Minggu, 05 Oktober 2014

Pahlawan Asal Maluku selain Pattimura & Martha Ch. Tiahahu

Berikut ini adalah beberapa nama tokoh pahlawan asal maluku selain Pattimura dan Martha Ch. Tiahahu.

KAPITAN  KAKIALI

Kakiali adalah putera Tepil yang bergelar “Kapitan Hitu” dan berketurunan dari Perdana Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 – 1643 melawan penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan “hongi tochten” pada zaman VOC sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali.

Pada tahun 1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku dan rakyat Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk menentramkan rakyat Hitu yang semakin bergolak.

Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu. Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali gugur bukan karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan diteruskan pada tahun 1643 – 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan Tulukabessy dan Imam Rijali.



KAPITAN  TULUKABESSY

Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun 1538. Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik. Tetapi kemudian timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto d’Eca menuntut penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata dan perdamaian tidak akan terjadi lagi.

Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 – 1570 menghancurkan usaha-usaha perdagangan Portugis. Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang kuat menyerang orang-orang Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan sekitarnya berlangsung seru bahkan beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam melawan penduduk beragama Kristen, jalan ke perdamaian dicari.

Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis. Dengan hikmat Sultan Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas Kitab Misa, bahwa mereka akan memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang mengunjunginya di benteng, Mesquita menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak tanggal 28 Pebruari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang memaklumkan perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate. Pada saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari kerajaannya.


JOHAN  PAIS

Johan Pais atau biasanya disebut Jan Pais adalah Orang Kaya Hative di Pulau Ambon Jasirah Laitimor. Ia juga menjabat sebagai pembantu pendeta. Jan Pais ini dituduh mengepalai perlawanan di Leitimor. Gubernur Belanda yaitu Arnold de Vlamingh van Oudshoorn menangkapnya. Ia disiksa untuk mengakui kesalahannya. Dia dituduh berkomplot dengan Kimelaha Madjiraa yaitu wakil Sultan Ternate yang berkuasa di Jasirah Huamoal Pulau Seram untuk mengusir kompeni Belanda. Sesudah itu dia akan menjadi kepala dari semua orang Kristen dan Madjira dari semua orang Islam.

Sewaktu disiksa Jan Pais mengaku, tetapi dalam keadaan tidak disiksa dia menyangkal. De Vlamingh berpendapat bahwa dia bersalah. Pada malam hari dia dieksekusi mati. Kepalanya dipancung dan tubuhnya dibagi empat. Peristiwa ini terjadi secara rahasia agar tidak diketahui rakyat, mungkin juga supaya jangan menimbulkan kegoncangan di kalangan rakyat. Keesokan harinya Orang-Orang Kaya (pemimpin Negeri) diundang ke benteng Victoria dan mereka menyaksikan keganasan de Vlamingh itu, maksudnya untuk menakutkan mereka.

Bersalah tidaknya Jan Pais ini, memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Namun yang jelas bahwa di daerah Leitomor, rakyat yang sudah lama menderita dan jenuh dengan tuntutan-tuntutan VOC, bangkit menyerang Belanda dimana-mana. Jan Pais adalah pahlawan mereka yang tampil membela kebenaran dan keadilan dan diakui sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan rakyat Maluku.


KAPITAN  ULUPAHA

Kapitan Ulupaha berasal dari Negeri (Desa) Seith di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Ia adalah pembantu dari Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura pemimpin perang Pattimura melawan Belanda tahun 1817. Kapitan yang sudah berumur lanjut ini (80 tahun) ditugaskan Pattimura untuk mempertahankan Front Hitu di Pulau Ambon dan menjadi pemimpin pasukan. Rakyat Jasirah Hitu mengangkat senjata setelah mendengar jatuhnya Benteng Duurstede di Pulau Saparua.

Pada permulaan peperangan, pasukan Ulupaha telah mengancam dan menyerang benteng Amsterdam di Negeri Hila dan pos-pos penjagaan Belanda di Larike, Liang dan Waai. Pada waktu peperangan sedang berkobar di kepulauan Lease melawan Belanda pada tanggal 15 Oktober 1817, Ulupaha menggerakkan pasukan menyerang benteng Belanda di Negeri Larike. Namun gagal diduduki, oleh karena Belanda mengerahkan pasukannya yang besar dari laut dan darat yang dipimpin Mayor Meyer. Serangan Belanda kemudian ditujukan ke pusat pertahanan Ulupaha di Seith dan Negeri-Negeri di sekitarnya. Ulupaha dan pasukannya berjuang mempertahankan Negeri-Negeri di Jasirah Utara Hitu dengan bantuan pasukan Alifuru dari Seram.

Pada tanggal 16 oktober 1817, Laksamana Buyskes sebagai Panglima tertinggi Belanda yang datang sendiri ke Maluku memerintahkan serangan umum ke Hitu menyebabkan terjadilah pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Pasukan Ulupaha akhirnya terdesak dan bergerilya di hutan-hutan. Ulupaha lalu menyingkir ke Seram Barat dan menggabungkan diri dengan pasukan dari Negeri Luhu menyerang benteng Belanda di Luhu. Benteng tersebut akhirnya jatuh ke tangan pasukan Ulupaha.

Belanda kembali menyerang Seram Barat dan menduduki benteng Luhu. Kemudian ekspedisi khusus diadakan untuk menangkap Ulupaha. Pada bulan Januari 1818 pahlawan tua ini digotong dengan tanda memasuki benteng Victoria, tanggal 19 Pebruari 1818, sidang kilat Pengadilan Ambon menjatuhkan hukuman mati dan pada tanggal 20 Pebruari 1818 pahlawan tua ini dieksekusi hukuman mati gantung di lapangan yang berada di depan benteng Victoria


SAID  PRINTAH

Said Printah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di Pulau Saparua dari marga Pattisahusiwa. Penulis-penulis Belanda menulis nama Said juga sebagai Sayat (Sayat Printah). Tokoh ini ikut berjuang menentang Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817 bersama Sarasa Sanaki yaitu Patti Siri Sori Islam yanag diangkat Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan yang menandatangani “Proklamasi Haria”. Verheull menulis bahwa Said Printah dihukum mati gantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama ketiga pahlawan lainnya yaitu Anthone Rhebok Kapten Borgor, Philip Latumahina Letnan Borgor, Melchior Kesaulya alias Pattisaha dan Thomas Matulessy alias Pattimura.

Sebenarnya nama Said Printah sebagai Raja Siri Sori Islam yang mati digantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 itu tidak ada namanya dalam surat keputusan eksekusi dari Buyskes bersama ketiga pahlawan di atas. Hal ini diperkuat lagi oleh daftar silsilah keturunan raja-raja Siri Sori Islam, yang menjelaskan bahwa raja mereka yang pertama adalah Said Printah alias Pattikahang. Ia diberhentikan dengan hormat pada tahun 1819, meninggalnya kapan tidak diketahui. Dengan demikian jelas bahwa Said Printah tidak termasuk pahlawan yang dihukum mati gantung pada pagi tanggal 6 Desember 1817. Sejarahwan I. O. Nanulaitta, mengatakan bahwa Said Printah adalah raja Siri Sori Islam, tokoh historis yang berjuang melawan Belanda, juga dihukum mati gantung. Hanya saja vonis Raad van Yustitie harus membuktikan “missing link” ini dan juga keputusan Buyskes. Tapi kedua-duanya belum ditemui atau tidak ada. Sejarahwan J. A. Pattikayhatu berpendapat bahwa yang dimaksud Verheull dengan Said atau Sayat Printah itu adalah Melchior Kasaulya yaitu tokoh yang diangkat Pattimura untuk mewakili raja Siri Sori yaitu Salomon Kesaulya yang telah berkhianat dan tewas dalam pertempuran Waisisil.


ANTHONE  RHEBOK

Anthone Rhebok Kapten orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura pada tahun 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Anthone Rhebok bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede dan memimpin pertempuran melawan ekspedisi tentara Belanda di pantai Waisisil di Pulau Saparua. Anthone Rhebok juga diserahi tugas oleh Thomas Matulessy untuk mengatur pertahanan rakyat di Pulau Nusalaut dan merebut benteng Belanda yaitu Beverwijk di Sila Leinitu. Ia juga aktif di medan-medan pertempuran di Pulau Saparua dan sekitarnya.

Pahlawan dari staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus” tentara cadangan Inggris itu tertangkap bersama Patih Negeri Tiouw Jacobus Pattiwael pada tanggal 13 November 1817. Mereka diangkut dengan kapal perang “Evertsen” ke Ambon. Di atas kapal dia bertemu dengan panglimanya Thomas Matulessy dan lain-lain tawanan. Anthone Rhebok mendapat hukuman mati gantung oleh Pengadilan Belanda Ambonsche Raad van Justitie. Laksamana Buyskes mengesahkan hukuman tersebut dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 131. Akhirnya pada tanggal 16 Desember 1817 Anthone Rhebok menaiki tiang gantungan sebagai orang kedua bersama Thomas Matulessy di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota Ambon.


PHILIPS  LATUMAHINA

Philips Latumahina Letnan orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam perang Pattimura di tahun 1817. Bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede pusat pertahanan Belanda di kota Saparua dan membantu Thomas dalam pertempuran melawan tentara Belanda di pantai Waisisil di Saparua. Philips juga ikut memimpin pertempuran-pertempuran di Saparua, Tiouw dan tempat-tempat pertempuran lainnya di Jasirah Hatawano dan Jasirah Tenggara (Ouw – Ullath).

Pahlawan yang adalah staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura ini juga bekas mantan pasukan “Korps Limaratus”. Ia tertangkap bersama Johanis Matulessy kakak Thomas Matulessy pada tanggal 13 Nopember 1817 oleh pasukan Letnan Veerman di Hutan Booi – Paperu. Mereka ditahan dan diangkut dengan kapal perang “Reygersbergen”. Pada tanggal 12 Desember 1817, Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Kota Ambon) menjatuhkan hukuman mati gantung atas diri Letnan Philips Latumahina. Vonis ini disahkan oleh Laksanaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 129.

Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas.


MELCHIOR KESAULYA

Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan Pattisaha adalah raja Siri Sori yang diangkat Thomas Matulessy sebagai pembantuanya menggantikan raja Salomon Kesaulya yang berkhianat dan tewas dalam pertempuran di pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes tanggal 20 Mei 1817. Melchior-lah yang menandatangani “Proklamasi Haria” pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei 1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu komandan pasukan rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda “Zeelandia” dibawah pimpinan Kapitan Lukas Selanno yang dibantu oleh Kapitan Lukas Lisapaly alias Kapitan Aron.

Ketiga kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps Limaratus dibawah pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan, Melchior tertangkap dan dibawa bersama para kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Vonisnya disahkan Laksamana Buyskes dengan Surat Keputuan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 132. Ia naik tiang gantungan pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantuangan dan yang terakhir adalah pahlawan Thomas Matulessy

Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...