Korps Marechaussee te Voet, di
Indonesia dikenal sebagai Marsose, adalah satuan militer yang dibentuk
pada masa kolonial Hindia Belanda oleh KNIL (tentara
kolonial) sebagai tanggapan taktis terhadap perlawanan gerilya di Aceh.
Korps ini tidak ada ikatan dengan Koninklijke Marechaussee di Belanda.
Marsose ditugaskan di Hindia
Belanda, antara lain dalam pertempuran melawan Sisingamangaraja
XII di Sumatera Utara, yang pada tahun 1907 berhasil
mengalahkan dan menewaskan Sisingamangaraja XII. Pada Perang Aceh, Marsose
dapat menguasai pegunungan dan hutan rimba raya di Aceh untuk mencari dan
mengejar gerilyawan Aceh.
Pasukan khusus Belanda untuk
operasi kontragerilya di Aceh.
Di mata pejuang Aceh,
marechaussee (baca: marsose) sangat dibenci, tetapi juga dihargai karena
keberaniannya. Pasukan ini dibentuk pertama kali semasa Perang Kolonial Belanda
di Aceh. Tugasnya adalah untuk melakukan operasi kontragerilya terhadap pejuang
Aceh. Karena itu dianggap sebagai pasukan elite pertama yang dimiliki KNIL.
Salah satu kisah tersohor mereka
adalah peristiwa kontak senjata dengan pasukan Teuku Umar yang berakhir dengan
gugurnya pahlawan kita tersebut. Malam 10 Februari 1899, Letnan J. J. Verbrugh
menempatkan detasemen Marsosenya di bawah pohon-pohon di pantai Meulaboh.
Mereka ditugaskan untuk memasang jebakan terhadap Teuku Umar yang menurut
laporan mata-mata akan melewati tempat tersebut. Sudah hampir 6 bulan lamanya
unit-unit Marsose menjelajah rimba dan berkubang di rawa-rawa di pesisir barat
dalam mengejar salah satu pemimpin perlawanan Aceh yang terkenal ini.
Setelah beberapa jam menanti,
Verbrugh melihat serombongan besar orang Aceh bersenjata campuran menuju ke
posisi pasukannya. Jumlahnya ditaksir lebih dari seratusan orang. Para Marsose
menunggu barisan terdepan rombongan tersebut memasuki jarak tembak karaben
Beaumont mereka. Sementara itu, orang-orang Aceh tidak melihat musuh telah
bersiap di depan mereka. Tiba-tiba pada jarak sekitar 100 meter dari posisi
Marsose, terdengar letusan serempak karaben Marsose. Rombongan orang Aceh itu
masuk perangkap pasukan musuh. Karena panik, rombongan tersebut menjadi
kacau-balau, lalu mundur tak teratur sambil melepaskan tembakan balasan secara
serampangan. Penghadangan tersebut ternyata menelan korban di pihak Aceh. Terlihat
beberapa orang roboh, sedangkan di pihak Marsose tak seorang pun terluka
ataupun terbunuh.
Malam itu juga Verbrugh membawa
pasukannya kembali ke induk kesatuannya. Ia tak berniat memburu lawannya yang
mengundurkan diri itu karena medan tak menguntungkan di samping kalah jumlah.
Beberapa hari kemudian diketahui bahwa dalam penghadangan 10 Februari malam
tersebut, di antara korban gugur di pihak Aceh terdapat nama Teuku Umar, orang
yang paling dicari-cari Belanda dan telah dijejaki selama berbulan-bulan oleh
pasukan Marsose. Peristiwa itu dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting
dalam sejarah Marsose.
Bendera Korps Marechaussee
Pembentukan Korps Marechaussee
Sejak perlawanan gerilya
dilancarkan pejuang Aceh, Belanda tidak mempunyai kontrol atas situasi di Aceh,
terlebih ketika sistem lini konsentrasi diterapkan. Awal upaya tentara Belanda
untuk mengatasi aksi gerilya baru diadakan pada masa lini konsentrasi. Pada 30
Oktober 1889 dibentuk 2 detasemen “pengawal mobil” untuk melakukan patroli di
sepanjang lini. Satu detasemen ditempatkan di Keutapang Dua dipimpin oleh
Letnan Satu I. M. van de Ende, dan satu detasemen ditempatkan di Lam Peuneurut
dipimpin oleh Letnan Dua M. Neelmeyer. Kedua detasemen ini merupakan cikal
bakal Korps Marechaussee yang dibentuk 6 bulan kemudian.
Sementara itu, dalam serangkaian cara untuk
menguasai Aceh, atas usul dari seorang Minangkabau bernama Mohammad Syarif atau
Mohammad Arif seorang kepala kejaksaan di Koetaradja (Banda Aceh sekarang).
Putra Minang ini mencetuskan pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk
untuk menghadapi gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang
pro terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer
Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer J.B.
van Heutsz untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang
memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya. Pada
tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen
pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya yang gagah berani, mampu bertempur dan berkelahi sedemikian
dekatnya dengan lawan hingga bisa menatap putih mata lawannya.
Gagasan tersebut disambut oleh
Gubernur Sipil dan Militer Aceh dengan membentuk satu divisi kesatuan khusus
bernama Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden (Korp Marsose Aceh dan
daerah takluknya) pada 2 April 1890 dengan komandan yang pertama dijabat oleh
Kapten G. G. J. Notten. Di antara kesatuan-kesatuan KNIL lainnya, Marsose
dikenal memiliki keunikan. Kata “marechaussee” sendiri berarti polisi militer.
Tetapi, tugas unit ini bukan sebagai provost atau semacam dinas keamanan
internal KNIL, melainkan sebagai unit tempur darat seperti kesatuan infantri
lainnya. Sebab, Marsose di bawah perintah langsung Gubernur Sipil dan Militer
yang mempunyai kekuasaan kepolisian (sipil) dan militer.
Selain itu, struktur organisasi
Marsose lebih ramping, hanya terdiri atas 4 tingkatan satuan. Namun, tingkatan
dan urutan satuan pada masa itu berbeda dengan susunan organisasi militer pada
masa kini.Tingkatan satuan tertinggi adalah Korps, dipimpin seorang kolonel. Di
bawahnya adalah Divisi, dipimpin oleh seorang kapten. Di bawah divisi adalah
Kompi, dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan dua, atau satuan
setingkatnya, Detasemen, yang dipimpin oleh seorang letnan satu atau letnan
dua. Terakhir, tingkatan satuan terendah adalah Brigade, dipimpin oleh seorang
bintara/sersan dengan jumlah anggota berkisar 10-12 orang (pada masa kini
setara dengan regu).
Hingga tahun 1904, Korps
Marechaussee memiliki 6 divisi yang tersebar di beberapa tempat di wilayah Aceh
Besar. Setiap divisi terdiri atas 4 kompi, dan setiap kompi terdiri atas 4
brigade.
Keunikan lainnya adalah anggota
Marsose merupakan orang-orang pilihan dari KNIL, dan sebagian besar adalah
bumiputra. Anggota dari kalangan bumiputra ini biasanya direkrut dari etnis di
wilayah yang telah ditaklukkan oleh Belanda, misalnya Ambon, Menado, Jawa,
Sunda, dan Timor. Meskipun mayoritas anggota adalah kaum bumiputra, namun dalam
sistem kepangkatan, KNIL mengikuti kebijakan penggolongan penduduk di Hindia
Belanda yang diskriminatif. Di Korps Marsose ini, bumiputera hanya dapat
mengisi posisi bintara (sersan) dan tamtama (prajurit), sedangkan orang
Belanda, Eropa dan Indo-belanda menempati posisi tamtama, bintara dan perwira.
Meskipun demikian, suasana pergaulan antar anggota tidak menjadi diskriminatif
secara ras, tetap hanya secara golongan kepangkatan.
Setiap anggota Marsose harus
memiliki keahlian khusus dan kemampuan individual yang tinggi. Sebab, kemampuan
tersebut sangat diperlukan dalam patroli-patroli mobil, terlebih ketika sistem
Lini Konsentrasi dihapuskan pada tahun 1896, Marsose sering harus melakukan patroli-patroli
jarak jauh menembus hutan belantara atau menyusuri rawa dan pantai untuk
menjejaki para pemimpin perlawanan Aceh. Karena diperlukan mobilitas yang
tinggi, maka setiap orang harus membawa perbekalan dan memasak makanannya
sendiri. Kemandirian ini yang membedakan Marsose dengan kesatuan lainnya. Dalam
operasi militer gabungan, sering dijumpai sebuah situasi, pada saat anggota
pasukan infantri marah-marah karena barisan tukang masak dan pembawa perbekalan
tertinggal jauh, para Marsose sedang memasak makanan mereka. Di samping itu,
umumnya para perwira Marsose mampu berbahasa Aceh lengkap dengan dialeknya.
Kemampuan berbahasa daerah mutlak diperlukan untuk menggali informasi dari
masyarakat.
Selain itu, kesatuan Marsose ini
mendapat perlengkapan dan persenjataan yang agak berbeda dengan kesatuan KNIL
lainnya. Setiap orang dipersenjatai dengan sepucuk senapan tanpa bayonet,
tempat peluru, sebilah kelewang serta diperlengkapi dengan ransel perbekalan.
Sejak tahun 1890, kesatuan Marsose sudah dipersenjatai dengan karaben Beaumont
Mk I, sejenis senapan repetir (repeater) yang mempunyai tempat peluru
berselongsong (magasen). Saat itu Beaumont adalah sejenis senjata modern yang
baru dimiliki oleh KNIL. Kesatuan reguler KNIL lainnya pada saat itu masih menggunakan
senapan lantak. Kemudian, sejak tahun 1896, kesatuan Marsose mengganti helm
besi yang tidak praktis dengan topi rimba dari anyaman bambu. Kelak, topi rimba
ini menjadi trend di kesatuan infantri KNIL lainnya.
Renjaan Seorang Marsose – Profil Marsosee
Sistem pelatihan anggota dibuat
sedemikian rupa supaya Marsose mampu melakukan kontragerilya. Setiap anggota
Marsose dilatih perkelahian jarak dekat dengan menggunakan kelewang. Latihan
ini membuat anggota Marsose umumnya mahir menggunakan pedang atau floret.
Kondisi fisik dan stamina mereka juga dibentuk dengan kuat karena mereka harus
melakukan patroli jalan kaki jarak jauh. Di samping itu, keahlian membaca jejak
pun terus diasah karena diperlukan untuk menjejaki lawan hingga ke sarangnya.
Untuk menumbuhkan kebanggaan pada
para Marsose, maka diciptakan simbol-simbol kesatuan, seperti lambang kesatuan
dan panji kesatuan. Kesatuan ini memakai lambang trisula berwarna kuning emas
yang disematkan pada kraag (kerah) seragam. Orang-orang Aceh menyebutnya dengan
“Tiga Jari”.
Simbol Korps Marechaussee
Para Marsose sangat bangga dengan
Korpsnya tersebut. Tidak hanya karena keunikan yang mereka miliki, tetapi juga
karena prestasi gemilang dan kisah-kisah keberanian dalam pertempuran turut
mengharumkan nama Korps ini. Kebanggaan ini menjadikan kesatuan ini sangat
solid dan akan melekat hingga para Marsose pensiun dari dinas militer. Terlebih
bagi mereka yang pernah bertugas di Aceh. Pengalaman bertugas di Aceh sangat
membekas dalam ingatan veteran Marsose karena beratnya medan perang dan lawan
yang harus mereka hadapi. Sering para veteran Marsose ini dalam merayakan ulang
tahun Korps Marsose setiap 2 April menghadirkan suasana Aceh untuk
bernostalgia, dengan sengaja menyajikan menu hidangan khas Aceh.
Peranan Korps Marechaussee dalam
Perang Kolonial di Aceh.
Sejak dibentuk pada 2 April 1890
hingga 1896, Marsose lebih banyak bertugas di sekitar Lini Konsentrasi karena
periode tersebut masih dalam kebijakan defensif yang berkonotasi menunggu para
pejuang Aceh menyerahkan diri ke benteng-benteng di sepangjang lini. Peranan
yang lebih luas mulai diberikan pada tahun 1896, ketika sistem Lini Konsentrasi
dihapuskan setelah Teuku Umar kembali melawan Belanda. Sejak itu marsose
melakukan aksinya secara sistematis menurut kebijakan perang kolonial.
Kebijakan dalam perang kolonial di Aceh banyak dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan Snouck Hurgronje. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa
gerakan perlawanan Aceh bersifat tradisional, karena hanya bisa timbul jika
dipimpin oleh tokoh masyarakat dari kalangan bangsawan atau pun ulama dan
cakupannya lokal. Untuk mematahkan gerakan perlawanan itu, maka pemimpin
perlawanan harus dipisahkan dari tubuh kelompoknya.
Karena itu untuk mendapatkan
pemimpin perjuangan Aceh, unit-unit marsose bisa selama berbulan-bulan mengejar
dan menjejaki kelompok itu. Sering terjadi bahwa akibat tidak tahan
dikejar-kejar akhirnya beberapa tokoh pejuang Aceh terpaksa menyerahkan diri.
Namun, sering pula para pejuang Aceh memilih berkelahi sampai gugur saat
pertempuran dengan unit-unit marsose tidak terelakkan lagi. Berbagai prestasi
tersebut mengangkat nama Korps Marechaussee dan menempatkannya sebagai kesatuan
elite di jajaran KNIL dan di mata masyarakat Belanda.
Marsose, dalam banyak catatan, lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.
Marsose sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi, walau dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamanan pasukan Marsose lebih banyak terjadi di Aceh saja dan tanah Gayo saja.
Pasukan Khusus Marsose itu bernama Kolone Macan
Kehadiran Marsose sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-perwira Belanda itu membentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan. Seperti halnya Marsose, Kolone Macan juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana anggotanya adalah anggota-anggota Marsoseyang terpilih.
Ada perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel, Kapten (kelak Letnan Kolonel) Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens, walaupun Scheepens tergolong orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu, Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo. Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi, dimana berdiri sebuah garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh. Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.
Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.
|
Ekspedisi Pasukan Marsose ke Lam Meulo-Tangse-Geumpang |
Setelah beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh. Selama di tangsi Cimahi yang damai itu, para Marsose itu juga diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon oleh marsose yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan, melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan memainkan klewang.
Di Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade yang biasanya berpangkat sersan terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang. Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.
Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila, seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping. Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat dan tuntas.
Reaksi keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar belakang dari tentara bayaran.Akhirnya komando atas daerah Aceh diganti dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang pernah dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian perwira Belanda yang benci kebengisan Van Daalen dan Christoffel, mulai merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.
Kolone Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki. Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia.
Akhir Korps Marsose
Namun tidak semua tindakan
Marsose disukai masyarakat Belanda. Sebuah operasi militer dianggap melewati
batas, bahkan sebagian masyarakat Belanda menilainya sebagai kekejaman yang
memalukan umat manusia di abad ke-20. Operasi militer tersebut dilakukan oleh
sebuah pasukan ekspedisi Marsose bernama Kolone Macan pimpinan Letnan
Christoffel di daerah Pidie pada tahun 1904.
Peristiwa yang berlangsung di
tengah-tengah gencarnya pelaksanaan Politik Ethis itu segera mendapat sorotan
dan kecaman dari masyarakat di negeri Belanda. Peristiwa itu dirasakan sangat
bertentangan dengan semangat ethis yang ingin mengangkat nasib bumiputera,
sementara di saat yang sama pembantaian bumiputera dilakukan di Aceh.
Penyelidikan yang dilakukan
akhirnya menyeret dua orang perwira pertama ke hadapan oditur. Proses
pengadilan itu rupanya tidak memuaskan salah seorang perwira itu, karena
penanggung jawab operasi itu, Kolonel Van Daalen, tidak diadili. Meskipun
keputusan pengadilan membebaskan kedua perwira itu dari tuduhan, namun mereka
merasa karir militer mereka tidak ada harapan lagi.
Meski dalam komposisi pasukan
marsose terdapat unsur pribumi, tetaplah sebagian besar bangsa Indonesia
memandang Korps Marsose dibentuk untuk mendukung politik penjajahan. Karena itu
banyak pejuang Aceh yang melakukan perlawanan keras terhadap tentara Belanda.
Keandalan dan keberanian gerilyawan Aceh dalam pertempuran memang sudah diakui
pihak Belanda. Dalam aksinya, gerilyawan Aceh sering melakukan penyerangan
terhadap patroli-patroli Belanda dan melakukan perkelahian jarak dekat, dan
setelah itu menghilang kembali ke hutan, kadang sambil membawa senjata rampasan
dari patroli yang dikalahkan. Korps Marechaussee merupakan salah satu alat
kebijakan Belanda dalam mengontrol situasi keamanan di Aceh, sehingga Belanda
pada akhirnya dapat mengurangi perlawanan besar bersenjata dari pejuang Aceh.
Tetapi perlawanan kecil yang bersifat sporadis tetap berlangsung sampai
berakhirnya kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda pada tahun 1942. Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Belanda tidak pernah menginjakkan
kakinya kembali di Aceh.
|
Tugu kehormatan yang dibangun oleh tuan-tuan pemilik kebun Planters di Sumatera Timur dahulu untuk menghormati Ulang Tahun korps Marsose ke-40 tahun (1930) di Aceh. Pada tahun 1930 pula pasukan Marsose di Indonesia dibubarkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda |
Akibat kekejaman diluar batas kemanusiaan, Korps Marsose akhirnya di bubarkan oleh Belanda sendiri. Kisah Marsose sejarahnya setelah perang Aceh berlalu hilang. Pada tahun 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Akibatnya pasukan Belanda taringnya yang tajam seperti pada saat Perang Aceh, dengan mudah ditaklukkan oleh Jepang pada Perang Dunia Kedua.
Foto-foto kekejaman Long March Pasukan Marsose ke Gayo dibawah pimpinan Jenderal C.G.E van Daalen
|
Penaklukkan Benteng Koeta Reh, sebuah operasi dibawah pimpinan Van Daalen di Tanah Gayo. Foto diambil 14 Juni 1904. Bagian dari Perang Aceh (1873-1904) |
|
Kekejaman Belanda di Kampong Likat Tanah Gayo, anak-anak dan perempuan juga di bantai oleh tentara Belanda pimpinan Van Daalen. Perang Aceh (1873-1904) |
|
Seluruh penghuni benteng Koeta Reh dibantai oleh pasukan Korps Marechaussee pimpinan Van Daalen (Perang Aceh 1873-1904) |
|
Letnan Jenderal G.C,E. van Daaleen salah satu pemimpin Marsose yang paling kejam – Selama memimpin Long March selama 163 hari – Ia memerintahkan membakar kampung – Membunuh wanita dan anak-anak. |
Warisan Sejarah Marsose
Tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol W.B.J.A Scheepens yakni Kapten W.J. Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945. Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946.
Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten W.J Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa. Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung.
Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling. Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD.
(Dari berbagai sumber)