Jumat, 03 Desember 2021

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815)


Belanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan. Raja Belanda, Willem I, adalah raja otoriter pada tahun 1815. Dia merangsang ekonomi dengan baik, tetapi konservatif dalam politiknya. Belanda Selatan sedikit terwakili dalam administrasi dan kepemimpinan tentara, meskipun mereka adalah bagian yang lebih besar dari populasi dan tentara.

Belanda selatan sebagian besar berbicara bahasa Prancis karena mereka berbatasan dengan negara besar Prancis.

Raja Willem I ingin semua orang Belanda berbicara bahasa Belanda pada tahun 1823. Belanda Selatan tidak menginginkan itu, karena mereka merasa lebih milik dekat Prancis.

Belanda Selatan sebagian besar Katolik, sedangkan Belanda Utara sebagian besar Protestan. Umat ​​Katolik, mayoritas rakyat, menginginkan kebebasan pendidikan dan agama, sementara bagian selatan lainnya keberatan dengan gaya pemerintahan Willem I.

Sebagian masyarakat yang berbahasa Prancis keberatan dengan partai-partai patriotik dan petisi di Den Haag, bagian utara Belanda.

Pada tanggal 25 Agustus 1830, sebuah revolusi pecah, penduduk yang berpikiran Prancis dari bagian Selatan Belanda memberontak. Pemerintahan Sementara Belanda Selatan memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 4 Oktober 1830. Setelah pertempuran, tentara yang sebagian besar berbahasa Prancis diusir dari provinsi selatan jika tidak membelot ke pihak Belgia. Kongres Nasional dipilih, dan seorang raja dipilih yang dipercayai rakyat.

Bagian Utara Belanda (Belanda yang sekarang), di bawah Raja Willem I, menolak untuk mengakui negara baru dan menyerang Belgia yang masih muda.

Setelah pertempuran 10 hari, Belanda kembali diusir. Kekuatan internasional terkejut dan membuat perjanjian baru yang lebih menguntungkan Belanda. Raja Willem I menolak menandatangani perjanjian itu.

Dalam perjanjian baru, Belgia harus menyerahkan sebagian Limburg ke Belanda dan kehilangan bagian timur Luksemburg. Belgia akan tetap netral dan Belanda harus mengizinkan Antwerpen untuk tetap membuka sebagian dari sungai Schelde Barat untuk menghubungkan pelabuhan dengan sungai Rhine.

Raja Willem I terus menolak dan Belgia dan Belanda tetap berperang.

Pada bulan Maret 1838, Raja Willem I mengumumkan bahwa dia menyetujui persyaratan dan mengakui kemerdekaan Belgia.

Belanda dan Belgia saat ini sejak 1839 (secara resmi)

Perjanjian Perpisahan Belanda-Belgia

Pada tahun 1839 ia menandatangani Perjanjian London.

Willem I telah mengubah sikapnya karena situasi politik. Hubungan antara raja Belanda dan kelas politik telah benar-benar terganggu karena gaya pemerintahannya, dan situasi keuangan Belanda sekarang sangat buruk. Dengan menerima perjanjian damai dengan Belgia, ia memenuhi tuntutan politisi. Dan pada tahun 1840 ia harus mengundurkan diri setelah skandal - pengumuman pernikahannya dengan seorang countess Katolik Belgia. (Keluarga kerajaan Belanda adalah Protestan)


Sumber:

De Belgische Revolutie (https://nl.wikipedia.org/wiki/Belgische_Revolutie)

180 jaar geleden gingen Belgiƫ en Nederland officieel uit elkaar (https://www.de-lage-landen.com/.../180-jaar-geleden...)

Kudeta NAZI di NIAS



Kepulauan Nias, Sumatera Utara ternyata mempunyai hubungan baik dengan Jerman. Pulau ini bahkan pernah dimerdekakan oleh 66 orang tawanan Jerman yang lolos dari hukuman Belanda.

Herwig Zahorka menuliskan sejarah merdekanya Nias. Cerita ini dimulai saat Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membawa 477 tawanan Jerman ke tangan kolonial inggris India. Belanda menggunakan kapal yang bernama KPM 'VAN IMHOFF' dengan Kapten kapal bernama Bongvani.

Ratusan orang Jerman tersebut pada akhirnya ditawan dengan kawat berduri. Belanda pun mengawasi mereka dengan menurunkan 62 tentara bersenjata lengkap.

Penyiksaan mereka hanya berlangsung satu hari. Keesokan harinya, kapal tersebut mendapat serangan dari pesawat tempur Jepang. Kapal VAN IMHOFF diberondong tiga bom. Dua bom mendarat di laut, tetapi bom ke tiga mengenai kapal tersebut.

Para tentara Belanda pun kocar-kacir menerima serangan dari Jepang. Mereka menyelamatkan diri dengan menggunakan lima perahu kargo yang ditarik dengan perahu motor penarik. Dengan kapal kargo tersebutlah, orang-orang Belanda meninggalkan kapal dan menuju ke Sumatera.

Beberapa tawanan Jerman yang panik pun akhirnya dapat kabur dari penjara. Mereka menyadari bahwa kapal tersebut akan tenggelam akibat terkena bom dari Jepang.

Dalam upaya menyelamatkan diri, mereka menemukan sebuah sekoci yang tidak sempat dibawa Belanda. Akhirnya beberapa orang tawanan Jerman pun naik dan menyelamatkan diri. Sekitar 200an orang terjun ke laut berharap datangnya bantuan dan diduga mereka tidak selamat.

Hari-hari berlalu, mereka terombang-ambing di tengah laut menahan lapar, terjemur matahari dan bahkan ada yang bunuh diri karena sudah pasrah. Tepat pada hari ke 4 tepatnya 23 Januari 1942, mereka sampai di Pulau Nias.

Keesokan paginya, para tawanan yang sudah lemah dibantu beberapa orang Nias dan seorang pastur Belanda, Ildefons van Straalen, memberikan makanan dan minuman kepada tawanan yang selamat.

Namun sayang, keberadaan mereka di Pulau Nias diketahui oleh Belanda. Mereka akhirnya dibawa ke Ibukota Gunung Sitoli dan dipenjara dengan penjaga dari Belanda dan polisi Indonesia dari daerah Sumatra Utara.

Para tawanan Jerman yang sempat merasakan kebebasan sejenak, akhirnya berusaha mendekati polisi Indonesia. Ide itu pun berhasil. Sepertinya, nasib Jerman kala itu sedang beruntung. Jepang sebagai sekutunya sedang mendarat di Sumatera dan Jawa.

Bantuan Jepang dan kerja sama dengan polisi Indonesia membuat mereka bisa menghirup udara kebebasan kembali. Sedangkan nasib para penjaga Belanda, mereka dibawa ke pengasingan dan tersiksa.

Atas kerja sama tersebut, Jerman dengan Nias menyatakan 'Kemerdekaan Republik Nias'. Rakyat Nias pada saat itu sangat gembira menerima kemerdekaan tersebut. Dan dua orang tawanan Jerman, Herr Fischer dan Albert Vehring menjadi Perdana Menteri dan Mentri Luar Negeri.

Sorak-sorai rakyat Nias wajar, karena mereka merasa mendapatkan kekuatan atas kemerdekaannya. Beberapa minggu setelah merdeka, orang Jerman bersama dengan Nias membuat perjanjian, yang kini dikenal sebagai perjanjian Pulau Nias.

Namun Republik Nias ini tak bertahan lama. Tahun 1942, saat Jepang datang, orang-orang Jerman ini menyerahkan 'Republik Nias' ke tangan balatentara Nippon. Sebab Jepang adalah sekutu Jerman dalam Perang Dunia II. Indonesia diakui sebagai jajahan Jepang.

Republik Nias ini umurnya hanya beberapa bulan saja, itulah sebabnya warga Nias sendiri tak banyak tahu soal kiprah para orang Jerman ini. Mereka umumnya hanya mengetahui orang Jerman banyak menjadi misionaris di pulau yang terkenal dengan lompat batunya.


Sumber : https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-tawanan-jerman-buat-pulau-nias-merdeka-dari-belanda.html

Kamis, 02 Desember 2021

Menegakkan Aturan, Jan Pieterszoon Coen Hukum Mati Pedofil

Patung Jan Pieterszoon Coen di Lapangan Banteng

Jan Pieterszoon Coen adalah peletak dasar kolonialisme Belanda. Gubernur Jenderal Gubernur Jenderal VOC dua kali --1619-1623 dan 1627-1629— juga kesohor sebagai Calvinisme yang taat. Ia bahkan turut mendidik kaumnya untuk taat kepada Tuhan. Ia bertindak sebagai penjaga moral. Tiada ampun bagi orang Belanda yang melanggengkan praktik perzinaan, terutama pedofilia. Mereka diancam hukuman mati.

Dalam lembar sejarah penjajahan Belanda, sosok Coen adalah yang paling dikenal. Ia jadi sosok yang mampu berpikir melampaui zaman. Rencana monopoli perdagangan di wilayah Nusantara adalah idenya. Namun, Coen tak hanya berpikir perkara monopoli. Ia justru berpikir yang lebih besar, yakni membangun koloni di Nusantara. Bukan sembarang koloni. Tapi koloni yang diisi orang-orang Eropa yang beradab. Sebuah koloni yang mengedepankan ketaatan pada Tuhan.

Sebagai bentuk keseriusan, tahun-tahun awal Coen sebagai Gubernur Jenderal banyak didedikasikan untuk memberantas penyakit moral. Pemberantasan makin kuat ketika Coen menaklukkan Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia pada 1619. Ia serta merta menginginkan Batavia muncul sebagai kota yang menganut nilai-nilai religius.

Semua itu karena kehidupan di Tanah Koloni yang banyak menganggap sepele nilai-nilai keagamaan. Akibatnya, perzinaan muncul pada tiap sudut kota berjuluk Ratu dari Timur. “Pada awalnya hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mengendalikan situasi tersebut. Para prajurit dan pelaut telah tercerabut dari Tanah Airnya, kekurangan wanita, dan ditempatkan di kantor-kantor dagang terpencil di daerah dengan peradaban yang asing,”

“Mereka mendengar desas-desus tentang harem yang berasal dari pertemuan-pertemuan awal para pedagang senior dengan para putri bangsawan Asia. Sementara atasan mereka sendiri mengambil para budak untuk kebutuhan pribadi. Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai moral yang mereka bawa dari Tanah Airnya mulai memudar dan tidak bisa diharapkan lagi,” ungkap Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).

Coen mengupayakan segala cara untuk memberantas penyakit moral. Peraturan mengikat yang berlaku untuk semua orang Belanda yang tinggal di Batavia dikeluarkan olehnya. Orang Belanda di Batavia dilarang memiliki satu atau lebih budak wanita untuk dijadikan gundik dengan alasan apapun. Bagi Coen, terlalu banyak kasus aborsi menyedihkan yang terjadi di Batavia.

Lagipula, masalah terkait seorang gundik mencoba membunuh tuannya dengan racun karena kecemburuan dan lain hal makin mengemuka. Peraturan itu awalnya tak berjalan efektif. Coen kemudian memahami situasi bahwa masih banyak para pejabat tinggi VOC yang menggunakan jasa budak wanita sebagai ‘teman tidur'.

Tepat setelah dua tahun berdirinya Batavia, Coen makin memperketat peraturannya. Isinya terpampang jelas jikalau semua laki-laki dengan jabatan apapun dilarang melakukan perzinahan. Apapun bentuknya. Peraturan itu juga ditunjukkan kepada wanita Eropa. Kaum wanita Eropa dilarang berhubungan seksual tanpa ikatan dengan sesama kaumnya, apalagi dengan kaum lain – dari Mardijker hingga orang Moor.

“Untuk mengendalikan arus balik tersebut, Pemerintah Agung menerapkan sejumlah peraturan ketat yang mengatur kehidupan bermasyarakat sesuai norma hidup di ‘Republik Kristen.’ Pergundikan dan ‘kumpul kebo’ dilarang keras dan mereka yang tertangkap basah melakukannya dihukum amat berat. Untuk menerapkan kebijakan itu jaksa kota dengan menunggang kuda dan pedeta dengan berjalan kaki rajin menyisir lingkungan pemukiman dan rumah-rumah,” tulis Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Hukuman mati untuk pedofil

Dalam menegakkan aturan, Coen tak pandang bulu. Bahkan mereka yang melakukan perzinaan yang dianggap Coen menyimpang, seperti homoseksual dan pedofilia turut diadili. Perzinaan bentuk itu biasanya terbatas pada kalangan pelaut dan kapal-kapal dagang VOC yang berdagang melayari samudera.

Pelayaran Belanda –Batavia yang selama hampir setahun mengharus mereka tidak mengikutsertakan istri. Yang terjadi mereka diwajibkan membujang dan menjauhkan diri dari hubungan seksual. Karena tidak ada wanita, berahi yang tak terhindarkan ini memunculkan penyimpangan seksual sesama jenis.

Kala itu homoseksual diatas kapal banyak dilakukan pelaut tua kepada pelaut muda. Coen paham benar masalah itu. Jauh sebelum menjadi gubernur jenderal VOC, sedari remaja Coen memang sering ikut berlayar. Berkat itu ia memahami betul Hierarki posisi di sebuah kapal dagang VOC yang sering kali memperlihatkan perlakukan menyimpang.

Lazimnya kapal dagang era itu, memiliki awak dengan ragam fungsi. Ada yang menjadi nakhoda, jurumudi, jurubatu, mualim, awak kapal, hingga muda-muda. Dominasi kaum laki-laki itulah yang membuat penyimpangan homoseksual banyak terjadi. Pun perihal pedofilia dari kalangan pelaut tua kepada muda-muda yang masih tercatat sebagai anak di bawah umur sering terjadi. Posisi muda-muda sendiri didominasi oleh mereka yang melaut untuk cari pengalaman.

“Kemudian ada juga muda-muda, kadet kapal yang ikut berlayar untuk mencari pengalaman. Tugas mereka ialah mendampingi nakhoda jika ia turun ke darat dan mengawasi orang abdi. Selama berlayar, mereka harus mengawasi orang jaga dan orang yang bekerja di anjungan,” ujar Adrian B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (2008).

Urusan perzinaan di atas kapal-kapal dagang ini dipandang sebagai pelanggaran serius oleh Coen. Tak main-main, kepada yang melakukan perizinahan --homoseksual atau pedofil-- hukuman mati akan menanti. Coen tak peduli dengan lamanya perjalanan antara Belanda-Batavia.

Ia cuma ingin orang Belanda di bawah kuasanya taat kepada tuhan dan menciptakan koloni dengan masyarakat kelas menengah baik-baik. Seperti di Belanda, katanya. Alhasil, Coen dengan tegas menyebut tidak ada seks dalam pelayaran. Melakukannya sama dengan kematian.

“Ketika kapal-kapal dagang VOC melayari samudra, seperti halnya kapal-kapal Eropa, untuk mencari komoditas bahan dagangan di benua lain, ada aturan yang sangat tegas yang harus dipatuhi para awak kapal. Aturan tersebut berupa larangan terhadap praktik homoseksualitas.”

“Walaupun perjalanan menantang maut kapal-kapal VOC ke timur menghabiskan waktu berbulan-bulan, larangan terhadap praktik homoseksualitas itu tetap diperlakukan. Apabila terbukti di antara awak kapal melakukan hukuman sejenis, hukuman mati menjadi imbalannya. Hal tersebut sangat berat, apalagi mereka harus menahan salah satu kebutuhan hakiki dalam waktu yang lama,” tutup Achmad Sunjayadi dalam buku [Bukan] Tabu di Nusantara (2018).


Sumber : https://voi.id/.../zaman-belanda-jan-pieterszoon-coen...

Loe Sek Hie, Komandan Pao An Tui


Loe Sek Hie lahir di Batavia pada tahun 1898 yang merupakan anak dari Baba Bangsawan Loe Tiang Hoei seorang Kapitan der Chinezen di pasar baru dari salah satu gundiknya yang berdarah Austria dan Jawa.

Selama masa mudanya ia mendapatkan pendidikan eropa dan disekolahkan di Europeesche Lagere School (ESL) dan Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia kemudian melanjutkan pendidikan perniagaan dan hukum.

Pada tahun 1927 Loe bergabung menjadi anggota Volksraad salah satu badan legislatif pertama di Hindia Belanda sampai masuknya Jepang ke Hindia Belanda dalam Perang Dunia II. Selama menjadi anggota Legislatif, Loe bersama H.H.Kan mewakili Chung Hua Tsung Hui (perkumpulan Tionghoa perantauan/peranakan) dimana mereka sedang berusaha mengupayakan penghapusan Diskriminasi berdasarkan Ras di Hindia Belanda dan berusaha mengembangkan sarana pendidikan dan kesehatan bagi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Dalam hal ini Loe menjadi kepala pengurus dan salah-satu pendiri Jang Seng Ie (sekarang Rumah Sakit Husada).

Perang Dunia II terjadi dan Jepang mulai masuk ke wilayah Hindia Belanda dimana Loe ditangkap di Cimahi bersama dengan tokoh tokoh pemerintah kolonial lainnya termasuk rekan politiknya yaitu H. H.Kan dan Khouw Kim An, Majoor der Chinezen. Tidak lama kemudian Jepang terkalahkan dan Loe dibebaskan pada tahun 1945.

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, telah mengalamin banyak revolusi Nasional guna mempertahankan kemerdekaan akan tetapi dibalik semua proses ini terjadi banyak huru-hara yang berupa penjarahan dan pembunuhan yang dilakukan oleh milisi Indonesia yang tidak bertanggungjawab dimana sasarannya adalah orang Tionghoa.

Akibat insiden ini membuat Loe bersama Tokoh tokoh masyarakat Tionghoa lainnya melakukan konferensi Chung Hua Tsung Hui untuk membahas mengenai keselamatan nyawa orang Tionghoa yang saat ini masih terancam dan selalu menjadi korban. Konferensi ini juga didukung oleh Tanah leluhurnya yakni ROC dan akhirnya mereka telah mengambil keputusan untuk mendirikan sebuah unit militer Pao An Tui pada tahun 1947 yang diisi oleh pemuda Tionghoa yang beritikad untuk tetap netral dan bertindak sebagai barisan keamanan untuk melindungin Etnis Tionghoa. Loe ditunjuk menjadi pimpinan Pao An Tui mengingat Loe juga seorang Pro-Nasionalis yang punya banyak hubungan baik dengan pejabat Kuomintang.

Pao An Tui didukung oleh Perdana Menteri RI yaitu Sutan Sjahrir dan juga Soekarno akan tetapi walau didukung secara resmi mereka tidak bersedia untuk mempersenjatain mereka karena khawatir akan disalahgunakan. Maka dari itu Pao An Tui yang bermodalkan persenjataan yang begitu terbatas dimana Chiang Khai Shek telah mengirimkan persenjataan yang terbilang sangat dikit karena mereka juga masih melanjutkan konflik dengan Komunis.

Namun tidak lama kemudian Belanda mempersenjatai dan memberi pelatihan kepada Unit Pao An Tui, karena adanya bantuan dari Belanda ini banyak yang menuding bahwa Pao An Tui adalah kaki tangan Belanda, padahal sejatinya Pao An Tui hanya dipersenjatakan dan tidak bergerak dibawah Belanda melainkan bergerak sendiri secara Indenpenden dan tetap menyatakan netral walau ada sedikit bentrokan dengan para pejuang/TNI.

Setelah sukses melindungin etnisnya, Loe kemudian turut ikut dalam usaha soal masa depan Indonesia dan Loe mendukung Republik Indonesia Serikat (RIS) didirikan karena beranggapan bahwa RIS akan dapat lebih memfokuskan memberikan otonomi otonomi Non-Jawa di Tanah air, sebab menurutnya Federalisme adalah bentuk pemerintahan yang paling cocok untuk Indonesia yang bersifat beragam suku-bangsa yang tidak diharuskan berfokus pada satu patokan saja.

Akan tetapi karena Federalisme dipandang sebagai bentuk gaya barat dan usaha Belanda untuk menjajah dengan halus maka dari RIS dibubarkan dan tetap menjadi kesatuan RI.

Karena latar belakang Loe yang sangat dekat dengan pemerintah Kolonial membuat andil politiknya sangat berkurang pada era Kemerdekaan dan menuduhnya sebagai pengkhianat bangsa membuat ia harus tinggal di Belanda sampai akhir hayatnya.

Loe sek Hie meninggal di Den Haag di Belanda pada tanggal 24 Desember 1965.



Referensi:

- Setyautama, Sam & Mihardja, Suma. Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. 

- Tong, Chee Kiong (2010). Identity and ethnic relations in Southeast Asia racializing Chineseness. Dordrecht: Springer. 

- Sulardi (2015). Pao An Tui 1947-1949: Tentara Cina Jakarta.

- Wikipedia.

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...