Minggu, 24 Agustus 2014

Penembakan MiG-17 ke Istana Merdeka, oleh "The Tiger" Lettu Pnb Daniel Alexander Maukar


Hari itu, tepatnya 9 Maret 1960 sekitar pukul 12 siang, Istana Merdeka Selatan telah diberondong kanon 23 mm dari sebuah pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-17F Fresco nomor 1112 asal Skadron Udara 11. Penerbangnya Letnan II Pnb Daniel Alexander Maukar, callsign “Tiger”. Setelah kurang sukses melaksanakan tugasnya menembak kilang minyak Shell Oil di Plumpang Tanjung Priuk, Istana Merdeka dan Istana Bogor, Daniel Maukar akhirnya mendarat darurat di sebuah desa di Garut.
Nyaris sejak peristiwa itu terjadi hingga hari ini setelah berlalu 47 tahun, sedikit sekali pengetahuan orang soal itu. Tak kurang TNI AU sendiri, meski potongan-potongan cerita keberanian Maukar menjadi semacam kebanggaan di kalangan tertentu di TNI AU. Lalu kekuatan apa sesungguhnya yang membuat seorang perwira muda bernama Maukar nekat menembak Istana Presiden; bagaimana ia menyiapkan misi itu; bagaimana pula ia menyiapkan pelariannya ke Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat; apa betul insiden itu terkait dengan rumor direbutnya kekasihnya Molly Mambo oleh Presiden Soekarno serta bagaimana ia bisa lolos dari hukuman seumur hidup.
    Angkasa beruntung bisa bertemu dengan penerbang yang pernah memenuhi headline media massa Nasional pada tahun 1960-an ini. Tanpa ragu ia menuturkan panjang lebar makar yang dibuatnya hingga kemudian mengubah jalan hidupnya. Kepada Angkasa Juli 2005, Mek atau Mok namun lebih acap dipanggil Dan atau Dani ini, menerima Angkasa di rumah Nancy, adiknya.
Mengaku sudah mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk gereja sebagai hamba Tuhan, Dani sempat menuturkan kesederhanaan hidup yang dijalaninya beberapa tahun belakangan. “Saya tidak lagi pakai kartu kredit dan segala macam bentuknya, saya hidup secukupnya, besok saya harus ke pedalaman di daerah Palembang untuk misi gereja,” ujar Dani, penganut Advent Hari Ketujuh ini bersahaja.
Namun Tuhan sudah punya rencana terhadap hambanya. Kali ini Dani tidak bisa lagi mengelak dari maut yang menjemputnya. Senin (16/4) dini hari sekitar pukul 01.00, Daniel Maukar menghembuskan nafas terakhir setelah diketahui mengalami komplikasi paru-paru basah dan kanker Thymos sejak Februari lalu. Dani menghembuskan napas terakhir di rumah Nancy dan dikembumikan pada hari Selasa di TPU Pondok Rangon.
    “Saya terharu sekaligus bahagia dengan kepergiannya, karena selama sakit dia tak henti-hentinya menyebut dan memuji nama Tuhan, terutama ketika rasa sakit itu menderanya,” ucap Nancy haru. Dimata Nancy, Dani adalah pribadi yang religius. Salah satu kelebihan Dani menurutnya adalah, selalu bisa menemukan kata-kata yang tepat di saat yang tepat untuk menenangkan suasana.
Sambil mengenang kepergian Letda Pnb Daniel Maukar (75), lewat rubrik Kisah Nyata ini kami sajikan perjalanan hidup Letda Daniel Maukar. Tulisan dimulai dari masa remaja hingga sebuah kekuatan besar menggiring Dani nekat menembak istana presiden, tempat bermukimnya pemimpin tertinggi angkatan perang, yang secara tidak langsung adalah pemimpinnya sendiri.

Berkenalan dengan Molly
    Terlahir dari ayah Karel Herman Maukar dan ibu ENNA Talumepa pada 20 April 1932 di Bandung, Dani sebenarnya sudah cukup jauh dari Manado. Tanah leluhurnya itu baru dua kali dikunjunginya, meski di dalam keluarga kultur Manado tetap dipertahankan. Dani merupakan anak kedua dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi, semua menggunakan nama keluarga Maukar. “Ayah saya polisi berpangkat ajun komisaris besar, pernah jadi acting kepala polisi Jakarta,” aku Dani.
Seperti halnya pemuda seusianya, Dani sebetulnya belum punya cita-cita yang mantap. Pengaruh teman sepermainan dan lingkungan justru lebih banyak membentuknya. Mengikuti Sekolah Dasar Akebono di Jatinegara dan setamat SMP K (Kristen), Dani sebetulnya ingin meneruskan ke sekolah menengah pelayaran karena beberapa saudara dan temannya banyak yang masuk ke sekolah ini. Tidak demikian di mata sang ayah.
    “Kalau kamu cuma lulusan SMP dan nanti bosan (kerja) di laut, kamu keluar hanya sebagai lulusan SMP dan susah cari kerja. Ambil SMA dulu lah,” ujar sang ayah. Karena itu Dani pun memutuskan tidak jadi bergabung dengan dua temannya Paul Katoppo dan Wim Moningka untuk masuk ke sekolah pelayaran. Sesuai pesan sang ayah, Dani masuk SMA Gang Batu.
Satu hari ada pameran di Bandara Kemayoran, “Ketika saya kelas 3.” Dani masih ingat dengan baik apa yang disaksikannya. Bahkan undian joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda yang tertera di tiket, diraihnya. Sejak itu, secara alami Dani mulai menyukai dunia yang satu ini, dunia penerbangan. “Saya pikir pasti enak sekali dan om saya kebetulan kerja di bagian teknik Garuda. Saya bilang ke dia bahwa saya ingin masuk Garuda.”
    Dani pun mengirim lamaran dan mengikuti tes kesehatan. Sayang baginya, ketika tes kesehatan Dani dinyatakan tidak memenuhi persyaratan. “Ada pembesaran di aorta jantung, saya ditolak. Ketika saya sampaikan ke dokter keluarga, dokter ini bilang bahwa itu tidak betul, coba saja tes lagi. Saya lalu pergi lagi ke dokter di RS Cikini untuk melaporkannya,” tutur Dani. Namanya sudah takdir, keterangan Dani dihadapan dokter RS Cikini tetap tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ada. “Kamu sih suka angkat-angkat besi,” celetuk sang ayah ketika diceritakan soal ini.
Alhasil selepas SMA itu dan ditolak di Garuda, Dani mengisi waktunya dengan bekerja. Salah satu pekerjaan yang pernah dilakoninya adalah menjadi agen polisi, sekitar tahun 1952-54. “Agen polisi itu pangkat paling rendah. Ayah saya kan kepala personalia polisi di Jakarta, jadi saya bisa masuk. Waktu itu saya ikut karena polisi mau bentuk pasukan perintis di Kramat Jati,” kenang Dani.
Berselang waktu setelah itu, ada pembukaan lowongan di AURI dan Dani pun langsung mendaftar. Kepada dr Salamun yang memeriksa kesehatannya, Dani menuturkan uneg-unegnya ketika tidak diterima Garuda. “Ternyata saya sehat kok, tidak ada apa-apa.” Dani pun akhirnya diterima.
Ada cerita lucu ketika itu. Dani memiliki seorang teman yang cukup dekat, namanya Sudarto. Berdua mereka punya cita-cita yang sama, yaitu jadi penerbang. Namun jalan hidup mereka seperti tertukar, tak mau jalan bareng. Ketika Dani tidak diterima di Garuda, Sudarto ditolak di AURI. Tahun berikutnya ketika mereka kembali sepakat mencoba namun di-split, justru membuahkan hasil. Dani diterima di AURI dan Sudarto melenggang ke Garuda.
    Tepatnya 1 Januari 1956, Daniel Maukar memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliterian di Margahayu, Bandung. “Saya masih ingat pelatihnya Kapten Sukotjo, seorang pelatih yang terkenal karena semasa Perang Revolusi pernah terjun payung di Yogjakarta dan parasutnya robek namun bisa selamat.” Dani mengaku cukup dekat dengan Sukotjo selama masa pendidikan enam bulan. Usai merampungkan pendidikan dasar kemiliteran, para calon penerbang ini dikirim ke Lanud Kalijati untuk mengikuti pendidikan dasar penerbang. Satu hal penting yang perlu dicatat pada periode ini adalah, Dani dikenalkan dengan seorang wanita cantik bernama Molly Mambo.
    “Abang saya (Herman) yang memperkenalkannya kepada Dani,” kata Nancy.
Di bekas pangkalan udara Belanda ini Dani bertemu dengan Lettu Nav. Saleh Basarah yang juga sedang mengikuti pendidikan konversi menjadi penerbang. Selain juga ada Lettu Aried Riyadi. “Jadi untuk sekolah penerbang saya satu lichting dengan Pak Saleh yang juga merangkap instruktur bombing. Selama pendidikan Dani sempat satu kamar bertiga dengan Saleh Basarah dan Jatiyo. Ketika itu flying school digawangi oleh beberapa perwira muda seperti Agustinus Andy Andoko, Saroso Hurip dan Dewanto.
    Selama pendidikan di Kalijati, Dani mengaku mengalami banyak kendala dan keterbatasan. Proses pendidikan penerbang yang dilaluinya jauh dari mulus, yang menurut Dani memang dia tidak terlalu bagus untuk urusan terbang. “Saya dibilang terbang miring dan sebagainya, kondisi ini tentu tidak enak bagi saya,” jelasnya. Dari angkatannya yang menonjol adalah Kuncoro Sidhi, namun kemudian gugur dalam sebuah penerbangan. Begitu juga Sukardi dan Sobirin Misbach. Sukardi dikenang Dani sebagai pribadi yang serba bisa, pendiam namun paling cepat menguasai hal baru, baik itu pelajaran mau pun keterampilan. Sebelum sekamar dengan Saleh Basarah, Dani sempat satu kamar dengan Sukardi.
 “Orangnya pintar padahal tidak pernah belajar, dengan melihat saja dia bisa tahu. Sebenarnya ada tiga orang yang pintar yaitu Sukardi, Sobirin dan Sutarno. Sayang, Sutarno jatuh dan gugur dalam sebuah penerbangan, tubuhnya ditemui bersandar di pohon, kalau tidak salah dia jatuh dengan B-25,” kenang Dani soal teman-temannya.

Flying school 
    Diakui Dani, mereka para siswa penerbang cukup nakal dan suka berbuat iseng. Buktinya ketika di Margahayu, mereka dengan berpakaian rapi pernah secara diam-diam keluar dari markas menggunakan truk. Termasuk ke dalam rombongan “berandalan” itu adalah Saleh Basarah. “Tapi dia agak risih mungkin karena tahu senior.”
    Begitu juga ketika di Kalijati, Dani mengaku sempat beberapa kali membuat manuver yang tidak semestinya sebagai seorang siswa. Pernah dia terbang AT-6 Harvard sambil nyamber di lapangan dan setelah turun dimarahi seniornya Andoko. Ketika ditanya kenapa berbuat begitu, “Saya bilang, saya kan minta (jadi penerbang) transport atau bomber, jadi saya pikir ini terakhir kali jungkir-balik. Karena ulah itu saya ditahan tidak boleh keluar sampai selesai pelantikan sekolah. Saya pikir mau sampai berapa bulan ditahan. Nah, karena ada peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera, saya terselamatkan. Kami diperintahkan ke Palembang dan saya jadi bebas,” beber Maukar.
Total selama pendidikan penerbang yang diselesaikannya awal tahun 1958 itu, Dani menerbangkan tiga jenis pesawat. Mulai dari L-4J Piper Cub, BT-3 Valiant dan AT-6.
    Sebenarnya terdapat sedikit kerancuan seputar keberangkatan Dani ke Palembang. Di satu sisi Dani mengatakan bahwa ketika diperintahkan ke Palembang, dia masih berada di Kalijati untuk advanced training. Namun dalam keterangan berikutnya, dia mengatakan sudah berada sekitar sebulan di Skadron Udara 3 dan tengah belajar taxiing pesawat P-51 Mustang ketika perintah ke Palembang diterimanya. Sepertinya yang terjadi adalah, para komandan di Kalijati sudah mengetahui bahwa Dani dan rekan-rekannya disiapkan untuk stand by di Palembang. Menjelang waktu keberangkatan tiba, sepertinya mereka ditempatkan untuk sementara di Skadron 3.
    Soal menjadi fighter, Dani mengaku sebenarnya tidak sepenuhnya siap. “Saya sebetulnya tidak menyangka karena saya minta bomber atau transport. Kenapa tidak mau jadi fighter, karena saya merasa waktu itu tidak sanggup dan terbang saya kan tidak menonjol, tapi tahu-tahu kok ditaruh menjadi fighter, sempat bingung tapi ya sudah mau apa lagi.”
    Marsda (Pur) Ibnoe Subroto tidak setuju dengan pendapat Dani tentang kemampuan terbangnya. Kepada Angkasa Ibnoe Subroto mengatakan, bahwa setiap penerbang yang masuk kelompok fighter pastilah memiliki kemampuan terbang di atas rata-rata. “Maukar terbangnya bagus,” aku Ibnoe Subroto ketika dihubungi via telepon.

Stand by di Palembang.
    Awal tahun 1958 ketika aksi Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) sedang panas-panasnya, Dani sudah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama kemudian dia ditempatkan di Skadron 3 sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI yang masih bertahan. Hanya dua pesawat AT-6 Harvard yang dikirim dengan penerbang kedua Letda Pnb Sobirin dan kru darat tak lebih lima orang. Selain ke Palembang, sejumlah penerbang lainnya ditugaskan ke Bali.
    Sebenarnya selama di Palembang tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan Dani dan rekannya. Jika mau dibilang operasi tempur, buktinya mereka hanya dibekali senapan mesin seperti Bren Mk 3 yang tidak ada artinya. “Saya ragu, kalau tidak salah ada roketnya. Total ada sekitar tiga mingguan di Palembang sebelum saya dipanggil,” kata Dani.
    Soal pemanggilan ini, Maukar awalnya mengaku tidak tahu apa maksudnya. Karena toh Sobirin tidak menerima pemanggilan serupa. Lagi pula mereka belum cukup sebulan berada di Palembang.
Pada satu hari saya didatangi seorang personel AURI yang kemudian bertanya, “Kamu pernah ngomong tidak mau ke luar negeri ya.” Karena merasa tidak pernah mengucapkannya, Dani membantah pernyataan tersebut. Akhirnya dia menceritakan bahwa dulu sebenarnya Dani pernah akan diberangkatkan ke luar negeri namun dibatalkan. Gara-garanya, ada seseorang yang tidak dijelaskan identitasnya mengatakan kepada pihak Mabes AURI bahwa Daniel Maukar tidak mau ke luar negeri. “Sekarang saya tanya, kamu mau nggak ke luar negeri,” yang langsung dijawab Dani, “Kenapa tidak!”
Personel utusan itu akhirnya menjelaskan bahwa saya terpilih untuk mengikuti pendidikan penerbang MiG-17 yang segera akan tiba di Tanah Air. Saat itu saya juga diberitahu bahwa sebenarnya yang akan diberangkatkan adalah Letda Pnb Suyono dengan cadangan Letda Pnb Rochmiyadi. Namun musibah keburu datang ketika kedua penerbang yang duduk di dalam satu kokpit AT-6 secara bersamaan, pesawatnya jatuh. Menyimak peristiwa ini, yang namanya kejadian memang betul-betul rahasianya Tuhan. Semestinya yang terbang hari itu hanya Suyono, tapi entah kenapa Suyono mengajak Rochmiyadi untuk ikut terbang bersamanya. Jadilah, karena calon dan cadangannya berhalangan, pilihan jatuh kepada Dani. Seperginya Dani dari Palembang, ia digantikan oleh Letda Pnb Susetyo.
Menurut seorang sejawat Dani sekembalinya ke Indonesia setelah enam bulan di Mesir, alasan dipilihnya dirinya ke Mesir sebenarnya cukup rumit. Selain yang hanya diketahui Dani bahwa keberangkatannya dipenuhi rahasia tak terkecuali terhadap keluarga, ternyata pimpinan AURI punya misi lain terhadap dirinya. “Katanya AURI khawatir kamu akan diambil oleh Permesta,” jelas sang rekan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir pun tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang tidak dikehendaki.

Terpilih ke Mesir
    Sebagai persiapan untuk mengawaki MiG-17 yang dipesan AURI, enam penerbang diberangkatkan ke Mesir. Terdiri dari Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah dan Dani sendiri. “Satu lagi saya lupa namanya,” yang kemudian ketika Angkasa tanyakan kepada Ibnoe Subroto dijawab, “Kuncoro Sidhi.”
    Rombongan kecil ini berangkat ke Mesir persis tanggal 1 Mei 1958. Mereka berada di Mesir hingga bulan November. “Saya dengar Pope tertembak ketika di Mesir,” celetuk Dani. Yang dimaksud Pope tak lain dari petualang udara Allan Lawrence Pope yang dibayar CIA untuk membantu AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) Permesta menghadapi TNI. Dalam sebuah operasi tanggal 18 Mei 1958, Pope yang menerbangkan B-26 Invader tertembak di atas Teluk Ambon. Di kemudian hari ketika di penjara di LP Cipinang, Dani bertemu dengan Pope sebagai sesama tahanan.
    Dani mengenang masa-masa pendidikannya di Mesir. Berenam mereka diberangkatkan dari Bandara Kemayoran dengan menumpang pesawat Constellation milik Air India. Sejenak pesawat transit di India sebelum akhirnya mendarat di Mesir dan disambut staf atase pertahan udara Mesir yang orang Makassar. Ketika itu atase udara dijabat Budihardjo. Selama enam bulan kemudian di Mesir, Dani mengaku merasakan nikmatnya hidup. Dengan uang saku lebih dari cukup, lama-lama akhirnya malah mereka yang lebih sering mentraktir para instruktur.
    Fase pertama mereka menggunakan MiG-15 sebelum ke MiG-17. Beberapa kali selama pendidikan Dani mengalami insiden yang bisa merenggut nyawanya. Tapi instrukturnya Squadron Leader Saleh Manawi selalu menyelamatkannya dengan memberikan bimbingan. Seperti saat landing solo pertama kali. Pesawat tiba-tiba narik ke kanan, “Saya coba tahan ke kiri tidak bisa, akhirnya saya menabrak lampu pendaratan sebelum berhenti.” Rupanya ban meledak. Aturannya jika ban meledak, mesti rem kiri supaya lurus lagi.
    Setelah dijelaskan, Dani langsung pindah pesawat dan disuruh naik lagi. Menjelang pendaratan dia diteriaki dari bawah, “Kamu terlalu tinggi, 300 kaki di atas tanah, go around. Saya panik karena perasaan sudah dekat. Hal itu berlangsung sampai tiga kali.” Instrukturnya akhirnya angkat bicara. “Dani, kamu sampai di ujung kalau saya bilang tutup throttle, tutup, percaya sama saya, karena kamu terlalu tinggi.” Begitulah, akhirnya dia bisa mendarat. Sampai di bawah Dani diberi tahu bahwa dia mengalami fenomena ground shyness, perasaan takut mendekati tanah.
    Usai kejadian itu, Dani diberi istirahat tiga hari. Sebelum terbang dia diajak joy flight oleh Saleh Manawi dengan manuver yang ketat. Hari itu kebetulan ada penerbang Mesir gugur saat latihan. Gara-garanya dia menembak ke bawah dua kali, padahal terorinya hanya boleh satu kali lalu angkat hidung. “Dia buat dua kali hingga tanpa sadar sudah mendekati tanah,” ujar Dani.
    Pernah pula ketika melakukan aerobatik, Dani sampai semaput hingga harus dirawat di rumah sakit seminggu lebih. Sementara rekan-rekannya sudah pindah ke pangkalan lain untuk berlatih dengan MiG-17. Instruktur yang melatihnya sampai ketakutan. Sementara Dani mengaku kesal karena tidak ada yang membesuknya. Setelah itu Dani diperiksa ulang dan dibawa ke ruang bertekanan untuk melatih ketahanan di ruang bertekanan. Dari hasil pemeriksaan, diputuskan bahwa Dani mengidap anemia.
Dari pengakuan Nancy, sepertinya saat itulah keluarga besar Maukar di Jakarta baru tahu bahwa Dani tengah berada di Mesir. “Dia hanya pernah bilang mau sekolah ke luar negeri, tanpa menyebut negara tujuan,” aku Nancy. Terbukanya rahasia ini berawal dari sebuah surat yang dilayangkan Dani ke Jakarta untuk mengabarkan bahwa dirinya tengah sakit dan dirawat. “Kop suratnya kok bahasa Arab, saat itu saya langsung tahu bahwa dia ada di Mesir,” aku Nancy.
    Karena alasan medis ini, sebenarnya Dani sudah disarankan untuk dipulangkan ke Indonesia. Tapi Saleh Manawi menukas, “Saya yang latih dia nanti.” Alhasil ketika Dani menyusul rekannya di MiG-17, mereka kaget karena mengira Dani sudah kembali ke Indonesia.
    Di MiG-17, pengalaman buruk masih menghantui Dani ketika pada satu hari pesawat yang diterbangkannya mati mesin. “Waktu itu kami terbang jarak jauh formasi tiga pesawat. Tiba-tiba saya kaget karena ketinggalan dan baru sadar mesin mati. Ketinggian sekitar 12 km, saya teriak mesin mati dan ketika dinyalain lagi nggak bisa. Lalu saya ambil arah ke salah satu landasan tempat MiG-15 di Abu Suer. Pesawat terus turun, tiba-tiba di ketinggian 5 km mesin menyala dan saya langsung cruising speed dan mendarat. Kejadian ini saya ceritakan setelah mendarat.”
    Besoknya kembali sesi latihan dengan materi dog fight. Sekali lagi, mesin pesawat Dani mati. Seperti kejadian kemarin, begitu pesawat diturunkan mesin kembali hidup. Yang membuat Dani tambah kaget, ternyata pesawat yang diterbangkannya masih pesawat kemarin. Begitu turun dari pesawat, Dani langsung melaporkan kejadian ke dua yang dialaminya. “Dengan sikap tidak percaya, seorang test pilot menerbangkan pesawat tersebut untuk membuktikan. Memang betul, mesin pesawat mati pada ketinggian tinggi. Fuel system dijadikan kambing hitam.
    “Jadi saya itu terbangnya tidak menonjol. Terakhir saya terbang instrumen juga tidak bagus. Menurut Maukar, tak lama kemudian MiG-17 pesanan Indonesia dikirim ke Mesir. Sebenarnya sebelum batch Dani sudah lebih dulu tiba di Mesir dua rekan seangkatannya Letda Pnb Gunadi dan Hashari. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night fighter. “Jadi kami generasi kedua yang dikirim belajar ke luar negeri sebagai persiapan kedatangan MiG. (Bersambung)

Aksi F-5E di Vietnam
    Seperti halnya Daniel Maukar, begitu pula Capt. Nguyen Thanh Trung. Ia tidak punya maksud berlebihan. “Saya hanya ingin menghentikan perang dan pembunuhan,” akunya. Setelah 30 tahun Perang Vietnam berakhir, orang kembali ingat kepada ikon bangsa Vietnam, Capt. Nguyen Thanh Trung, “pembangkang” Saigon yang membom istana Doc Lap di Saigon menggunakan F-5E Tiger II, pada 8 April 1975. Alias 15 tahun setelah aksi Maukar.
Saat ini Nguyen Thanh Trung berusia 57 tahun dan dikenal sebagai salah satu selebriti atau ikon di Vietnam. Ia dengan alasan sangat pribadi, membom istana Presiden Vietnam Selatan Nguyen Van Thieu (saat itu) di Kota Saigon.
    Mei 1969, sehari setelah secara rahasia ia bergabung dengan sayap militer Partai Komunis Vietnam Selatan yang mendukung AD Vietnam Utara Viet Cong, Trung mendaftarkan diri di AU Vietnam Selatan (SVAF). Pihak Selatan menerima Trung tanpa sedikitpun rasa curiga. Trung lalu dikirim ke pangkalan udara AU Amerika di Texas, Louisiana dan Mississippi sebagai kadet penerbang. Trung disiapkan SVAF sebagai pilot pesawat tempur.
    Ketika kembali dari AS, Trung berpangkat letnan satu dan bergabung dengan satuan elit SVAF Skadron 534. Sebagai salah satu pilot terbaik di skadronnya, Trung bisa terlibat dalam dua hingga tiga misi pemboman di Viet Cong dalam sehari. Tapi, tanpa sepengetahuan seorangpun, sesuatu terus mengganjal di kepala Trung yang dari hari ke hari terus membayanginya: dendam! 
Sekitar tujuh tahun sebelumnya (1963), seorang remaja tanggung terlihat berjalan gagah memasuki pelataran sekolah di My Tho. Bagi Trung muda (15), pagi itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Barulah ketika sekitar pukul 9, seorang temannya masuk ke dalam kelas dan mendatanginya sambil membisikkan sesuatu. “Bapak kamu terbunuh.” Trung kaget mendapat bisikkan tak enak ini. Dia terdiam. Dia coba mengendalikan emosinya. Dia sadar siapa ayahnya dan resiko apa yang akan diterimanya. “Ayah seorang Viet Cong. Kami tahu dia hidup dalam bahaya,” tutur Trung.
    “Saya terduduk dan berpikir. Siapa yang harus bertanggungjawab. Yang bersalah adalah Pemerintah Vietnam Selatan dan Presiden Diem,” katanya mengenang. Sejak itulah, dendam mulai membara dalam dirinya. “Sejak itu saya putuskan, kalau sudah dewasa nanti dan punya kesempatan, akan saya bom presiden di istananya.” Sejak itu pula, Trung mulai membuat kontak rahasia dengan tentara Viet Cong.
Menjelang akhir 1974, Trung dan kolega Utara-nya memulai rencana penyerangan istana. Waktu terbaik diputuskan antara tanggal 1-10 April. Namun Trung sulit memutuskan bagaimana melarikan F-5E dari lokasi penyerangan. Trung juga harus memiliki tempat aman untuk mendarat begitu misi selesai. Seputar operasi rahasia ini, hanya tiga orang yang tahu. Salah satunya perdana menteri Vietnam Utara. Untuk itu, sebelum misi dilaksanakan, perdana menteri ingin bertemu dulu dengan Trung di Hanoi.
    Beberapa persiapan dilakukan secara diam-diam. Seperti pada 10 Januari 1975, 200 Viet Cong dikerahkan bekerja non-stop siang malam memperbaiki landasan yang dipilih. Setelah mendapatkan informasi panjang landasan, lebar dan kondisi sekitarnya, Trung secara terang-terangan mulai berlatih. “Mula-mula saya coba menghentikan pesawat F-5E di 3.000 kaki, lalu saya daratkan pada landasan pendek dengan sebelah roda.
    Kemudian kedua rodanya. Hingga dalam kondisi nose gear tidak berfungsi. “Selain itu, dia juga telah menemukan cara paling aman untuk mencuri F-5E AS itu untuk misi khususnya. Karena beberapa kali melakukan pendaratan darurat, dia dipanggil Kepala Staf AU Vietnam Selatan Jenderal Minh.

April 1975 
    Pagi hari, 8 April, semua penerbang Vietnam Selatan telah mempersiapkan diri untuk sebuah misi penyerangan yang berani ke kubu Hanoi. Di pangkalan udara Bien Hoa, 20 km di Timur Utara Saigon, terlihat kesibukkan para kru menyiapkan empat F-5E Tiger.
Akhirnya hanya tiga pesawat yang berangkat pagi itu. Trung kebagian nomor dua.
Bergalau pikiran di kepala Trung. Bayangan ibu dan ayahnya yang sangat disayanginya, melintas cepat dibenak Trung. Ketiga pesawat tempur buatan Northtrop, AS itu terus naik untuk membentuk formasi. Tiba-tiba salah seorang wingman, oh… ternyata Letnan I Nguyen Thanh Trung, memberikan sebuah isyarat. Dua jarinya diacungkannya kepada komandannya, lalu ke pesawat ketiga. Electric problem. Lewat radio, leader mengatakan agar Trung tetap di belakang. Tower juga mengira dia masih bergabung dengan yang lain.
    Sesuai persiapan yang telah dilakukannya berhari-hari dengan perhitungan sangat matang, setelah memberi kode kepada leader untuk tetap di belakang, Trung hanya punya waktu 10 detik untuk kabur. Saat-saat yang selalu di kenang AU Vietnam sebagai penyerangan paling spektakuler, sebentar lagi akan dimulai. Karena gangguan avionik, Trung diputuskan kembali ke pangkalan. Tapi apa yang terjadi, bukannya kembali ke pangkalan, hidung pesawat F-5E itu dengan cepat mengarah ke Kota Saigon.
    Semua berlangsung begitu singkat. Trung menggeber pesawatnya, istana presiden terlihat persis di depan matanya. Cuaca cerah hingga jarak pandang sangat bagus. Kilat sekali, pesawat menukik tajam. Dua bom pertama di jatuhkan menghajar istana. Luput, bom jatuh di taman persis di samping istana. “Saya kaget, sebab F-5 biasanya sangat akurat menghantam target. Kemudian saya menset 30 derajat untuk strafing,” lanjut Trung. Dia membuat putaran kedua. Sekali lagi, dijatuhkannya dua bom sekaligus. Kali ini tepat, jatuh persis di atap istana. Bom meluncur menghantam tiga lantai sekaligus dan menghancurkan tangga-tangga bangunan.
    Kejadian di siang bolong itu mengagetkan segenap warga di sekitar istana. Presiden Nguyen Van Thieu melarikan diri tanpa cidera. Pemboman yang tidak menimbulkan korban jiwa atau luka serius itu mengecewakan Trung.
    Seperti diakui Trung kepada Orient Aviation (Februari 2000), sebenarnya dia juga merencanakan menjatuhkan bom di kedutaan besar AS dan memberondong depot minyak di sepanjang perjalanan kabur ke Phuoc Long. Tapi begitu melihat bom pertamanya meleset, dia batalkan niatnya dan memutuskan kembali melakukan putaran kedua untuk menghantam target utamanya, istana presiden.
Trung bergegas pergi. Karena dia yakin, leadernya pasti sudah mengetahui dan bisa jadi tengah mengarah ke tempatnya. Dengan cepat, Trung langsung pergi dan mendaratkan pesawatnya di Propinsi Phuoc Long, dekat perbatasan Kamboja. Sampai detik itu dia tidak tahu, bahwa 50 menit setelah istana dibom, istrinya Thi Cam serta dua anak perempuannya Thi Thvong (5) dan Thanh Muong (8 bulan) di tangkap dan disiksa tentara. Mereka diinterogasi secara keras, sambil menanyakan dimana Trung berada. Mustahil, karena istri Trung tidak pernah tahu apa yang dilakukannya, apalagi misi-misinya.
Begitu mendarat, Trung langsung dijemput sebuah mobil jip dan dilarikan memasuki hutan. Di hutan, dia mengganti pakaiannya dengan seragam Viet Cong. Duabelas hari dihabiskannya di dalam hutan. “Saya tidak merasa bangga atas apa yang saya lakukan, apa yang saya lakukan hanya semata untuk menghentikan perang dan pembunuhan secepat mungkin,” papar Trung.
    Apalagi untuk membunuh Soekarno, Presiden RI, sama sekali tidak ada dalam benak Dani. Bahkan selama masa persiapan aksinya, berkali-kali Dani menegaskan sikapnya, “Jangan main-main loh, ini nyawa orang, nyawa presiden,” kata Dani. Lagi pula seluruh pejuang Permesta Sulawesi Utara yang berada di Jakarta dengan sandi “Manguni” dipimpin Ventje Sumual dan Sam Karundeng, tahu betul bahwa BK adalah idola. “Mereka hanya kecewa. Kekecewaan kepada presiden dan penembakan itu adalah tanda ketidaksetujuan,” jelas Dani.
    Dani mengaku geli dengan dikait-kaitkannya Molly dalam peristiwa itu, bahkan banyak yang percaya termasuk teman-teman Molly di IKIP Jakarta. Ketika berada di penjara, Dani banyak belajar bahwa sangat dampang memunculkan gosip untuk membuat orang percaya. “Walau saya katakan berkali-kali mereka tetap katakan saya bohong,” kenang Dani.
    “Molly memang tunangan saya namun kami tidak sempat kawin. Jadi gosip bahwa Molly direbut Bung Karno lalu membuat Maukar marah, bohong. Ada yang bilang itu dilansir orang Amerika,” kata Dani.
Nancy pun sependapat dengan abangnya. “Saya kira isu itu sengaja dihembuskan orang-orang tertentu untuk mengaburkan otak dibalik peristiwa itu,” jelas Nancy. Serupa dengan Nancy Maukar, Marsda (Pur) Ibnoe Soebroto yang mengaku sahabat dekat Dani juga beranggapan begitu. “Isu diluar pacarnya diambil Bung Karno, itu isu dan saya tidak yakin,” kata Soebroto ketika dijumpai di kediamannya.
Dani mengaku mulai didekati secara sistematis oleh Manguni sejak kepulangannya dari Mesir akhir 1958. Berbagai rencana sampai ke telinganya, namun Dani tak pernah menanggapi serius. Termasuk rencana kakaknya Herman untuk menyabotase kapal tanker yang mau membawa minyak ke Sumatera.

    “Bagaimana caranya,” tanya Dani kepada Herman yang dengan entengnya menjawab akan menaruh dinamit pada kayu-kayu penahan dermaga yang akan meledak ketika tersenggol kapal. Namun Dani tak habis pikir, mau berapa banyak dinamit dipasang. “Pokoknya pasang secukupnya,” jawab Herman seingat Dani. Dani pun akhirnya menasehati, bahwa dinamit tidak akan mampu menjebol beton, “Sama saja dengan pasang petasan.” Lebih gila lagi, mereka merencanakan menyelam dengan snorkel saat memasang. “Cara berpikir Herman memang nekat.” Lain kesempatan Herman bermaksud meledakan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api.
    Diakui Dani ada banyak kejadian sebelum penembakan istana tersebut, dan Dani selalu menegaskan bahwa dia tidak mau ikut-ikutan. “Apa yang bisa dilakukan seorang letnan,” kata Dani kepada rekan-rekannya. Alhasil ketika beberapa kali Dani mengikuti Molly menghadiri acara mahasiswa Manado di Bandung, ejekan dan sindiran mulai memanasi kupingnya. “Kenapa tentara menghalangi kalau kami demo,” tanya mereka. Dengan tenang Dani menjawab, “Kami tidak ngalangi, kami nggak bisa apa-apa, kami dibayar pemerintah dan kami bekerja sesuai perintah.”
    Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekost di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Namanya Kokar. Dia, seingat Dani, banyak bercerita soal ketimpangan pembangunan di Manado setelah melakukan perjalanan ke sana. Jika sang ayah sedih, Herman sebaliknya makin terpancing emosinya.
    Seiring perjalanan waktu, perlahan namun pasti Dani memang akhirnya mulai terseret dan tertarik dengan rencana-rencana Manguni. Bahkan pada suatu hari Herman dengan organisasinya berencana menculik Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.

Batalion 324
    Rencana makar ini sebenarnya direncanakan untuk dilakukan pada 2 Maret 1960 bersamaan dengan peringatan hari Proklamasi Permesta, tapi gagal, juga rencana keesokan harinya tanggal 3 Maret, kembali gagal. Menurut Maukar, gelombang serangan akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.
Dani pun berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda. Dalam catatan sejarah “Jagoan dan Bajingan di Jakarta tahun 1950-an” (supermilan.wordpress.com), Bratamanggala pernah dikenal sebagai pimpinan eks laskar di Jakarta yang tergabung ke dalam Kobra alias Kolonel Bratamanggala. Mereka adalah eks anak buah Bratamanggala yang pernah berjuang di wilayah Jawa Barat. Daerah kekuasaan kelompok ini adalah pasar dan kantong-kantong perdagangan. Di tempat-tempat inilah Kobra “berkuasa” dan menancapkan pengaruhnya sebagai jagoan atau preman dalam istilah sekarang.
    Saat itu dilukiskan Dani bahwa situasi memang sudah memanas. Sejumlah mahasiswa ditangkap aparat, Herman Maukar hilang entah ke mana. Sempat pada masa-masa genting itu Dani dipanggil sang ayah untuk menanyakan apakah letnan muda yang dibanggakan sang kakak Paula ini terlibat. “Kepada ayah saya bilang bahwa saya tidak akan ikut.” Padahal sekitar bulan Februari, Dani sudah menyampaikan kepada Herman dan beberapa tokoh lainnya. “Ayo cepat bilang apa yang harus saya lakukan,” jelas Dani.
    Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Dani pernah menanyakannya secara langsung ketika secara kebetulan ada misi penerbangan ke kota kembang itu. Sejumlah pihak yang ditemuinya mengaku terlihat grogi terbukti dengan jawaban yang tidak masuk akal. Ada yang bilang tanggalnya tidak cocok, bukan hari baik lah atau masih tunggu tanda. “Akhirnya saya bilang, kalau kamu tunggu tanda sampai kapan, ya sudah kalau begitu aku saja yang kasih tanda. Bilang saja saya tembak, suruh tembak apa sekarang. Betul, betul saya bilang. Lalu mereka pergi. Saya pikir mereka pergi ke Sam Karundeng dan sampaikan rencana itu. Ternyata tidak, mereka kemudian karang sendiri rencana yang akan dilakukan,” kenang Dani.
    Lalu Dani menemui Mayor Sutisna (Dani tidak menyebut nama-nama lain dalam pertemuan). Oleh perwira ini Dani di-briefing dan diberitahu sasaran yang dikehendaki. “Dia minta saya tembak Halim, saya bilang nggak bisa itu rumah saya. Kalau mau sasaran lain, jangan sasaran AURI,” bantah Dani. Menurut Dani, sikapnya ini cukup menolong dirinya di mata AURI ketika terungkap di dalam persidangan.
    Akhirnya dari pertemuan itu disepakati tiga target yang harus ditembak Dani. Meliputi Istana Kepresidenan, tanki bahan bakar di Tanjung Priuk, Istana Bogor dan kemudian kabur ke Singapura. Tapi Dani menolak butir terakhir, kabur ke Singapura. “Dua adik saya perempuan dan papi saya di sini, nanti disikat. Saya tidak mau, saya tidak akan lari,” tegas Dani. Karena penolakan ini, akhirnya disepakati pendaratan darurat akan diatur di wilayah Darul Islam (DI). Kota Malambong dan Panumbangan dipilih selain karena wilayah DI, ke dua tempat itu kebetulan sedang dikuasai Batalion 324, batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas DI. Dengan identitas Menado, para konseptor yakin Dani akan diselamatkan. “Jadi Sutisna banyak menentukan dalam soal ini.”
Pada tanggal 9 Maret pagi itu Dani masih berada di Bandung. Secara diam-diam seseorang melaporkan kepada Bratamenggala bahwa Daniel Maukar sudah berangkat ke Jakarta (dengan pesawat MiG-17). Sepengetahuan Dani, katanya, Bratamenggala marah sekali dan meminta seseorang menyusul Dani untuk menahan serangan. “Dia sudah berangkat, sudah kepalang ke Jakarta dan kita tidak bisa menyusul,” jelas Herman kepada Bratamenggala. Namun Herman tetap diperintahkan menyusul Dani untuk mengatakan jangan melakukannya. “Padahal Herman bohong, karena saat itu saya masih ada di Bandung, jadi memang ada pihak-pihak yang menginginkan rencana itu tetap dijalankan,” papar Dani.
Insiden Istana Merdeka ini menurut Dani nyaris sama dengan Peristiwa Cikini. Kolonel Zulkifli Lubis yang ditemuinya di dalam penjara, mengatakan bahwa dirinya melarang aksi itu namun tetap dilaksanakan. “Jadi top tidak tahu, yang bermain di tengah,” ujar Dani.

Persiapan aksi
    Persiapan sebetulnya nol. Kata-kata itu meluncur dari mulut Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta lalu cari daerah Panembangan, bikin garis-garis, lalu selesai. Hal ini diakui Dani sebagai kelalaiannya hingga usia menembak Istana Bogor dia kehilangan arah.
    Pagi itu tanggal 9 Maret 1960, cuaca cerah mengiringi dimulainya denyut nadi kehidupan di Ibukota Jakarta. Sejumlah aktifitas mulai dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran.  Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya.
    Ternyata sehari sebelumnya, 8 Maret, Dani pergi ke Bandung untuk menemui Sam Karundeng dan Herman. Kunjungan itu sengaja dibuat sebagai persiapan terakhir. Karena itu Dani sengaja membawa sebuah MiG-15 untuk memperlancar rencananya. Maka pagi itu pukul 04.30 tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk persiapan kembali ke Jakarta. Ikut mengantar pagi itu Herman, Sam, Fifi dan Molly. Sebuah ciuman mesra diberikan Dani kepada Molly. Sang kekasih masih sempat menanyakan kepada Dani apakah Sabtu depan akan ke Bandung. Tanpa sadar air mata membasahi pipi Dani begitu Molly diikuti Fifi berlalu. Perasaannya begitu gundah.
    Mungkin sekitar jam 6-an, sebuah MiG-15 UTI berlalu dari Bandung. Ikut bersama Dani di pesawat Rob Lucas, teman Herman, yang sudah dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Sebuah tumpangan yang ekslusif untuk rute Bandung-Jakarta. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Setelah basa-basi seperlunya, Rob pun berlalu dari pandangan Dani.
Sementara Dani sudah larut dalam aktivitas harian skadron. Sampai akhirnya seorang perwira mengatakan bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan diadakan penerbangan supersonik (supersonic flight). Bagaimana caranya terbang supersonik dengan MiG-17 yang jelas-jelas subsonik.
    Penerbang senior itu kemudian menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun daftar penerbang hari itu. “Tiger”, callsign Letnan Dua Udara Daniel Maukar ada di urutan terakhir. “Seingat saya hari itu adalah giliran Saputro, Sofyan Hamzah dan saya,” kenang Dani. “Mestinya saya ikut, tapi karena habis operasi kuku saya tidak bisa ikut misi hari itu,” jelas Ibnoe Soebroto.
    “Kamu akan mengalami sebuah sensasi ketika pesawat kamu menembus kecepatan suara,” kata perwira operasinya. Setiap pesawat diberi jeda satu jam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Dia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda. Sebuah pisang dikunyahnya untuk sekadar mengganjal isi perut.
Akhirnya ketika jam menunjukkan pukul 11.45, giliran Dani tiba. Helm dibawa menuju pesawat MiG-17F Fresco nomor 1112. Sambil berjalan, matanya sempat menyapu kawasan skadron dan berucap dalam hati, “sampai kapan saya akan meninggalkan tempat ini.” Lalu pandangan diarahkannya ke selatan, sedikit berawan namun tetap cerah. “Blue over Jakarta, a perfect day,” lirih Dani meyakinkan diri.
    Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat dan kemudian naik ke kokpit. Dia akan memulai penerbangan hari itu dengan sebuah doa di dalam hati: Saat ini Tuhan, sertailah diriku. Berkati aku dalam misi ini, karena Kamu tahu apa maksudnya. Maafkan aku dalam dosa ini. Dalam nama Yesus. Amin.
 “Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?”
 “Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in.”
 “Tiger local flying. Request to start engine, over.”
 “Roger, Tiger, you are cleared to start engine.”
Sedetik kemudian Dani melongok ke teknisi di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memperhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan dia mendorong  ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap  untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator.  Semua oke.
 “Kemayoran tower, from Tiger, over.”
 “Roger Tiger, come in.”
 “Tiger request taxi and take off instructions, over.”
 “Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position.” Dani pun menutup kanopi dan memeriksa safety belt lock.
 “Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over.”
 “Roger, Tiger, you are cleared for take off.”
    Menurut briefing pagi itu, pesawat mesti heading ke selatan Jakarta. Tapi Dani sudah punya rencana lain. Namun pagi itu dia masih sempat mengontak seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka. Kepada anggota itu Dani menanyakan apakah melihat bendera kuning berkibar. “Tidak ada Pak,” katanya. Berarti presiden sedang tidak di Istana.
    Sasaran pertama adalah kilang minyak Shell di Tanjung Priuk. Pesawat berbelok ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Dani sudah mengaktifkan tombol penembakan (flipped on gunsight). Tanki-tanki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tanki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu.
    Jarinya menekan trigger. Det….det….det…det…, 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tanki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani hanya bisa menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.
    Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. “Saya sudah di atas Senen (pusat pertokoan) dan di kejauhan terlihat Istana,” kata Dani. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Setelah berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian dia kembali mengirimkan tembakan dengan sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.
    Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbojet seperti merontokkan jantung warga Ibukota di siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah dia melihat keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. “Saya tahu hari itu Allan Pope sedang di sidang, jadi saya sengaja high speed low level,” aku Dani. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.
    Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit dia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.
Tiba-tiba, “Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over.” Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas sekalipun. “Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel.” Dani tetap bungkam, karena sekali dia membalas posisinya akan diketahui. Radio pun dimatikan.
    Pesawat terus melaju cukup kencang menuju Bandung. “Disitu kesalahan saya, ngelamun sambil terbang, tiba-tiba ingat Molly.” Bergalau pikiran di benak Dani. Dia tidak tahu bagaimana reaksi Molly jika tahu apa yang sudah dilakukannya. Apalagi membayangkan reaksi sang ayah. Dani tidak sadar bahwa dia sudah terbang jauh, tanpa tahu arah. Sampai akhirnya dia tersadar, dan tidak tahu persis sudah berada di mana. Namun Dani yakin, dia pasti sudah mendekati Garut.
    Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah dia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya di mana-mana. Daripada pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan.
    Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MiG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.
    Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. “Daripada saya menderita,” jelasnya. Sore itu juga setelah ditangkap tentara di Garut, datang mengunjungi Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik.
    Nun jauh di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satupun tuduhan langsung terarah ke Dani. “Malah yang dicurigai saya, menurut Pak Darman (alm), itu pasti Broto…Broto,” kenang Ibnoe Soebroto. Begitu pula keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja.
 “Bagaimana pendapat Bapak soal penembakan tadi.”
“Orang itu harus bertanggung jawab!”
 “Itu anak Bapak.” Suara provost itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Di tempat lain di Jakarta, Rob Lucas ditangkap dikediamannya gara-gara pagi itu ikut MiG-15 dengan Dani, namun kemudian dibebaskan karena tidak terbukti terlibat.

Kebaikan Suryadarma
    Siang itu juga di Jakarta, KSAU Marsekal Suryadi Suryadarma langsung menghadap Presiden Soekarno untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya. Sepertinya Suryadarma langsung menemui BK, karena siang itu kebetulan dia menghadiri sidang Dewan Nasional di gedung di samping Istana Merdeka. Dengan sikap kesatria, Suryadarma meminta mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawabannya namun ditolak oleh BK. Sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena menemui Suryadarma. Erlangga Suryadarma, putra Suryadarma pernah menceritakan kepada Angkasa bahwa Leo siap menerima tanggungjawab atas ulah anak buahnya.
Atas ulahnya, Letnan Udara Daniel Alexander Maukar dikenakan hukuman mati sebelum diampuni Soekarno tahun 1964. Namun setelah melalui berbagai proses bolak-balik, ia dibebaskan Maret 1968, era Presiden Soeharto. Ada peristiwa menggelikan ketika Dani dikirim ke penjara. Hari itu mestinya Kapten Willy Rondonuwu dibebaskan. Namun karena aksi Maukar, pembebasannya jadi tertunda. Sejak boleh dikunjungi Juni 1960, keluarga termasuk Molly Mambo, mulai mengunjungi Dani dengan pengawalan ekstra ketat.

    Suryadarma sebagai KSAU banyak membantu proses persidangan Dani hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya. Dengan singkat Suryadarma menjawab, “Dia sudah saya anggap anak saya.”

Sumber : http://buoneparte.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...