Selasa, 11 Februari 2014

KAPITAN PATTIMURA (BAB I. PATRIOTISME TIMBUL DI MALUKU)



BAB I. PATRIOTISME TIMBUL DI MALUKU

"Pukalawan repu, pisi repu" berarti cengkih banyak, uang banyak. Demikianlah berkumandang di bandar-bandar di Maluku dan di negeri-negeri penghasil cengkih dan pala. Cengkih dan pala membawa kemakmuran bagi rakyat. Pedagang-pedagang Jawa, Melayu, Makassar, Arab, Gujarat, Keling, Cina pergi datang. Kapal-kapal layar mengarungi dan berpapasan di lautan bebas Nusantara dari barat ke timur, dari timur ke barat ; semuanya giat dalam suatu perniagaan nasional dan internasional. Itulah keadaan dalam abad ke-15 sampai dengan abad ke-17.

Sudah sejak masa Kerajaan Sriwijaya, Kediri dan Majapahit, gudang rempah-rempah, Maluku, menarik pedagang-pedagang dari bagian barat Nusantara. Maluku adalah satu-satunya daerah di dunia pada waktu itu yang menghasilkan cengkih dan pala. Di bandar-bandar Hitu, Banda, Ternate, Tidore terdengar berbagai bahasa dan logat. Berbagai macam orang yang berpakaian beraneka ragam dan beraneka warna, yang berkulit sawo matang bercampur dengan yang berkulit hitam dan yang berkulit kuning langsat. Yang berambut keriting bersenggol-senggolan dengan yang berambut kejur atau berombak atau yang berjenggot atau berkumis tebal. Ada yang berperawakan tinggi berhidung mancung, ada yang pendek berhidung pesek dan ada pula yang sedang bentuk tubuhnya.

Di pelabuhan-pelabuhan terapung-apung dan teroleng-oleng riak gelombang atau berlayar kian kemari mengangkut atau menurunkan muatan, bermacam kapal, kora-kora, arombai, biduk, perahu bercadik atau tanpa cadik. Bermacam potongan layar yang beraneka warna dan bermacam bendera memeriahkan suasana di pelabuhan. Di sebelah sini orang timbang-menimbang cengkih dan pala, di sebelah sana tukar-menukar rempah-rempah dengan kain, beras, tembikar, barang tembaga terutama gong, senjata api dan lain-lain. Di kejauhan sana pedagang Cina menawarkan barang-barang porselin yang sangat berharga dan mahal. Berjenis burung berkicau dalam sangkar di bawah pohon-pohon yang rindang seolah-olah memanggil-manggil si pembeli. Lalu lalang manusia sangat ramai. Para bangsawan, orang kaya, penguasa-penguasa sibuk dengan timbang-menimbang, tawar-menawar, jual-beli, transaksi, pengawasan dan lain-lain. Mereka dibantu oleh bawahan atau para budak. Melalui tangan-tangan mereka cengkih dan pala diperjual belikan dan perdagangan dilakukan. Ada kalanya mereka memonopoli pembelian rempah-rempah lalu ditumpukkan di rumah-rumah mereka di dekat atau di bandar.

Perdagangan ini sangat menguntungkan mereka. Tetapi juga bagi petani-petani cengkih dan pala perdagangan nasional dan internasional ini membawa pula kemakmuran. "Goyang cengkih, ringgit gugur" kedengaran di kebun-kebun cengkih dan pala dan di negeri-negeri pesisir. Ibarat pohon cengkih yang berbuah digoyang-goyang saja, gugurlah ringgit bagi kehidupan rakyat.

Besar pula laba yang diperoleh pedagang-pedagang asing itu. Mereka merupakan penghubung atau perantara antara daerah Maluku dengan Nusantara bagian barat, dengan dunia Asia bagian barat, Afrika Utara dan Eropa.

Mahalnya cengkih dan pala di pasaran dunia bukan karena ongkos produksi yang tinggi akan tetapi karena biaya pengangkutan melalui jalan dagang yang sangat panjang dari timur ke barat, perdagangan yang berpindah tangan di tiap-tiap bandar, pajak impor transit ekspor yang tinggi dan keuntungan-keuntungan yang dipetik oleh pedagang-pedagang perantara. Risiko yang besar, karena mengarungi lautan, yang kerap kali bergelombang buas, bahaya bajak laut dan penyamun. Betapa mahal harga rempah-rempah itu.

Di Maluku harga satu sentenar (50 kg) satu sampai dua dukat (satu dukat = uang emas Belanda = f 5,25), di Malaka sudah berharga sepuluh dukat. Kapal Spanyol "Victoria", yang berhasil mengangkut cengkih langsung dari Ternate ke Eropa pada tahun 1521, menjualnya dengan keuntungan dua ribu lima ratus persen.

Perdagangan rempah-rempah membawa kemakmuran bagi kerajaan-kerajaan di Afrika Utara dan Laut Tengah. Seorang Eropa menulis "Sulit bagi kita dewasa ini untuk membayangkan betapa perdagangan rempah-rempah dalam abad ke-14 dan ke 15 bisa menjadi dasar bagi masa gemilang sesuatu peradaban, bukan saja di Mesir tetapi juga di kerajaan-kerajaan kecil di Italia". Seorang penulis lain mencatat pada waktu itu perdagangan rempah-rempah yang melalui Kairo saja, dihitung dengan nilai emas absolut, berharga kira-kira empat ratus dua puluh ribu pound sterling setiap tahun.

Dalam tahun 1600 produksi cengkih di Maluku Utara setiap tahun tiga ribu bahar dan di Ambon seribu seratus bahar (satu bahar rata-rata lima ratus pon). Produksi bunga pala (fuli) dua ribu lima ratus dan pala dua ribu delapan ratus dua puluh lima bahar. Ekspor pala, fuli, cengkih setahun rata-rata dua ribu tujuh ratus ton (satu ton = seribu lima ratus pon). Ini berarti uang yang beredar di Maluku yang ada di tangan pedagang dan petani cengkih dan pala, ada kira-kira empat puluh lima ribu sampai delapan puluh satu ribu dukat setahun. Suatu jumlah yang pada waktu itu sangat besar, apalagi dibayar dengan mata uang emas.

Inilah keadaan semasa berkembang kerajaan-kerajaan maritim di Indonesia seperti Ternate, Tidore, Malaka, Demak, Banten, Aceh dan Makasar. Di Maluku Utara pada waktu itu terdapat dua kerajaan besar, Ternate dan Tidore. Dua kerajaan lain, Bacan dan Jailolo, telah mundur kekuasaannya. Sedangkan di Maluku Tengah terdapat suatu sistem ketatanegaraan yang teratur rapi dalam "republik-republik negeri", yaitu tiap negeri atau desa mempunyai pemerintahan yang teratur pula. Republik-republik kecil itu bersifat demokratis dan mempunyai ikatan teritorial genealogic berarti rakyatnya mempunyai wilayah hidup tertentu dan hidup dalam ikatan kekerabatan menurut keturunan. Kepala pemerintahan negeri disebut raja, patih atau orang kaya, yang dipilih oleh rakyat dalam suatu musyawarah besar tua-tua adat. Raja didampingi oleh suatu dewan pemerintahan negeri yang disebut "saniri negeri".

Perniagaan menimbulkan suatu pergaulan nasional, suatu pergaulan antar suku di Maluku. Berdatangan orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Makasar, Bugis dan Buton. Ada yang datang berdagang, ada pula yang datang menyiarkan agama Islam. Ada yang menetap di bandar-bandar. Kampung Pala Jawali, Sol Jawa dan kampung Makasar di KotaTernate, Soa Badi. Kota Ambon, Desa Maspait dan Kota Jawa di Pulau Ambon, menunjukkan adanya suatu pergaulan antar suku Indonesia, yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya. Asimilasi yang timbul, terutama di Ternate, Tidore, Bacan dan Hitu memperkuat unsur-unsur pergaulan nasional Indonesia di daerah Maluku. Dan pergaulan itu sangat penting dalam menghadapi orang-orang asing dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris. Mereka datang ke Maluku dan menimbulkan banyak masalah politik sosial dan ekonomi selama beberapa abad lamanya.

1.1. Patriotisme, Benang Merah Dalam Perjuangan Rakyat Maluku
Dalam sejarah rakyat Maluku, sejak dari abad ke-16, terlihat seutas benang merah, yaitu perlawanan yang maha hebat menentang kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa. Kisahnya mulai dengan kedatangan orang-orang Portugis.

Pada suatu hari dalam tahun 1512, tiba-tiba rakyat di berbagai tempat seperti di Banda, di negeri-negeri dipesisir Jazirah Hitu di Pulau Ambon. di Ternate dan Tidore, terkejut karena melihat kapal-kapal layar berbentuk besar-besar mendekati pelabuhan mereka. Turunlah orang-orang bule, di antara mereka ada orang berambut pirang. Itulah orang-orang Portugis yang menginjak kakinya di bumi Maluku. Mereka datang dari jauh, sesudah berlayar berbulan-bulan lamanya, mengarungi samudera luas, melalui Tanjung Harapan, menuju ke Asia terus ke Indonesia dan masuklah ke gudang rempah-rempah. Masuklah pula ke Maluku Utara orang-orang Spanyol, yang melalui ujung Amerika Selatan tiba di Philipina dan akhirnya buang sauh di Ternate dan Tidore.

Mereka datang untuk mencari bahan dagangan yang sangat terkenal dan mahal di Eropa, yaitu cengkih dan pala. Betapa rakyat Hitu, Banda, Ternate dan Tidore cemas mendekati mereka yang turun kedarat itu. Penuh kecurigaan, karena telah mendengar cerita-cerita dari pedagang- pedagang Melayu dan Jawa. Betapa sultan-sultan menerima mereka, berhati-hati, tetapi kemudian lebih terbuka dan akhirnya bersahabat. Celakanya bagi rakyat Maluku, tetapi untung bagi orang-orang asing itu, bahwa pada waktu itu Kerajaan Ternate hidup bermusuhan dengan Kerajaan Tidore. Kedua kerajaan itu sedang saling berebut kekuasaan, saling berebut jalan perdagangan ; saling berebut pulau-pulau yang menghasilkan cengkih dan pala ; saling hancur-menghancurkan angkatan lautnya. Lalu sultan-sultan itu mencari kawan dan bersahabatlah dengan orang-orang Eropa itu. Sultan Ternate bersahabat dan mengadakan perjanjian dengan orang-orang Portugis. Sultan Tidore mengundang orang Spanyol masuk ke dalam wilayah kerajaannya.

Portugal dan Spanyol, yang saling berperang dan bermusuhan di Eropa, beruntung mendapat kawan di gudang rempah rempah, Maluku. Permusuhan mereka berlangsung juga di situ. Peperangan, yang tak berhenti-henti antara Ternate dan Tidore, masing-masing dibantu oleh sekutunya, melemahkan kedua kerajaan itu. Perdagangan makin mundur, armada dagang makin hancur, uang negara makin habis, rakyat makin menderita. Sedangkan sikap orang-orang asing itu makin congkak, makin angkuh, makin tidak sopan dan makin tidak mengindahkan kekuasaan sultan-sultan. Tuntutan-tuntutan mereka makin menjadi-jadi. Mereka memperkuat kedudukan dan kekuasaan dengan jalan mendirikan benteng-benteng batu, mula-mula dengan seizin sultan, tetapi akhirnya tanpa persetujuan lagi. Armada mereka makin banyak dan kuat. Serdadu-serdadu Portugis makin bertambah.

Lambat laun Ternate dan sekutu-sekutunya berhasil melemahkan Tidore, dan Spanyol. Dengan demikian kelihatan seolah-olah Ternate keluar sebagai pemenang. Tetapi itu semuanya semu belaka. Kemenangan itu dibayar sangat mahal, karena sebenarnya melemahkan kerajaan itu sendiri, sedangkan sahabat karibnya berhasil bercokol di benteng-benteng batu di ibukota dan wilayah Kerajaan Ternate.

Dari situ Portugis mulai melancarkan siasat untuk lebih melemahkan lagi kekuasaan Ternate. Turut campur tangannya orang-orang asing itu dalam soal-soal pemerintahan dan soal-soal rumah tangga kraton, usaha untuk menguasai sendiri perniagaan, penyebaran agama Kristen-Katholik, keserakahan untuk mengambil untung sebesar-besarnya, akhirnya menimbulkan bencana. Sultan Hairun perintahkan rakyatnya untuk mengangkat senjata dan mengusir bekas sekutunya.

Bukan saja di Maluku Utara, tetapi juga di Hitu, Ambon, Seram dan Lease, Portugis berhasil bercokol di dalam benteng-benteng batu. Juga di daerah-daerah itu agama Kristen disebarkan. Pertentangan dan peperangan timbul pula dan menyeret rakyat Maluku ke dalam kancah perpecahan. Ada yang memihak Ternate, ada pula yang memihak Portugis. Pedagang dan pelaut Jawa, Makasar, Melayu, yang merasa terancam dan terdesak karena monopoli Portugis, membantu rakyat. Celakanya bukan saja peperangan melawan Portugis berkecamuk tetapi juga perang antara rakyat Kristen melawan rakyat Islam. Campur baur heroisme dengan kekejaman dari kedua belah pihak. Darah mengalir membasahi bumi Maluku. Patriot-patriot dan pahlawan-pahlawan tanpa nama berguguran. Sultan Hairun menjadi korban kekejaman Portugis. Putranya, Sultan Baat Ullah, berhasil mengusir Portugis dari Ternate, mereka berpindah ke Ambon. Perang melawan Portugis dilanjutkan di situ, dipimpin oleh Hitu dan dibantu armada Jawa.

Peperangan yang berlangsung bertahun-tahun itu melemahkan semua pihak baik Portugis maupun Ternate, Tidore, Hitu, Banda dan pedagang-pedagang Indonesia sendiri. Pada saat kelemahan pihak lawan maupun kawan, suatu hari dalam tahun 1600 muncul sebuah armada asing yang lain. Anak buahnya bule, berambut pirang atau putih kekuning-kuningan, bermata biru atau hijau seperti mata kucing, besar-besar bentuk tubuhnya. Itulah pelaut dan pedagang Belanda. Bangsa Belanda bermusuhan juga dengan Portugal dan Spanyol di Eropa, Jadi ketika mereka muncul di perairan Maluku mulailah mereka membantu rakyat Hitu untuk mengusir Portugis. Tetapi Hitu diikat dulu dengan perjanjian untuk menjual rempah-rempah hanya kepada orang asing yang baru itu. Mereka diperbolehkan membuat benteng batu. Karena Portugis sudah lemah, dengan mudah Belanda melenyapkan kekuasaan mereka dari Maluku dalam tahun 1605 untuk selama-lamanya. Tetapi bukan Hitu yang memperoleh keuntungan. Bukan Hitu yang mengambil alih kekuasaan Portugis, tetapi Kompeni Belandalah yang sekarang mengganti Portugis. "Kompania Wolanda", begitulah mereka dikenal di kalangan rakyat, bercokol di Benteng Victoria di Ambon.

Sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, mereka memperkuat armadanya, membuat benteng batu di mana-mana, membuat perjanjian dengan raja, patih, orang kaya dan sultan untuk memonopoli perdagangan cengkih dan pala dan memonopoli pelayaran dan pengangkutan di laut. Perjanjian itu mengikat rakyat dan kepala-kepalanya. Orang Belanda ternyata tidak lebih baik dari orang Portugis. Perniagaan rakyat tidak lebih maju. Rakyat tidak bebas lagi menanam cengkih dan pala. Cengkih hanya boleh ditanam di Ambon dan Lease dan Pala di Banda. Jika ternyata hasil rempah-rempah terlalu banyak di pasar dunia, diadakan pelayaran hongi untuk memusnahkan pohon-pohon cengkih dan pala. Sultan-sultan Ternate, Tidore, dan Bacan diikat dengan kontrak. Mereka berjanji untuk memusnahkan kebun-kebun cengkih dan pala di dalam daerah kekuasaan mereka. Sebagai ganti rugi mereka menerima sejumlah uang setiap tahun dari kompeni. Tetapi rakyat tidak menerima apa-apa, hanya kemelaratan. Ekonomi rakyat dikuasai orang-orang bule dari negeri dingin itu. Rakyat yang memproduksi untuk pasaran dunia, nasional maupun internasional, merasa pahit getirnya pemerintahan orang asing yang baru ini. Pedagang- pedagang Indonesia dan asing lainnya dihalau sama sekali dari perairan Maluku.

Bukan itu saja. Kekuasaan raja-raja, sultan-sultan, kepala kepala adat dan lain-lain lembaga pemerintahan rakyat dipersempit, dikurangi dan akhirnya dilenyapkan. Kompania Wolanda turut campur dalam segala bentuk pemerintahan, sampai ke negeri-negeri. Dengan perjanjian dan berbagai peraturan akhimya Kompeni bertuan di Maluku. Monopoli, kerja paksa atau kerja rodi, penyerahan wajib hasil cengkih dan pala, hongi dan berbagai hukuman badan adalah ciri khas dari pemerintahan Kompeni.

Kegelisahan dan keresahan rakyat makin menjadi-jadi. Pengekangan, penindasan, pemerasan dan lain-lain praktek keserakahan tidak tertahankan lagi. Rakyat yang mempunyai harga diri dan ingin hidup bebas dan merdeka di tanah tumpah darahnya sendiri, pada waktunya akan mengangkat senjata untuk menghancurkan penindas-penindas dan pemeras-pemeras rakyat.

Tifa peperangan dipalu, bunyi tiupan "kulit bia" (lokan) tanda perang sahut-menyahut, parang dan "salawaku" (perisai) bergerincing, tari "cakalele" (tari perang) membangkitkan semangat perlawanan. Tanda seluruh rakyat Maluku akan menyabung nyawanya di medan laga.

1.2. Pahlawan-pahlawan Berguguran.
Maka dalam tahun 1609 rakyat Banda mengangkat senjata membunuh serdadu-serdadu Belanda, disusul dengan serangan balasan dari pihak Kompeni. Inilah permulaan dari peperangan melawan Belanda di Maluku, yang tidak habis-habisnya, sampai kekuasaan Kompeni berakhir sekitar tahun 1800.

Menyusul rakyat di Jazirah Leitimor di Pulau Ambon dalam tahun 1616, lalu menjalar ke seluruh Maluku. Mega mendung meliputi rakyat Banda, ketika mereka berusaha melepaskan diri dari cengkeraman monopoli Belanda. Gubernur Jenderal Coen menyerang rakyat Banda dengan kekuatan yang jauh lebih besar dan alat perang yang jauh lebih modern. Kekejaman berlaku. Patriotisme dan heroisme mengiringi pahlawan-pahlawan Banda tanpa nama ke alam baka. Pembunuhan rakyat Banda secara besar-besaran dalam tahun 1621 itu, disusul dengan penangkapan dan pengusiran rakyat asli dari tanah tumpah darahnya, merupakan lembaran terhitam dari permulaan sejarah Belanda di Indonesia. Lalu pulau itu diisi dengan penghuni baru yaitu orang-orang Belanda pegawai Kompeni dengan turunannya. Mereka membuka perkebunan pula dan dikenal sebagai kaum perkenier. Budak-budak didatangkan untuk bekerja bagi mereka.

Api peperangan terus berkobar. Armada Ternate di bawah pimpinan "kimelana" (wali) Hidayat dan Leliato, yang berpusat di Luhu (Seram Barat), terlibat dalam pertempuran melawan Kompeni. Menjalar peperangan itu ke Ambon dan Lease.

Rakyat Hitu, yang semula bersekutu dengan Kompeni, lambat laun menderita kerugian karena cengkeraman monopoli. Perdagangan dan pelayaran mereka mengalami kemunduran besar, kesejahteraan rakyat makin menjadi buruk. Kebebasan di laut untuk berhubungan dengan pelaut dan pedagang Jawa, Makasar, Melayu dan lain-lain pedagang Asia dikekang. Mau tidak mau timbul bentrokan dengan Belanda, yang akhirnya menyebabkan berkecamuk perang mati-matian untuk mempertahankan hak-hak rakyat atas tanah tumpah darahnya. Kapitan Kakiali dan Tulukabessy, didampingi oleh pahlawan-pahlawan Hitu, memimpin Perang Hitu, yang berlangsung secara total selama dua belas tahun. Mereka harus membayar patriotisme dan heroisme dengan jiwa-raga mereka. Johan Pais, seorang pemimpin yang berpengaruh besar di kalangan rakyat Kristen di Leitimor, harus menebus aktivitas perlawanannya dengan jiwa-raganya juga.

Dalam Kerajaan Ternate dan Tidore rakyat bergolak. Kompeni bertindak tanpa ampun dan menaklukkan sultan-sultan dengan perjanjian yang merugikan rakyat. Kimelaha-kimelaha Ternate dan Tidore di Seram, tidak mau tunduk pada perjanjian-perjanjian itu. Berkali-kali mereka bertempur melawan Kompeni. Dalam perang Hoamual, seluruh rakyat Seram, Buru, Boano, Manipa, dan Lease terbakar oleh keganasan api peperangan. Tetapi sekalipun rakyat mendapat bantuan besar dari tentara Makasar, ternyata persenjataan Kompeni di darat maupun di laut jatuh lebih kuat dari persenjataan rakyat. Armada perang rakyat yang terdiri atas kora-kora besar kecil, berjenis arombai perang tidak dapat mengimbangi kapal-kapal perang kompeni, yang dipersenjatai dengan meriam-meriam dan lain-lain senjata. Keras dan ganas tindakan Gubernur ke Vlamingh van Oudshoorn. Rakyat tidak akan lupa "jenderal halilintar" ini, ternyata dari cerita-cerita rakyat yang masih hidup di Nusa Ina (pulau ibu = Seram). Dia bertindak melakukan deportasi, yaitu pemindahan rakyat secara paksa dan secara besar-besaran. Dua belas ribu rakyat di Jazirah Hoarnual dan pulau-pulau di sekitarnya dipindahkan dari tanah air mereka yang subur dan penuh kebun-kebun cengkih. Sesudah itu kebun-kebun mereka itu dibakar semuanya. Yang beragama Islam dipindahkan ke Jazirah Hitu dan yang beragama Kristen ke Jazirah Leitimor di Pulau Ambon. Raja-raja mereka diasingkan ke Batavia. Rakyat Islam dari Iha (Saparua) dipindahkan untuk mengisi Hoamual. Manipa diisi dengan rakyat dari pulau-pulau : Kelang, Boano dan Ambalau. Dari Lease diangkut rakyat untuk mengisi pulau yang telah dikosongkan.

Sungguh nasib yang malang diderita oleh rakyat Maluku Tengah. Hubungan dengan tanah dan kampung halaman menurut adat dihancurkan. Hubungan kerabatan dan darah dimusnahkan. Rakyat dicerai-beraikan, disebar-sebarkan di tanah yang bukan milik mereka, di daerah yang asing bagi mereka. Putuslah hubungan dengan kebun-kebun cengkih, sumber hidup mereka. Mulailah lagi dari permulaan mereka harus mengusahakan tanah di tempat kediaman yang baru itu atau mengusahakan mata pencaharian yang lain. Tujuh sampai delapan tahun diperlukan sebelum pohon-pohon cengkih memberi hasil. Dibanyak tempat timbul perselisihan antara mereka yang baru dipindahkan dengan penduduk asli karena masalah tanah. Tidak begitu mudah memperoleh tanah di tempat yang baru itu, terutama di Jazirah Hitu dan Leitimor. Mereka menjadi terlalu sibuk dengan mengatur hidup sehari-hari dari pada memikirkan perang lagi. Apalagi semua pemimpin mereka sudah ditangkap dan dibuang keluar Maluku. Inilah keadaan yang dikehendaki oleh de Vlamingh dan penguasa-penguasa Belanda.

Sampai akhir abad ke-17 masih ada peperangan berkobar di Seram Timur, Ternate dan Buru. Seratus tahun lamanya rakyat di berbagai pulau silih berganti memerangi Kompeni, sekalipun tidak sehebat seperti bagian pertama abad itu. Betapa banyak rakyat yang tewas selama dua abad bertempur melawan orang-orang Portugis dan Belanda. Betapa banyak pahlawan Yang gugur menyirami buminya dengan darahnya. Kemiskinan timbul di mana-mana. Perniagaan rakyat mati. Tanam paksa dan penyerahan paksa cengkih dan pala serta pajak yang berat menghancurkan kesejahteraan rakyat Maluku. Menurut catatan para ahli, diperkirakan pada akhir abad ke-18, penduduk Maluku Tengah telah berkurang dengan 100.000 orang, yaitu 2/3 dari jumlah pada awal abad ke-17. Jumlah produksi cengkih berkurang dari 3,5 juta pon menjadi 1 juta.

Rakyat Maluku memasuki abad ke-18 dengan keadaan politik sosial dan ekonomi yang sangat parah. Dalam abad itu perhatian Kompeni telah dialihkan ke Pulau Jawa. Hasil pertanian dan perkebunan seperti padi, kopi, gula, dan lada benang, nila dan kayu lebih menguntungkan Belanda dalam perdagangan Asia. Sekalipun Kompeni tidak melepaskan monopolinya di Maluku, namun rempah-rempah dari Maluku tidak lagi menentukan hidup matinya Kompeni. Bandar-bandar seperti Ambon, Hitu, Ternate, Tidore makin sepi dan makin mundur. Semua kekuasaan tunduk pada pemerintahan Kompeni. Masih ada beberapa kali di dalam abad itu bangsawan-bangsawan Ternate dan Tidore mencoba mengangkat senjata, tetapi sultan-sultan tidak berdaya lagi. Dengan demikian terlaksanalah perintah pucuk pimpinan VOC atau Kompeni di Negeri Belanda, untuk menaklukkan raja-raja dan rakyat Maluku "dengan traktat atau dengan kekerasan."

Tetapi lambat laun timbul kemunduran dalam tubuh Kompeni. Perubahan politik di Eropa memunculkan Inggris dan Perancis sebagai kekuasaan maritim yang besar dan kuat. Kekuatan mereka terasa pula di Asia, juga di Indonesia. Disamping itu tubuh Kompeni makin rapuh. Salah urus, keserakahan pegawai-pegawainya, korupsi yang merajalela dan lain-lain kecurangan, mempercepat keruntuhan VOC pada akhir abad ke-18, Jajahannya di Asia beralih ke tangan pemerintah Belanda. Perebutan kekuasaan di Indonesia antara Belanda dan Inggris berakhir dengan jatuhnya Maluku untuk masa tujuh tahun (1796 - 1803), kemudian tujuh tahun lagi (1810-1817) ke dalam tangan Inggris. Peristiwa inilah membuka lembaran baru dalam sejarah perjuangan rakyat Maluku di bawah pimpinan Thomas Matulessia alias Kapitan Pattimura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...