Jumat, 03 Desember 2021

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815)


Belanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan. Raja Belanda, Willem I, adalah raja otoriter pada tahun 1815. Dia merangsang ekonomi dengan baik, tetapi konservatif dalam politiknya. Belanda Selatan sedikit terwakili dalam administrasi dan kepemimpinan tentara, meskipun mereka adalah bagian yang lebih besar dari populasi dan tentara.

Belanda selatan sebagian besar berbicara bahasa Prancis karena mereka berbatasan dengan negara besar Prancis.

Raja Willem I ingin semua orang Belanda berbicara bahasa Belanda pada tahun 1823. Belanda Selatan tidak menginginkan itu, karena mereka merasa lebih milik dekat Prancis.

Belanda Selatan sebagian besar Katolik, sedangkan Belanda Utara sebagian besar Protestan. Umat ​​Katolik, mayoritas rakyat, menginginkan kebebasan pendidikan dan agama, sementara bagian selatan lainnya keberatan dengan gaya pemerintahan Willem I.

Sebagian masyarakat yang berbahasa Prancis keberatan dengan partai-partai patriotik dan petisi di Den Haag, bagian utara Belanda.

Pada tanggal 25 Agustus 1830, sebuah revolusi pecah, penduduk yang berpikiran Prancis dari bagian Selatan Belanda memberontak. Pemerintahan Sementara Belanda Selatan memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 4 Oktober 1830. Setelah pertempuran, tentara yang sebagian besar berbahasa Prancis diusir dari provinsi selatan jika tidak membelot ke pihak Belgia. Kongres Nasional dipilih, dan seorang raja dipilih yang dipercayai rakyat.

Bagian Utara Belanda (Belanda yang sekarang), di bawah Raja Willem I, menolak untuk mengakui negara baru dan menyerang Belgia yang masih muda.

Setelah pertempuran 10 hari, Belanda kembali diusir. Kekuatan internasional terkejut dan membuat perjanjian baru yang lebih menguntungkan Belanda. Raja Willem I menolak menandatangani perjanjian itu.

Dalam perjanjian baru, Belgia harus menyerahkan sebagian Limburg ke Belanda dan kehilangan bagian timur Luksemburg. Belgia akan tetap netral dan Belanda harus mengizinkan Antwerpen untuk tetap membuka sebagian dari sungai Schelde Barat untuk menghubungkan pelabuhan dengan sungai Rhine.

Raja Willem I terus menolak dan Belgia dan Belanda tetap berperang.

Pada bulan Maret 1838, Raja Willem I mengumumkan bahwa dia menyetujui persyaratan dan mengakui kemerdekaan Belgia.

Belanda dan Belgia saat ini sejak 1839 (secara resmi)

Perjanjian Perpisahan Belanda-Belgia

Pada tahun 1839 ia menandatangani Perjanjian London.

Willem I telah mengubah sikapnya karena situasi politik. Hubungan antara raja Belanda dan kelas politik telah benar-benar terganggu karena gaya pemerintahannya, dan situasi keuangan Belanda sekarang sangat buruk. Dengan menerima perjanjian damai dengan Belgia, ia memenuhi tuntutan politisi. Dan pada tahun 1840 ia harus mengundurkan diri setelah skandal - pengumuman pernikahannya dengan seorang countess Katolik Belgia. (Keluarga kerajaan Belanda adalah Protestan)


Sumber:

De Belgische Revolutie (https://nl.wikipedia.org/wiki/Belgische_Revolutie)

180 jaar geleden gingen Belgiƫ en Nederland officieel uit elkaar (https://www.de-lage-landen.com/.../180-jaar-geleden...)

Kudeta NAZI di NIAS



Kepulauan Nias, Sumatera Utara ternyata mempunyai hubungan baik dengan Jerman. Pulau ini bahkan pernah dimerdekakan oleh 66 orang tawanan Jerman yang lolos dari hukuman Belanda.

Herwig Zahorka menuliskan sejarah merdekanya Nias. Cerita ini dimulai saat Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membawa 477 tawanan Jerman ke tangan kolonial inggris India. Belanda menggunakan kapal yang bernama KPM 'VAN IMHOFF' dengan Kapten kapal bernama Bongvani.

Ratusan orang Jerman tersebut pada akhirnya ditawan dengan kawat berduri. Belanda pun mengawasi mereka dengan menurunkan 62 tentara bersenjata lengkap.

Penyiksaan mereka hanya berlangsung satu hari. Keesokan harinya, kapal tersebut mendapat serangan dari pesawat tempur Jepang. Kapal VAN IMHOFF diberondong tiga bom. Dua bom mendarat di laut, tetapi bom ke tiga mengenai kapal tersebut.

Para tentara Belanda pun kocar-kacir menerima serangan dari Jepang. Mereka menyelamatkan diri dengan menggunakan lima perahu kargo yang ditarik dengan perahu motor penarik. Dengan kapal kargo tersebutlah, orang-orang Belanda meninggalkan kapal dan menuju ke Sumatera.

Beberapa tawanan Jerman yang panik pun akhirnya dapat kabur dari penjara. Mereka menyadari bahwa kapal tersebut akan tenggelam akibat terkena bom dari Jepang.

Dalam upaya menyelamatkan diri, mereka menemukan sebuah sekoci yang tidak sempat dibawa Belanda. Akhirnya beberapa orang tawanan Jerman pun naik dan menyelamatkan diri. Sekitar 200an orang terjun ke laut berharap datangnya bantuan dan diduga mereka tidak selamat.

Hari-hari berlalu, mereka terombang-ambing di tengah laut menahan lapar, terjemur matahari dan bahkan ada yang bunuh diri karena sudah pasrah. Tepat pada hari ke 4 tepatnya 23 Januari 1942, mereka sampai di Pulau Nias.

Keesokan paginya, para tawanan yang sudah lemah dibantu beberapa orang Nias dan seorang pastur Belanda, Ildefons van Straalen, memberikan makanan dan minuman kepada tawanan yang selamat.

Namun sayang, keberadaan mereka di Pulau Nias diketahui oleh Belanda. Mereka akhirnya dibawa ke Ibukota Gunung Sitoli dan dipenjara dengan penjaga dari Belanda dan polisi Indonesia dari daerah Sumatra Utara.

Para tawanan Jerman yang sempat merasakan kebebasan sejenak, akhirnya berusaha mendekati polisi Indonesia. Ide itu pun berhasil. Sepertinya, nasib Jerman kala itu sedang beruntung. Jepang sebagai sekutunya sedang mendarat di Sumatera dan Jawa.

Bantuan Jepang dan kerja sama dengan polisi Indonesia membuat mereka bisa menghirup udara kebebasan kembali. Sedangkan nasib para penjaga Belanda, mereka dibawa ke pengasingan dan tersiksa.

Atas kerja sama tersebut, Jerman dengan Nias menyatakan 'Kemerdekaan Republik Nias'. Rakyat Nias pada saat itu sangat gembira menerima kemerdekaan tersebut. Dan dua orang tawanan Jerman, Herr Fischer dan Albert Vehring menjadi Perdana Menteri dan Mentri Luar Negeri.

Sorak-sorai rakyat Nias wajar, karena mereka merasa mendapatkan kekuatan atas kemerdekaannya. Beberapa minggu setelah merdeka, orang Jerman bersama dengan Nias membuat perjanjian, yang kini dikenal sebagai perjanjian Pulau Nias.

Namun Republik Nias ini tak bertahan lama. Tahun 1942, saat Jepang datang, orang-orang Jerman ini menyerahkan 'Republik Nias' ke tangan balatentara Nippon. Sebab Jepang adalah sekutu Jerman dalam Perang Dunia II. Indonesia diakui sebagai jajahan Jepang.

Republik Nias ini umurnya hanya beberapa bulan saja, itulah sebabnya warga Nias sendiri tak banyak tahu soal kiprah para orang Jerman ini. Mereka umumnya hanya mengetahui orang Jerman banyak menjadi misionaris di pulau yang terkenal dengan lompat batunya.


Sumber : https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tawanan-jerman-buat-pulau-nias-merdeka-dari-belanda.html

Kamis, 02 Desember 2021

Menegakkan Aturan, Jan Pieterszoon Coen Hukum Mati Pedofil

Patung Jan Pieterszoon Coen di Lapangan Banteng

Jan Pieterszoon Coen adalah peletak dasar kolonialisme Belanda. Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629— juga kesohor sebagai Calvinisme yang taat. Ia bahkan turut mendidik kaumnya untuk taat kepada Tuhan. Ia bertindak sebagai penjaga moral. Tiada ampun bagi orang Belanda yang melanggengkan praktik perzinaan, terutama pedofilia. Mereka diancam hukuman mati.

Dalam lembar sejarah penjajahan Belanda, sosok Coen adalah yang paling dikenal. Ia jadi sosok yang mampu berpikir melampaui zaman. Rencana monopoli perdagangan di wilayah Nusantara adalah idenya. Namun, Coen tak hanya berpikir perkara monopoli. Ia justru berpikir yang lebih besar, yakni membangun koloni di Nusantara. Bukan sembarang koloni. Tapi koloni yang diisi orang-orang Eropa yang beradab. Sebuah koloni yang mengedepankan ketaatan pada Tuhan.

Sebagai bentuk keseriusan, tahun-tahun awal Coen sebagai Gubernur Jenderal banyak didedikasikan untuk memberantas penyakit moral. Pemberantasan makin kuat ketika Coen menaklukkan Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia pada 1619. Ia serta merta menginginkan Batavia muncul sebagai kota yang menganut nilai-nilai religius.

Semua itu karena kehidupan di Tanah Koloni yang banyak menganggap sepele nilai-nilai keagamaan. Akibatnya, perzinaan muncul pada tiap sudut kota berjuluk Ratu dari Timur. “Pada awalnya hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mengendalikan situasi tersebut. Para prajurit dan pelaut telah tercerabut dari Tanah Airnya, kekurangan wanita, dan ditempatkan di kantor-kantor dagang terpencil di daerah dengan peradaban yang asing,”

“Mereka mendengar desas-desus tentang harem yang berasal dari pertemuan-pertemuan awal para pedagang senior dengan para putri bangsawan Asia. Sementara atasan mereka sendiri mengambil para budak untuk kebutuhan pribadi. Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai moral yang mereka bawa dari Tanah Airnya mulai memudar dan tidak bisa diharapkan lagi,” ungkap Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Coen mengupayakan segala cara untuk memberantas penyakit moral. Peraturan mengikat yang berlaku untuk semua orang Belanda yang tinggal di Batavia dikeluarkan olehnya. Orang Belanda di Batavia dilarang memiliki satu atau lebih budak wanita untuk dijadikan gundik dengan alasan apapun. Bagi Coen, terlalu banyak kasus aborsi menyedihkan yang terjadi di Batavia.

Lagipula, masalah terkait seorang gundik mencoba membunuh tuannya dengan racun karena kecemburuan dan lain hal makin mengemuka. Peraturan itu awalnya tak berjalan efektif. Coen kemudian memahami situasi bahwa masih banyak para pejabat tinggi VOC yang menggunakan jasa budak wanita sebagai ‘teman tidur'.

Tepat setelah dua tahun berdirinya Batavia, Coen makin memperketat peraturannya. Isinya terpampang jelas jikalau semua laki-laki dengan jabatan apapun dilarang melakukan perzinahan. Apapun bentuknya. Peraturan itu juga ditunjukkan kepada wanita Eropa. Kaum wanita Eropa dilarang berhubungan seksual tanpa ikatan dengan sesama kaumnya, apalagi dengan kaum lain – dari Mardijker hingga orang Moor.

“Untuk mengendalikan arus balik tersebut, Pemerintah Agung menerapkan sejumlah peraturan ketat yang mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai norma hidup di ‘Republik Kristen.’ Pergundikan dan ‘kumpul kebo’ dilarang keras dan mereka yang tertangkap basah melakukannya dihukum amat berat. Untuk menerapkan kebijakan itu jaksa kota dengan menunggang kuda dan pedeta dengan berjalan kaki rajin menyisir lingkungan pemukiman dan rumah-rumah,” tulis Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Hukuman mati untuk pedofil

Dalam menegakkan aturan, Coen tak pandang bulu. Bahkan mereka yang melakukan perzinaan yang dianggap Coen menyimpang, seperti homoseksual dan pedofilia turut diadili. Perzinaan bentuk itu biasanya terbatas pada kalangan pelaut dan kapal-kapal dagang VOC yang berdagang melayari samudera.

Pelayaran Belanda –Batavia yang selama hampir setahun mengharus mereka tidak mengikutsertakan istri. Yang terjadi mereka diwajibkan membujang dan menjauhkan diri dari hubungan seksual. Karena tidak ada wanita, berahi yang tak terhindarkan ini memunculkan penyimpangan seksual sesama jenis.

Kala itu homoseksual diatas kapal banyak dilakukan pelaut tua kepada pelaut muda. Coen paham benar masalah itu. Jauh sebelum menjadi gubernur jenderal VOC, sedari remaja Coen memang sering ikut berlayar. Berkat itu ia memahami betul Hierarki posisi di sebuah kapal dagang VOC yang sering kali memperlihatkan perlakukan menyimpang.

Lazimnya kapal dagang era itu, memiliki awak dengan ragam fungsi. Ada yang menjadi nakhoda, jurumudi, jurubatu, mualim, awak kapal, hingga muda-muda. Dominasi kaum laki-laki itulah yang membuat penyimpangan homoseksual banyak terjadi. Pun perihal pedofilia dari kalangan pelaut tua kepada muda-muda yang masih tercatat sebagai anak di bawah umur sering terjadi. Posisi muda-muda sendiri didominasi oleh mereka yang melaut untuk cari pengalaman.

“Kemudian ada juga muda-muda, kadet kapal yang ikut berlayar untuk mencari pengalaman. Tugas mereka ialah mendampingi nakhoda jika ia turun ke darat dan mengawasi orang abdi. Selama berlayar, mereka harus mengawasi orang jaga dan orang yang bekerja di anjungan,” ujar Adrian B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (2008).

Urusan perzinaan di atas kapal-kapal dagang ini dipandang sebagai pelanggaran serius oleh Coen. Tak main-main, kepada yang melakukan perizinahan --homoseksual atau pedofil-- hukuman mati akan menanti. Coen tak peduli dengan lamanya perjalanan antara Belanda-Batavia.

Ia cuma ingin orang Belanda di bawah kuasanya taat kepada tuhan dan menciptakan koloni dengan masyarakat kelas menengah baik-baik. Seperti di Belanda, katanya. Alhasil, Coen dengan tegas menyebut tidak ada seks dalam pelayaran. Melakukannya sama dengan kematian.

“Ketika kapal-kapal dagang VOC melayari samudra, seperti halnya kapal-kapal Eropa, untuk mencari komoditas bahan dagangan di benua lain, ada aturan yang sangat tegas yang harus dipatuhi para awak kapal. Aturan tersebut berupa larangan terhadap praktik homoseksualitas.”

“Walaupun perjalanan menantang maut kapal-kapal VOC ke timur menghabiskan waktu berbulan-bulan, larangan terhadap praktik homoseksualitas itu tetap diperlakukan. Apabila terbukti di antara awak kapal melakukan hukuman sejenis, hukuman mati menjadi imbalannya. Hal tersebut sangat berat, apalagi mereka harus menahan salah satu kebutuhan hakiki dalam waktu yang lama,” tutup Achmad Sunjayadi dalam buku [Bukan] Tabu di Nusantara (2018).


Sumber : https://voi.id/.../zaman-belanda-jan-pieterszoon-coen...

Loe Sek Hie, Komandan Pao An Tui


Loe Sek Hie lahir di Batavia pada tahun 1898 yang merupakan anak dari Baba Bangsawan Loe Tiang Hoei seorang Kapitan der Chinezen di pasar baru dari salah satu gundiknya yang berdarah Austria dan Jawa.

Selama masa mudanya ia mendapatkan pendidikan eropa dan disekolahkan di Europeesche Lagere School (ESL) dan Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia kemudian melanjutkan pendidikan perniagaan dan hukum.

Pada tahun 1927 Loe bergabung menjadi anggota Volksraad salah satu badan legislatif pertama di Hindia Belanda sampai masuknya Jepang ke Hindia Belanda dalam Perang Dunia II. Selama menjadi anggota Legislatif, Loe bersama H.H.Kan mewakili Chung Hua Tsung Hui (perkumpulan Tionghoa perantauan/peranakan) dimana mereka sedang berusaha mengupayakan penghapusan Diskriminasi berdasarkan Ras di Hindia Belanda dan berusaha mengembangkan sarana pendidikan dan kesehatan bagi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Dalam hal ini Loe menjadi kepala pengurus dan salah-satu pendiri Jang Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada).

Perang Dunia II terjadi dan Jepang mulai masuk ke wilayah Hindia Belanda dimana Loe ditangkap di Cimahi bersama dengan tokoh tokoh pemerintah kolonial lainnya termasuk rekan politiknya yaitu H. H.Kan dan Khouw Kim An, Majoor der Chinezen. Tidak lama kemudian Jepang terkalahkan dan Loe dibebaskan pada tahun 1945.

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, telah mengalamin banyak revolusi Nasional guna mempertahankan kemerdekaan akan tetapi dibalik semua proses ini terjadi banyak huru-hara yang berupa penjarahan dan pembunuhan yang dilakukan oleh milisi Indonesia yang tidak bertanggungjawab dimana sasarannya adalah orang Tionghoa.

Akibat insiden ini membuat Loe bersama Tokoh tokoh masyarakat Tionghoa lainnya melakukan konferensi Chung Hua Tsung Hui untuk membahas mengenai keselamatan nyawa orang Tionghoa yang saat ini masih terancam dan selalu menjadi korban. Konferensi ini juga didukung oleh Tanah leluhurnya yakni ROC dan akhirnya mereka telah mengambil keputusan untuk mendirikan sebuah unit militer Pao An Tui pada tahun 1947 yang diisi oleh pemuda Tionghoa yang beritikad untuk tetap netral dan bertindak sebagai barisan keamanan untuk melindungin Etnis Tionghoa. Loe ditunjuk menjadi pimpinan Pao An Tui mengingat Loe juga seorang Pro-Nasionalis yang punya banyak hubungan baik dengan pejabat Kuomintang.

Pao An Tui didukung oleh Perdana Menteri RI yaitu Sutan Sjahrir dan juga Soekarno akan tetapi walau didukung secara resmi mereka tidak bersedia untuk mempersenjatain mereka karena khawatir akan disalahgunakan. Maka dari itu Pao An Tui yang bermodalkan persenjataan yang begitu terbatas dimana Chiang Khai Shek telah mengirimkan persenjataan yang terbilang sangat dikit karena mereka juga masih melanjutkan konflik dengan Komunis.

Namun tidak lama kemudian Belanda mempersenjatai dan memberi pelatihan kepada Unit Pao An Tui, karena adanya bantuan dari Belanda ini banyak yang menuding bahwa Pao An Tui adalah kaki tangan Belanda, padahal sejatinya Pao An Tui hanya dipersenjatakan dan tidak bergerak dibawah Belanda melainkan bergerak sendiri secara Indenpenden dan tetap menyatakan netral walau ada sedikit bentrokan dengan para pejuang/TNI.

Setelah sukses melindungin etnisnya, Loe kemudian turut ikut dalam usaha soal masa depan Indonesia dan Loe mendukung Republik Indonesia Serikat (RIS) didirikan karena beranggapan bahwa RIS akan dapat lebih memfokuskan memberikan otonomi otonomi Non-Jawa di Tanah air, sebab menurutnya Federalisme adalah bentuk pemerintahan yang paling cocok untuk Indonesia yang bersifat beragam suku-bangsa yang tidak diharuskan berfokus pada satu patokan saja.

Akan tetapi karena Federalisme dipandang sebagai bentuk gaya barat dan usaha Belanda untuk menjajah dengan halus maka dari RIS dibubarkan dan tetap menjadi kesatuan RI.

Karena latar belakang Loe yang sangat dekat dengan pemerintah Kolonial membuat andil politiknya sangat berkurang pada era Kemerdekaan dan menuduhnya sebagai pengkhianat bangsa membuat ia harus tinggal di Belanda sampai akhir hayatnya.

Loe sek Hie meninggal di Den Haag di Belanda pada tanggal 24 Desember 1965.



Referensi:

- Setyautama, Sam & Mihardja, Suma. Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. 

- Tong, Chee Kiong (2010). Identity and ethnic relations in Southeast Asia racializing Chineseness. Dordrecht: Springer. 

- Sulardi (2015). Pao An Tui 1947-1949: Tentara Cina Jakarta.

- Wikipedia.

Rabu, 03 November 2021

504 Tahun Reformasi Protestan Sang Profesor, Martin Luther

 


Martin Luther merupakan seorang profesor di bidang teologi sekaligus pastor Katolik yang berasal dari Jerman. Luther menjadi dikenal karena menggagas Reformasi Protestan yang memberikan perubahan dalam sejarah Kekristenan dunia. Keputusannya untuk menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jerman memberikan dampak tidak saja bagi gereja maupun juga kebudayaan jerman. Berikut merupakan biografi dari pastor yang menginginkan agar para jemaat gereja bisa semakin dekat dengan Tuhan.


1.  Masa Kecil.

Martin Luther lahir pada 10 November 1483 di Eisleben, Mansfeld County, wilayah Kekaisaran Roma Suci. Putra dari pasangan Hans Luther dan Margarethe Lindemann. Orang tuanya merupakan petani meski Hans juga menuai kesuksesan dalam bidang pertambangan. Hans yang ambisius ingin Luther menjadi pengacara. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Karena itu di usia tujuh tahun ayahnya mengirim Luther ke sekolah bahasa Latin di Mansfeld, kemudian ke Magdeburg di 1497. Setahun kemudian, dia kembali ke Eisleben dan mempelajari tata bahasa, retorika, dan logika. Pelajaran yang disebutnya "Pembersihan dan Neraka". Pada 1501 saat dia berusia 17 tahun, dia masuk Universitas Erfurt dan memperoleh gelar Master of Art di bidang tata bahasa, logika, retorika, dan metafisika.

 

2.  Menjadi Biarawan.

Salah satu momen terpenting dalam hidup Luther terjadi pada 2 Juli 1505. Saat itu, dia sedang berada dalam perjalanan kembali ke kampus. Di saat hujan badai, petir menyambar dekat Luther. Kepada ayahnya, dia berujar begitu takut akan kematian dan penghakiman abadi. "Tolong! Santa Anna, aku ingin menjadi biarawan!" ujar Luther dalam teriakannya. Dia kemudian memutuskan berhenti dari sekolah hukum. Dia menjual bukunya, dan memasuki Biara St Augustine di Erfurt pada 17 Juli 1505. Sebuah keputusan yang mendapat respon negatif baik dari keluarga maupun teman-temannya. Luther mendedikasikan hidupnya bagi Ordo Augustine. Di antaranya berpuasa, berdoa, berziarah, dan melaksanakan pengakuan dosa. Meski begitu, awal kehidupan Luther tidaklah mudah. Sebabnya, dia tidak menemukan pencerahan rohani seperti yang selama ini dia cari. Mentornya, Johann von Staupitz, mencoba mengarahkan Luther agar dia hanya fokus kepada Yesus Kristus alih-alih dosanya. Von Staupitz mengajarkan bahwa pertobatan sejati tidak melibatkan hukuman. Namun dimulai dari perubahan diri sendiri. Pada 3 April 1507, Bishop Brandenburg Jerome Schults menahbiskan Luther di Katedral Erfurt. Setahun kemudian, dia dikirim untuk mengajarkan Teologi di Universitas Wittenberg. Dia menerima gelar Sarjana Studi Kitab Suci pada 9 Maret 1508 dan menerima gelar sarjana lain di bidang Dour Books of Sentences oleh Peter Lombard di 1509. Dia menerima titel Doktor Teologi pada 19 Oktober 1512 dan dua hari kemudian, dia diterima menjadi anggota Senat Fakultas Teologi Universitas Wittenberg.



3.  Dimulainya Reformasi Protestan.

Pada tahun 1516, seorang Imam Ordo Dominikan bernama Johann Tetzel dikirim ke Jerman oleh Kekaisaran Roma Suci untuk menjual surat pengampunan. Pengalamannya sebagai  imam  pengampunan  antara 1503-1510 membuatnya dilantik menjadi Komisioner Jenderal oleh Uskup Agung Mainz Albrech von Brandenburg. Selanjutnya pada tanggal 31 Oktober 1517, Luther menulis surat kepada Von Brandenburg memprotes penjualan surat pengampunan demi mendapat dana membangun Basilika Santo Petrus di Roma. Di umur 27 tahun, Luther berkesempatan menjadi delegasi konferensi Gereja Katolik di Roma. Di sana, dia merasa sedih dengan korupsi dan perbuatan amoral di antara imam. Di tengah studinya tentang Kitab Suci, dia mengalami pencerahan tatkala membaca Mazmur 22 saat mempersiapkan bahan kuliah. Di sana tertulis tentang ratapan dan penderitaan Yesus ketika menghadapi penyaliban. Sebuah ratapan yang mirip dengan kekecewaan Luther kepada agama dan Tuhan. Dua tahun kemudian ketika mempersiapkan bahan kuliah tentang surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dia membaca "orang benar bakal hidup oleh iman". Dia sempat merenungkan kalimat tersebut sebelum dia paham bahwa kunci keselamatan rohani bukan diperbudak dogma agama, tetapi percaya bahwa iman itu sendiri yang membawa keselamatan. Pada periode inilah, dia mengalami perubahan besar dalam hidupnya sekaligus menandai terjadinya Reformasi Protestan. Surat protes kepada Uskup Agung Von Brandenburg kemudian dikenal sebagai Ninety-five Theses yang dalam dua pekan, salinannya menyebar ke seluruh Jerman. Kemudian tulisan tersebut menyebar hingga ke Perancis, Inggris, maupun Italia pada 1519. Para cendekiawan menuju Wittenberg untuk mendengarkan kuliah Luther.


4.  Ekskomunikasi dengan Kepausan.

Setelah Theses menyebar, pada Juni atau Juli 1519, Luther menyatakan Kitab Suci tak memberi Paus hak eksklusif untuk menginterpretasikan. Pernyataan itu merupakan bentuk serangan langsung kepada otoritas kepausan. 15 Juni 1520, Paus Leo mengirim surat berisi ancaman. Surat itu berisi ancaman Luther bakal mendapat ekskomunikasi kecuali dia menarik 41 kalimat dalam suratnya, termasuk Theses dalam waktu 60 hari. Di 10 Desember 1520, Luther membakar surat tersebut yang membuat Paus Leo menjatuhkan ekskomunikasi pada 3 Januari 1521. Pada 18 April 1521, dia dipanggil untuk datang ke Diet of Worms, sebuah pertemuan otoritas sekuler Kekaisaran Roma Suci di kota Worms. Di sana, Luther kembali bersikukuh dia tak bersalah, dan meminta ditunjukkan dalil untuk mematahkan argumentasinya, yang tak bisa dilakukan dewan. Karena itu pada 8 Mei 1521, dewan mengeluarkan Dekrit Worms berisi larangan bagi Luther untuk menulis, dan mengumumkannya sebagai "terpidana bidaah". Dekrit itu membuatnya seolah dikutuk dan buronan. Seorang teman kemudian membantu menyembunyikannya di Kastil Wartburg. Selama dalam masa persembunyian, Luther menerjemahkan kitab Perjanjian Baru ke bahasa Jerman supaya masyarakat bisa memahaminya.


5.   Aliran Lutheran.

Meski berada dalam ancaman penangkapan, Luther memutuskan kembali ke Kastil Gereja Wittenberg yang berada di Eisenach. Di Mei 1522, dia mengatur sebuah gereja baru yang dikenal sebagai Lutheranisme yang ternyata mendapat dukungan para pangeran Jerman dan pengikut. Saat Perang Petani pecah di 1524, Luther memiluh untuk berpihak kepada para penguasa supaya gerejanya tetap bertumbuh. Setahun kemudian, Luther menikah dengan Katharina von Bora, mantan biarawati yang meninggalkan biara dan mengungsi ke Wittenberg, dan punya enam anak.


6.   Masa Akhir dan Kematian.

Antara 1533 hingga 1546, Luther mengabdi sebagai Dekan Teologi di Universitas Wittenberg. Saat itu, kesehatannya mulai menurun. Dia menderita Penyakit Meniere, vertigo, masalah pencernaan, dan katarak di salah satu matanya. Sakit dan masalah emosional memengaruhi tulisannya. Beberapa karyanya berisi bahasa yang menyinggung dan kasar terhadap beberapa elemen masyarakat. Antara lain kalangan Yahudi. Pada 18 Februari 1546 pukul 02.45, Luther meninggal dunia dalam usia 62 tahun di Eisleben setelah terserang stroke. Jenazahnya dimakamkan di Wittenberg, tepatnya di bawah mimbar. 




Untuk mengenang karya Profesor Martin Luther ini, maka tanggal setiap 31 Oktober dijadikan peringatan Hari Reformasi Gereja atau Hari Pekabaran Injil bagi Gereja Protestan di seluruh dunia.




Sumber : 

Artikel ini telah tayang di  text-decoration-line: none;">Kompas.com

dengan judul "Biografi Tokoh Dunia: Martin Luther, Tokoh Reformasi Protestan", Klik untuk baca:  text-decoration-line: none;">https://internasional.kompas.com/read/2018/11/07/21355921/biografi-tokoh-dunia-martin-luther-tokoh-reformasi-protestan?page=all 

Penulis & Editor : Ardi Priyatno Utomo

Selasa, 28 September 2021

Ingat Joseph Kam, Roskott, Valentijn Dan Jangan Lupa Willem Luijke

 

Lukisan profil Pendeta William Luijke dan tulisan pada nisannya di Ambon
(foto rudi fofid & negerisaparua.blogspot.com)

Sepanjang jalan sejarah gereja, betapa banyak pendeta telah hadir melayani. Masing-masing punya era, medan, dan cerita sendiri-sendiri. Gereja Protestan Maluku (GPM) yang tumbuh mekar dari Gereja Hindia Belanda, juga punya kisah pendeta-pendeta Belanda nan heroik dan dramatik. Joseph Kam,  Bernhard Nikolas Johann Roskott, dan Francois Valentijn adalah trio pendeta sangat tenar. Joseph Kam disebut Rasul Maluku oleh karena perjalanan misionarisnya yang spektakuler di Indonesia Timur, dan karya-karya agungnya di Maluku. Pengganti Kam yakni Roskott tidak kalah heroik. Ia berjasa besar di dunia pendidikan bagi pelayanan jemaat.

Jauh sebelum Kam dan Roskott, sudah hadir lebih dulu seorang pendeta tenar sekaligus kontroversial yakni Francois Valentijn. Ia bersahabat dengan G. E. Rumphius, bahkan pernah tinggal berlajar Bahasa Melayu Ambon di rumah ilmuwan besar itu. Buku Valentijn yang terkenal di dunia yakni Oud en Nieuw Oost-IndiĆ«n, lima seri tebal dan lengkap. Namanya abadi di Ambon sebagai Kawasan Valantijn dekat Paradijs. Selain itu, ia abadi  sebagai nama selat antara Pulau Seram dan Buano yakni Selat Valantijn.

Ada sebuah nama lain yang jarang dibicarakan. Dialah Pendeta Willem Luijke (sering juga ditulis Luyke). Ia tidak setenar ketiga pendeta lain. Jika Valentijn kembali ke Belanda, maka Kam dan Roskott tidak demikian. Keduanya memilih melayani Maluku sampai akhir hayat.

Luijke datang di Maluku dan bekerja bersama Kam. Setelah Kam wafat, Luijke  melanjutkan pekerjaan kependetaan bersama Roskott. Selain itu, Luijke juga memilih tidur abadi di Tanah Ambon.

Sebagian warga Ambon masih ingat, ketika seluruh makam di Belakang Soya dipindahkan ke Benteng Atas, tahun 1980an, hanya tersisa satu-satunya makam tua. Pemerintah Kotamadya Ambon menghormati sosok yang tidur di situ yakni Joseph Kam. Tahun 1998, wartawan Dino Umahuk memotret makam tua itu dan menulis kisahnya di Tabloid Patrioit, barulah banyak orang muda tahu, bahwa sosok Rasul Maluku itu ternyata tidur di Tanah Ambon. GPM khususnya Jemaat Bethel, kemudian membangun Gereja Joseph Kam. Dua lorong yang mengapitnya, juga diberi nama Josep Kam I dan Joseph Kam II.

Pendeta Roskott tidur di Rumahtiga, di tengah-tengah pemakaman Keluarga Huwae. Ia memang bertugas di Jemaat Rumahtiga, dan punya hubungan dekat dengan warga asal Negeri Allang yang berdomesili di Rumahtiga.

Di manakah Pendeta Luijke berbaring? Ternyata Luijke juga tidur di Rumahtiga. Istri dan dua anaknya juga dimakamkan saling berdekatan di dalam satu petak tanah yang cukup aman terlindung. Menemukan Makam Luijke tidaklah sulit. Di dekat Rumah Sakit Dokter Leimena, terdapat Lorong Prabowo, sebuah lorong menuju pantai, melintasi rumah anggota DPR RI Hendrik Lewerissa. Sekitar 200 meter dari jalan utama, terdapat dua pohon kelapa merah. Di bawah pohon kelapa itulah, terdapat empat makam tua. Makam Luijke berada di sebelah kiri belakang. Di samping kanan, berbaring istrinya. Di depannya, terdapat dua makam anak lelakinya yakni Willem Alexander Luijke, dan Thomas Albert Luijke.

Makam Pendeta Willem Luijke, istri dan dua anaknya di Rumahtiga Ambon (foto rudi fofid)

Dari Amsterdam

Willem Luijke lahir di Amsterdam, 7 September 1798. Ayahnya George Fredrik Luijcke and ibunya Margaretha Koeman. Ia menikah dengan Anna Carolina Petronella Harrar, dikaruniai delapan anak. Luijke wafat di Ambon, 21 Mei 1886, dalam usia 88 tahun. Pada nisan di samping makam Luyke, di nisannya tertulis Luyke Harrar, wafat 18 Juli 1879. Data ini sama dengan keterangan pada myheritage.com.

Delapan putera-puterinya berturut-turut berdasarkan tahun lahir yakni Willem Alexander Luijke (1844), Martha Frederika Luijke (1845), Frederik Christiaan Luijke (1847), Daniel Luijke (1849), Thomas Albert Luijke (1851), George Nikolaas Luijke (1853), Margaretha Agnes Luijke (1855), dan Benjamin Johannes Luijke (1861). Enam dari delapan anaknya lahir di Ambon, Martha Frederika Luijke dan Frederik Christiaan Luijke lahir di Saparua. Tahun kelahiran anak menjadi bukti bahwa pada saat itu, Luijke bertugas di sana.

Dari buku Een Opwekker op Timor, De tragische geschiedenis van Geerlof Heijmering (1792-1867) karya Christiaan George Frederik De Jong, diketahui tempat-tempat tugas Luijke selama di Maluku adalah di Kota Ambon (1827-1828), Moa (1828-1829), Sarai-Leti (1829-1841), Kota Ambon (1841-1842), Haruku (1842-1849), Kota Ambon (1849-1854), Hutumuri-Ambon (1854-1855), dan Rumahtiga-Ambon (1855-1883).

Karya Luijke yang patut dihormati yakni sejumlah terjemahan kitab suci ke dalam Bahasa Leti.  De Jong mencatat, Luijke membuat 30 pertanyaan dan jawaban, seperti katekismus dalam Bahasa Leti. Demikian juga Pangadjaran dari pada Sapuloh Penjurohan Allah, dan Kisah Kelahiran Yesus, Tata Bahasa Leti, serta terjemahan lain.

Dalam catatan sejarah Klasis Letti Moa Lakor sebagaimana disiarkan sinodegpm.org, 2 November 2018, tertulis bahwa antara tahun 1823-1825, Pendeta Josep Kam tiba di Letti dan menetap di Serai (Batumiau). Ia membawa enam orang pendeta, salah satunya Pendeta Luijke. Luijke ditempatkan di Toinaman, namun diserang malaria sehingga Kam membawanya ke Patti.

Sejarahwan gereja Cornelis Adolf Alyona adalah penulis yang cukup detail menulis Luijke. Alyona mengungkapkan dalam tulisannya bahwa tahun 1856 secara formal pelayanan terhadap Jemaat sepanjang Teluk Ambon Bagian Dalam yakni Rumahtiga, Poka, Waiheru, Lateri, Latta, Halong, dan Galala diserahkan kepada Luijke yang tinggal di Rumahtiga sejak 1855.

Luijke ternyata juga seorang penulis yang sangat dekriptif. Ia melukis suasana secara cermat. Alyona dalam tulisan berjudul “Jemaat Latta Dalam Lintasan Sejarah” mengutip laporan Luijke kepada Pengurus Besar Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) di Rotterdam, tentang penahbisan Gereja Latta. Terjemahan Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia oleh Alyona memperlihatkan sedetail inilah Luijke.

“Pada tanggal 26 November 1853 saya dijemput dengan sebuah perahu kecil yang dihiasi daun dan kembang beraneka warna. Ketika itu turut serta beberapa orang lain. Setiba di pantai – sesuai sifat orang Ambon – saya disambut penuh semangat dengan beberapa tembakan kehormatan disusuli musik. Tampak dua pemain biola; serta dua pemain klarinet dan dua pemain suling yang diminta dari paduan pemain musik Schutterij. Lantas saya diantar melewati jalan berhias dan dua gapura kehormatan yang juga dihiasi umbul-umbul sampai di gereja. Dari pekarangan sampai di dalam gedung gereja penuh dihiasi daun dan bunga beraneka warna. Setiba dekat rumah guru, tempat saya menginap, anak-anak menari bersaf-saf sehingga semua tampak hidup dan gembira. Ini adalah gedung gereja pertama yang dibangun dengan baik di Teluk Ambon bagian Dalam yang akan ditahbiskan, karena gedung-gedung di mana diadakan Ibadah biasanya gubuk atau terbuat dari gaba-gaba dan lebih sering digunakan untuk sekolah ketimbang gereja. Guru kelihatan senang dan bersuka cita karena gereja tersebut boleh dikatakan selesai; dibangun olehnya, di bawah pengawasannya, dan bagian-bagian terpenting dari bangunan gereja itu dibuat dengan tangannya sendiri. Padahal beliau harus berhubungan dengan masyarakat yang miskin namun bangga, karena sepanjang tahun beliau mesti bersabar dan rajin sampai akhirnya dapat menyelesaikannya. Namun, tahun terakhir sejak saya sekali-kali datang di sana untuk bekerja, banyak yang dikerjakan dari yang belum dapat diselesaikannya dibanding beberapa tahun sebelumnya. Gedung itu sendiri terdiri dari dinding setengah batu, papan yang digunakan juga dinilai berkualitas, kelihatan sangat kuat dan dihiasi dengan pintu dan jendela, tetapi tidak terlalu besar untuk jemaat yang berjumlah ± 500 jiwa. Dalam upacara itu tidak semua warga jemaat berlutut dikarenakan ruangan gereja penuh sesak. Yang berlutut hanya Luijke, Guru dan Sersan (Kepala Lingkungan/Wijk Latta). Di tengah gereja ada bangku kecil tanpa sandaran yang ditempatkan khusus di situ.”

(Lihat sumber asli http://waterlelielaan.blogspot.com/2011/07/jemaat-latta-dalam-lintasan-sejarah-2_06.html).

Alyona melukiskan Luijke sebagai gembala yang baik. Dalam hal tahyul, Roskott sangat keras, sedangkan Luijke justru tampil sebagai tokoh spiritual atas nama penggembalaan, bapak rohani yang sabar, pelayan yang berwibawa, dan disegani.

“Pada Malam Natal 25 Desember 1863, dengan penuh kasih ia menghimpun warga jemaat Latta (dan Lateri). Luijke memberi penguatan iman dalam kaitan dengan tahyul, yaitu Pontijana (kuntilanak). Pada 25 Juni 1865, ia hadir sebagai “tabib” ketika warga jemaat Latta (dan Lateri) diserang penyakit Pokken (penyakit cacar). Penelaan Alkitab juga diselenggarakannya pada 20 Januari 1867 sebagai langkah strategis untuk mencerahi pemahaman kekristenan dan mengokohkan spiritualitas jemaat,” tulis Alyona.

Dari tulisan Alyona dan de Jong, diketahui bahwa Luijke sering jatuh sakit. Selain di Moa, juga di Hutumuri. Sebab itulah ia dipindahkan ke Rumahtiga, bekerja bersama Roskott, sampai akhir hayatnya. 


Sumber : Laporan Rudi Fofid (Malukupost.com) 

Minggu, 26 September 2021

Marechaussee Kopassus-nya Londo


Korps Marechaussee te Voet, di Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh. Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.

Marsose ditugaskan di Hindia Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan Aceh.

Pasukan khusus Belanda untuk operasi kontragerilya di Aceh.

Di mata pejuang Aceh, marechaussee (baca: marsose) sangat dibenci, tetapi juga dihargai karena keberaniannya. Pasukan ini dibentuk pertama kali semasa Perang Kolonial Belanda di Aceh. Tugasnya adalah untuk melakukan operasi kontragerilya terhadap pejuang Aceh. Karena itu dianggap sebagai pasukan elite pertama yang dimiliki KNIL.

Salah satu kisah tersohor mereka adalah peristiwa kontak senjata dengan pasukan Teuku Umar yang berakhir dengan gugurnya pahlawan kita tersebut. Malam 10 Februari 1899, Letnan J. J. Verbrugh menempatkan detasemen Marsosenya di bawah pohon-pohon di pantai Meulaboh. Mereka ditugaskan untuk memasang jebakan terhadap Teuku Umar yang menurut laporan mata-mata akan melewati tempat tersebut. Sudah hampir 6 bulan lamanya unit-unit Marsose menjelajah rimba dan berkubang di rawa-rawa di pesisir barat dalam mengejar salah satu pemimpin perlawanan Aceh yang terkenal ini.

Setelah beberapa jam menanti, Verbrugh melihat serombongan besar orang Aceh bersenjata campuran menuju ke posisi pasukannya. Jumlahnya ditaksir lebih dari seratusan orang. Para Marsose menunggu barisan terdepan rombongan tersebut memasuki jarak tembak karaben Beaumont mereka. Sementara itu, orang-orang Aceh tidak melihat musuh telah bersiap di depan mereka. Tiba-tiba pada jarak sekitar 100 meter dari posisi Marsose, terdengar letusan serempak karaben Marsose. Rombongan orang Aceh itu masuk perangkap pasukan musuh. Karena panik, rombongan tersebut menjadi kacau-balau, lalu mundur tak teratur sambil melepaskan tembakan balasan secara serampangan. Penghadangan tersebut ternyata menelan korban di pihak Aceh. Terlihat beberapa orang roboh, sedangkan di pihak Marsose tak seorang pun terluka ataupun terbunuh.

Malam itu juga Verbrugh membawa pasukannya kembali ke induk kesatuannya. Ia tak berniat memburu lawannya yang mengundurkan diri itu karena medan tak menguntungkan di samping kalah jumlah. Beberapa hari kemudian diketahui bahwa dalam penghadangan 10 Februari malam tersebut, di antara korban gugur di pihak Aceh terdapat nama Teuku Umar, orang yang paling dicari-cari Belanda dan telah dijejaki selama berbulan-bulan oleh pasukan Marsose. Peristiwa itu dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Marsose.

Bendera Korps Marechaussee

Pembentukan Korps Marechaussee

Sejak perlawanan gerilya dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh, terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30 Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.

Sementara itu, dalam serangkaian cara untuk menguasai Aceh, atas usul dari seorang Minangkabau bernama Mohammad Syarif atau Mohammad Arif seorang kepala kejaksaan di Koetaradja (Banda Aceh sekarang). Putra Minang ini mencetuskan pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang pro terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer J.B. van Heutsz untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya. Pada tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.

Gagasan tersebut disambut oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer. Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.

Selain itu, struktur organisasi Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini setara dengan regu).

Hingga tahun 1904, Korps Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4 brigade.

Keunikan lainnya adalah anggota Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah bumiputra. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa, Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira. Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.

Setiap anggota Marsose harus memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobil, terlebih ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu, umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya. Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari masyarakat.

Selain itu, kesatuan Marsose ini mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet, tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan. Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan karaben Beaumont Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru berselongsong (magasen). Saat itu Beaumont adalah sejenis senjata modern yang baru dimiliki oleh KNIL. Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.

Renjaan Seorang Marsose – Profil Marsosee

Sistem pelatihan anggota dibuat sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret. Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus melakukan patroli jalan kaki jarak jauh. Di samping itu, keahlian membaca jejak pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.

Untuk menumbuhkan kebanggaan pada para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan “Tiga Jari”.

Simbol Korps Marechaussee

Para Marsose sangat bangga dengan Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh.

Peranan Korps Marechaussee dalam Perang Kolonial di Aceh. 

Sejak dibentuk pada 2 April 1890 hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial. Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya. 

Karena itu untuk mendapatkan pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri. Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Berbagai prestasi tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.

Marsose, dalam banyak catatan, lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.

Marsose sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi, walau dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamanan pasukan Marsose lebih banyak terjadi di Aceh saja dan tanah Gayo saja.

Pasukan Khusus Marsose itu bernama Kolone Macan

Kehadiran Marsose sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-perwira Belanda itu membentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan. Seperti halnya MarsoseKolone Macan juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana anggotanya adalah anggota-anggota Marsoseyang terpilih.

Ada perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel, Kapten (kelak Letnan Kolonel) Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens, walaupun Scheepens tergolong orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu, Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo. Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi, dimana berdiri sebuah garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh. Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.

Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.

Ekspedisi Pasukan Marsose ke Lam Meulo-Tangse-Geumpang

Setelah beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh. Selama di tangsi Cimahi yang damai itu, para Marsose itu juga diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon oleh marsose yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan, melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan memainkan klewang.

Di Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade yang biasanya berpangkat sersan terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang. Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.

Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila, seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping. Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat dan tuntas.

Reaksi keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar belakang dari tentara bayaran.Akhirnya komando atas daerah Aceh diganti dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang pernah dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian perwira Belanda yang benci kebengisan Van Daalen dan Christoffel, mulai merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.

Kolone Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki. Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia.

Akhir Korps Marsose

Namun tidak semua tindakan Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan pimpinan Letnan Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904. 

Peristiwa yang berlangsung di tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera, sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.

Penyelidikan yang dilakukan akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.

Meski dalam komposisi pasukan marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda. Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh. Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya kembali di Aceh.

Tugu kehormatan yang dibangun oleh tuan-tuan pemilik kebun Planters di Sumatera Timur dahulu untuk menghormati Ulang Tahun korps Marsose ke-40 tahun (1930) di Aceh. Pada tahun 1930 pula pasukan Marsose di Indonesia dibubarkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda


Akibat kekejaman diluar batas kemanusiaan, Korps Marsose akhirnya di bubarkan oleh Belanda sendiri. Kisah Marsose sejarahnya setelah perang Aceh berlalu hilang. Pada tahun 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Akibatnya pasukan Belanda taringnya yang tajam seperti pada saat Perang Aceh, dengan mudah ditaklukkan oleh Jepang pada Perang Dunia Kedua.

Foto-foto kekejaman Long March Pasukan Marsose ke Gayo dibawah pimpinan Jenderal C.G.E van Daalen

Penaklukkan Benteng Koeta Reh, sebuah operasi dibawah pimpinan Van Daalen di Tanah Gayo. Foto diambil 14 Juni 1904. Bagian dari Perang Aceh (1873-1904)
Kekejaman Belanda di Kampong Likat Tanah Gayo, anak-anak dan perempuan juga di bantai oleh tentara Belanda pimpinan Van Daalen. Perang Aceh (1873-1904)
Seluruh penghuni benteng Koeta Reh dibantai oleh pasukan  Korps  Marechaussee pimpinan Van  Daalen   (Perang Aceh 1873-1904)

Letnan Jenderal G.C,E. van Daaleen salah satu pemimpin Marsose yang paling kejam – Selama memimpin Long March selama 163 hari – Ia memerintahkan membakar kampung – Membunuh wanita dan anak-anak.

Warisan Sejarah Marsose

Tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol W.B.J.A Scheepens yakni Kapten W.J. Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945. Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946.

Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten W.J Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa. Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung.

Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling. Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD.


(Dari berbagai sumber)


  

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...