Hari itu, tepatnya 9 Maret 1960
sekitar pukul 12 siang, Istana Merdeka Selatan telah diberondong kanon 23 mm
dari sebuah pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112 asal
Skadron Udara 11. Penerbangnya Letnan II Pnb Daniel Alexander Maukar, callsign
“Tiger”. Setelah kurang sukses melaksanakan tugasnya menembak kilang minyak
Shell Oil di Plumpang Tanjung Priuk, Istana Merdeka dan Istana Bogor, Daniel
Maukar akhirnya mendarat darurat di sebuah desa di Garut.
Nyaris sejak peristiwa itu
terjadi hingga hari ini setelah berlalu 47 tahun, sedikit sekali pengetahuan
orang soal itu. Tak kurang TNI AU sendiri, meski potongan-potongan cerita
keberanian Maukar menjadi semacam kebanggaan di kalangan tertentu di TNI AU.
Lalu kekuatan apa sesungguhnya yang membuat seorang perwira muda bernama Maukar
nekat menembak Istana Presiden; bagaimana ia menyiapkan misi itu; bagaimana
pula ia menyiapkan pelariannya ke Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat; apa
betul insiden itu terkait dengan rumor direbutnya kekasihnya Molly Mambo oleh
Presiden Soekarno serta bagaimana ia bisa lolos dari hukuman seumur hidup.
Angkasa beruntung bisa bertemu
dengan penerbang yang pernah memenuhi headline media massa Nasional pada tahun
1960-an ini. Tanpa ragu ia menuturkan panjang lebar makar yang dibuatnya hingga
kemudian mengubah jalan hidupnya. Kepada Angkasa Juli 2005, Mek atau Mok namun
lebih acap dipanggil Dan atau Dani ini, menerima Angkasa di rumah Nancy,
adiknya.
Mengaku sudah mengabdikan dirinya
sepenuhnya untuk gereja sebagai hamba Tuhan, Dani sempat menuturkan
kesederhanaan hidup yang dijalaninya beberapa tahun belakangan. “Saya tidak
lagi pakai kartu kredit dan segala macam bentuknya, saya hidup secukupnya,
besok saya harus ke pedalaman di daerah Palembang untuk misi gereja,” ujar
Dani, penganut Advent Hari Ketujuh ini bersahaja.
Namun Tuhan sudah punya rencana
terhadap hambanya. Kali ini Dani tidak bisa lagi mengelak dari maut yang
menjemputnya. Senin (16/4) dini hari sekitar pukul 01.00, Daniel Maukar
menghembuskan nafas terakhir setelah diketahui mengalami komplikasi paru-paru
basah dan kanker Thymos sejak Februari lalu. Dani menghembuskan napas terakhir
di rumah Nancy dan dikembumikan pada hari Selasa di TPU Pondok Rangon.
“Saya terharu sekaligus bahagia dengan
kepergiannya, karena selama sakit dia tak henti-hentinya menyebut dan memuji
nama Tuhan, terutama ketika rasa sakit itu menderanya,” ucap Nancy haru. Dimata
Nancy, Dani adalah pribadi yang religius. Salah satu kelebihan Dani menurutnya
adalah, selalu bisa menemukan kata-kata yang tepat di saat yang tepat untuk
menenangkan suasana.
Sambil mengenang kepergian Letda
Pnb Daniel Maukar (75), lewat rubrik Kisah Nyata ini kami sajikan perjalanan
hidup Letda Daniel Maukar. Tulisan dimulai dari masa remaja hingga sebuah
kekuatan besar menggiring Dani nekat menembak istana presiden, tempat
bermukimnya pemimpin tertinggi angkatan perang, yang secara tidak langsung
adalah pemimpinnya sendiri.
Berkenalan dengan Molly
Terlahir dari ayah Karel Herman
Maukar dan ibu ENNA Talumepa pada 20 April 1932 di Bandung, Dani sebenarnya
sudah cukup jauh dari Manado. Tanah leluhurnya itu baru dua kali dikunjunginya,
meski di dalam keluarga kultur Manado tetap dipertahankan. Dani merupakan anak
kedua dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi, semua
menggunakan nama keluarga Maukar. “Ayah saya polisi berpangkat ajun komisaris
besar, pernah jadi acting kepala polisi Jakarta,” aku Dani.
Seperti halnya pemuda seusianya,
Dani sebetulnya belum punya cita-cita yang mantap. Pengaruh teman sepermainan
dan lingkungan justru lebih banyak membentuknya. Mengikuti Sekolah Dasar
Akebono di Jatinegara dan setamat SMP K (Kristen), Dani sebetulnya ingin
meneruskan ke sekolah menengah pelayaran karena beberapa saudara dan temannya
banyak yang masuk ke sekolah ini. Tidak demikian di mata sang ayah.
“Kalau kamu cuma lulusan SMP dan nanti bosan
(kerja) di laut, kamu keluar hanya sebagai lulusan SMP dan susah cari kerja.
Ambil SMA dulu lah,” ujar sang ayah. Karena itu Dani pun memutuskan tidak jadi
bergabung dengan dua temannya Paul Katoppo dan Wim Moningka untuk masuk ke
sekolah pelayaran. Sesuai pesan sang ayah, Dani masuk SMA Gang Batu.
Satu hari ada pameran di Bandara
Kemayoran, “Ketika saya kelas 3.” Dani masih ingat dengan baik apa yang
disaksikannya. Bahkan undian joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda
yang tertera di tiket, diraihnya. Sejak itu, secara alami Dani mulai menyukai
dunia yang satu ini, dunia penerbangan. “Saya pikir pasti enak sekali dan om
saya kebetulan kerja di bagian teknik Garuda. Saya bilang ke dia bahwa saya
ingin masuk Garuda.”
Dani pun mengirim lamaran dan
mengikuti tes kesehatan. Sayang baginya, ketika tes kesehatan Dani dinyatakan
tidak memenuhi persyaratan. “Ada pembesaran di aorta jantung, saya ditolak.
Ketika saya sampaikan ke dokter keluarga, dokter ini bilang bahwa itu tidak
betul, coba saja tes lagi. Saya lalu pergi lagi ke dokter di RS Cikini untuk
melaporkannya,” tutur Dani. Namanya sudah takdir, keterangan Dani dihadapan
dokter RS Cikini tetap tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ada. “Kamu sih
suka angkat-angkat besi,” celetuk sang ayah ketika diceritakan soal ini.
Alhasil selepas SMA itu dan
ditolak di Garuda, Dani mengisi waktunya dengan bekerja. Salah satu pekerjaan
yang pernah dilakoninya adalah menjadi agen polisi, sekitar tahun 1952-54.
“Agen polisi itu pangkat paling rendah. Ayah saya kan kepala personalia polisi
di Jakarta, jadi saya bisa masuk. Waktu itu saya ikut karena polisi mau bentuk
pasukan perintis di Kramat Jati,” kenang Dani.
Berselang waktu setelah itu, ada
pembukaan lowongan di AURI dan Dani pun langsung mendaftar. Kepada dr Salamun
yang memeriksa kesehatannya, Dani menuturkan uneg-unegnya ketika tidak diterima
Garuda. “Ternyata saya sehat kok, tidak ada apa-apa.” Dani pun akhirnya
diterima.
Ada cerita lucu ketika itu. Dani
memiliki seorang teman yang cukup dekat, namanya Sudarto. Berdua mereka punya
cita-cita yang sama, yaitu jadi penerbang. Namun jalan hidup mereka seperti
tertukar, tak mau jalan bareng. Ketika Dani tidak diterima di Garuda, Sudarto
ditolak di AURI. Tahun berikutnya ketika mereka kembali sepakat mencoba namun
di-split, justru membuahkan hasil. Dani diterima di AURI dan Sudarto melenggang
ke Garuda.
Tepatnya 1 Januari 1956, Daniel
Maukar memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliterian
di Margahayu, Bandung. “Saya masih ingat pelatihnya Kapten Sukotjo, seorang
pelatih yang terkenal karena semasa Perang Revolusi pernah terjun payung di
Yogjakarta dan parasutnya robek namun bisa selamat.” Dani mengaku cukup dekat
dengan Sukotjo selama masa pendidikan enam bulan. Usai merampungkan pendidikan
dasar kemiliteran, para calon penerbang ini dikirim ke Lanud Kalijati untuk
mengikuti pendidikan dasar penerbang. Satu hal penting yang perlu dicatat pada
periode ini adalah, Dani dikenalkan dengan seorang wanita cantik bernama Molly
Mambo.
“Abang saya (Herman) yang memperkenalkannya
kepada Dani,” kata Nancy.
Di bekas pangkalan udara Belanda
ini Dani bertemu dengan Lettu Nav. Saleh Basarah yang juga sedang mengikuti
pendidikan konversi menjadi penerbang. Selain juga ada Lettu Aried Riyadi.
“Jadi untuk sekolah penerbang saya satu lichting dengan Pak Saleh yang juga
merangkap instruktur bombing. Selama pendidikan Dani sempat satu kamar bertiga
dengan Saleh Basarah dan Jatiyo. Ketika itu flying school digawangi oleh
beberapa perwira muda seperti Agustinus Andy Andoko, Saroso Hurip dan Dewanto.
Selama pendidikan di Kalijati,
Dani mengaku mengalami banyak kendala dan keterbatasan. Proses pendidikan
penerbang yang dilaluinya jauh dari mulus, yang menurut Dani memang dia tidak
terlalu bagus untuk urusan terbang. “Saya dibilang terbang miring dan
sebagainya, kondisi ini tentu tidak enak bagi saya,” jelasnya. Dari angkatannya
yang menonjol adalah Kuncoro Sidhi, namun kemudian gugur dalam sebuah
penerbangan. Begitu juga Sukardi dan Sobirin Misbach. Sukardi dikenang Dani
sebagai pribadi yang serba bisa, pendiam namun paling cepat menguasai hal baru,
baik itu pelajaran mau pun keterampilan. Sebelum sekamar dengan Saleh Basarah,
Dani sempat satu kamar dengan Sukardi.
“Orangnya pintar padahal tidak pernah belajar,
dengan melihat saja dia bisa tahu. Sebenarnya ada tiga orang yang pintar yaitu
Sukardi, Sobirin dan Sutarno. Sayang, Sutarno jatuh dan gugur dalam sebuah
penerbangan, tubuhnya ditemui bersandar di pohon, kalau tidak salah dia jatuh
dengan B-25,” kenang Dani soal teman-temannya.
Flying school
Diakui Dani, mereka para siswa
penerbang cukup nakal dan suka berbuat iseng. Buktinya ketika di Margahayu,
mereka dengan berpakaian rapi pernah secara diam-diam keluar dari markas
menggunakan truk. Termasuk ke dalam rombongan “berandalan” itu adalah Saleh
Basarah. “Tapi dia agak risih mungkin karena tahu senior.”
Begitu juga ketika di Kalijati,
Dani mengaku sempat beberapa kali membuat manuver yang tidak semestinya sebagai
seorang siswa. Pernah dia terbang AT-6 Harvard sambil nyamber di lapangan dan
setelah turun dimarahi seniornya Andoko. Ketika ditanya kenapa berbuat begitu,
“Saya bilang, saya kan minta (jadi penerbang) transport atau bomber, jadi saya
pikir ini terakhir kali jungkir-balik. Karena ulah itu saya ditahan tidak boleh
keluar sampai selesai pelantikan sekolah. Saya pikir mau sampai berapa bulan
ditahan. Nah, karena ada peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) di Sumatera, saya terselamatkan. Kami diperintahkan ke Palembang dan
saya jadi bebas,” beber Maukar.
Total selama pendidikan penerbang
yang diselesaikannya awal tahun 1958 itu, Dani menerbangkan tiga jenis pesawat.
Mulai dari L-4J Piper Cub, BT-3 Valiant dan AT-6.
Sebenarnya terdapat sedikit
kerancuan seputar keberangkatan Dani ke Palembang. Di satu sisi Dani mengatakan
bahwa ketika diperintahkan ke Palembang, dia masih berada di Kalijati untuk
advanced training. Namun dalam keterangan berikutnya, dia mengatakan sudah
berada sekitar sebulan di Skadron Udara 3 dan tengah belajar taxiing pesawat
P-51 Mustang ketika perintah ke Palembang diterimanya. Sepertinya yang terjadi
adalah, para komandan di Kalijati sudah mengetahui bahwa Dani dan
rekan-rekannya disiapkan untuk stand by di Palembang. Menjelang waktu
keberangkatan tiba, sepertinya mereka ditempatkan untuk sementara di Skadron 3.
Soal menjadi fighter, Dani
mengaku sebenarnya tidak sepenuhnya siap. “Saya sebetulnya tidak menyangka
karena saya minta bomber atau transport. Kenapa tidak mau jadi fighter, karena
saya merasa waktu itu tidak sanggup dan terbang saya kan tidak menonjol, tapi
tahu-tahu kok ditaruh menjadi fighter, sempat bingung tapi ya sudah mau apa
lagi.”
Marsda (Pur) Ibnoe Subroto tidak
setuju dengan pendapat Dani tentang kemampuan terbangnya. Kepada Angkasa Ibnoe
Subroto mengatakan, bahwa setiap penerbang yang masuk kelompok fighter pastilah
memiliki kemampuan terbang di atas rata-rata. “Maukar terbangnya bagus,” aku
Ibnoe Subroto ketika dihubungi via telepon.
Stand by di Palembang.
Awal tahun 1958 ketika aksi
Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) sedang panas-panasnya, Dani sudah
menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama kemudian dia ditempatkan di Skadron
3 sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of
force terhadap elemen PRRI yang masih bertahan. Hanya dua pesawat AT-6 Harvard
yang dikirim dengan penerbang kedua Letda Pnb Sobirin dan kru darat tak lebih
lima orang. Selain ke Palembang, sejumlah penerbang lainnya ditugaskan ke Bali.
Sebenarnya selama di Palembang
tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan Dani dan rekannya. Jika mau dibilang
operasi tempur, buktinya mereka hanya dibekali senapan mesin seperti Bren Mk 3
yang tidak ada artinya. “Saya ragu, kalau tidak salah ada roketnya. Total ada
sekitar tiga mingguan di Palembang sebelum saya dipanggil,” kata Dani.
Soal pemanggilan ini, Maukar
awalnya mengaku tidak tahu apa maksudnya. Karena toh Sobirin tidak menerima
pemanggilan serupa. Lagi pula mereka belum cukup sebulan berada di Palembang.
Pada satu hari saya didatangi
seorang personel AURI yang kemudian bertanya, “Kamu pernah ngomong tidak mau ke
luar negeri ya.” Karena merasa tidak pernah mengucapkannya, Dani membantah
pernyataan tersebut. Akhirnya dia menceritakan bahwa dulu sebenarnya Dani
pernah akan diberangkatkan ke luar negeri namun dibatalkan. Gara-garanya, ada
seseorang yang tidak dijelaskan identitasnya mengatakan kepada pihak Mabes AURI
bahwa Daniel Maukar tidak mau ke luar negeri. “Sekarang saya tanya, kamu mau
nggak ke luar negeri,” yang langsung dijawab Dani, “Kenapa tidak!”
Personel utusan itu akhirnya
menjelaskan bahwa saya terpilih untuk mengikuti pendidikan penerbang MiG-17
yang segera akan tiba di Tanah Air. Saat itu saya juga diberitahu bahwa
sebenarnya yang akan diberangkatkan adalah Letda Pnb Suyono dengan cadangan
Letda Pnb Rochmiyadi. Namun musibah keburu datang ketika kedua penerbang yang
duduk di dalam satu kokpit AT-6 secara bersamaan, pesawatnya jatuh. Menyimak
peristiwa ini, yang namanya kejadian memang betul-betul rahasianya Tuhan.
Semestinya yang terbang hari itu hanya Suyono, tapi entah kenapa Suyono
mengajak Rochmiyadi untuk ikut terbang bersamanya. Jadilah, karena calon dan
cadangannya berhalangan, pilihan jatuh kepada Dani. Seperginya Dani dari
Palembang, ia digantikan oleh Letda Pnb Susetyo.
Menurut seorang sejawat Dani
sekembalinya ke Indonesia setelah enam bulan di Mesir, alasan dipilihnya
dirinya ke Mesir sebenarnya cukup rumit. Selain yang hanya diketahui Dani bahwa
keberangkatannya dipenuhi rahasia tak terkecuali terhadap keluarga, ternyata
pimpinan AURI punya misi lain terhadap dirinya. “Katanya AURI khawatir kamu
akan diambil oleh Permesta,” jelas sang rekan. Apalagi sejumlah laporan
menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir pun tanpa
sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang
tidak dikehendaki.
Terpilih ke Mesir
Sebagai persiapan untuk mengawaki
MiG-17 yang dipesan AURI, enam penerbang diberangkatkan ke Mesir. Terdiri dari
Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah dan Dani sendiri. “Satu lagi
saya lupa namanya,” yang kemudian ketika Angkasa tanyakan kepada Ibnoe Subroto
dijawab, “Kuncoro Sidhi.”
Rombongan kecil ini berangkat ke
Mesir persis tanggal 1 Mei 1958. Mereka berada di Mesir hingga bulan November.
“Saya dengar Pope tertembak ketika di Mesir,” celetuk Dani. Yang dimaksud Pope
tak lain dari petualang udara Allan Lawrence Pope yang dibayar CIA untuk
membantu AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) Permesta menghadapi TNI. Dalam
sebuah operasi tanggal 18 Mei 1958, Pope yang menerbangkan B-26 Invader tertembak
di atas Teluk Ambon. Di kemudian hari ketika di penjara di LP Cipinang, Dani
bertemu dengan Pope sebagai sesama tahanan.
Dani mengenang masa-masa
pendidikannya di Mesir. Berenam mereka diberangkatkan dari Bandara Kemayoran
dengan menumpang pesawat Constellation milik Air India. Sejenak pesawat transit
di India sebelum akhirnya mendarat di Mesir dan disambut staf atase pertahan
udara Mesir yang orang Makassar. Ketika itu atase udara dijabat Budihardjo.
Selama enam bulan kemudian di Mesir, Dani mengaku merasakan nikmatnya hidup.
Dengan uang saku lebih dari cukup, lama-lama akhirnya malah mereka yang lebih
sering mentraktir para instruktur.
Fase pertama mereka menggunakan
MiG-15 sebelum ke MiG-17. Beberapa kali selama pendidikan Dani mengalami
insiden yang bisa merenggut nyawanya. Tapi instrukturnya Squadron Leader Saleh
Manawi selalu menyelamatkannya dengan memberikan bimbingan. Seperti saat
landing solo pertama kali. Pesawat tiba-tiba narik ke kanan, “Saya coba tahan
ke kiri tidak bisa, akhirnya saya menabrak lampu pendaratan sebelum berhenti.”
Rupanya ban meledak. Aturannya jika ban meledak, mesti rem kiri supaya lurus
lagi.
Setelah dijelaskan, Dani langsung
pindah pesawat dan disuruh naik lagi. Menjelang pendaratan dia diteriaki dari
bawah, “Kamu terlalu tinggi, 300 kaki di atas tanah, go around. Saya panik
karena perasaan sudah dekat. Hal itu berlangsung sampai tiga kali.”
Instrukturnya akhirnya angkat bicara. “Dani, kamu sampai di ujung kalau saya
bilang tutup throttle, tutup, percaya sama saya, karena kamu terlalu tinggi.”
Begitulah, akhirnya dia bisa mendarat. Sampai di bawah Dani diberi tahu bahwa
dia mengalami fenomena ground shyness, perasaan takut mendekati tanah.
Usai kejadian itu, Dani diberi
istirahat tiga hari. Sebelum terbang dia diajak joy flight oleh Saleh Manawi
dengan manuver yang ketat. Hari itu kebetulan ada penerbang Mesir gugur saat
latihan. Gara-garanya dia menembak ke bawah dua kali, padahal terorinya hanya
boleh satu kali lalu angkat hidung. “Dia buat dua kali hingga tanpa sadar sudah
mendekati tanah,” ujar Dani.
Pernah pula ketika melakukan
aerobatik, Dani sampai semaput hingga harus dirawat di rumah sakit seminggu lebih.
Sementara rekan-rekannya sudah pindah ke pangkalan lain untuk berlatih dengan
MiG-17. Instruktur yang melatihnya sampai ketakutan. Sementara Dani mengaku
kesal karena tidak ada yang membesuknya. Setelah itu Dani diperiksa ulang dan
dibawa ke ruang bertekanan untuk melatih ketahanan di ruang bertekanan. Dari
hasil pemeriksaan, diputuskan bahwa Dani mengidap anemia.
Dari pengakuan Nancy, sepertinya
saat itulah keluarga besar Maukar di Jakarta baru tahu bahwa Dani tengah berada
di Mesir. “Dia hanya pernah bilang mau sekolah ke luar negeri, tanpa menyebut
negara tujuan,” aku Nancy. Terbukanya rahasia ini berawal dari sebuah surat
yang dilayangkan Dani ke Jakarta untuk mengabarkan bahwa dirinya tengah sakit
dan dirawat. “Kop suratnya kok bahasa Arab, saat itu saya langsung tahu bahwa
dia ada di Mesir,” aku Nancy.
Karena alasan medis ini,
sebenarnya Dani sudah disarankan untuk dipulangkan ke Indonesia. Tapi Saleh
Manawi menukas, “Saya yang latih dia nanti.” Alhasil ketika Dani menyusul
rekannya di MiG-17, mereka kaget karena mengira Dani sudah kembali ke
Indonesia.
Di MiG-17, pengalaman buruk masih
menghantui Dani ketika pada satu hari pesawat yang diterbangkannya mati mesin.
“Waktu itu kami terbang jarak jauh formasi tiga pesawat. Tiba-tiba saya kaget
karena ketinggalan dan baru sadar mesin mati. Ketinggian sekitar 12 km, saya
teriak mesin mati dan ketika dinyalain lagi nggak bisa. Lalu saya ambil arah ke
salah satu landasan tempat MiG-15 di Abu Suer. Pesawat terus turun, tiba-tiba
di ketinggian 5 km mesin menyala dan saya langsung cruising speed dan mendarat.
Kejadian ini saya ceritakan setelah mendarat.”
Besoknya kembali sesi latihan
dengan materi dog fight. Sekali lagi, mesin pesawat Dani mati. Seperti kejadian
kemarin, begitu pesawat diturunkan mesin kembali hidup. Yang membuat Dani
tambah kaget, ternyata pesawat yang diterbangkannya masih pesawat kemarin.
Begitu turun dari pesawat, Dani langsung melaporkan kejadian ke dua yang
dialaminya. “Dengan sikap tidak percaya, seorang test pilot menerbangkan pesawat
tersebut untuk membuktikan. Memang betul, mesin pesawat mati pada ketinggian
tinggi. Fuel system dijadikan kambing hitam.
“Jadi saya itu terbangnya tidak menonjol.
Terakhir saya terbang instrumen juga tidak bagus. Menurut Maukar, tak lama
kemudian MiG-17 pesanan Indonesia dikirim ke Mesir. Sebenarnya sebelum batch
Dani sudah lebih dulu tiba di Mesir dua rekan seangkatannya Letda Pnb Gunadi
dan Hashari. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night
fighter. “Jadi kami generasi kedua yang dikirim belajar ke luar negeri sebagai
persiapan kedatangan MiG. (Bersambung)
Aksi F-5E di Vietnam
Seperti halnya Daniel Maukar,
begitu pula Capt. Nguyen Thanh Trung. Ia tidak punya maksud berlebihan. “Saya
hanya ingin menghentikan perang dan pembunuhan,” akunya. Setelah 30 tahun
Perang Vietnam berakhir, orang kembali ingat kepada ikon bangsa Vietnam, Capt.
Nguyen Thanh Trung, “pembangkang” Saigon yang membom istana Doc Lap di Saigon
menggunakan F-5E Tiger II, pada 8 April 1975. Alias 15 tahun setelah aksi
Maukar.
Saat ini Nguyen Thanh Trung
berusia 57 tahun dan dikenal sebagai salah satu selebriti atau ikon di Vietnam.
Ia dengan alasan sangat pribadi, membom istana Presiden Vietnam Selatan Nguyen
Van Thieu (saat itu) di Kota Saigon.
Mei 1969, sehari setelah secara
rahasia ia bergabung dengan sayap militer Partai Komunis Vietnam Selatan yang
mendukung AD Vietnam Utara Viet Cong, Trung mendaftarkan diri di AU Vietnam
Selatan (SVAF). Pihak Selatan menerima Trung tanpa sedikitpun rasa curiga.
Trung lalu dikirim ke pangkalan udara AU Amerika di Texas, Louisiana dan
Mississippi sebagai kadet penerbang. Trung disiapkan SVAF sebagai pilot pesawat
tempur.
Ketika kembali dari AS, Trung
berpangkat letnan satu dan bergabung dengan satuan elit SVAF Skadron 534. Sebagai
salah satu pilot terbaik di skadronnya, Trung bisa terlibat dalam dua hingga
tiga misi pemboman di Viet Cong dalam sehari. Tapi, tanpa sepengetahuan
seorangpun, sesuatu terus mengganjal di kepala Trung yang dari hari ke hari
terus membayanginya: dendam!
Sekitar tujuh tahun sebelumnya
(1963), seorang remaja tanggung terlihat berjalan gagah memasuki pelataran
sekolah di My Tho. Bagi Trung muda (15), pagi itu sama seperti hari-hari
sebelumnya. Barulah ketika sekitar pukul 9, seorang temannya masuk ke dalam kelas
dan mendatanginya sambil membisikkan sesuatu. “Bapak kamu terbunuh.” Trung
kaget mendapat bisikkan tak enak ini. Dia terdiam. Dia coba mengendalikan
emosinya. Dia sadar siapa ayahnya dan resiko apa yang akan diterimanya. “Ayah
seorang Viet Cong. Kami tahu dia hidup dalam bahaya,” tutur Trung.
“Saya terduduk dan berpikir. Siapa yang harus
bertanggungjawab. Yang bersalah adalah Pemerintah Vietnam Selatan dan Presiden
Diem,” katanya mengenang. Sejak itulah, dendam mulai membara dalam dirinya.
“Sejak itu saya putuskan, kalau sudah dewasa nanti dan punya kesempatan, akan
saya bom presiden di istananya.” Sejak itu pula, Trung mulai membuat kontak
rahasia dengan tentara Viet Cong.
Menjelang akhir 1974, Trung dan
kolega Utara-nya memulai rencana penyerangan istana. Waktu terbaik diputuskan
antara tanggal 1-10 April. Namun Trung sulit memutuskan bagaimana melarikan
F-5E dari lokasi penyerangan. Trung juga harus memiliki tempat aman untuk
mendarat begitu misi selesai. Seputar operasi rahasia ini, hanya tiga orang
yang tahu. Salah satunya perdana menteri Vietnam Utara. Untuk itu, sebelum misi
dilaksanakan, perdana menteri ingin bertemu dulu dengan Trung di Hanoi.
Beberapa persiapan dilakukan
secara diam-diam. Seperti pada 10 Januari 1975, 200 Viet Cong dikerahkan bekerja
non-stop siang malam memperbaiki landasan yang dipilih. Setelah mendapatkan
informasi panjang landasan, lebar dan kondisi sekitarnya, Trung secara
terang-terangan mulai berlatih. “Mula-mula saya coba menghentikan pesawat F-5E
di 3.000 kaki, lalu saya daratkan pada landasan pendek dengan sebelah roda.
Kemudian kedua rodanya. Hingga
dalam kondisi nose gear tidak berfungsi. “Selain itu, dia juga telah menemukan
cara paling aman untuk mencuri F-5E AS itu untuk misi khususnya. Karena
beberapa kali melakukan pendaratan darurat, dia dipanggil Kepala Staf AU
Vietnam Selatan Jenderal Minh.
April 1975
Pagi hari, 8 April, semua
penerbang Vietnam Selatan telah mempersiapkan diri untuk sebuah misi
penyerangan yang berani ke kubu Hanoi. Di pangkalan udara Bien Hoa, 20 km di
Timur Utara Saigon, terlihat kesibukkan para kru menyiapkan empat F-5E Tiger.
Akhirnya hanya tiga pesawat yang
berangkat pagi itu. Trung kebagian nomor dua.
Bergalau pikiran di kepala Trung.
Bayangan ibu dan ayahnya yang sangat disayanginya, melintas cepat dibenak
Trung. Ketiga pesawat tempur buatan Northtrop, AS itu terus naik untuk
membentuk formasi. Tiba-tiba salah seorang wingman, oh… ternyata Letnan I
Nguyen Thanh Trung, memberikan sebuah isyarat. Dua jarinya diacungkannya kepada
komandannya, lalu ke pesawat ketiga. Electric problem. Lewat radio, leader
mengatakan agar Trung tetap di belakang. Tower juga mengira dia masih bergabung
dengan yang lain.
Sesuai persiapan yang telah
dilakukannya berhari-hari dengan perhitungan sangat matang, setelah memberi
kode kepada leader untuk tetap di belakang, Trung hanya punya waktu 10 detik
untuk kabur. Saat-saat yang selalu di kenang AU Vietnam sebagai penyerangan
paling spektakuler, sebentar lagi akan dimulai. Karena gangguan avionik, Trung
diputuskan kembali ke pangkalan. Tapi apa yang terjadi, bukannya kembali ke
pangkalan, hidung pesawat F-5E itu dengan cepat mengarah ke Kota Saigon.
Semua berlangsung begitu singkat.
Trung menggeber pesawatnya, istana presiden terlihat persis di depan matanya.
Cuaca cerah hingga jarak pandang sangat bagus. Kilat sekali, pesawat menukik
tajam. Dua bom pertama di jatuhkan menghajar istana. Luput, bom jatuh di taman
persis di samping istana. “Saya kaget, sebab F-5 biasanya sangat akurat
menghantam target. Kemudian saya menset 30 derajat untuk strafing,” lanjut
Trung. Dia membuat putaran kedua. Sekali lagi, dijatuhkannya dua bom sekaligus.
Kali ini tepat, jatuh persis di atap istana. Bom meluncur menghantam tiga
lantai sekaligus dan menghancurkan tangga-tangga bangunan.
Kejadian di siang bolong itu
mengagetkan segenap warga di sekitar istana. Presiden Nguyen Van Thieu
melarikan diri tanpa cidera. Pemboman yang tidak menimbulkan korban jiwa atau
luka serius itu mengecewakan Trung.
Seperti diakui Trung kepada
Orient Aviation (Februari 2000), sebenarnya dia juga merencanakan menjatuhkan
bom di kedutaan besar AS dan memberondong depot minyak di sepanjang perjalanan
kabur ke Phuoc Long. Tapi begitu melihat bom pertamanya meleset, dia batalkan
niatnya dan memutuskan kembali melakukan putaran kedua untuk menghantam target
utamanya, istana presiden.
Trung bergegas pergi. Karena dia
yakin, leadernya pasti sudah mengetahui dan bisa jadi tengah mengarah ke
tempatnya. Dengan cepat, Trung langsung pergi dan mendaratkan pesawatnya di
Propinsi Phuoc Long, dekat perbatasan Kamboja. Sampai detik itu dia tidak tahu,
bahwa 50 menit setelah istana dibom, istrinya Thi Cam serta dua anak
perempuannya Thi Thvong (5) dan Thanh Muong (8 bulan) di tangkap dan disiksa
tentara. Mereka diinterogasi secara keras, sambil menanyakan dimana Trung
berada. Mustahil, karena istri Trung tidak pernah tahu apa yang dilakukannya,
apalagi misi-misinya.
Begitu mendarat, Trung langsung
dijemput sebuah mobil jip dan dilarikan memasuki hutan. Di hutan, dia mengganti
pakaiannya dengan seragam Viet Cong. Duabelas hari dihabiskannya di dalam
hutan. “Saya tidak merasa bangga atas apa yang saya lakukan, apa yang saya
lakukan hanya semata untuk menghentikan perang dan pembunuhan secepat mungkin,”
papar Trung.
Apalagi untuk membunuh Soekarno,
Presiden RI, sama sekali tidak ada dalam benak Dani. Bahkan selama masa
persiapan aksinya, berkali-kali Dani menegaskan sikapnya, “Jangan main-main
loh, ini nyawa orang, nyawa presiden,” kata Dani. Lagi pula seluruh pejuang
Permesta Sulawesi Utara yang berada di Jakarta dengan sandi “Manguni” dipimpin
Ventje Sumual dan Sam Karundeng, tahu betul bahwa BK adalah idola. “Mereka
hanya kecewa. Kekecewaan kepada presiden dan penembakan itu adalah tanda
ketidaksetujuan,” jelas Dani.
Dani mengaku geli dengan
dikait-kaitkannya Molly dalam peristiwa itu, bahkan banyak yang percaya
termasuk teman-teman Molly di IKIP Jakarta. Ketika berada di penjara, Dani
banyak belajar bahwa sangat dampang memunculkan gosip untuk membuat orang
percaya. “Walau saya katakan berkali-kali mereka tetap katakan saya bohong,”
kenang Dani.
“Molly memang tunangan saya namun kami tidak
sempat kawin. Jadi gosip bahwa Molly direbut Bung Karno lalu membuat Maukar
marah, bohong. Ada yang bilang itu dilansir orang Amerika,” kata Dani.
Nancy pun sependapat dengan
abangnya. “Saya kira isu itu sengaja dihembuskan orang-orang tertentu untuk
mengaburkan otak dibalik peristiwa itu,” jelas Nancy. Serupa dengan Nancy
Maukar, Marsda (Pur) Ibnoe Soebroto yang mengaku sahabat dekat Dani juga
beranggapan begitu. “Isu diluar pacarnya diambil Bung Karno, itu isu dan saya
tidak yakin,” kata Soebroto ketika dijumpai di kediamannya.
Dani mengaku mulai didekati
secara sistematis oleh Manguni sejak kepulangannya dari Mesir akhir 1958. Berbagai
rencana sampai ke telinganya, namun Dani tak pernah menanggapi serius. Termasuk
rencana kakaknya Herman untuk menyabotase kapal tanker yang mau membawa minyak
ke Sumatera.
“Bagaimana caranya,” tanya Dani
kepada Herman yang dengan entengnya menjawab akan menaruh dinamit pada
kayu-kayu penahan dermaga yang akan meledak ketika tersenggol kapal. Namun Dani
tak habis pikir, mau berapa banyak dinamit dipasang. “Pokoknya pasang
secukupnya,” jawab Herman seingat Dani. Dani pun akhirnya menasehati, bahwa dinamit
tidak akan mampu menjebol beton, “Sama saja dengan pasang petasan.” Lebih gila
lagi, mereka merencanakan menyelam dengan snorkel saat memasang. “Cara berpikir
Herman memang nekat.” Lain kesempatan Herman bermaksud meledakan kereta api
pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan
rel kereta api.
Diakui Dani ada banyak kejadian
sebelum penembakan istana tersebut, dan Dani selalu menegaskan bahwa dia tidak
mau ikut-ikutan. “Apa yang bisa dilakukan seorang letnan,” kata Dani kepada
rekan-rekannya. Alhasil ketika beberapa kali Dani mengikuti Molly menghadiri
acara mahasiswa Manado di Bandung, ejekan dan sindiran mulai memanasi
kupingnya. “Kenapa tentara menghalangi kalau kami demo,” tanya mereka. Dengan
tenang Dani menjawab, “Kami tidak ngalangi, kami nggak bisa apa-apa, kami
dibayar pemerintah dan kami bekerja sesuai perintah.”
Soal hasut menghasut, kehadiran
wartawan India yang indekost di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh
yang diterimanya. Namanya Kokar. Dia, seingat Dani, banyak bercerita soal
ketimpangan pembangunan di Manado setelah melakukan perjalanan ke sana. Jika
sang ayah sedih, Herman sebaliknya makin terpancing emosinya.
Seiring perjalanan waktu,
perlahan namun pasti Dani memang akhirnya mulai terseret dan tertarik dengan
rencana-rencana Manguni. Bahkan pada suatu hari Herman dengan organisasinya
berencana menculik Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator
menghentikan konfrontasi.
Batalion 324
Rencana makar ini sebenarnya
direncanakan untuk dilakukan pada 2 Maret 1960 bersamaan dengan peringatan hari
Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret,
kembali gagal. Menurut Maukar, gelombang serangan akan bergerak dari Bandung
menuju Jakarta.
Dani pun berjanji akan membantu
semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada
Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda
(FPS), Legiun Sunda. Dalam catatan sejarah “Jagoan dan Bajingan di Jakarta
tahun 1950-an” (supermilan.wordpress.com), Bratamanggala pernah dikenal sebagai
pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra alias Kolonel
Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang pernah berjuang
di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah pasar dan
kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra “berkuasa” dan
menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman dalam istilah sekarang.
Saat itu dilukiskan Dani bahwa
situasi memang sudah memanas. Sejumlah mahasiswa ditangkap aparat, Herman
Maukar hilang entah ke mana. Sempat pada masa-masa genting itu Dani dipanggil
sang ayah untuk menanyakan apakah letnan muda yang dibanggakan sang kakak Paula
ini terlibat. “Kepada ayah saya bilang bahwa saya tidak akan ikut.” Padahal
sekitar bulan Februari, Dani sudah menyampaikan kepada Herman dan beberapa
tokoh lainnya. “Ayo cepat bilang apa yang harus saya lakukan,” jelas Dani.
Seputar kegagalan rencana
penyerangan tanggal 2 Maret itu, Dani pernah menanyakannya secara langsung
ketika secara kebetulan ada misi penerbangan ke kota kembang itu. Sejumlah
pihak yang ditemuinya mengaku terlihat grogi terbukti dengan jawaban yang tidak
masuk akal. Ada yang bilang tanggalnya tidak cocok, bukan hari baik lah atau
masih tunggu tanda. “Akhirnya saya bilang, kalau kamu tunggu tanda sampai
kapan, ya sudah kalau begitu aku saja yang kasih tanda. Bilang saja saya
tembak, suruh tembak apa sekarang. Betul, betul saya bilang. Lalu mereka pergi.
Saya pikir mereka pergi ke Sam Karundeng dan sampaikan rencana itu. Ternyata
tidak, mereka kemudian karang sendiri rencana yang akan dilakukan,” kenang
Dani.
Lalu Dani menemui Mayor Sutisna
(Dani tidak menyebut nama-nama lain dalam pertemuan). Oleh perwira ini Dani
di-briefing dan diberitahu sasaran yang dikehendaki. “Dia minta saya tembak
Halim, saya bilang nggak bisa itu rumah saya. Kalau mau sasaran lain, jangan
sasaran AURI,” bantah Dani. Menurut Dani, sikapnya ini cukup menolong dirinya
di mata AURI ketika terungkap di dalam persidangan.
Akhirnya dari pertemuan itu
disepakati tiga target yang harus ditembak Dani. Meliputi Istana Kepresidenan,
tanki bahan bakar di Tanjung Priuk, Istana Bogor dan kemudian kabur ke
Singapura. Tapi Dani menolak butir terakhir, kabur ke Singapura. “Dua adik saya
perempuan dan papi saya di sini, nanti disikat. Saya tidak mau, saya tidak akan
lari,” tegas Dani. Karena penolakan ini, akhirnya disepakati pendaratan darurat
akan diatur di wilayah Darul Islam (DI). Kota Malambong dan Panumbangan dipilih
selain karena wilayah DI, ke dua tempat itu kebetulan sedang dikuasai Batalion
324, batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas DI.
Dengan identitas Menado, para konseptor yakin Dani akan diselamatkan. “Jadi
Sutisna banyak menentukan dalam soal ini.”
Pada tanggal 9 Maret pagi itu
Dani masih berada di Bandung. Secara diam-diam seseorang melaporkan kepada
Bratamenggala bahwa Daniel Maukar sudah berangkat ke Jakarta (dengan pesawat
MiG-17). Sepengetahuan Dani, katanya, Bratamenggala marah sekali dan meminta
seseorang menyusul Dani untuk menahan serangan. “Dia sudah berangkat, sudah
kepalang ke Jakarta dan kita tidak bisa menyusul,” jelas Herman kepada
Bratamenggala. Namun Herman tetap diperintahkan menyusul Dani untuk mengatakan
jangan melakukannya. “Padahal Herman bohong, karena saat itu saya masih ada di
Bandung, jadi memang ada pihak-pihak yang menginginkan rencana itu tetap
dijalankan,” papar Dani.
Insiden Istana Merdeka ini
menurut Dani nyaris sama dengan Peristiwa Cikini. Kolonel Zulkifli Lubis yang
ditemuinya di dalam penjara, mengatakan bahwa dirinya melarang aksi itu namun
tetap dilaksanakan. “Jadi top tidak tahu, yang bermain di tengah,” ujar Dani.
Persiapan aksi
Persiapan sebetulnya nol.
Kata-kata itu meluncur dari mulut Daniel Maukar untuk menegaskan betapa
buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta lalu cari daerah Panembangan,
bikin garis-garis, lalu selesai. Hal ini diakui Dani sebagai kelalaiannya
hingga usia menembak Istana Bogor dia kehilangan arah.
Pagi itu tanggal 9 Maret 1960, cuaca
cerah mengiringi dimulainya denyut nadi kehidupan di Ibukota Jakarta. Sejumlah
aktifitas mulai dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di
Kemayoran. Seperti biasa, latihan sudah
menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia
dalam konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun pagi itu
Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya.
Ternyata sehari sebelumnya, 8
Maret, Dani pergi ke Bandung untuk menemui Sam Karundeng dan Herman. Kunjungan
itu sengaja dibuat sebagai persiapan terakhir. Karena itu Dani sengaja membawa
sebuah MiG-15 untuk memperlancar rencananya. Maka pagi itu pukul 04.30 tanggal
9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud
Hussein Sastranegara untuk persiapan kembali ke Jakarta. Ikut mengantar pagi
itu Herman, Sam, Fifi dan Molly. Sebuah ciuman mesra diberikan Dani kepada
Molly. Sang kekasih masih sempat menanyakan kepada Dani apakah Sabtu depan akan
ke Bandung. Tanpa sadar air mata membasahi pipi Dani begitu Molly diikuti Fifi
berlalu. Perasaannya begitu gundah.
Mungkin sekitar jam 6-an, sebuah
MiG-15 UTI berlalu dari Bandung. Ikut bersama Dani di pesawat Rob Lucas, teman
Herman, yang sudah dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Sebuah tumpangan
yang ekslusif untuk rute Bandung-Jakarta. Tak lama kemudian pesawat sudah
mendarat di Kemayoran. Setelah basa-basi seperlunya, Rob pun berlalu dari
pandangan Dani.
Sementara Dani sudah larut dalam
aktivitas harian skadron. Sampai akhirnya seorang perwira mengatakan bahwa hari
itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan diadakan penerbangan supersonik
(supersonic flight). Bagaimana caranya terbang supersonik dengan MiG-17 yang
jelas-jelas subsonik.
Penerbang senior itu kemudian
menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian
36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga
mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun daftar
penerbang hari itu. “Tiger”, callsign Letnan Dua Udara Daniel Maukar ada di
urutan terakhir. “Seingat saya hari itu adalah giliran Saputro, Sofyan Hamzah
dan saya,” kenang Dani. “Mestinya saya ikut, tapi karena habis operasi kuku
saya tidak bisa ikut misi hari itu,” jelas Ibnoe Soebroto.
“Kamu akan mengalami sebuah sensasi ketika
pesawat kamu menembus kecepatan suara,” kata perwira operasinya. Setiap pesawat
diberi jeda satu jam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya.
Dia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda.
Sebuah pisang dikunyahnya untuk sekadar mengganjal isi perut.
Akhirnya ketika jam menunjukkan
pukul 11.45, giliran Dani tiba. Helm dibawa menuju pesawat MiG-17F Fresco nomor
1112. Sambil berjalan, matanya sempat menyapu kawasan skadron dan berucap dalam
hati, “sampai kapan saya akan meninggalkan tempat ini.” Lalu pandangan
diarahkannya ke selatan, sedikit berawan namun tetap cerah. “Blue over Jakarta,
a perfect day,” lirih Dani meyakinkan diri.
Dipandu teknisi, Dani memeriksa
kesiapan pesawat dan kemudian naik ke kokpit. Dia akan memulai penerbangan hari
itu dengan sebuah doa di dalam hati: Saat ini Tuhan, sertailah diriku. Berkati
aku dalam misi ini, karena Kamu tahu apa maksudnya. Maafkan aku dalam dosa ini.
Dalam nama Yesus. Amin.
“Kemayoran tower, good morning from Tiger, do
you read me?”
“Good morning Tiger. This is Kemayoran tower,
read you five by five (loud and clear), come in.”
“Tiger local flying. Request to start engine,
over.”
“Roger, Tiger, you are cleared to start
engine.”
Sedetik kemudian Dani melongok ke
teknisi di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat
dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memperhatikan tachometer bergerak
dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan dia mendorong ke bawah fuel level dan membuka throttle
secara bertahap untuk mencapai tenaga
penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls
hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator. Semua oke.
“Kemayoran tower, from Tiger, over.”
“Roger Tiger, come in.”
“Tiger request taxi and take off instructions,
over.”
“Roger. Taxi to holding position of runway in
use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters.
Please call back on holding position.” Dani pun menutup kanopi dan memeriksa
safety belt lock.
“Kemayoran tower, Tiger on holding position,
ready to go, over.”
“Roger, Tiger, you are cleared for take off.”
Menurut briefing pagi itu,
pesawat mesti heading ke selatan Jakarta. Tapi Dani sudah punya rencana lain.
Namun pagi itu dia masih sempat mengontak seorang personel pangkalan yang habis
mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka.
Kepada anggota itu Dani menanyakan apakah melihat bendera kuning berkibar.
“Tidak ada Pak,” katanya. Berarti presiden sedang tidak di Istana.
Sasaran pertama adalah kilang
minyak Shell di Tanjung Priuk. Pesawat berbelok ke timur ketika ketinggian
pesawat mencapai 4.500 kaki. Dani sudah mengaktifkan tombol penembakan (flipped
on gunsight). Tanki-tanki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi
kiri jalurnya. Ketika itu posisi tanki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani
menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah
tidak ada waktu.
Jarinya menekan trigger.
Det….det….det…det…, 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris
pertama tanki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter
NR-23 kaliber 23mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang
jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani hanya bisa
menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.
Karena tahu ada larangan pesawat
melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top)
untuk menghindari deteksi radar. “Saya sudah di atas Senen (pusat pertokoan)
dan di kejauhan terlihat Istana,” kata Dani. Pesawat terbang lurus ke selatan
membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Setelah berbelok Istana
terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian
diturunkan dan sedetik kemudian dia kembali mengirimkan tembakan dengan sudut
tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai
pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di
belakang pilar tersebut.
Suara mesin Klimov VK-1F
afterburning turbojet seperti merontokkan jantung warga Ibukota di siang bolong
itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan
afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan.
Di bawah dia melihat keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat
kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan
pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. “Saya tahu hari itu Allan
Pope sedang di sidang, jadi saya sengaja high speed low level,” aku Dani. Saat
itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan
tidak enak di hatinya.
Pesawat dikebut ke selatan dan
dalam lima menit dia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang
ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan
misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37mm di hidung pesawat
setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini
tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke
ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.
Tiba-tiba, “Tiger, Tiger, from
Kemayoran tower, over.” Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani,
namun tidak dibalas sekalipun. “Tiger, Tiger, if you read me please check your
fuel.” Dani tetap bungkam, karena sekali dia membalas posisinya akan diketahui.
Radio pun dimatikan.
Pesawat terus melaju cukup
kencang menuju Bandung. “Disitu kesalahan saya, ngelamun sambil terbang,
tiba-tiba ingat Molly.” Bergalau pikiran di benak Dani. Dia tidak tahu
bagaimana reaksi Molly jika tahu apa yang sudah dilakukannya. Apalagi
membayangkan reaksi sang ayah. Dani tidak sadar bahwa dia sudah terbang jauh,
tanpa tahu arah. Sampai akhirnya dia tersadar, dan tidak tahu persis sudah
berada di mana. Namun Dani yakin, dia pasti sudah mendekati Garut.
Sesuai rencana, Dani harus
menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda
landing site. Tapi apa lacur, di bawah dia melihat begitu banyak api unggun.
Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya di mana-mana. Daripada pusing,
Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai
diturunkan.
Karena buruknya persiapan, memang
tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak
yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk
berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MiG-17
yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut,
Jawa Barat setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.
Sebelumnya belly landing, Dani
sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri
seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. “Daripada saya menderita,”
jelasnya. Sore itu juga setelah ditangkap tentara di Garut, datang mengunjungi
Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang
perwira teknik.
Nun jauh di Jakarta, kekacauan
segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di
lingkungan AURI. Anehnya, tidak satupun tuduhan langsung terarah ke Dani.
“Malah yang dicurigai saya, menurut Pak Darman (alm), itu pasti Broto…Broto,”
kenang Ibnoe Soebroto. Begitu pula keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada
prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang
punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI
pun, sang ayah tenang-tenang saja.
“Bagaimana pendapat Bapak soal penembakan
tadi.”
“Orang itu harus bertanggung
jawab!”
“Itu anak Bapak.” Suara provost itu bagai petir
di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Di tempat lain di Jakarta, Rob
Lucas ditangkap dikediamannya gara-gara pagi itu ikut MiG-15 dengan Dani, namun
kemudian dibebaskan karena tidak terbukti terlibat.
Kebaikan Suryadarma
Siang itu juga di Jakarta, KSAU
Marsekal Suryadi Suryadarma langsung menghadap Presiden Soekarno untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya. Sepertinya Suryadarma langsung
menemui BK, karena siang itu kebetulan dia menghadiri sidang Dewan Nasional di
gedung di samping Istana Merdeka. Dengan sikap kesatria, Suryadarma meminta
mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawabannya namun ditolak oleh BK.
Sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena menemui
Suryadarma. Erlangga Suryadarma, putra Suryadarma pernah menceritakan kepada
Angkasa bahwa Leo siap menerima tanggungjawab atas ulah anak buahnya.
Atas ulahnya, Letnan Udara Daniel
Alexander Maukar dikenakan hukuman mati sebelum diampuni Soekarno tahun 1964.
Namun setelah melalui berbagai proses bolak-balik, ia dibebaskan Maret 1968,
era Presiden Soeharto. Ada peristiwa menggelikan ketika Dani dikirim ke
penjara. Hari itu mestinya Kapten Willy Rondonuwu dibebaskan. Namun karena aksi
Maukar, pembebasannya jadi tertunda. Sejak boleh dikunjungi Juni 1960, keluarga
termasuk Molly Mambo, mulai mengunjungi Dani dengan pengawalan ekstra ketat.
Suryadarma sebagai KSAU banyak
membantu proses persidangan Dani hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari,
ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma,
Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma
terhadap anaknya. Dengan singkat Suryadarma menjawab, “Dia sudah saya anggap
anak saya.”
Sumber : http://buoneparte.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar