Selasa, 28 September 2021

Ingat Joseph Kam, Roskott, Valentijn Dan Jangan Lupa Willem Luijke

 

Lukisan profil Pendeta William Luijke dan tulisan pada nisannya di Ambon
(foto rudi fofid & negerisaparua.blogspot.com)

Sepanjang jalan sejarah gereja, betapa banyak pendeta telah hadir melayani. Masing-masing punya era, medan, dan cerita sendiri-sendiri. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang tumbuh mekar dari Gereja Hindia Belanda, juga punya kisah pendeta-pendeta Belanda nan heroik dan dramatik. Joseph Kam,  Bernhard Nikolas Johann Roskott, dan Francois Valentijn adalah trio pendeta sangat tenar. Joseph Kam disebut Rasul Maluku oleh karena perjalanan misionarisnya yang spektakuler di Indonesia Timur, dan karya-karya agungnya di Maluku. Pengganti Kam yakni Roskott tidak kalah heroik. Ia berjasa besar di dunia pendidikan bagi pelayanan jemaat.

Jauh sebelum Kam dan Roskott, sudah hadir lebih dulu seorang pendeta tenar sekaligus kontroversial yakni Francois Valentijn. Ia bersahabat dengan G. E. Rumphius, bahkan pernah tinggal berlajar Bahasa Melayu Ambon di rumah ilmuwan besar itu. Buku Valentijn yang terkenal di dunia yakni Oud en Nieuw Oost-IndiĆ«n, lima seri tebal dan lengkap. Namanya abadi di Ambon sebagai Kawasan Valantijn dekat Paradijs. Selain itu, ia abadi  sebagai nama selat antara Pulau Seram dan Buano yakni Selat Valantijn.

Ada sebuah nama lain yang jarang dibicarakan. Dialah Pendeta Willem Luijke (sering juga ditulis Luyke). Ia tidak setenar ketiga pendeta lain. Jika Valentijn kembali ke Belanda, maka Kam dan Roskott tidak demikian. Keduanya memilih melayani Maluku sampai akhir hayat.

Luijke datang di Maluku dan bekerja bersama Kam. Setelah Kam wafat, Luijke  melanjutkan pekerjaan kependetaan bersama Roskott. Selain itu, Luijke juga memilih tidur abadi di Tanah Ambon.

Sebagian warga Ambon masih ingat, ketika seluruh makam di Belakang Soya dipindahkan ke Benteng Atas, tahun 1980an, hanya tersisa satu-satunya makam tua. Pemerintah Kotamadya Ambon menghormati sosok yang tidur di situ yakni Joseph Kam. Tahun 1998, wartawan Dino Umahuk memotret makam tua itu dan menulis kisahnya di Tabloid Patrioit, barulah banyak orang muda tahu, bahwa sosok Rasul Maluku itu ternyata tidur di Tanah Ambon. GPM khususnya Jemaat Bethel, kemudian membangun Gereja Joseph Kam. Dua lorong yang mengapitnya, juga diberi nama Josep Kam I dan Joseph Kam II.

Pendeta Roskott tidur di Rumahtiga, di tengah-tengah pemakaman Keluarga Huwae. Ia memang bertugas di Jemaat Rumahtiga, dan punya hubungan dekat dengan warga asal Negeri Allang yang berdomesili di Rumahtiga.

Di manakah Pendeta Luijke berbaring? Ternyata Luijke juga tidur di Rumahtiga. Istri dan dua anaknya juga dimakamkan saling berdekatan di dalam satu petak tanah yang cukup aman terlindung. Menemukan Makam Luijke tidaklah sulit. Di dekat Rumah Sakit Dokter Leimena, terdapat Lorong Prabowo, sebuah lorong menuju pantai, melintasi rumah anggota DPR RI Hendrik Lewerissa. Sekitar 200 meter dari jalan utama, terdapat dua pohon kelapa merah. Di bawah pohon kelapa itulah, terdapat empat makam tua. Makam Luijke berada di sebelah kiri belakang. Di samping kanan, berbaring istrinya. Di depannya, terdapat dua makam anak lelakinya yakni Willem Alexander Luijke, dan Thomas Albert Luijke.

Makam Pendeta Willem Luijke, istri dan dua anaknya di Rumahtiga Ambon (foto rudi fofid)

Dari Amsterdam

Willem Luijke lahir di Amsterdam, 7 September 1798. Ayahnya George Fredrik Luijcke and ibunya Margaretha Koeman. Ia menikah dengan Anna Carolina Petronella Harrar, dikaruniai delapan anak. Luijke wafat di Ambon, 21 Mei 1886, dalam usia 88 tahun. Pada nisan di samping makam Luyke, di nisannya tertulis Luyke Harrar, wafat 18 Juli 1879. Data ini sama dengan keterangan pada myheritage.com.

Delapan putera-puterinya berturut-turut berdasarkan tahun lahir yakni Willem Alexander Luijke (1844), Martha Frederika Luijke (1845), Frederik Christiaan Luijke (1847), Daniel Luijke (1849), Thomas Albert Luijke (1851), George Nikolaas Luijke (1853), Margaretha Agnes Luijke (1855), dan Benjamin Johannes Luijke (1861). Enam dari delapan anaknya lahir di Ambon, Martha Frederika Luijke dan Frederik Christiaan Luijke lahir di Saparua. Tahun kelahiran anak menjadi bukti bahwa pada saat itu, Luijke bertugas di sana.

Dari buku Een Opwekker op Timor, De tragische geschiedenis van Geerlof Heijmering (1792-1867) karya Christiaan George Frederik De Jong, diketahui tempat-tempat tugas Luijke selama di Maluku adalah di Kota Ambon (1827-1828), Moa (1828-1829), Sarai-Leti (1829-1841), Kota Ambon (1841-1842), Haruku (1842-1849), Kota Ambon (1849-1854), Hutumuri-Ambon (1854-1855), dan Rumahtiga-Ambon (1855-1883).

Karya Luijke yang patut dihormati yakni sejumlah terjemahan kitab suci ke dalam Bahasa Leti.  De Jong mencatat, Luijke membuat 30 pertanyaan dan jawaban, seperti katekismus dalam Bahasa Leti. Demikian juga Pangadjaran dari pada Sapuloh Penjurohan Allah, dan Kisah Kelahiran Yesus, Tata Bahasa Leti, serta terjemahan lain.

Dalam catatan sejarah Klasis Letti Moa Lakor sebagaimana disiarkan sinodegpm.org, 2 November 2018, tertulis bahwa antara tahun 1823-1825, Pendeta Josep Kam tiba di Letti dan menetap di Serai (Batumiau). Ia membawa enam orang pendeta, salah satunya Pendeta Luijke. Luijke ditempatkan di Toinaman, namun diserang malaria sehingga Kam membawanya ke Patti.

Sejarahwan gereja Cornelis Adolf Alyona adalah penulis yang cukup detail menulis Luijke. Alyona mengungkapkan dalam tulisannya bahwa tahun 1856 secara formal pelayanan terhadap Jemaat sepanjang Teluk Ambon Bagian Dalam yakni Rumahtiga, Poka, Waiheru, Lateri, Latta, Halong, dan Galala diserahkan kepada Luijke yang tinggal di Rumahtiga sejak 1855.

Luijke ternyata juga seorang penulis yang sangat dekriptif. Ia melukis suasana secara cermat. Alyona dalam tulisan berjudul “Jemaat Latta Dalam Lintasan Sejarah” mengutip laporan Luijke kepada Pengurus Besar Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) di Rotterdam, tentang penahbisan Gereja Latta. Terjemahan Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia oleh Alyona memperlihatkan sedetail inilah Luijke.

“Pada tanggal 26 November 1853 saya dijemput dengan sebuah perahu kecil yang dihiasi daun dan kembang beraneka warna. Ketika itu turut serta beberapa orang lain. Setiba di pantai – sesuai sifat orang Ambon – saya disambut penuh semangat dengan beberapa tembakan kehormatan disusuli musik. Tampak dua pemain biola; serta dua pemain klarinet dan dua pemain suling yang diminta dari paduan pemain musik Schutterij. Lantas saya diantar melewati jalan berhias dan dua gapura kehormatan yang juga dihiasi umbul-umbul sampai di gereja. Dari pekarangan sampai di dalam gedung gereja penuh dihiasi daun dan bunga beraneka warna. Setiba dekat rumah guru, tempat saya menginap, anak-anak menari bersaf-saf sehingga semua tampak hidup dan gembira. Ini adalah gedung gereja pertama yang dibangun dengan baik di Teluk Ambon bagian Dalam yang akan ditahbiskan, karena gedung-gedung di mana diadakan Ibadah biasanya gubuk atau terbuat dari gaba-gaba dan lebih sering digunakan untuk sekolah ketimbang gereja. Guru kelihatan senang dan bersuka cita karena gereja tersebut boleh dikatakan selesai; dibangun olehnya, di bawah pengawasannya, dan bagian-bagian terpenting dari bangunan gereja itu dibuat dengan tangannya sendiri. Padahal beliau harus berhubungan dengan masyarakat yang miskin namun bangga, karena sepanjang tahun beliau mesti bersabar dan rajin sampai akhirnya dapat menyelesaikannya. Namun, tahun terakhir sejak saya sekali-kali datang di sana untuk bekerja, banyak yang dikerjakan dari yang belum dapat diselesaikannya dibanding beberapa tahun sebelumnya. Gedung itu sendiri terdiri dari dinding setengah batu, papan yang digunakan juga dinilai berkualitas, kelihatan sangat kuat dan dihiasi dengan pintu dan jendela, tetapi tidak terlalu besar untuk jemaat yang berjumlah ± 500 jiwa. Dalam upacara itu tidak semua warga jemaat berlutut dikarenakan ruangan gereja penuh sesak. Yang berlutut hanya Luijke, Guru dan Sersan (Kepala Lingkungan/Wijk Latta). Di tengah gereja ada bangku kecil tanpa sandaran yang ditempatkan khusus di situ.”

(Lihat sumber asli http://waterlelielaan.blogspot.com/2011/07/jemaat-latta-dalam-lintasan-sejarah-2_06.html).

Alyona melukiskan Luijke sebagai gembala yang baik. Dalam hal tahyul, Roskott sangat keras, sedangkan Luijke justru tampil sebagai tokoh spiritual atas nama penggembalaan, bapak rohani yang sabar, pelayan yang berwibawa, dan disegani.

“Pada Malam Natal 25 Desember 1863, dengan penuh kasih ia menghimpun warga jemaat Latta (dan Lateri). Luijke memberi penguatan iman dalam kaitan dengan tahyul, yaitu Pontijana (kuntilanak). Pada 25 Juni 1865, ia hadir sebagai “tabib” ketika warga jemaat Latta (dan Lateri) diserang penyakit Pokken (penyakit cacar). Penelaan Alkitab juga diselenggarakannya pada 20 Januari 1867 sebagai langkah strategis untuk mencerahi pemahaman kekristenan dan mengokohkan spiritualitas jemaat,” tulis Alyona.

Dari tulisan Alyona dan de Jong, diketahui bahwa Luijke sering jatuh sakit. Selain di Moa, juga di Hutumuri. Sebab itulah ia dipindahkan ke Rumahtiga, bekerja bersama Roskott, sampai akhir hayatnya. 


Sumber : Laporan Rudi Fofid (Malukupost.com) 

Minggu, 26 September 2021

Marechaussee Kopassus-nya Londo


Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.

Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.

Pasukan khusus Belanda untuk operasi kontragerilya di Aceh.

Di mata pejuang Aceh, marechaussee (baca: marsose) sangat dibenci, tetapi juga dihargai karena keberaniannya. Pasukan ini dibentuk pertama kali semasa Perang Kolonial Belanda di Aceh. Tugasnya adalah untuk melakukan operasi kontragerilya terhadap pejuang Aceh. Karena itu dianggap sebagai pasukan elite pertama yang dimiliki KNIL.

Salah satu kisah tersohor mereka adalah peristiwa kontak senjata dengan pasukan Teuku Umar yang berakhir dengan gugurnya pahlawan kita tersebut. Malam 10 Februari 1899, Letnan J. J. Verbrugh menempatkan detasemen Marsosenya di bawah pohon-pohon di pantai Meulaboh. Mereka ditugaskan untuk memasang jebakan terhadap Teuku Umar yang menurut laporan mata-mata akan melewati tempat tersebut. Sudah hampir 6 bulan lamanya unit-unit Marsose menjelajah rimba dan berkubang di rawa-rawa di pesisir barat dalam mengejar salah satu pemimpin perlawanan Aceh yang terkenal ini.

Setelah beberapa jam menanti, Verbrugh melihat serombongan besar orang Aceh bersenjata campuran menuju ke posisi pasukannya. Jumlahnya ditaksir lebih dari seratusan orang. Para Marsose menunggu barisan terdepan rombongan tersebut memasuki jarak tembak karaben Beaumont mereka. Sementara itu, orang-orang Aceh tidak melihat musuh telah bersiap di depan mereka. Tiba-tiba pada jarak sekitar 100 meter dari posisi Marsose, terdengar letusan serempak karaben Marsose. Rombongan orang Aceh itu masuk perangkap pasukan musuh. Karena panik, rombongan tersebut menjadi kacau-balau, lalu mundur tak teratur sambil melepaskan tembakan balasan secara serampangan. Penghadangan tersebut ternyata menelan korban di pihak Aceh. Terlihat beberapa orang roboh, sedangkan di pihak Marsose tak seorang pun terluka ataupun terbunuh.

Malam itu juga Verbrugh membawa pasukannya kembali ke induk kesatuannya. Ia tak berniat memburu lawannya yang mengundurkan diri itu karena medan tak menguntungkan di samping kalah jumlah. Beberapa hari kemudian diketahui bahwa dalam penghadangan 10 Februari malam tersebut, di antara korban gugur di pihak Aceh terdapat nama Teuku Umar, orang yang paling dicari-cari Belanda dan telah dijejaki selama berbulan-bulan oleh pasukan Marsose. Peristiwa itu dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Marsose.

Bendera Korps Marechaussee

Pembentukan Korps Marechaussee

Sejak perlawanan gerilya dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.

Sementara itu, dalam serangkaian cara untuk menguasai Aceh, atas usul dari seorang Minangkabau bernama Mohammad Syarif atau Mohammad Arif seorang kepala kejaksaan di Koetaradja (Banda Aceh sekarang). Putra Minang ini mencetuskan pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang pro terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer J.B. van Heutsz untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya. Pada tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.

Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.

Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).

Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.

Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.

Setiap anggota Marsose harus memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobil, terlebih ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu, umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya. Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari masyarakat.

Selain itu, kesatuan Marsose ini mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet, tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan. Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan karaben Beaumont Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru berselongsong (magasen). Saat itu Beaumont adalah sejenis senjata modern yang baru dimiliki oleh KNIL. Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.

Renjaan Seorang Marsose – Profil Marsosee

Sistem pelatihan anggota dibuat sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret. Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus melakukan patroli jalan kaki jarak jauh. Di samping itu, keahlian membaca jejak pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.

Untuk menumbuhkan kebanggaan pada para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Tiga Jari”.

Simbol Korps Marechaussee

Para Marsose sangat bangga dengan Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh.

Peranan Korps Marechaussee dalam Perang Kolonial di Aceh. 

Sejak dibentuk pada 2 April 1890 hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial. Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya. 

Karena itu untuk mendapatkan pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri. Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Berbagai prestasi tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.

Marsose, dalam banyak catatan, lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.

Marsose sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi, walau dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamanan pasukan Marsose lebih banyak terjadi di Aceh saja dan tanah Gayo saja.

Pasukan Khusus Marsose itu bernama Kolone Macan

Kehadiran Marsose sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-perwira Belanda itu membentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan. Seperti halnya MarsoseKolone Macan juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana anggotanya adalah anggota-anggota Marsoseyang terpilih.

Ada perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel, Kapten (kelak Letnan Kolonel) Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens, walaupun Scheepens tergolong orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu, Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo. Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi, dimana berdiri sebuah garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh. Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.

Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.

Ekspedisi Pasukan Marsose ke Lam Meulo-Tangse-Geumpang

Setelah beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh. Selama di tangsi Cimahi yang damai itu, para Marsose itu juga diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon oleh marsose yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan, melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan memainkan klewang.

Di Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade yang biasanya berpangkat sersan terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang. Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.

Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila, seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping. Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat dan tuntas.

Reaksi keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar belakang dari tentara bayaran.Akhirnya komando atas daerah Aceh diganti dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang pernah dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian perwira Belanda yang benci kebengisan Van Daalen dan Christoffel, mulai merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.

Kolone Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki. Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia.

Akhir Korps Marsose

Namun tidak semua tindakan Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan pimpinan Letnan Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904. 

Peristiwa yang berlangsung di tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera, sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.

Penyelidikan yang dilakukan akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.

Meski dalam komposisi pasukan marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda. Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh. Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya kembali di Aceh.

Tugu kehormatan yang dibangun oleh tuan-tuan pemilik kebun Planters di Sumatera Timur dahulu untuk menghormati Ulang Tahun korps Marsose ke-40 tahun (1930) di Aceh. Pada tahun 1930 pula pasukan Marsose di Indonesia dibubarkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda


Akibat kekejaman diluar batas kemanusiaan, Korps Marsose akhirnya di bubarkan oleh Belanda sendiri. Kisah Marsose sejarahnya setelah perang Aceh berlalu hilang. Pada tahun 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Akibatnya pasukan Belanda taringnya yang tajam seperti pada saat Perang Aceh, dengan mudah ditaklukkan oleh Jepang pada Perang Dunia Kedua.

Foto-foto kekejaman Long March Pasukan Marsose ke Gayo dibawah pimpinan Jenderal C.G.E van Daalen

Penaklukkan Benteng Koeta Reh, sebuah operasi dibawah pimpinan Van Daalen di Tanah Gayo. Foto diambil 14 Juni 1904. Bagian dari Perang Aceh (1873-1904)
Kekejaman Belanda di Kampong Likat Tanah Gayo, anak-anak dan perempuan juga di bantai oleh tentara Belanda pimpinan Van Daalen. Perang Aceh (1873-1904)
Seluruh penghuni benteng Koeta Reh dibantai oleh pasukan  Korps  Marechaussee pimpinan Van  Daalen   (Perang Aceh 1873-1904)

Letnan Jenderal G.C,E. van Daaleen salah satu pemimpin Marsose yang paling kejam – Selama memimpin Long March selama 163 hari – Ia memerintahkan membakar kampung – Membunuh wanita dan anak-anak.

Warisan Sejarah Marsose

Tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol W.B.J.A Scheepens yakni Kapten W.J. Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945. Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946.

Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten W.J Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa. Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung.

Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling. Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD.


(Dari berbagai sumber)


  

17 Agustus 1945, hari berkabung bagi orang Maluku

Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( BPUPKI)

“Pada hari ini, sabtu, tanggal 17 Agustus 2019, seperti setiap tahun pada tanggal 17 Agustus, selalu dirayakan dengan penuh suka cita dan dengan penuh gegap gempita – termasuk oleh orang Maluku sebagai hari kemerdekaan dari suatu negara yang bernama Republik Indonesia. Sehingga, mungkin tidak seorang pundi antara orang Maluku yang memperingati hari tersebut sebagai HARI PERKABUNGAN untuk mengenang kembali sesama orang Maluku yang tewas dibantai oleh para pembela Republik Indonesia segera setelah negara tersebut diproklamasikan kemerdekaannya pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945, 74 tahun silam”.

Pembantaian Orang Ambon

Saat itu, 74 tahun lalu, di Jakarta, Pembunuhan yang mengagetkan dimulai dengan Boma Latupeirissa di Jatinegara … Keluarga Lopies di Pasar Minggu … termasuk anak-anak dan seorang pemuda yang pada siang hari ketika sedang mengendarai mobil, juga dianiaya …Keluarga Agus Souisa, isterinya, kedua saudara perempuan, serta kedua anaknya, satu demi satu ditikam dengan senjata tajam … Keluarga Lukas Polhaupessy mengalami situasi yang sama … Boetje Tahalele (bekerja sebagai dokter di Jerman) yang melakukan tugas itu di Jatinegara, dibacok … Henk Wattimena dan keluarganya berhasil lolos dari pembunuhan yang kejam … Ibu-ibu yang berbelanja mulai diancam … Pemuda-pemuda Tanjung Priuk sudah harus mengamankan beberapa pria Ambon dari penganiayaan di pelabuhan … di belakang stasiun Jatinegara orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar-masuk gang tempat tinggal mereka (de Fretes, Johannes Dirk (2007) Kebenaran Melebihi Persahabatan. Jakarta: Harman Pitalex, dan Kubuku, h. 58-68).

Keadaan masyarakat Maluku di Jawa Barat sangat memerlukan perhatian. Keluarga-keluarga yang terancam tidak tahu mau cari perlindungan ke mana …Sementara di Surabaya-Jawa Timur, perempuan dan anak-anak orang Maluku serta warga sipil orang Belanda dibunuh di Gedung Balai Pemuda-Simpangsoos. Banjir darah di Surabaya. Seluruh lantai marmer di gedung tersebut terlapisi darah setinggi mata kaki orang dewasa … seorang ibu Ambon yang berambut panjang ditarik rambutnya dan diseret di jalanan, sementara dua orang anak lelakinya yang baru berusia 7 dan 10 tahun menangis dan menjerit sambil memegang kuat sarung sang ibu, sambil kedua anak itu menyaksikan ibunya ditikam dengan bambu runcing dan dicincang bersama dengan korban lain yang dibunuh secara masal di tengah alun-alun Sidoardjo (Luhulima sebagaimana dikutip oleh Butje Hahury dalam tulisan berjudul ‘Soekarno Perintah Bunuh Bangsa Maluku di Jawa, “Soekarno Verklaart Oorlog Aan Indo’s, Menadonezen, En Ambonezen”).

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas adalah sebagian kecil yang diketahui terjadinya secara pasti dari banyak peristiwa yang tidak diketahui kejadiannya. Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh J. D. de Fretes dalam bukunya tersebut di atas pada halaman 68 bahwa, “Bukan saja disana-sini terjadi penganiayaan dan pembunuhan sampai pelosok-pelosok (kampung) tetapi di mana saja orang Ambon berada. Maka teriakan, ‘SIAAP’, dari rakyat sudah menunjukkan bahwa tiap saat orang Ambon dapat diserang. Bagi orang Ambon tidak ada sesuatu yang begitu melelahkan dan keputus-asaan seperti rasa takut itu sendiri (tanpa sanggup bikin apa-apa). Orang-orang Ambon ini telah didorong untuk menyelamatkan nyawanya dari kemerdekaan yang mengancam dan membunuh”.


Foto ini diambil dari cover buku Kebenaran melebihi persahabatan :
(Aristoteles kepada Plato) 
oleh penulis, Johannes Dirk de Fretes.

Tindakan penyelamatan terhadap kurang lebih 30.000 nyawa orang Maluku yang sedang terancam di pulau Jawa dan Madura, dilakukan sendiri oleh sesama orang Maluku yang tinggal di pulau Jawa. Beberapa di antara mereka itu adalah, Abdul Mutalib Sangadji, Muhammad Padang, Alberth Latuasan dan Nono Tanasale sebagai pemimpin yang karena sangat marahnya sampai menyebut REPUBLIK INDONESIA sebagai REPUBLIK TAI.J. D. de Fretes memberikan kesaksian dalam bukunya tersebut di atas pada  halaman 78 &104, bahwa :

Sesuai dengan laporan dari pasukan Maluku, maka sekelompok pasukan kecil di bawah komando Egmond Pattinama bersama saya berangkat dengan truk ke pegunungan Mojokerto. Kami bertemu beratus-ratus keluarga Maluku yang kebanyakan terdiri dari wanita, orang tua dan anak-anak, di dua pegunungan. Keadaannya sangat menyedihkan. Ditambah lagi iklim dingin yang luar biasa. Mereka kami temukan pada malam hari dan saya melihat mereka tidur berderetan di tanah yang dingin. Saya harus menggunakan lampu minyak tanah untuk dapat melihat mereka.

Saya masih ingat sewaktu memeriksa keadaan mereka, sekonyong-konyong saya dengar seorang ibu terbangun dari tidurnya dan berteriak, “Nani se cari Beta pung anak dolo, dorang siksa dia barangkali dia su mati!”. Ibu itu adalah ibu Patty, Isteri Pendeta Patty di Surabaya. Anaknya adalah Bram Patty, seorang negarawan muda.

Menurut laporan, memang beberapa pemuda Ambon ditangkap dalam perjalanan mengungsi ke pedalaman. Egmond sebut nama opsir dari pasukan yang menangkapnya kalau saya tidak salah namanya Sabaruddin. Sabaruddin menurut Egmond selalu menuduh orang-orang Ambon yang ditangkap sebagai mata-mata.

Dengan truck kami menuju ke arah pegunungan, ke markas Sabaruddin itu. Sesudah berbicara dengan Kepala Pasukan di situ (Sabaruddin sendiri tidak mau hadir) maka lima atau enam orang pemuda Ambon dikeluarkan dengan keadaan pucat, kurus, dan hanya seperti tulang dibungkus kulit. Karena pemuda-pemuda Ambon ini berhari-hari tidak makan, sampai ada yang makan rumput.

Aktor Para Eksekutor

Penderitaan yang dialami oleh orang-orang Maluku di pulau Jawa seperti tersebut di atas merupakan akibat dari sebab adanya tindak kekerasan berupa ancaman, penyerangan, penganiayaan, perkosaan, penyiksaan hingga pembunuhan yang dilakukan oleh BARISAN PELOPOR sebagaimana terbukti dalam MAKLUMAT PERANG BARISAN PELOPOR yang diterbitkan di Jakarta pada hari minggu, tanggal 9 September 1945 yang menyatakan bahwa, “kelompok-kelompok ‘tersebut’ (Indo, Ambon, dan Manado) harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. mereka harus dibunuh di tempat kediaman mereka, mereka harus dilingkari kawat berduri, sumur, dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka”.

Maklumat Perang Barisan Pelopor ini terlihat dimana-mana, di pohon, di dinding, di kantor, dan sebagainya. Bahkan di surat-surat kabar berhaluan Negara Republik Indonesia juga memberitakan dengan huruf besar AMBON ANJING NICA.

Akibat dari Maklumat Perang tersebut memang hebat karena pembunuhan dan penganiayaan atas orang-orang Ambon meningkat sekali. Sesudah maklumat perang itu, keadaan masyarakat Maluku sangat ruwet. Kekejaman terhadap wanita dan anak-anak orang Ambon bertambah terus (de Fretes, 2007: 74).

BARISAN PELOPOR adalah pasukan pemuda sipil yang dipersenjatai, dengan Presiden Koesno Sosrodihardjo alias Presiden Sukarno sendiri menjadi ketua dari Barisan Pelopor tersebut. Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Sukarno dalam halaman 266 dari buku yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh Yayasan Bung Karno bahwa, “Barisan Pelopor, pasukan pemuda sipil dimana aku menjadi ketuanya, dipersenjatai”.

Dalam tubuh Barisan Pelopor itu sendiri terdapat BARISAN PELOPOR ISTIMEWA yang terdiri dari kurang lebih 100 pemuda pilihan yang dipimpin oleh Sudiro sebagai pengawal dan utusan pribadi Presiden Sukarno (Kasenda, Peter (2015) Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (1942-1945).Jakarta:Kompas, h. 101).

Jika merujuk pada kenyataan sebagaimana tersebut di atas, makamerupakan suatu perihal yang sangat wajar kalau beberapa surat khabar di negeri Belanda, seperti surat khabar Volkskrant, dan surat khabar Rotterdamsekrantmenurunkan tulisan tentang Maklumat Perang Barisan Pelopor tersebut dibawah ‘Kepala Berita’ (head-line) yang berjudul,“Sukarno Menyatakan Perang Kepada Orang-orang Indo, Menado, dan Ambon(Soekarno Verklaart oorlog aan Indo’s, Menadonezen, en Ambonezen)”(de Fretes, 2007: 76).

Sebelumnya, pada hari kamis, tanggal 16 Agustus 1945 – sehari sebelum Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka, pada hari jum’at, tanggal 17 Agustus 1945 – ‘Wikana’ (salah seorang anggota ‘Angkatan Pemuda Indonesia’ (API) pimpinan Sukarni dan Chairul Saleh) telah mengatakan kepada Sukarno untuk membunuh ‘orang-orang Ambon’ (sebutan untuk orang-orang Maluku pada saat itu)(Hatta, Mohammad(2015) Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977)Jakarta: Kompas, h.218).

Diam Bukan Emas

Selama kurun waktu terjadinya tindak kekerasan terhadap orang-orang Maluku dalam wilayah Negara Republik Indonesia, Sukarno ternyata mengambil sikap ‘masa bodoh’(apatis) dengan membiarkan tindak kekerasan itu terus terjadi atas orang-orang Maluku.

Dalam perihal ini, Sukarno dengan secara sengaja dan tanpa niat baik telah tidak menggunakan kekuasaan dan wewenangnyas ebagai Presiden Negara Republik Indonesia pada saat itu untuk mengakhiri seluruh tindak kekerasan yang terjadi atas orang-orang Maluku.

Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, orang-orang Maluku telah mengalami diskriminasi, dan mendapat perlakuan yang tidak adil bahkan tidak manusiawi. Nyawa orang Maluku tidak ada harganya sama sekali dimata Sukarno, sehingga Sukarno lebih memilih untuk bersikap acuh tak acuh terhadap tindak kekerasan yang sedang dialami oleh orang-orang Maluku yang notabene adalah warga Negara Republik Indonesia juga yang memiliki hak yang sama dan sederajat dengan Warga Negara Republik Indonesia lainnya untuk mendapat perlindungan sepenuhnya dari Sukarno sebagai Presiden Negara Republik Indonesia.

Bahkan Sukarno mengambil sikap negative dengan tidak memberikan persetujuan dan menyatakan sebagai suatu tindakan separatis terhadap permohonan Mr. Johannes Latuharhary dalam jabatannya sebagai Gubernur Daerah Maluku pada waktu itu untuk membuka kantor Gubernur Daerah Maluku di pulau Jawa dan di pulau Sumatera supaya segala persoalan di daerah Republik Indonesia tentang orang-orang Maluku yang sedang mengalami tindak kekerasan pada saat itudapat ditangani oleh Gubernur Daerah Maluku yang untuk sementara sedang berdomisili di jakarta.(de Fretes,2007: 82).

Kebencian Yang Mematikan

Sikap Pasif dan negatif yang ditunjukkan oleh Sukarno dalam kedudukannya sebagai Presiden Negara Republik Indonesia dalam menangani peristiwa pembantaian orang-orang Maluku initelah memunculkan beragam pendapat tentang alasan yang melatarbelakangi keputusan Sukarno untuk mengambil sikap yang sedemikian itu.

Alasan dimaksud, mungkin dapat ditemukan dalam pandangan Sukarno sendiri tentang orang Maluku sebagaimana yang diungkapkan oleh Horst Henry Geerken dalam halaman 161 dari bukunya yang berjudul ‘A Magic Gecko Peran CIA Di Balik Jatuhnya Soekarno’yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 oleh penerbit Kompas bahwa, “Karena itu, mudah memahami kebencian Soekarno terhadap masyarakat Ambon.

Di mata Soekarno, orang Ambon lebih rendah daripada yang terendah, kolaborator Belanda sehingga dianiaya dengan kekerasan oleh pasukannya”.Kebencian Sukarno terhadap orang-orang Maluku juga tampak dalam pidato-pidato Sukarno yang sangat anti-Sekutu saat masa pendudukan Jepang di Hindia-Belanda pada tahun 1942. Dimana orang-orang Maluku di-cap dan/atau di-stikmatisasi sebagai kaki tangan sekutu yang anti-kemerdekaan, sehingga orang-orang Maluku dimusuhi oleh semua orang lain.

Puncak dari kebencian Sukarno terhadap orang Maluku adalah ketika orang Maluku memilih untuk tidak bergabung dengan Negara Republik Indonesia melalui pembentukan Negara sendiri yaitu, ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) pada hari selasa, tanggal 25 April 1950. Setelah sehari sebelumnya yaitu, pada hari senin, tanggal 24 April 1950, dilakukan plebisit dan/atau referendum pra gabung sebagai salah satu mekanisme implementasi ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ (the right of self-determination) dalam arti pasif dari rakyat Maluku melalui pemungutan suara negative oleh ‘Dewan Maluku Selatan’ (DMS) disuatu negeri muslim yang bernama TULEHU (Parker, J. D. Karen (1996) Republik Maluku: The Case For Self-Determination. Los Angeles-California: HLP/IED & AHL, h. 15).

Sekalipun tindakan orang Maluku tersebut di atas adalah sesuai dengan berbagai perjanjian yang dihasilkan dalam ‘Komperensi Meja Bundar’ (KMB) di Den-Hag Negeri Belanda pada hari selasa, tanggal 27 desember 1949 yang salah satu dari perjanjian itu adalah Perjanjian Ketiga tentang ‘Langkah-langkah Peralihan dan/atau Transisi’ (transition strides), dan Konstitusi Negara ‘Republik Indonesia Serikat’ (RIS) tahun 1950 yang masih sah berlaku pada saat itu, tetapi Sukarno yang lebih memilih untuk mempertahankan Maluku agar tetap berada dalam kekuasaan Indonesia kemudian mengirimkan sebanyak kurang lebih 20.000 orang tentara Angkatan Darat, 3 unit pesawat pembom Angkatan Udara, dan 14 unit kapal perang Angkatan Laut dalam suatu ‘operasi gabungan’ (Joint Operation) yang pertama dan yang terbesar sejakberdirinya Negara Republik Indonesiadengan nama ‘Gerakan Operasi Militer’ (GOM) III guna menggagalkan pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri dari rakyat Maluku tersebut di atas.Serangan yang melanggar ketentuan Hukum Internasional ini (AGRESSION) telah membunuh sebanyak kurang lebih 10.000 orang Maluku. AGRESI ini, dengan sendirinya telah menambah panjang daftar orang Maluku yang harus mati dibunuh oleh orang Indonesia lainnya hanya untuk memenuhi ambisi Sukarno dalam mempertahankan keutuhan Negara Republik Indonesia, dan kemudian – pada saat ini: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Geerken, 2011: 161).

Namun demikian, untuk memikat hati orang-orang Maluku agar tetap berada dalam bingkai ‘Negara Republik Indonesia’ (sekarang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)) dengan melupakan peristiwa pembantaian orang-orang Ambon tersebut di atas, maka Sukarno membuat paradoks melalui kalimat,‘Indonesia tanpa maluku bukan Indonesia’. Suatu kalimat yang hingga saat ini – dan mungkin, nanti untuk seterusnya–selalu diucapkan oleh para avonturier, oportunis, dan hipokrit secara berulang-ulang seperti burung beo dan/atau burung Kakaktua.

Sesunguhnya, paradoks tersebut di atas telah membuktikan dengan sendirinya karakter Sukarno sebagai seorang manusia yang tidak konsisten antara kata dengan perbuatan seperti ungkapan dalam peribahasa, lain dibibir, lain dihati dan/atau bicara Laeng, biking Laeng, untuk menyatakan dengan secara lebih halus, perbuatan menipu/berbohong/parlente. Akan tetapi -apapun juga alasan pembenarnya -berbohong demi keutuhan Negara Republik Indonesia sama saja dengan mendirikan Negara Republik Indonesia diatas dasar kebohongan.

Jika faktanya adalah sebagaimana yang demikian, maka tanggal 17 Agustus sebenarnya tidak layak untuk dirayakan sebagai hari kemerdekaan dengan penuh suka cita dan dengan penuh gegap gempita, tetapi lebih layak untuk diperingati sebagai “HARI PERKABUNGAN” dengan penuh duka cita dan dengan penuh khitmat – kecuali orang Maluku telah kehilangan ‘rasa memiliki’ (sense of belonging) terhadap sesama orang Maluku sendiri -sebab setelah tanggal 17 Agustus 1945 hingga saat ini, dalam rentang waktu 74 tahun, yang ada hanya ‘kebencian, kebohongan, dan pembunuhan’ (sebagai ‘kata kunci’(key-word)) yang kian hari menjadi kian tidak terkendali dari waktu ke waktu.


Penulis : Hendry Reinhard Apituley, SH. MH, Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon.

Sumber : http://tabaos.id/sejarah-mencatat-17-agustus-1945-adalah-hari-perkabungan-bagi-orang-maluku/

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...