteri-isteri dan anak-anak berjumlah 12.500 orang.

Pada 8 Juni 1950 diputuskan untuk membentuk Perwakilan RMS di Luar Negeri. Sebelumnya, pada 27 April 1950 pihak RMS menunjuk dr J P Nikijuluw sebagai pimpinan perwakilan RMS di luar negeri dengan P W Lokollo sebagai Wakilnya dibantu Komisaris pemerintah, I A Lebelauw. Ketiga mereka ini berada di Negeri Belanda.

Pada 16 Oktober 1950 pihak RMS mengirim kawat kepada dr Nikijuluw dan memberi kuasa sebagai delegasi RMS ke Dewan Keamanan PBB dan menunggu laporan dari pihak UNCI mengenai “Masalah RMS” yang katanya akan di kirim ke Dewan Keamanan. Sebulan sebelumnya pada 4 September 1950, dalam sidang Parlemen RMS di Ambon ditetapkan pada pasal I UUD RMS berbunyi: “Republik Maluku Selatan adalah Negara sah, yang bebas dan merdeka sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.” (Bung Penonton: De Zuid Molluksi Republiek, 1977). Departemen Luar Negeri RMS di Ambon mengeluarkan pernyataan yang isinya mengatakan: RMS sedang berusaha berhubungan dengan Amerika Serikat, terutama dengan Australia untuk berembuk dalam usaha untuk melakukan Pertahanan dan keamanan bersama di Pasifik-Selatan menghadapi kemungkinan ancaman agresi komunis. Untuk hal itu, RMS berusaha menghubungi AS ataupun Australia dengan menawarkan beberapa tempat strategis bagi penempatan pangkalan-pangkalan militer dan penempatan kekuatan armada-armada laut mereka.” Pernyataan ini mendapat kecaman dari Urbanus Pupella yang mengatakan merupakan pengkhianatan terhadap rakyat Maluku. 

Pada 15 Juli 1950 pihak pimpinan RMS mengatakan, negara dalam darurat, Staat van Oorlog en Beleg (SOB) untuk seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Tetapi pada 8 Agustus 1950, secara resmi pemerintah RMS membentuk Dewan Parlemen Sementara. Dewan ini terdiri dari 75 anggota, terdiri dari 60 kepala-kepala desa dan 15 orang-orang yang dikenal masyarakat. W A Lokollo di tunjuk menjadi ketua menggantikan S Tjokro dari PIM. Selanjutnya RMS menjadi negara Polisi di pimpin oleh Komisaris H J Malaiholo yang tak lama kemudian meninggal dan kedudukannya diganti oleh seseorang bernama Filippus yang memimpin intelijen militer. Selain itu juga dibentuk Dewan Konstitusi yang mulai aktif pada 4 September 1950. Beberapa tahun kemudian ketika mereka di adili Wairizal dan Manuhutu oleh Pengadilan militer Indonesia , kedua mereka ini mengakui bahwa mereka dipaksa untuk menandatangani teks proklamasi ini. Dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan, ternyata tidak satupun secara bulat terjadi persetujuan dibentuknya RMS oleh kalangan masyarakat Maluku sendiri. (Ernst Utrecht).

Rekayasa Soumokil yang gagal

Ternyata pengadaan RMS di reka-yasa oleh Mr Christiaan Soumokil yang sering bersikap eksentrik dan bahkan juga tidak senang pada Negara Indonesia Timur, dan lebih berpihak pada kembalinya kolonialisme Belanda. Lagi pula pembentukan RMS sama sekali bukan aspirasi dari masyarakat Maluku Selatan. Sementara dibawah prakarsa PIM, pada umumnya para pimpinan politik, kepala-kepala desa, pemuka-pemuka agama baik Kristen maupun Islam, sepakat untuk menempatkan Maluku Selatan sebagai bagian dari RIS yang di bentuk pada 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan pada hari yang sama.

Untuk meraih ambisinya, Soumokil melakukan kegiatan kampanye, dan pertama-tama berkunjung ke Kupang di Timor dan kemudian ke Manado untuk mempengaruhi masyarakat di sana . Tetapi tujuannya sama sekali tidak berhasil hingga ia mendarat di Ambon pada 14 Desember. Kesemuanya dengan menggunakan fasilitas Belanda yang diberikan oleh Kolonel Schotborg untuk mempengaruhi agar Indonesia Timur tidak bergabung dengan Republik. Setelah berada di Ambon , Soumokil giat melakukan penyusunan rencana mempertahankan RMS dari penyerbuan pasukan APRIS. Sehari setelah cetusan proklamasi, pihak RMS melakukan perekrutan pada pemuda-pemuda sebagai sukarelawan mempertahankan RMS dari APRIS. Selain Ambon, juga berusaha menarik simpati di berbagai kepulauan. Tetapi kampanye RMS tidak mendapat sambutan dari penduduk di Buru , Aru, Banda, Kei dan Tanimbar. Sementara dukungan terbanyak diperoleh dari penduduk kota Ambon, Seram dan beberapa pulau lainnya sekitar Ambon , dan juga pulau-pulau seputar Maluku Tengah. Cetusan proklamasi RMS kurang mendapat sambutan, terutama di kalangan pelajar-pelajar dan kalangan ilmuan Ambon di luar Ambon, terutama di Jawa dan Sumatra karena memahami pandangan-pandangan nasionalisme. Pendukung RMS umumnya terdapat dikalangan militer KNIL asal Ambon. Umumnya militer pro RMS yang terkena demobilisasi menolak untuk masuk sipil di Jawa. Banyak diantara mereka ini, mau tidak mau, dipaksa oleh Belanda dan di angkut ke Negeri Belanda. Begitu hebatnya provokasi Soumokil hingga memerlukan waktu cukup lama untuk meredakan keadaan.

Misi Perdamaian Leimena yang gagal

Waktu itu Kementerian Pertahanan belum lama mengangkat Kolonel Alex Kawilarang sebagai Panglima TT-IT. Selain sibuk melakukan organisasi militer untuk ekspedisi, juga giat menghadapi pemberontakan oleh pasukan-pasukan KNIL disersi asal Maluku di Makassar. Sambil merampungkan organisasi APRIS yang untuk pertama kali melakukan ekspedisi di luar Jawa, dan mengatasi aksi militer eks KNIL di Sulawesi Selatan, pemerintah Jakarta mengutus misi perdamaian ke Maluku pimpinan dr Leimena ke Ambon dengan maksud melakukan pendekatan dengan gembong-gembong RMS. Menteri Republik Leimena di dampingi, ahli medis dari Surabaya, dr C A Rehatta, Ir Putuhena, dan Menteri Penerangan Federal, Peloepessy. Pada 1 Mei 1950, dengan kapal korvet Hang Tuah milik ALRI rombongan misi perdamaian ini berangkat ke Ambon. 

Kepergian mereka ditehui oleh pimpinan RMS, dan mengirim kawat ke Jakarta , bersedia berunding tidak di kapal, tetapi melalui komisi internasional. Balasan kawat ini tidak ditanggapi oleh Jakarta dan kapal Hang Tuah sudah terlihat berlabuh di Teluk Ambon. RMS mengeluarkan syarat bila mengirim delegasinya ke kapal. Pada 6 Mei 1950, Kantor-berita Antara melaporkan mengenai misi Leimena sebga(i berikut: “ Makassar , 5 Mei 1950. Seperti telah diberitakan mengenai “Misi-Ambon” pimpinan Dr Leimena, yang pada hari Kamis jam 11 malam telah tiba di Makassar . Pada Jum’at pagi Dr Leimena pada jumpa pers mengatakan bahwa kapal “Hang Tuah” yang membawa rombongan misi hanya berada kurang dari satu jam di Teluk Ambon, dan berlabuh dekat mercu suar. Syahbandar pelabuhan Ambon yang bertindak sebagai pengubung membawa surat dari pimpinan “Pemerintah Maluku Selatan’ yang diminta agar misi ini langsung menjawab. Tetapi tak sampai satu jam, sebelum pihak misi damai dapat menjawab surat itu, syahbandar itu langsung di panggil oleh orang-orang di darat untuk kembali ke darat. Pada surat itu pihak RMS mengatakan mengusulkan agar dalam perundingan itu, menempatkan RMS sebagai negara yang berdaulata, yang tidak mungkin dapat dilakukan oleh misi RIS. Leimena sangat kecewa dengan sikap ‘saudara-saudara Ambon ’ ini, dan mengatakan: “Padahal misi ini adalah antara sesame “Putra Bangsa” untuk sama-sama berembuk dan mengatasi permasalahan secara damai.” Waktu syahbandar kembali ke darat, terlihat jelas dari korvet, pejabat itu dipukuli sampai babak belur oleh prajurit KNIL dari pasukan “Baret Hijau.” 

Peristiwa perlakuan pejabat-pejabat RMS ini sangat menyayat hati Leimena dan kawan-kawan sesama asal Ambon . Karena yang dihadapinya adalah orang-orang dungu yang buta politik yang membawa derita terhadap masyarakat banyak di Maluku. Walau begitu, Dr. Leimena masih berusaha melakukan pendekatan dan meminta kapal “Hang Tuah” berlayar ke Saparua dengan maksud untuk menemui Manus Pattiradjawane, pimpinan setempat. Tetapi disana juga pihak penguasa RMS di Saparua melarang kapal merapat. Padahal Pattiradjawane adalah saudara ipar dari Gubernur Maluku, Johannes Latuharhary, namun ikatan keluarga tidak meluluhkan kekerasan sikap RMS hingga memutuskan tali persaudaraan.

Blunder dari Radio RRI Jakarta

Masih lagi di coba untuk melakukan pendekatan dengan pengadaan misi damai kedua. Tetapi ini pun gagal sebelum di mulai. Hal ini terjadi oleh siaran dari Radio RRI di Jakarta yang kurang di awasi. Waktu itu diumumkan tentang percobaan pengiriman misi perdamaian kedua. Tetapi sang penyiar mengakhiri siaran itu dengan menggunakan kata “ancaman” jika misi kedua ini tidak diterima, akan di daratkan 15.000 tentara TNI. Perkataan “ancaman” pada siaran itu secara psikologis merupakan kesalahan besar. Karena ketika itu TNI sama sekali belum punya persiapan untuk mendarat. Dan, benar saja, beberapa hari kemudian, Radio “RMS” mengumumkan, mereka tidak gentar sekalipun 150.000 tentara TNI akan mendarat. Karena waktu itu Panglima TT-IT sedang sibuk menempatkan pasukan-pasukan TNI di tempat-tempat yang perlu di seluruh pulau Sulawesi, Morotai dan Ternate (Maluku Utara), pulau-pulau Nusatenggara dari Bali sampai Timur. Juga di Tamimbar, Aru dan Kei di Maluku Selatan. Di tempat-tempat ini keadaan aman, kecuali di kota Makassar. Sesudah peristiwa pertempuran bulan Mei 1950, terasa sekali keadaan masih eksplosif.

Selama pasukan KNIL asal Ambon masih bersenjata dan memperlihatkan sikap provokatif, Komandan Sektor Makassar, Letkol Soeharto harus siaga 24 jam sehari dengan sebagian dari pasukannya terhadap suatu serangan mendadak. Untuk menyelesaikan masalah RMS, perlu di datangkan pasukan baru dari Jawa, dan di kirim batalyon Mayor Soeradji dan batalyon Mayor Pelupessy. (Alex Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, 1988).

Blokade Laut APRIS dan kegagalan misi Schotborgh mengendalikan Tentara KNIL
Manusama pada bukunya, Om Recht en Vrijheid mengungkapkan bahwa kegagalan misi perdamaian Leimena berlanjut dengan rencana pemerintah Jakarta melakukan aksi blokade laut terhadap RMS. Tetapi karena di Ambon terdapat orang-orang Belanda, hingga pemerintah RIS menghubungi Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk mengorganisir proses evakuasi.

Pada 8 Mei 1950 di Ambon datang dua misi Belanda; misi sipil oleh Van Hoogstraten dan Deinse, misi militer pimpinan Kolonel Schotborgh. Kedua misi ini bertujuan melakukan evakuasi terhadap militer, ambtenaren dan orang-orang sipil Belanda. Pihak RMS membantu misi-misi ini dengan lancar hingga kesemua warga negara Belanda ini berangkat dengan kapal Kota Intan  dari Ambon menuju Jakarta . Tugas Kolonel Schotborgh tak hanya berurusan dengan evakuasi, tetapi juga harus mencegah agar pasukan pasukan eks KNIL dari Ambon tidak terlibat dengan urusan Republik Maluku Selatan, yang merupakan instruksi langsung dari Panglima tentara Belanda di Jakarta, memerintahkan semua tentara KNIL di konsinyir dan masuk tangsi-tangsi militer. Mereka yang melanggar akan menerima sangsi akan di peact dan semua hak-haknya di cabut, demikian Kantor Berita Aneta. Tetapi usaha Schotborgh sebagai Komandan Teritorial Indonesia Timur dengan mendekati dan meyakinkan tentara-tentara KNIL asal Ambon tidak membawa hasil. Bahkan sebagian besar dari mereka ini langsung mundur dari dinas KNIL dan mendaftarkan diri menjadi tentara RMS.

APRIS Mulai Memerangi RMS

Setelah memperoleh jumlah pasukan yang cukup, Panglima Kawilarang mulai menggerakan kekuatan APRIS menuju perairan Maluku di minggu keempat bulan Mei. Sasaran pertama adalah pendaratan di pulau Buru dan Seram Selatan. Dengan taktik demikian, pusat RMS di Ambon lambat laun terisolasi.
Waktu itu pasukan penyerbu TT-TI belum lagi memiliki LCM (Landing Craft Medium) dan LCVP (Landing Craft Vehicles dan Personnel). Kedua landing craft ini cocok untuk mendarat jika ada perlawanan. APRIS waktu itu hanya punyak LCI (Landing Craft Infantry) yang tak dapat begitu mendekati pantai seperti LCVP dan LCM. Lagi pula, jika LCI sudah kandas dekat pantai, tentara hanya bisa mendarat seorang demi seorang lewat dua jembatan sempit sebelah kiri dan kanan dari bagian muka LCI. Dalam bukunya, Kawilarang mengatakan: “Sebelum mendarat di Pulau Buru dan Seram kami perlu mengadakan latihan pendaratan dengan LCI di suatu pulau dekat Makassar . Latihan ini antara lain diadakan dengan dua kompani dari Bataltyon Suradji yang direncanakan akan mendarat dulu di Buru. Waktu LCI kandas dan kami turun, air laut sampai dada saya. Kapten Leo Lopulisa dan Mayor laut Alex Langkay malahan masuk laut yang lebih dalam lagi. Belum lagi prajurit-prajurit dari Batalyon Suradji. Waktu sedang melangkah ke darat, saya dengar seorang prajurit sambil batuk berteriak pada temannya, “Lho, air laut asin.” Jangan heran, mereka datang dari Solo, belum pernah masuk laut. Tetapi saya juga berpikir, pasukan pendaratan ini belum benar-benar merupakan seaborne forces.” Sesudah empat hari berlayar dari Makassar, pasukan APRIS tiba di utara Pulau Buru pertengahan Juli 1950. Ombak tinggi sekali dan hampir seluruh seaborne force, yaitu Batalyon Pelupessy dan dua kompani Batalyon Soeradji, mabuk laut. Maklum hanya dengan dua LCI dan satu LST (Landing Ship Tanks). Di utara Buru mereka rendez-vous (berkumpul) dengan kapal Waikelo yang membawa Batalyon 3 Mei pimpinan Mayor Mengko dari Manado .Esok harinya dua kompani Batalyon Suradji mendarat dahulu kira-kira lima kilometer sebelah barat Namlea. Tidak ada perlawanan. Menyusul pendaratan Batalyon Pelupessy yang akan maju ke Namlea. Ternyata pasukan ini mendapat hadangan dan menderita korban. Selain itu hampir seluruh pasukan merasa lemas. Karena pada umumnya selama empat hari muntah-muntah. Waktu pendaratan, “ransom” makan, berupa biscuit laut untuk dua hari, basah dan tak bisa dimakan. Kawilarang putuskan, supaya Batalyon 3 Mei, yang masih segar dan sehat karena diangkut dengan kapal besar Waikelo, untuk menyerbu Namlea. Hal ini terjadi di pagi hari, pada hari ketiga. Pada serangan ini Prajurit Banteng jatuh sebagai korban pertama dan Sersan Mayor Tandayu luka. Senjata-senjata yang ditinggalkan di markas RMS antara lain berupa beberapa brengun. Pasukan penyerbu sangat hati-hati mendekati markas dan gudang RMS itu. Ternyata tidak ada booby trap. Keesokan hari tiba dengan kapal korvet, Letkol Slamet Rijadi, Komandan Pasukan Maluku. Iapun gembira karena bertemu dengan Mayor Soeradji, bekas bawahannya. Disamping itu, datang juga Kapten M Jusuf yang akan menjadi ajudan Panglima Kawilarang. Kemudian di rencanakan untuk menduduki Piru dahulu oleh Batalyon 3 Mei. Kota Piru di dekati dari dua jurusan. Waktu sore hari tiba di sana , pasukan RMS sudah mengosongkannya. Sebelumnya dikirimkan tiga orang tentara eks RMS yang di tawan ke sana untuk meyakinkan pasukan RMS supaya bergabung dengan APRIS atau menyerah. Ternyata waktu Piru di duduki, ketiga orang itu sudah di tembak mati oleh komandan pasukan RMS di Piru, Nussy. Salah seorang yang dibunuh malahan Lestiluhu, komandan pasukan RMS di Buru, yang ditawan pasukan APRIS di Namlea. Ia adalah anggota Baret Hijau punya banyak teman di Batalyon 3 Mei, dimansa satu peleton juga terdiri atas bekas anggota Baret Hijau dan Baret Merah. Dua hari kemudian pasukan APRIS mendarat di teluk, kira-kira tiga kilometer sebelah utara Amahai, dengan dua kompani dari Batalyon Soeradji. Letkol Slamet Rijadi selalu berada di depan. Sesudah pertempuran kurang lebih dua jam, Amahai pun di duduki. Letkol Slamet Rijadi sebagai komandan pasukan Maluku, sementara kepala staf Mayor Herman Pieters mengkonsolidasi pasukannya. Juga dikepulauan Banda dan bagian selatan Pulau Seram sudah di kuasai pasukan APRIS. Batalyon Abdullah sudah menempatkan pasukan APRIS di kepulauan Tamimbar, Kei, Aru hingga kepulauan Geser dan beberapa tempat di Seram Selatan. Mayor Abdullah gugur dalam salah satu pendaratan di Seram Selatan. Ternyata pasukan RMS dapat menyeberangkan sebagian pasukannya dengan perahu-perahu ke Pulau Seram dan menyerang Amahai. Tetapi serangan ini dapat di patahkan oleh pasukan Mayor Soeradji.

Pertempuran empat hari di Makassar (5-9 Agustus) sempat memperlambat operasi militer APRIS ke Ambon selama sekitar satu bulan, sementara pasukan tambahan dari Jawa sudah berdatangan. Rencana penyerbuan selanjutnya adalah mendaratkan pasukan di Hitulama-Hitumesing , di utara pulau Ambon, dan pasukan lain di Tulehu dibagian timur dan sesudah dua pasukan bertemu di Paso, menyerang kota Ambon dari utara dan ada lagi pasukan lain yang akan menduduki lapangan terbang di sebelah barat pulau Ambon.

Yang akan mendarat di Hitulama dan Hitumesing adalah pasukan Mayor Jusmin dengan di pimpin oleh Letkol Soediarto. Pasukan 3 Mei pimpinan Mayor Mengko akan mendarat di Tuleho. Dalam pendaratan di Tuleho, Letkol Slamet Rijadi mendarat di sebelah selatan Tuleho dan Kolonel Kawilarang bersama Kapten Jusuf, Leo Lopulisa, Joost Muskita dan Kapten Claproth di sebelah utara Tulehu. Untuk pendaratan itu, APRIS sudah terima 10 LCM. Enam LCM akan digunakan untuk Tulehu dan empat lainnya untuk Hitu. Alex Mamusung, merupakan wartawan foto perang dari Indonesia Press Photo Service (Ipphos) yang turut meliput operasi penumpasan RMS melalui lensa foto sangat bermanfaat mengisi lembaran sejarah. Sejak pertempuran- pertempuran di Makassar, Buru, Piru, Amahai dan Ambon ia selalu ikut meliput dan mendokumentasi secara visual. Dari hasil karya foto, wartawan foto perang ini pada 17 Agustus 195, ia dianugerahi bintang oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pendaratan APRIS di Ambon

Pada 28 September 1950 pendaratan berlangsung di Tulehu dan Hitu di pantai utara. Invasi APRIS berkekuatan 6½ batalyon infantry dengan menggunakan kapal-kapal amfibi LCM yang di dukung oleh tembakan-tembakan dari 4 kapal korvet dan dua pembom B-25. Pada pendaratan itu terjadi peristiwa tragis. Menurut pasukan cadangan yang menonton dari atas kapal Waikelo, melihat ketika pendaratan LCM dan keluarnya pasukan 3 Mei dari LCM sesudah kandas, merupakan suatu pemandangan yang tidak akan mereka lupakan. Kolonel Kawilarang menceritakan: “Sesudah pendaratan, saya bersama pasukan maju ke Tulehu. Begitu juga Slamet Rijadi. Lalu kami berkelompok di Tulehu dan terus maju menuju Ambon . Tetapi baru saja kira-kira satu kilometer dari Tulehu kami sudah mendapat perlawanan hebat. Dalam pertempuran ini 20 anggota “3 Mei” gugur. Waktu itu ajudan saya, Kapten Jusuf, berkata dengan suara risau, “Kijk, Soekirmo is geraakt” (Liha,t Soekirmo kena). … Soekirmo, ajudan Slamet Rijadi itu tersenyum-senyum saja, seperti tidak menderita apa-apa. Sambil memegang lengan yang tergantung dengan tangan lain, ia berjalan ke Tulehu. Sayapun kaget melihatnya bercampur bangga atas kekuatannya. Baru pada jam 3 sore pasukan maju lagi, tetapi delapan kilometer kemudian, di suatu tempat, dengan hutan lebat sebelah kanan kami, terjadi lagi pertempuran. Sedang hari sudah mulai menggelap. Lalu kami tidur di sebelah jalan, di pinggir hutan, dalam keadaan basah kuyup, karena hujan lebat mengguyur kami. Saya melihat Slamet Rijadi, ajudan lainnya, Soendjoto, Jusuf dan Muskita, semuanya kedinginan.

Sementara itu kami sudah tahu bahwa Letkol Soediarto gugur di Hitulama/Hitumesing . Ia gugur sebelum mendarat. Masih di atas LCM, waktu kandas dan pintu LCM dibuka, ia kena tembakan di perutnya. … Dalam keadaan luka parah sempat di bawa ke kapal rumah sakit, “Waibalong” dan di operasi oleh Mayor Dokter Soejoto. Peluru menembus enam usus dan waktu sedang di operasi, Letkol Soediarto menghembuskan nafasnya terakhir.”

Penyerbuan ke Ambon berlanjut. Gerakan pasukan Mayor Jusmin, dibantu pasukan Mayor Soerjo Soebandrio, terhenti dekat Telaga Kodok, karena ada perlawanan hebat dari RMS. Gerakan dari Tulehu diteruskan, tetapi juga sangat lamban, karena terus menerus di perlamban oleh sniperfire RMS, dan di daerah itu sulit sekali untuk melambung. Sesudah beberapa hari baru pasukan APRIS tiba di Suli.

Pihak pertahanan RMS di Ambon ketika itu berkekuatan 700 pasukan bersenjata lengkap, menghadapi pasukan penyerbu melalui perlawanan cukup gigih. Korban di pihak pasukan pendarat tidak sedikit, dan senjata-senjata mereka ini berpindah tangan untuk memperkuat 1.200 pasukan RMS memperoleh senjata, hingga pertempuran sengit berlangsung antara 30 September hingga 1 Oktober 1950 untuk kemudian dikuasai oleh APRIS. Perlawanan gerilyawan RMS turut memperlambat gerakan pasukan APRIS memasuki Ambon . Letkol Slamet Rijadi sempat kecolongan, ketika di pagi hari, ia mengemudikan jeep dari Tulehu menuju Suli. Seorang anggota RMS mencoba menghentikan jeep-nya sambil menembak dari samping. Nasib baik bagi Slamet Rijadi, karena saat ditembak, dengan gerakan refleks ia memutar badannya. Tetapi lengannya kena dari jarak satu meter. Masih untung lagi, tulangnya tidak kena. Malahan ia sempat menghentikan jeep, melompat keluar untuk mengejar si penembak. Tetapi orang yang menghadang dan menembaknya dengan sigap sudah lari menghilang masuk hutan. Di awal November datang pasukan tambahan dari Jawa melalui Makassar , yakni pasukan Kapten Poniman dan pasukan Mayor Lukas Kustarjo. Untuk itu rencana penyerbuan kota Ambon disusun. Pasukan Poniman akan mendarat di selatan kota Ambon sementara pasukan Lukas Kustarjo di sebelah utara. Sesudah itu Batalyon 3 Mei akan menduduki daerah pegunungan tenggara kota Ambon . Sementara itu pasukan Mayor Jusmin dan Mayor Soerjo Soebandrio menyerang dari Telaga Kodok menuju ke jurusan Paso dan sebagian ke lapangan terbang. Detasemen Kapten Faah akan mendarat di pantai selatan Teluk Baguala, tidak jauh dari sebelah timur Paso dan dari Waitatiri maju pasukan-pasukan dari Kapten Claproth, Mayor Worang, Kapten Mahmud Pasha, Mayor Soeradji. Letkol Slamet Rijadi dan Kapten Muskita ikut dengan pasukan yang berangkat ke Waitatiri. Kolonel Kawilarang akan berangkat dengan kapal dari Tulehu, bersama dengan pasukan akan mendarat dekat kota Ambon. Mayor Achmad Wiranatakoesoemah akan memimpin pasukan ini, sementara Letkol Daan akan diperbantukan kepada Kawilarang. Kekuatan APRIS terdiri dari tiga korvet, yakni, “Patiunus” dengan Mayor Laut Rais, “Banteng” yang membawa Kolonel Kawilarang dan “Rajawali” yang bertugas melindungi pendaratan jika perlu. Perwira liaison ALRI adalah Mayor Alex Langkay. Selain itu masih ada dua bomber B-25 dari AURI dengan pilot Mayor Noordraven dan Letnan Ismail. Pada 2 November, sehari sebelum berangkat dari Tulehu, Kawilarang bertemu dengan Menteri Leimena yang datang dari Jakarta bersama Ir Putuhena dan Dokter Rehatta. Mereka di utus oleh Pemerintah Jakarta untuk mencoba melakukan misi perdamaian yang ketiga dengan RMS. Mereka juga berharap agar supaya tugas APRIS cepat selesai dan sedapat mungkin dengan sedikit korban. Secara khusus harus dijaga, jangan sampai rakyat Maluku yang sudah banyak menderita dan tidak bersalah, menjadi korban dalam pertempuran di Ambon . Tetapi sayang harapan ini tak dapat terlaksana dan sudah terlambat. Karena perang sudah terjadi sejak 28 September dan pihak RMS tidak akan mau berunding. Lagi pula mereka berada dalam posisi kocar-kacir. Pertempuran dalam kota selalu makan banyak korban jiwa dan juga harta. Sebagian besar rumah akan hancur atau terbakar. Pada 3 November di pagi hari, pasukan Kapten Poniman mendarat di kota Ambon bagian selatan. Disini Kapten Sumitro gugur. Nasib serupa dialami Letnan Komar, yang kena tembakan dan langsung tersungkur. Musuh waktu itu sempat maju lagi sambil menusuk mati beberapa prajurit APRIS yang ketinggalan dan luka-luka. Rupanya musuh mengira Komar sudah mati. Padahal ia berpura-pura tidak bernafas lagi. Seorang RMS mendekatinya sambil berkata kepada temannya, “Ini orang Ambon . Beta ambil arlojinya saja.” Letnan Komar baru tertolong sewaktu pasukan APRIS maju lagi dan berhasil menghalau musuh. Pasukan Mayor Lukas Koestaryo mendarat tepat di benteng Victoria , di sebelah utara pelabuhan. Sebelum pukul 11.00 pasukan Mayor Lukas, Kapten Poniman dan Batalyon 3 Mei sudah menduduki sebagian besar kota Ambon dekat pantai. Mayor Achmad Wirahadikoesoemah dengan stafnya berada di pelabuhan. Sementara itu pasukan dari Waitatiri sudah sampai di Paso dan bertemu dengan Detasemen Faah dan kemudian juga dengan pasukan yang datang dari Telag Kodok. Letkol Slamet Rijadi dengan pasukan Mayor Worang dan Kapten Claproth hari itu sudah berada dekat Halong. Esok harinya, 4 November 1950, mereka meneruskan gerakan ke kota Ambon dan sampai di utara kota pukul 15.00. Sementara itu, di sekitar Fort Victoria , pada pukul 12.00 siang hari itu, keadaan berubah. Pasukan RMS dengan panser menyerang Fort itu hingga dekat pelabuhan. Waktu itu pasukan APRIS terpisah di sebelah utara kota Ambon , di Batumerah. Untung tak lama kemudian datang pasukan Slamet Rijadi dan mematahkan serangan RMS.

Slamet Rijadi Gugur

Tiba-tiba saja Panglima Kawilarang menerima kabar yang mengangetkan. APRIS menderita korban yang sangat berarti, Letnan Kolonel Slamet Rijadi kena tembak. Alex Kawilarang mengisahkan: “Saya tidak melihat sendiri bagaimana Slamet Rijadi waktu kena tembak itu. Tetapi saya dengar, bahwa ia sempat dibawa ke kapal (rumah sakit) ‘Waibalong’ di Tulehu. Kemudian saya mendapat keterangan, bahwa ia belum bisa di operasi, karena masih kena shock. 

Laporan kemudian menceritakan adegan sebelumnya, yakni pada 4 November 1950 itu, Letkol Slamet Rijadi bergerak dari Galala ke Batumerah, di tepi kota Ambon . Tindakan ini diambil oleh Slamet Rijadi karena suasana dan keadaan dalam kota masih menunjukkan adanya oertempuran antara pihak RMS dengan pasukan Mayor Achmad Wiranatakoesoemah. Slamet Rijadi berhasil memasuki kota dan segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Letkol Slamet Rijadi berada di depan duduk di atas tank. Kemudian, nasib menentukan, serentetan tembakan bern dari seorang RMS mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal dari belt-nya (ikat pinggang) dank arena itu jadi dum-dum. Lukanya besar. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Rijadi gugur. Dokter Abdullah, yang turut serta dalam serangan ke Maluku Selatan ini, meninggalkan sebuah laporan berbentuk sajak mengenai gugurnya Slamet Rijadi ini: Tanggal 4 November/ Jam 21 seperempat/ Overste Slamet/ telah mangkat/ Terkabullah kehendaknya/ Oleh Tuhan Yang Maha Esa/ Ia ingin mati muda. … Semoga Tuhan/ Menerima arwahnya/ Sebagai umat/ Yang teguh beriman/ Amin.

Jenasah Letkol Slamet Rijadi di makamkan di pekuburan Pasir Putih di Tulehu. Sepuluh tahun kemudian jenasahnya dipindahkan ke makam pahlawan Kapaha, yang letaknya sekitar 3 km sebelah timur kota Ambon.

Joop Warouw menggantikan posisi Slamet Rijadi membebaskan Ambon

Pada 7 November 1950, tiga hari setelah Letkol Slamet Rijadi gugur, Kolonel Kawilarang mengirim kabar ke Manado dan Makassar, dan meminta supaya Letkol Joop Warouw segera datang ke Ambon untuk mengisi posisi Slamet Rijadi sebagai Komandan Pasukan Maluku. Pada 8 November, Kawilarang sebagai Panglima keliling kota Ambon sebelah utara dan timur laut untuk menemui Kapten John Somba dan Letnan Wim Tenges. Kedua mereka ini dari Batalyon Mayor Hein “Kimby” Worang. Kepada mereka Kawilarang menugaskan untuk menyerang di sore hari dan mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan, dan harus berhasil! Dari Kapten Jusuf, Kawilarang mendapat keterangan mengenai ucapan Somba yang mengatakan: “Tidak perlu panglima bicara dengan kami dan memberi semangat. Perintah saja sudah cukup. Kami laksanakan.” Pada hari itu juga, di sore hari, Batalyon 3 Mei yang juga di dukung Batalyon Worang berhasil menguasai seluruh kota dan pinggirannya, sesudah kompani Kapten Somba merebut Fort Victoria dan sambil berlarian maju terus, mengembalikan hubungan dengan pasukan APRIS di pelabuhan. Kompani Letnan Tenges, lebih ke sebelah timur kota , dapat berhubungan dengan pasukan 3 Mei dan dengan pasukan yang baru tiba via pelabuhan di bawah pimpinan Mayor Soetarno.

Pada 9 November, Panglima Kawilarang memeriksa kota yang sebagian besar kota hancur. Ternyata pada hari itu juga Letkol Warouw sudah berada di Ambon . Sejak itu pun ia memegang komandan pasukan Maluku dan Mayor Herman Pieters sebagai Kepala Staf. Warouw datang dengan kapal terbang ke Buru, dan dari sana ia naik kapal laut ke Ambon .Pasukan musuhpun terdesak dan menjauhi kota Ambon dan memindahkan kekuatan di Seram. Pada 16 November 1950 bandar udara Laha berhasil di kuasai oleh pasukan APRIS. Musuh kebanyakan lari ke Soya diatas, untuk terus ke Seram. Pihak RMS berusaha bergerilya di Haruku dan Saparua, tetapi dapat di duduki oleh APRIS tanpa ada korban. Pada 25 November 1950, Kolonel Kawilarang tiba di Ambon setelah lebih dari dua minggu berada di Makassar. 

Ketika berada di Ambon, suasana  sudah lain, lebih ramai orang di jalan-jalan dan kota sudah bersih, walau sebagian besar rumah-rumah rusak. Kawilarang bertemu dengan Dokter J B Sitanala, ayah dari Mayor Sitanala, komandan APRIS di Bali. Kalau berbicara ia selalu berterus terang dan kepada Kawilarang ia mengatakan: “Tahun 1942 Jepang datang di Ambon selama dua hari mengambil barang milik rakyat. Tahun 1945 pasukan Australia datang dan selama tujuh hari mengambil barang rakyat. Tahun 1950 TNI datanf dan setelah selama 14 hari mengambil barang rakyat, baru ada tindakan.” Kawilarang tak dapat berkomentar karena masih banyak advonturier dalam tubuh TNI. Mengenai para pelaku RMS, banyak yang kocar-kacir. 

Beberapa menteri seperti Gasperz dan Tom Pattiradjawane menyerahkan diri. Presiden Manuhutu dan beberapa menteri lainnya bersama beberapa perwira APRMS lainnya melarikan diri ke pulau Seram melalui Rutung dan Hutumuri untuk melanjutkan perlawanan. Juga terdapat Wairizal, Soumokil, Manusama, Ohorella, Pesuwarissa, Henk Pieter dll. Di Seram dibentuk pemerintah perjuangan dengan susunan: Presiden Manuhutu, PM Wairizal merangkap Menteri Dalam Negeri, Mr. Dr. Soumokil (Menteri Luar Negeri merangkap Menteri Kehakiman), Manusama (menteri pertahanan), Ohorella (Menteri Sandang-pangan) , G H Apituley (Menteri Keuangan), M A Tetelepta (Menteri Pendidikan, Z Pesuwarissa (Menteri penerangan dan sosial), dokter M Haulussy (Menteri kesehatan) dan Henk Pieter (Menteri Lalu-lintas dan pengairan).

Pucuk pimpinan APRMS yang tersisa membentuk kekuatan organisasi militer gerilya. Organisasi bersenjata ini di pimpin oleh Kolonel Tahapary sebagai Panglima, Kolonel W F Sopacua sebagai Kepala Staf, sementara Kolonel Nussy dan Kolonel Sopamena menjabat sebagai staf. Selain Staf juga mengangkat Penasehat, yakni Letkol I J Tamaela. Tetapi perang gerilya RMS justru menjadi kemahiran Panglima Kawilarang dan perwira-perwira TNI lainnya waktu melawan pasukan Belanda di Jawa dan Sumatra . Para gerilyawan RMS di Seram tidak diberi peluang untuk istirahat dan digempur terus. Akibatnya banyak dari RMS menjadi korban, terutama di kalangan pasukan dan pucuk pimpinan APRMS. Juga  banyak menteri terbunuh. Sementara Manusama dan Wairizal melarikan diri ke Papua.

Kekuatan RMS berhasil dipadamkan

Jatuhnya Fort Victoria pada 8 November 1950 secara definitif telah menghancurkan kelanjutan RMS. Padahal banyak di antara elit-elit politik yang membentuk ataupun mendukung RMS tidak sadar mereka ini adalah korban verdeel-en-heerst- politiek (politik adu domba) yang di terapkan oleh kolonial Belanda untuk saling membunuh di antara anak-anak bangsa penghuni gugusan nusantara ini. Bagi RMS untuk membentuk suatu negara juga waktunya sangat singkat, dan tanpa melalui suatu proses yang memerlukan waktu pendalaman yang cukup lama untuk membentuk suatu bangsa. Lagi pula pengadaan RMS hanya melalui emosi sentimen, dan hanya menjadi korban impulsif dari kalangan yang tidak meraih kepentingannya.

Sementara itu komandan pasukan Maluku di pertengahan 1951 dari Letkol Joop F Warouw diganti oleh Kolonel Soeprapto Sokowati, sementara Warouw kembali ke Manado melanjutkan posisinya sebagai Komandan KOPASUMU. Kawilarang memeriksa Batalyon Matalatta dan Batalyon Rivai di Seram. Ia perhatikan cara mereka bergerak sebagai pasukan anti-gerilya. Kawilarangpun bertanya siapa yang memberi latihan? Merekapun menjawab: “Kapten Muskita.” Sebab, Vuursdiscipline- nya (disiplin menembak) juga hebat, Mereka terus mobil, dan tidak memberikan kesempatan pada musuh untuk beristirahat. Kawilarangpun teringat pada ilmu itu yang pernah dipelajarinya, “Beter meer zweet dan bloed.” (Lebih baik banyak keringat dari pada darah). Begitulah cara perang anti-gerilya. Yang tidak mengetahui ilmu itu, kadang-kadang mereka mau mengambil jalan pintas, supaya cepat. Padahal di lapangan yang terbuka, seringkali itu berbahaya. Sebab itu lebih baik mengambil jalan berkeliling tetapi aman, dan bisa menyerang mendadak daripada mengambil jalan pintas tetapi terbuka dan gampang ditembak dan disergap musuh.

Pulau Seram luas sekali dan hutannya lebat. Anti-gerilya setengah mati mencari gerilya di sana , dan ini tentu makan waktu lama. Pada permulan November 1951 Kawilarang di pindahkan ke Jawa Barat untuk menjabat sebagai Panglima TT-III Siliwangi. Sebenarnya tugas belum selesai dan masih berada di Seram, dan gemobng RMS, Mr Soumokil masih bertahan dan menyembunyikan diri dari kejaran TNI.

Baru pada 12 Desember 1963, Soumokil tertangkap di dekat Wahai, Seram Utara bagian tengah oleh prajurit-prajurit  dari Batalyon Endjo, Siliwangi.Riwayat petualangan gembong RMS, Mr Dr. Soumokil yang menjadi penyebab pemberontakan Andi Azis di Makassar dan pemerontakan RMS berakhir dengan di jatuhi hukuman mati oleh Mahkmah Militer Luar Biasa di Jakarta pada 22 April 1964.

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...