VOC Pulihkan Perdamaian Di Ambon
Pada tahun 1605, angkatan laut VOC merebut benteng-benteng Portugis di Banda dan di Ambon. Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease, yang telah merupakan sekutu orang-orang Portugis, menyadi rakyat Kompeni. Sebaliknya orang-orang Islam di Hitu, musuh kawakan orang-orang Portugis tadi, menyadi sekutu VOC. Namun demikian, kedatangan orang-orang Belanda membawa satu hadiah besar bagi kampung-kampung Kristen, malahan bagi seluruh Ambon dan Lease. Sebab mereka itu berhasil mengikat perjanjian perdamaian antara semua kampung di pulau-pulau itu. Berhentilah peperangan antar-kampung, yang selama masa Portugis menyadi salah satu halangan besar bagi perkembangan agama Kristen.
Kebijaksanaan Ekonomi-Politis VOC
VOC adalah badan perdagangan. Tujuannya sama dengan tujuan orang-orang Portugis sebelumnya, yaitu memperoleh monopoli, hak tunggal untuk jual-beli rempah-rempah. Untuk itu, VOC tidak perlu menyajah seluruh Maluku; cukuplah menguasai daerah itu sehingga penguasa-penguasa serta penduduk dapat dipaksa mengakui monopoli tersebut. Orang-orang Portugis telah gagal dalam usaha ini, tetapi VOC jauh lebih kuat daripada mereka. Dalam serentetan perang, daerah-daerah yang tidak bersedia mentaati perintah-perintah VOC dibuat tak berdaya (Banda 1621, Hitu 1645, Seram Barat 1655). Orang-orang Kristen di Ambon-Lease memberontak juga, tetapi mereka pun terpaksa takluk. Produksi rempah-rempah dipusatkan di pulau-pulau tertentu, yang dijadikan jajahan Belanda: Ambon-Lease dan kepulauan Banda. Daerah-daerah lain tidak dijajah, tetapi pohon-pohon cengkeh dan pala di situ dirusakkan (hongi).
Akibatnya Bagi Perluasan Agama Kristen
Kebijaksanaan VOC itu membawa akibat bagi penyiaran agama Kristen. Bagi VOC, sama seperti bagi negara Portugis, kepentingan agama dan kepentingan negara bertindih tepat. Berarti, VOC dengan segala tenaga mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dan pekabaran Injil di daerah-daerah yang secara langsung dikuasainya, yaitu Ambon-Lease dan Banda. Daerah-daerah ini menyadi daerah-pusat agama Kristen di Maluku. Kalau pulau-pulau yang terletak di sekitar pusat itu, seperti Seram Selatan, Kei, Aru, pulau-pulau Barat-daya, maka ada perhatian juga, tetapi sudah kurang. Daerah-daerah ini menyadi daerah-pinggir dalam riwayat kekristenan Maluku pada zaman VOC. Akhirnya daerah-daerah yang jauh atau yang sama sekali tidak mempunyai arti bagi VOC dibiarkan saja, walaupun dalam beberapa hal Injil sudah dikabarkan di sana sebelumnya oleh Misi Katolik-Roma. Begitu misalnya Halmahera, juga Irian. Dibandingkan dengan zaman Portugis, agama Kristen pada zaman VOC berkurang di Maluku Utara, tetapi memperoleh wilayah yang lebih luas di Maluku Selatan.
Orang-Orang Kristen Ambon Dijadikan Protestan
Orang-orang Kristen di Ambon dan Lease mempunyai agama yang sama seperti orang-orang Portugis, musuh VOC. Hal itu tak dapat diterima oleh penguasa-penguasa yang baru, "Yang empunya negara, menentukan agama", jadi orang-orang Kristen yang baru ditaklukkan itu harus menyadi Protestan. Imam-imam Katolik diusir. Tetapi untuk sementara waktu mereka tidak diganti. Tidak ada lagi ibadah, sekolah dihentikan. Sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada orang-orang bukan-Kristen. Di benteng hanya ada seorang "penghibur orang-orang sakit", yang bertugas juga mengucapkan doa pagi dan doa malam, dan yang pada hari Minggu membacakan khotbah yang ditulis oleh seorang pendeta di Belanda. Orang yang demikian ditempatkan di setiap kapal dan setiap benteng VOC. Mereka tidak diberi pendidikan khusus, dan mereka belum ditugaskan untuk memperhatikan orang-orang Indonesia.
Mereka Menghendaki Baptisan (1605)
Patut diperhatikan bahwa dalam kekosongan ini orang-orang Ambon tetap mau menyadi Kristen. Mereka mendatangi "penghibur orang-orang sakit" yang ditempatkan di benteng itu dan meminta agar ia membaptis anak-anak mereka. Kebetulan orang itu telah mendapat izin untuk melayankan sakramen Baptisan, sehingga ia dapat memenuhi permintaan mereka. Kita boleh menduga bahwa hal ini hanya menyangkut orang-orang Kristen yang tinggal di kampung-kampung sekitar benteng (§ 9). Negeri-negeri di pegunungan dan di pulau-pulau lain untuk sementara waktu masih terlantar sama sekali.
Sekolah Dibuka Kembali (1607)
Setelah dua tahun, ketika Ambon dikunjungi lagi oleh suatu armada VOC, orang-orang Kristen Ambon meminta juga agar sekolah dibuka kembali, dan permintaan itupun dikabulkan. Mantri kesehatan dari kapal-kapal Belanda turun ke darat dan menyadi guru sekolah di Ambon. Di sekolah itu anak-anak belajar membaca, menulis dan menghitung -- semuanya dalam bahasa Belanda -- dan mereka menghafal Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli dan Dasatitah dalam bahasa Belanda maupun Melayu. Orang-orang Ambon, atas kehendak mereka sendiri, tetap berada dalam lingkungan agama Kristen dan kebudayaan Kristen, dalam "Corpus Christianum", yaitu dalam "Corpus Christianum Belanda" ganti yang Portugis.
Pendeta-Pendeta (Mulai 1612)
Masa peralihan masih berlangsung selama beberapa tahun lagi. Selama itu VOC sibuk mencari tenaga pendeta di tanah air; yang pertama datang ke Ambon pada tahun 1612. Sejak itu terus-menerus ada pendeta Belanda di sana; mula-mula satu, kemudian lebih banyak, sampai enam orang. Pernah juga ada usaha mendidik pendeta-pendeta Ambon, tetapi pendeta Belanda yang memprakarsai pendidikan itu tiba-tiba dipanggil ke Batavia (Jakarta) dan rencana itu putus, walaupun sudah ada sepuluh orang murid (th. 1636). Pendeta-pendeta Belanda tersebut tinggal di pusat (di kota Ambon), tetapi ketika jumlah tenaga di sana sudah mencukupi maka ditempatkan juga satu orang di Saparua (mulai tahun 1633) dan satu di Haruku (sejak 1641). Jemaat-jemaat yang tidak di layani secara tetap oleh seorang pendeta, mendapat kunjungan dari pusat, seharusnya dua atau tiga kali per tahun.
Guru-Guru Sekolah/Jemaat
Akan tetapi orang-orang Kristen di luar pusat itu tidak hanya mendapat pemeliharaan rohani pada saat-saat mereka dikunjungi oleh seorang pendeta. Kehidupan gerejani di jemaat-jemaat itu dijalankan oleh guru-guru sekolah. Orang-orang Ambon tidak puas dengan sekolah yang satu yang telah didirikan di pusat itu. Penduduk negeri-negeri lainnya meminta supaya diberi sekolah juga. Berkat keadaan damai, jumlahnya dapat bertambah dengan cepat, sampai setiap negeri mempunyai sekolahnya sendiri. Gurunya merangkap sebagai guru jemaat. Pada hari Minggu mereka memimpin ibadah. Mereka tidak boleh berkhotbah sendiri, tetapi sama seperti penghibur-penghibur orang-orang sakit berkebangsaan Belanda mereka membacakan khotbah yang telah disusun oleh seorang pendeta (dalam bahasa Melayu). Selain daripada itu, tiga kali seminggu mereka mengucapkan doa malam.
Majelis Gereja (1625)
Setelah keadaan menyadi tertib, dibentuklah suatu majelis gereja di Ambon (1625). Majelis ini menyelenggarakan pemeliharaan rohani di kota Ambon maupun di jemaat-jemaat di luarnya. Di kemudian hari, terdapat juga majelis di Haruku dan Saparua. Di dalamnya duduk orang-orang Belanda, pegawai-pegawai Kompeni atau lain-lain, tetapi juga orang-orang Ambon. Pada tahun 1636, misalnya, dua orang Ambon dipilih menyadi penatua dan dua yang menyadi diaken. Biasanya anggota-anggota di Ambon ini mempunyai kedudukan sebagai kepala negeri.
Jumlah Orang-Orang Kristen (± 1700), Gedung-Gedung Gereja
Dengan adanya pemeliharaan rohani yang teratur, kekristenan Ambon-Lease berkembang dengan baik. Jumlahnya bertambah besar. Hal ini hanya untuk sebagian kecil merupakan hasil kegiatan pekabaran Injil. Orang-orang yang secara resmi masih menganut agama nenek-moyang sudah tidak banyak lagi ketika orang-orang Belanda datang. Dan hanya satu-dua kali sejumlah orang-orang Islam masuk Kristen. Tetapi dengan adanya keadaan damai, penduduk pulau-pulau itu bisa bertambah banyak, dan dengan demikian jumlah orang-orang Kristen naik dari 16.000 pada akhir masa Portugis menyadi 33.000 satu abad kemudian. Di antara mereka ada 1.600 orang yang telah melakukan sidi dan yang dengan demikian berhak ikut-serta dalam Perjamuan Kudus. Dari anak-anak, lebih dari separuh mengunjungi sekolah-sekolah. Setiap negeri mempunyai gedung gereja sendiri; lama-lama di banyak tempat didirikan gereja-gereja yang indah dengan tembok batu dan dengan perabot-perabot yang bagus. Tentu saja jemaat kota Ambon mendapat gereja-gereja yang paling besar. Kita mendengar bahwa khotbah-khotbah bahasa Melayu yang diadakan oleh salah seorang pendeta pertama, yakni Danckaerts, begitu disukai orang sehingga gereja lama warisan Misi menyadi terlalu kecil/sempit. Di kemudian hari, kota Ambon mempunyai tiga gedung gereja yang besar dan Indah.
Ibadah (Bnd. §15), Kunjungan Ke Rumah
Dengan cara bagaimana orang-orang Kristen ini digembalakan? Pertama-tama ada ibadah pada hari Minggu. Biasanya ibadah ini diadakan dalam bahasa Melayu; hanya di kota Ambon ada juga jemaat Belanda yang mempunyai ibadah tersendiri. Tata-ibadah mengikuti kebiasaan gereja-gereja di Belanda. Jemaat mulai dengan bernyanyi, kemudian ada doa, khotbah, doa dan bernyanyi lagi. Hanya apabila kebaktian dipimpin seorang pendeta, tata-ibadah bisa lebih luas. Sakramen Perjamuan Kudus dilayankan beberapa kali pertahun; di luar pusat hal itu dilakukan setiap kali ada seorang pendeta berkunjung ke sana. Sebelumnya, setiap anggota sidi mendapat kunjungan pendeta dan majelis di rumahnya (di pusat) atau diadakan rapat jemaat (di jemaat-jemaat lain). Pada kesempatan itu para pendeta berusaha mendamaikan orang-orang yang ada pertikaian, mereka menegor orang-orang berdosa dan dengan demikian menyaga supaya Perjamuan tidak dinajiskan. Bukan hanya doa-doa, tetapi juga nyanyian-nyanyian, formulir dan lain-lain merupakan terjemahan dari bahasa Belanda.
Khotbah, Nyanyian
Sejak permulaan, pendeta-pendeta Belanda berkhotbah juga dalam bahasa Melayu; bahkan ada yang begitu mahir dalam bahasa itu sehingga mereka dapat berbicara tanpa memakai naskah yang tertulis. Khotbah beberapa orang pendeta disalin dan diberikan kepada guru-guru jemaat di kampung-kampung agar mereka bacakan dalam kebaktian di situ. Sebab guru-guru itu tidak diperkenankan mengucapkan khotbah yang disusun sendiri: orang takut bahwa mereka akan membawa ajaran yang tidak murni, berarti yang tidak sesuai dengan ajaran gereja di Belanda. Yang sangat laku ialah khotbah-khotbah pendeta Wiltens, salah seorang pendeta pertama di Ambon. Pada khotbah-khotbah tersebut dilampirkan sejumlah mazmur untuk dinyanyikan. Baru di kemudian hari khotbah-khotbah ini dicetak. Tetapi jumlahnya belum besar, hanya sepuluh-duapuluh saja. Itu berarti bahwa mula-mula guru-guru jemaat terpaksa menggunakan terus khotbah-khotbah yang sama dan jemaat setiap minggu mengangkat nyanyian-nyanyian yang sama! Tetapi lama-lama jumlah khotbah dan nyanyian gerejani yang tersedia bertambah besar (§ 15).
Doa Malam Katekisasi
Selain daripada ibadah pada hari Minggu, ada juga doa malam yang diadakan tiga kali per minggu yang diadakan tiga kali per minggu di setiap jemaat. Di sini hadir anak-anak sekolah serta sebagian orang-orang dewasa (tetapi tidak selalu orang mau datang). Guru jemaat membacakan doa yang tetap, dan bersama anak-anak sekolah menghafalkan pokok-pokok iman Kristen. Dengan demikian, doa malam ini merangkap sebagai semacam katekisasi bagi orang-orang dewasa.
Kunjungan Pendeta
Beberapa kali setahun negeri-negeri di pegunungan Ambon dan pulau-pulau lain, yang jumlahnya 50 lebih, dikunjungi oleh pendeta dari pusat. Kunjungan semacam ini berlangsung sebagai berikut. Sang pendeta tiba sekitar jam 7 atau 8 pagi, setelah berangkat pagi-pagi dari negeri yang lain. Pertama-tama, anak-anak sekolah dikumpulkan, dan diuji pengetahuannya tentang Katekismus, Dasatitah, doa-doa serta Pengakuan Iman Rasuli. Ada juga yang disuruh membacakan ayat-ayat dari Alkitab atau menyanyi. Kecakapan mereka dalam menulis diperiksa pula. Yang sudah mahir dinyatakan tammat sekolah. Sekitar jam 11, diperiksa anggota-anggota sidi yang baru lalu di suruh jemaat berkumpul dan hasil ujian-ujian diberitahukan. Lalu pendeta mendengarkan pihak-pihak yang mempunyai pertikaian; perkara-perkara besar dibawa ke hadapan majelis gereja di Ambon. Setelah pertikaian didamaikan, maka ia melayankan Perjamuan Kudus; ia membaptis anak-anak yang lahir sejak kunjungan yang terakhir, lalu berkhotbah. Akhirnya nikah diikat dan diberkati seperlunya. Esoknya, pagi-pagi buta, perjalanan diteruskan. Sungguh-sungguh suatu pekerjaan berat, selama empat minggu terus-menerus, dan perjalanan itu berlangsung dua-tiga kali pertahun!
Terjemahan Alkitab Dan Karangan-Karangan Lain
Bahan-bahan apa yang tersedia untuk membina anggota-anggota jemaat dan untuk dibaca oleh mereka? Sebagai orang-orang Protestan, orang-orang Belanda berpendapat bahwa Alkitab harus disediakan dalam bahasa setempat. Pada masa permulaan VOC, sudah ada pendeta-pendeta maupun pegawai-pegawai Kompeni yang sibuk menterjemahkan bagian-bagian Alkitab ke dalam bahasa Melayu (bnd § 15). Yang pertama dicetak ialah Injil Matius (1629), kemudian menyusul beberapa kitab lain. PB lengkap diterbitkan pada tahun 1668, Alkitab seluruhnya (dalam terjemahan Leydecker) pada tahun 1731-1733. Di samping Alkitab, ada juga buku-buku katekisasi atau buku-buku pembinaan jemaat lainnya. Yang banyak dipakai di Ambon ialah Katekismus Heidelberg ("Pengajaran Iman Kristen"), terjemahan pendeta Danckaerts. Ada pula suatu Ikhtisar yang lebih singkat, juga terjemahan dari bahasa Belanda. Terjemahan doa-doa, formulir-formulir dan khotbah-khotbah sudah disebut di atas.
Soal Bahasa
Bahasa yang dipakai dalam semua tulisan itu ialah bahasa Melayu (di daerah-daerah jajahan VOC lainnya dipakai juga bahasa Portugis, bahasa Tamil dan Singhala, dan beberapa bahasa-suku di Taiwan). Tetapi khususnya di Ambon tidak segera tercapai kepastian tentang bahasa yang akan dipilih menyadi bahasa-pengantar di gereja dan di sekolah. Mula-mula orang-orang Belanda ingin memasukkan bahasa Belanda. Mereka mengharap supaya dengan cara itu ikatan antara orang-orang Indonesia dengan VOC bisa diperkuat. Ada juga alasan agamani: bahasa Melayu oleh sementara orang dianggap terlalu miskin sehingga tidak cocok untuk dipakai sebagai bahasa-pengantar bagi kebenaran ilahi (bnd § 27). Selama sepuluh tahun pertama, pengajaran di sekolah diberikan dalam bahasa Belanda. Sejumlah anak Ambon dikirim ke Nederland untuk dididik menyadi pendeta berbahasa Belanda. Tetapi usaha-usaha ini ternyata gagal. Lalu tinggal pilihan antara bahasa Melayu dan bahasa Ambon-asli. Pada zaman itu, hanya sedikit orang-orang Ambon yang mengerti bahasa Melayu, apalagi bahasa Melayu-tinggi. Tetapi bahasa Ambon sulit untuk dipelajari, dan hanya bisa dipakai di Ambon sendiri, padahal para pendeta sering dipindahkan ke daerah lain. Sebaliknya bahasa Melayu bisa mereka gunakan di mana-mana. Lagipula, orang-orang Ambon sendiri menganggap bahasa mereka terlalu miskin, dan mereka merasa malu terhadap orang-orang Islam yang menggunakan bahasa Melayu dalam menjelaskan isi Al-Quran. Dengan demikian, yang dipilih ialah bahasa Melayu. Dan karena bahasa itu adalah bahasa gereja dan sekolah, bahasa Ambon-asli lama-lama terdesak olehnya dan hilang.
Heurnius
Hanya satu orang yang memihak kepada bahasa Ambon-asli, yaitu Heurnius (di Ambon 1633-1638). Ia adalah salah seorang pendeta yang datang dari Negeri Belanda, khusus dengan maksud hendak mengabarkan Injil kepada orang-orang yang bukan-Kristen. Ia mau dikirim ke Seram, tapi Gubernur menganggap tempat itu terlampau berbahaya dan mengutus dia ke Saparua. Di sini Heurnius belajar bahasa Lease, karena itu dianggapnya "bahasa hati", yang mesti digunakan kalau orang betul-betul mau menarik orang-orang Kristen-nama yang terdapat di sana. Ia berkhotbah dalam bahasa itu, dan malah mulai menterjemahkan Kitab Injil ke dalamnya. Ia mempersiapkan juga bahan-bahan dalam bahasa Lease untuk guru-guru jemaat dan mulai mendidik beberapa pemuda dari pulau-pulau Lease supaya nanti bisa memberitakan Firman Tuhan kepada teman-teman sebangsanya. Ternyata orang-orang Saparua tertarik oleh ibadah dalam bahasa mereka sendiri. Tetapi Heurnius kena racun, dan terpaksa meninggalkan pulau itu. Di kemudian hari, ketika ia sudah menyadi pendeta di Nederland, ia menerbitkan beberapa tulisan untuk dipakai di Ambon, tetapi semuanya dalam bahasa Melayu. Bahasa itulah yang menyadi bahasa masyarakat Kristen-Ambon. Begitu terikat orang-orang Ambon kepadanya, sehingga di kemudian hari guru-guru mereka yang bekerja di daerah-daerah lain enggan memakai bahasa setempat dan mau menggunakan bahasa Melayu saja di sekolah dan di gereja.
Metode Pengajaran Agama Di Ambon
Soal bahasa itu tidak berdiri sendiri dan yangan dianggap sebagai soal formil saja. Orang memilih bahasa Melayu karena dalam menghadapi orang-orang Ambon mereka memakai pendekatan tertentu. Kita telah melihat bahwa orang-orang Belanda, sama seperti para misionaris sebelumnya, memakai metode hafalan. Rumusan-rumusan pokok iman Kristen disajikan kepada orang-orang yang bukan-Kristen atau orang-orang Kristen baru, lalu rumusan-rumusan itu dihafalkan. Kita melihat pula bahwa cara beriman dan beribadah diharapkan sama sekali sesuai dengan cara yang dipakai gereja di Eropa. Jadi, yang ditekankan ialah unsur pengetahuan dan unsur memelihara bentuk-bentuk tertentu. Pemakaian bahasa Melayu cocok dengan pola itu, dan kemudian memperkuat lagi pola itu.
Pendekatan Terhadap Agama/Adat Asli
Pendekatan tadi menyadi nyata juga dalam sikap orang terhadap agama dan adat asli. Orang-orang Eropa zaman itu tidak mau tahu tentang agama-agama yang bukan-Kristen. Agama-agama ini, khususnya agama-suku, dipandang sebagai penyembahan iblis. Dan kebudayaan/adat bangsa-bangsa di luar Eropa ditolak juga. Orang-orang Belanda di Ambon pada umumnya tidak berusaha untuk sungguh-sungguh mempelajari agama dan kebudayaan suku. Mereka puas sudah kalau tempat-tempat dan peralatan agama itu dirusakkan. Dalam hal ini seorang Heurnius tidak berbeda prakteknya dari praktek teman-teman sejabatan. Dalam dua tahun di Saparua, ia antara lain merusakkan seratus lebih tempat membawa sesajen. Dan sesuai dengan pandangan yang umum berlaku pada zaman itu, pemerintah VOC membantu membasmi "kekafiran". Kalau ada orang didapati masih melakukan penyembahan terhadap roh-roh, maka kepadanya dikenakan hukuman berat. Dengan demikian, tantangan agama suku tidak bisa dijawab dengan sungguh-sungguh (bnd § 21, 27).
Kecaman Orang-Orang Belanda Terhadap Kekristenan Ambon
Kekristenan dan orang-orang Kristen jenis apa yang dihasilkan oleh metode pendeta-pendeta dan pemerintah Belanda itu? Pendeta-pendeta, dan orang-orang Belanda yang lain, dari semula melancarkan banyak kecaman terhadap kekristenan orang-orang Ambon. Mereka ini "tidak tahu apa-apa", mereka "tidak mempunyai minat terhadap agama Kristen", mereka tetap "orang-orang kafir" dan seterusnya. Kritik yang paling mendalam ialah bahwa orang-orang Ambon tidak mengalami "pertobatan hati" dan tidak sungguh-sungguh menghayati iman Kristen. Pokoknya, kritik yang sama seperti yang telah diucapkan imam-imam Yesuit. "Kita tidak bisa mengharapkan agar orang-orang ini sungguh-sungguh menyesali dosanya, merendahkan diri dihadapan Allah, mengekang hawa nafsu mereka, bertekun dalam menghindari kejahatan dan melakukan kebajikan...", demikianlah seorang pendeta pada tahun 1615.
Kecaman Orang-Orang Ambon Terhadap Kekristenan Belanda
Menarik sekali bahwa orang-orang Ambon tidak menerima begitu saja kritik orang-orang Belanda terhadap dirinya. Mereka, sekurang-kurangnya dalam tahun-tahun pertama, membalas dengan kritik terhadap orang-orang Belanda, termasuk pendeta-pendeta. Pada tahun-tahun pertama, orang-orang Belanda di benteng belum mengadakan kebaktian-kebaktian umum. Lalu orang Ambon bertanya: apa kalian tidak mempunyai agama? Dan orang-orang Belanda terpaksa mengadakan kebaktian umum, khusus untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang beragama. Para pendeta dalam surat-surat mereka terpaksa mengakui juga bahwa kehidupan orang-orang Belanda di kota Ambon, termasuk wanita-wanita, jauh lebih buruk daripada kehidupan orang-orang Ambon. Dan orang-orang Ambon jauh lebih setia dalam merayakan Perjamuan Kudus. Dengan kata lain, para pendeta telah mengukur orang-orang Ambon menurut cita-cita mereka tentang jemaat Kristen, bukan menurut kenyataan jemaat Belanda sendiri. Penghibur-penghibur orang-orang sakit serta pendeta-pendeta juga tidak luput dari kritik orang-orang Ambon. Mereka dibandingkan dengan para imam Yesuit yang telah mencurahkan seluruh perhatian pada tugas rohani, sedangkan tenaga-tenaga Belanda yang pertama datang itu melakukan banyak pekerjaan lain, antara lain untuk pemerintah VOC. Dan kita boleh menduga bahwa orang-orang Kristen di Ambon membandingkan juga kebijaksanaan Kompeni (hongi!) dengan tata-cara Kristen yang telah diajarkan kepada mereka melalui Dasatitah.
Penilaian, Akibat-Akibat Metode Yang Dipakai
Kita tidak dapat menyangkal bahwa dalam kecaman-kecaman para pendeta terdapat unsur-unsur kebenaran. Hanya, kita perlu memperhatikan dua hal. Pertama-tama, keadaan kekristenan Ambon pada zaman itu merupakan akibat langsung dari metode yang dipakai. Metode main larang itu tak bisa tidak menghasilkan orang-orang Kristen yang menghafal rumusan-rumusan yang diajarkan kepada mereka, yang memelihara bentuk-bentuk yang diharuskan kepada mereka, tetapi yang tidak belajar memperkembangkan, "mengamalkan" iman mereka dalam seluruh kehidupan mereka. Metode itu tidak berusaha untuk memberi jawaban yang sungguh-sungguh terhadap tantangan agama suku. Akibatnya, iman Kristen tidak mungkin betul-betul meresap ke dalam dunia-pikiran orang-orang yang baru masuk Kristen itu. Iman Kristen dan kepercayaan suku tetap merupakan dua lapis yang tidak bercampur, seperti air dan minyak. Atau, bila keduanya sudah lama hidup berdampingan, maka iman Kristen itu diresapi oleh cara-berpikir agama suku. Cara orang memandang sakramen-sakramen merupakan contoh yang jelas. Air baptisan diminum: roti Perjamuan Kudus dibawa pulang sebagai obat, dan seterusnya. Di Ambon, orang-orang Eropa menjuluki campuran ini "Agama Ambon". Dan memang telah berdiri suatu "Corpus Christianum Ambon" dengan ciri-ciri yang khas. Dikemudian hari, pada abad ke-19 dan ke-20, orang-orang Ambon, bersama para zendeling dari Eropa, akan membawa agama mereka itu ke banyak daerah di Indonesia Timur, dan mempengaruhi kehidupan gereja-gereja yang berdiri di sana.
Soal Ambon Adalah Soal Semua Bangsa Kristen
Tetapi masalah ini perlu diingat dari sudut lain lagi. Di Ambon memang terdapat "agama Ambon", "Corpus Christianum Ambon", yang merupakan campuran antara unsur-unsur Kristen dengan unsur-unsur agama suku. Tetapi kita harus menyadari bahwa percampuran semacam itu terjadi di semua tempat di mana agama Kristen cukup lama menetap. Kita telah melihat contoh "ideologi" orang-orang Spanyol dan Portugis. Agama Kristen orang-orang Belanda pada abad ke-17 juga merupakan campuran yang demikian, dan orang-orang Ambon berhak mengkritik mereka sama seperti orang-orang Belanda mengkritik orang-orang Ambon. Tetapi sebenarnya perlu supaya kedua belah pihak membiarkan dirinya dikritik oleh Firman Allah.
Pendekatan Lain Contoh-Contoh
Tidak selalu pendeta-pendeta dan pemerintah Belanda memakai pendekatan negatif yang digambarkan tadi. Adakalanya mereka menerima adat yang ada dan berusaha membelokkannya sehingga terpengaruh oleh iman Kristen. Di sini diberikan dua contoh. Di Ambon-Lease terdapat kebiasaan memberi "toteria" (mas kawin). Tetapi hal itu kurang diatur, sehingga sering melahirkan pertengkaran turun-temurun. Dalam hal ini oleh orang-orang Belanda adat yang lama itu tidak dilarang begitu saja, tetapi diatur: tuntutan-tuntutan berdasarkan "toteria" itu hanya dapat diajukan sampai 12 tahun sesudah pernikahan diikat, dan untuk seterusnya jumlah mas kawin itu harus didaftarkan secara tertulis oleh guru sekolah. Dengan demikian, maka akar banyak pertikaian dicabut dan kehidupan jemaat ditingkatkan. Contoh lain ialah kehadiran wanita dalam Perjamuan Kudus. Menurut adat Ambon, wanita tidak boleh makan bersama laki-laki (atau laki-laki tertentu?). Bagaimana dengan Perjamuan? Paksaan dalam hal ini tidak ada gunanya. Akhirnya pendeta-pendeta menemukan kompromi: dalam perayaan Perjamuan, wanita Ambon boleh memakai "tudung malu". Dengan demikian, adat lama dihormati, tetapi secara azasi tuntutannya yang mutlak ditiadakan.
Ringkasan SG Ambon
Setelah orang-orang Portugis dan misionaris-misionaris mereka diusir, gereja di Ambon-Lease selama beberapa tahun terlantar. Tetapi dalam waktu tigapuluh tahun terdapat perkembangan yang cepat di beberapa bidang. Perkembangan itu merupakan akibat kehendak orang-orang Ambon sendiri, dan didorong oleh kegiatan beberapa pendeta Belanda. Setelah masa pertama ini (1605-1635), keadaan gereja tetap agak sama selama satu setengah abad. Dengan peralihan dari Gereja Katolik-Roma menyadi Protestan, Gereja Ambon mengalami banyak perubahan. Tetapi secara azasi pola pendekatan dari pihak orang-orang Eropa tetap sama. Pola ini menghasilkan apa yang disebut "agama Ambon".
Banda
Daerah lain yang oleh VOC sungguh-sungguh diperhatikan ialah kepulauan Banda, daerah penghasil pala. Penduduk pulau-pulau itu sebagian besar beralih kepada agama Islam dalam tahun-tahun 1590-an. Ada di situ suatu benteng Portugis yang kecil, tetapi pekabaran Injil belum diusahakan di Banda. Mula-mula VOC menghormati kemerdekaan orang-orang Banda: diadakanlah perjanjian, dan tentang soal agama malah ditetapkan aturan yang sama seperti di Ternate (§ 8). Akan tetapi karena berbagai-bagai sebab, hubungan antara Kompeni dengan orang Banda lekas memburuk. Akhirnya VOC merebut pulau Banda; penduduk sebagian tewas, sebagian diusir, sebagian ditaklukkan.
Susunan jemaat
VOC mendatangkan penduduk baru ke pulau-pulau yang malang itu, yakni orang-orang Mardeka dari bagian-bagian Indonesia yang lain, dan budak-budak. Mereka sebagian besar adalah orang-orang Kristen, yang sudah dibaptis pada zaman Portugis. Selain daripada unsur-unsur itu, jemaat Kristen meliputi juga orang-orang Belanda dan Indo-Belanda yang dikirim ke sana oleh VOC. Jumlah anggota jemaat ini tidak pernah melebihi 2-3000 orang, tetapi karena Banda merupakan daerah penting bagi VOC, maka jemaat-jemaat Kristen yang kecil itu dilayani oleh dua sampai empat orang pendeta. Pendeta pertama datang pada tahun 1625; sebelumnya beberapa penghibur orang-orang sakit bekerja di situ.
Usaha-Usaha P.I. Tidak Berhasil
Hubungan dengan Agama Islam di Banda dari semula menimbulkan kesulitan. Orang-orang Banda giat sekali membujuk orang-orang Belanda masuk agama mereka, dan usaha mereka membawa hasil juga. Hal ini adalah bertentangan dengan perjanjian yang telah diikat, dan karena itu menyadi salah satu sebab pecahnya perang. Setelah pulau-pulau Banda ditaklukkan, sisa penduduk, yang sebagian masih beragama nenek-moyang, mau dibawa kepada agama Kristen. Tetapi sudah tidak ada lagi kepercayaan, dan hasilnya tidak besar. Jemaat Kristen tetap terdiri dari ketiga unsur yang telah dicatat di atas ini. Sama seperti di Maluku Utara, begitu juga di Banda jemaat-jemaat Kristen merupakan "jemaat-jemaat benteng", berarti jemaat-jemaat para pendatang yang tidak mempunyai hubungan yang akrab dengan dunia pribumi. Hubungan akrab semacam itu hanya terdapat di Ambon-Lease. Akibatnya, jemaat di Banda tetap agak lemah. Sebab orang-orang Belanda dan Indo-Belanda pada umumnya bukan anggota-anggota gereja yang giat. Mereka tidak memandang agama Kristen sebagai perkara mereka sendiri, sebagaimana halnya dengan orang-orang Ambon.
Kei, Aru, Tanimbar, Pulau-Pulau Selatan-Daya
Sama seperti Ternate merupakan pangkalan bagi pekerjaan gereja di Sulawesi Utara (§ 11), begitu juga Banda menyadi pangkalan bagi usaha pekabaran Injil di pulau-pulau di sebelah Selatan. Sekitar tahun 1635 ada usaha p.I. ke Kei, tetapi gagal. Dari tahun 1670-1675 seorang penghibur orang-orang sakit ditempatkan di Aru, dan di situ jemaat Kristen dalam abad ke-18 berjumlah beberapa ratus orang. Mereka dilayani guru-guru sekolah dan sekali-sekali mendapat kunjungan dari Banda. Di Tanimbar juga pada tahun 1682 ditempatkan seorang guru sekolah. Pada zaman yang sama pulau-pulau Selatan-daya (Babar, Wetar, Leti, dan seterusnya) mulai diinjili juga, dengan memakai tenaga guru. Di situ sekitar tahun 1750 terdapat 1300 lebih orang Kristen. Tetapi "daerah-daerah pinggir" ini tidak diberi perhatian sungguh-sungguh, sehingga jemaat-jemaat tidak bisa berkembang seperti di Ambon-Lease.
Kemerosotan Sesudah Tahun 1780
Setelah tahun 1780, kekuasaan VOC merosot dengan cepat. Dan gereja ikut menderita, terutama gereja di "daerah-daerah pinggir". Jumlah pendeta di Indonesia berkurang dengan cepat. Di Ambon tinggal satu orang saja; antara tahun 1803-1815 tidak ada seorang pendeta di seluruh Maluku. Itu berarti bahwa selama puluhan tahun jemaat-jemaat di luar pusat hampir tidak dikunjungi lagi, dan bahwa selama beberapa tahun di pusat pun tidak ada lagi pelayanan sakramen, tidak ada khotbah kecuali yang sudah dicetak satu abad yang lalu. Selama waktu itu, seluruh kehidupan gereja dijalankan oleh para guru sekolah. Baru pada tahun 1815, dengan kedatangan Joseph Kam, mulailah zaman baru bagi gereja di Maluku (§ 20).
Gereja Protestan Di Maluku (± 1800-1864)
Joseph Kam - Rasul Maluku (1769-1833) |
Keadaan Umum
Mulai dari tahun-tahun 1790-an sampai sekitar tahun 1820, Ambon dan kepulauan Maluku berada dalam keadaan yang tidak menentu. Dua kali orang-orang Inggeris menggantikan orang-orang Belanda sebagai penguasa (1796-1802, 1810-1817). Mereka meringankan beban yang harus ditanggung penduduk akibat sistim monopoli VOC ( § 10). Ketika orang-orang Belanda kembali (1817), mereka langsung mulai lagi membebankan bermacam-macam kewajiban kepada rakyat, dan hal itu turut menyebabkan pemberontakan yang hebat di Saparua. Tahun-tahun 1820-an merupakan periode yang tenang, tetapi mulai dari 1835 pulau-pulau Maluku Tengah digoncangkan oleh gempa bumi dan wabah. Dalam pada itu kehidupan orang-orang Maluku tetap berjalan menurut corak yang sudah berlaku selama masa VOC. Mereka tidak mengembangkan kegiatan ekonomi sendiri selain untuk memperoleh keperluan hidup yang paling terutama. Pulau-pulau Maluku miskin, dan banyak orang yang merantau menyadi pegawai atau prajurit untuk pemerintah Belanda. Di bidang politis, orang-orang Ambon tetap berada di bawah perwalian orang-orang Belanda. Segala sesuatu diatur dari atas, dan mereka terpaksa menerima saja apa yang diputuskan mengenai mereka.
Tak Ada Pendeta-Pendeta
Gereja di Maluku ikut mengalami pengaruh peristiwa-peristiwa umum. Pada tahun-tahun 1780-an masih terdapat tiga orang pendeta di Ambon. Tetapi akibat runtuhnya VOC, hubungan dengan dunia luar diputuskan. Sejak 1793 sampai 1815 tidak ada lagi seorang pendeta di Ambon kecuali selama beberapa bulan saja; di Saparua seorang pendeta masih bertahan sampai tahun 1801. Di Ternate dan Banda, keadaan tidak banyak berbeda. Barulah pada tahun 1813, pemerintah Inggeris mendatangkan seorang pendeta dari India, yaitu Jabez Carey, anak William Carey yang terkenal itu. Tetapi ia kini adalah seorang Baptis, dan tidaklah bersedia untuk bekerja dalam rangka pekerjaan gerejani sebagaimana terdapat di Maluku.
Arti Tiadanya Pendeta-Pendeta
Terputusnya hubungan dengan dunia luar sama sekali tidak berarti bahwa gereja Kristen di Ambon menyadi punah. Orang-orang Kristen Ambon sekarang juga (bnd § 9) ingin tetap berpegang pada agama Kristen. Sejak dahulu kala, kekristenan di Ambon terutama terpelihara oleh guru-guru, bukan oleh pendeta-pendeta asing. Dan kini guru-guru itu meneruskan kegiatan yang biasa di gereja dan di sekolah. Pendidikkan mereka tidaklah memadai. Namun demikian, di antara mereka terdapat orang-orang yang memimpin jemaat dengan cara yang sama sekali dapat dipertanggungjawabkan. Kita mendengar tentang guru Lokolo di Amahai yang membimbing jemaatnya dengan sangat setia; tentang seorang guru yang khotbahnya dipuji juga oleh utusan Injil yang serba kritis itu; tentang guru kepala Risakotta di Saparua, yang sekolahnya di Tiouw dinilai sebagai suatu sekolah-teladan. Guru-guru seperti ini mengucapkan pula khotbah yang mereka susun sendiri (§ 10), dan menurut pekerjaannya, mereka layak disebut sebagai pendeta. Hanya, mereka tidak ditahbiskan dan mereka tidak boleh melayankan sakramen-sakramen.
Kehidupan Gereja Tidak Banyak Berobah
Bahkan boleh dikatakan bahwa orang-orang Kristen di Maluku kebanyakan hampir tidak merasa bahwa telah terjadi perubahan. Orang-orang Kristen di luar kota Ambon sudah biasa dengan pelayanan sakramen-sakramen yang jarang sekali terjadi. Dan mereka bertemu muka dengan seorang pendeta paling banyak satu kali setahun; sering juga kurang dari itu. Jadi, bagi mereka tidak banyak yang berobah dengan perginya pendeta yang terakhir. Sebaliknya kekosongan pendeta itu hanya menandaskan kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan yang sudah ada selama zaman Misi dan gereja Gereformeerd. Selama dua setengah abad, orang-orang Kristen Maluku sudah tidak mendapat tenaga pelayan yang terdidik baik, dan kepada mereka tidak dilayankan sakramen-sakramen secara teratur. Sekarang hubungan dengan dunia luar telah putus, dan gereja sama sekali tidak mempunyai lagi pendeta maupun sakramen. Tetapi dalam keadaan seperti itu gereja di Maluku sudah hidup selama hampir tiga abad.
Orang-Orang Maluku Berpegang Pada Agama Kristen
Niat orang-orang Ambon hendak berpegang pada agama yang diwariskan kepada mereka menyadi nyata dalam pemberontakan di Saparua (1817), yang dipimpin oleh Thomas Matulessy yang dinamakan pula Pattimura. Pemberontakan ini untuk sebagian besar dicetuskan oleh persoalan-persoalan di bidang agama, yaitu gereja dan sekolah. Pemerintah Belanda mau menghentikan pembayaran gaji para guru dari Kas negara, sehingga mereka untuk seterusnya akan ditanggung oleh negeri-negeri sendiri. Orang-orang Maluku menafsirkan rencana itu sebagai tindakan yang merusak agama Kristen. Orang malah meminta supaya dikirimi pendeta (Belanda) lebih banyak, supaya pemeliharaan rohani terjamin. Salah satu alasan lain yang dikemukakan Pattimura ialah bahwa orang-orang Islam di Maluku konon mau dikristenkan secara paksa. Dan akhirnya orang marah karena salah satu gedung gereja di kota Ambon, yang sudah rongsok, mau dijadikan gudang. Pattimura mendapat dukungan penuh dari pihak para guru, dan mereka yakin bahwa Allah berada dipihak mereka - tentu saja keyakinan seperti ini terdapat pula pada orang-orang Belanda.
Corak Kepercayaan Orang-Orang Maluku
Dari tuntutan-tuntutan yang dikemukakan oleh Pattimura dan oleh guru-guru yang mendukung dia, dapat kita tarik beberapa kesimpulan lain lagi.
Kesatuan Kehidupan
a. Orang-orang Kristen Maluku menganggap bahwa hubungan yang erat antara gereja, sekolah dan negara, seperti yang telah berlaku pada zaman VOC, adalah wajar. Gagasan-gagasan baru yang telah timbul di Barat akibat Pencerahan dan Pietisme, yaitu bahwa negara tak berurusan dengan gereja dan bahwa sekolah harus dilepaskan dari pimpinan gereja, adalah sama sekali asing bagi mereka. Di kalangan mereka masih dianut kesatuan kehidupan seperti yang terdapat dalam lingkungan agama suku ( § 1) dan di dunia Barat sebelum abad ke-18 ( § 3,10).
Kesucian = Kesaktian
b. Keberatan mereka terhadap penjualan suatu gedung gereja mungkin sekali menandakan bahwa mereka memandang benda-benda keagamaan sebagai benda-benda suci. Dengan kata lain, bahwa bagi mereka "kesucian" mendapat arti "kesaktian", "keramat", sama seperti dalam agama suku (tetapi anggapan ini tersebar luas juga di tengah-tengah kekristenan Barat). Kesan ini diperkuat oleh berita-berita tentang sifat magis yang melekat pada benda-benda yang dipakai dalam ibadah, seperti misalnya cerita mengenai seorang pemuda yang merampas isi peti derma, lalu diserang penyakit yang mengakibatkan mulutnya berbentuk lubang dalam peti derma itu. Kita bisa pula mengingat pemakaian air baptisan dan roti perjamuan sebagai obat atau pupuk.
Tidak Misioner
c. Reaksi mereka terhadap desas-desus seakan-akan orang-orang Islam mau dipaksa menyadi Kristen, memperlihatkan kepada kita bahwa mereka memandang agama Kristen itu sebagai milik yang sangat dihargai, tetapi yang tidak usah diteruskan kepada saudara-saudara mereka yang beragama lain. Wajarlah kalau mereka sendiri menganut agama Kristen; wajar juga kalau di negeri-negeri lain orang menganut agama Islam. Dalam hal ini pula kita melihat pengaruh citarasa agama suku, yang tidak bersifat misioner terhadap anggota-anggota lingkungan yang lain.
Pengaruh Agama Suku Secara Langsung
Dalam hal-hal yang dicatat tadi itu nampaklah pengaruh agama suku yang tidak langsung, yaitu pengaruh pola berpikir yang terdapat dalam agama suku. Bentuk kepercayaan Kristen ditentukan olehnya. Di samping itu masih terdapat juga pengaruh agama suku yang langsung, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari agama suku. Kebanyakan orang-orang Kristen masih menyimpan benda-benda keramat, benda-benda yang berwujud nenek-moyang. Pendeta-pendeta pada zaman VOC telah memberantas unsur-unsur agama suku ini, dan kalau kedapatan, orang menerima hukuman berat, sampai diancam hukuman mati. Anehnya, pendeta-pendeta itu kurang menyadari pengaruh berfikir agama suku yang tidak langsung itu dalam perwujudan agama Kristen seperti yang terdapat di Maluku (atau di Belanda sendiri). Akibatnya, usaha-usaha ini tidak berhasil mencabut kekafiran di tengah jemaat-jemaat Kristen.
Tenaga Baru: Jabez Carey (1814 - 1818)
Pemerintah Inggeris tidak senang melihat keadaan tersebut. Mereka meminta tenaga baru dari zending Inggeris di India. Yang diutus ialah Jabez Carey, putera tokoh zending yang terkenal itu, yakni William Carey. Sebagaimana pada zaman VOC para pendeta Belanda membawa-serta bentuk-bentuk dan corak gereja mereka dari tanah-air, begitu pula Carey ini memasukkan ke Ambon keyakinan-keyakinan khas dari gerejanya sendiri, yaitu gereja Baptis. Ia malah disuruh ayahnya meninyau kembali buku-buku sekolah dan kitab katekismus (§ 10), menyerang baptisan anak-anak, dan membentuk "gereja-gereja injili", yang terdiri dari orang yang betul-betul takut akan Allah. Tetapi Carey belum berhasil mewujudkan cita-cita ini, ketika orang-orang Belanda kembali memegang kekuasaan di Maluku (1817), dan mengusir dia (1818).
Tenaga Baru: Joseph Kam (1769-1833)
Sebelum pemerintah Belanda sempat mengoper Ambon, seorang pendeta Belanda sudah memulai pelayanan di sana. Joseph Kam berasal dari keluarga Pietis di Belanda. Tetapi ia sekeluarga tetap tinggal anggota-anggota gereja gereformeerd (gereja-rakyat, gereja-negara). Keluarganya mempunyai hubungan yang akrab dengan jemaat Herrnhut ( § 19), dan dengan penuh perhatian membaca berita-berita mengenai usaha pekabaran Injil oleh utusan-utusan Herrnhut. Joseph ingin menyadi seorang pekabar Injil juga, tetapi baru setelah isterinya meninggal, ia dapat melamar ke NZG (lembaga ini tidak mau mengutus orang-orang yang berkeluarga). Selama beberapa tahun ia dididik oleh pendeta-pendeta dari lingkungan Pengurus NZG. Baru di kemudian hari NZG mendirikan sekolah pendidikan calon-calon zendeling. Kam di tahbiskan menyadi pendeta dan pada tahun 1814 ia tiba di Jawa, bersama Bruckner dan seorang teman lain lagi.
Kam "Disita" Pemerintah
Kam dan kedua temannya bermaksud untuk bekerja di tengah-tengah orang yang bukan-Kristen, lepas dari jemaat-jemaat yang sudah ada. Akan tetapi pemerintah menganggap pemeliharaan atas jemaat-jemaat itu lebih mendesak daripada pekabaran Injil dan ketiga zendeling itu disuruh mengisi lowongan-lowongan dalam gereja-gereja ( § 18). Bruckner ditempatkan di Semarang ( § 24), sedangkan Kam sendiri dikirim ke Ambon. Tetapi sebelum berlayar ke sana, Kam selama setengah tahun melayani jemaat Surabaya. Di situ ia berkenalan dengan beberapa orang yang peka terhadap pemberitaannya, antara lain seorang tukang arloji berkebangsaan Jerman yang namanya Emde (§ 24). Dalam hati mereka Kam tanamkan kesadaran bahwa mereka bertanggung-jawab atas pekabaran Injil di tengah-tengah orang-orang Jawa. Pada tahun 1815 Kam mendarat di Ambon dan mulai bekerja di sana. Umurnya pada saat itu sudah 45 tahun.
Pekerjaan Kam Di Maluku (1815 - 1833)
Di Maluku, Kam menemukan situasi yang telah digambarkan di atas. Yang menyadi persoalan ialah, bagaimana menghadapinya. Mungkin kita menduga bahwa Kam akan mengikuti corak Pietisme/Revival dengan mengumpulkan "orang-orang Kristen hidup" dari antara "massa anggota gereja yang mati" dan dengan menggunakan kelompok-kelompok orang-orang saleh itu sebagai pangkalan untuk membaharui gereja. Itulah metode yang telah dianjurkan oleh William Carey. Dan memang Kam segera mulai mengadakan latihan-latihan rohani dan kumpulan-kumpulan doa, di mana orang-orang yang sudah "dibangunkan" berkumpul. Kumpulan-kumpulan itu baginya merupakan suatu alat yang penting dalam membangun kembali gereja di Maluku. Akan tetapi Kam bukanlah seorang Pietis yang fanatik, yang tidak mau tahu tentang gereja-rakyat dan yang meremehkan pemberitaan Firman dan pelayanan sakramen-sakramen kepada orang banyak. Lain dari pada Carey, ia segera menyingsingkan lengan dan mulai mengejar ketinggalan yang terjadi akibat tidak adanya pendeta selama duapuluh tahun. Dua hari setelah tiba di Ambon ia mulai melayankan Firman; tiga minggu kemudian ia memimpin perayaan perjamuan Kudus. Dan karena di kota Ambon saja terdapat tiga ribu anak yang belum sempat di baptis, ia mulai melayankan baptisan kepada mereka (dengan menetapkan jatah 120 orang per minggu). Dalam pekerjannya ini, Kam menggabungkan cita-cita Pietisme dengan suatu sikap terbuka terhadap kenyataan dan nilai gereja rakyat.
Di Luar Kota Ambon, Wilayah Dalam, Wilayah Luar
Tetapi bukan hanya kota Ambon yang menyadi lapangan kerja Kam. Ia merupakan satu-satunya pendeta di wilayah Maluku, malahan di seluruh Indonesia Timur. Kam lebih dulu mencurahkan perhatiannya kepada wilayah-dalam yakni jemaat-jemaat di pulau Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Pada tahun 1815-1816 ia mengadakan turne ke jemaat-jemaat tersebut dan di mana-mana ia memberitakan Firman, menegakkan disiplin gereja dan di sekolah, ditinyaunya juga. Untuk selanjutnya ia mengunjungi jemaat-jemaat ini - jumlahnya 70 lebih - satu kali setahun. Di samping itu beberapa kali ia mengadakan perjalanan besar ke Ternate - Minahasa - Sangir dan ke pulau-pulau Selatan sampai ke Timor. Di situ keadaan jemaat-jemaat adalah jauh lebih buruk daripada di Ambon dan sekitarnya (bnd § 10, 11). Karena menyadari bahwa ia tidak dapat memberi pemeliharaan yang teratur kepada jemaat-jemaat itu, Kam meminta NZG agar mengirim tenaga-tenaga baru buat menduduki lapangan itu. Delapan di antara utusan-utusan baru itu ditempatkan di pulau-pulau Maluku Selatan, tetapi usaha mereka di sana gagal dan terpaksa dihentikan pada tahun 1841. Tetapi di Minahasa dan di Timor, pekerjaan utusan-utusan NZG mencapai hasil yang lebih besar (§ 21,22).
Arti Pekerjaan Kam
Arti Pekerjaan Kam Dapat Dirangkum Dalam Dua Pokok.
Di tengah kekristenan Ambon yang masih menganut kesatuan kehidupan yang bersifat statis dan yang belum bersikap misioner itu ia menanamkan suatu jenis kekristenan yang baru, yakni kekristenan gaya Pietisme/Revival. Hal ini akan membawa kepada ketegangan-ketegangan. Akan tetapi oleh karenanya berkembang juga kekuatan-kekuatan baru, yang mempersiapkan gereja di Maluku untuk perubahan-perubahan besar yang akan datang pada tahun 1935 dan tahun 1950, yaitu kemerdekaan gereja dan pemutusan hubungannya dengan negara.
Di kota Ambon dan di jemaat-jemaat Maluku Tengah, Kam mendirikan kembali pelayanan Firman dan sakramen-sakramen serta penggembalaan sampai di tingkat yang lama, yaitu tingkat yang agak rendah. Di daerah-daerah pinggir, dari Minahasa sampai ke Timor, ia hanya mulai menghidupkan kembali jemaat-jemaat, yang di sana adalah bagaikan tanaman yang merana, malahan sudah hampir mati.
Pengganti Kam: Roskott (1835 - 1864)
Sepeninggal Kam, hanya selama satu tahun lagi kota Ambon dilayani oleh seorang pendeta dari kalangan utusan zending. Sesudahnya, pemerintah ( § 18 ) kembali mengirim pendeta-pendeta lulusan Universitas, yang tidak mempunyai hubungan dengan NZG. Pada pendeta-pendeta GPI ini tidak terdapat semangat yang ada pada Kam, lagi pula mereka semua lekas mati atau terpaksa pulang. Di samping mereka, tetap ada beberapa utusan NZG di Maluku. Salah seorang dari kalangan mereka inilah yang menyadi pengganti Kam dalam arti yang sebenarnya, yakni Roskott (di Ambon 1835-1873).
USAHA MENDIRIKAN SPG, HEHANUSA
Roskott bukanlah pendeta, melainkan seorang guru. Ia diutus NZG dalam rangka rencana untuk membuka suatu sekolah pendidikan guru (SPG). Kam telah menyadari bahwa pendidikan para guru perlu diperbaiki, bahkan merupakan syarat mutlak bagi perbaikan keadaan di gereja dan sekolah. Dan ia telah menerima sejumlah murid di rumahnya. Salah seorang dari murid-murid ini ialah W. Hehanusa (1799-1887) yang kemudian ditempatkan di Minahasa dan di sana ditahbiskan menyadi salah seorang pendeta Indonesia yang pertama (§ 21). Tetapi Kam tidak dapat mencurahkan perhatian secukupnya kepada pendidikan murid-muridnya, sehingga pada umumnya hasil usahanya ini tidaklah memuaskan. Makanya NZG mengirimkan Roskott dengan tugas untuk secara khusus memperhatikan bidang pendidikan.
Spg Roskott Picauly
Roskott membuka SPG-nya di Batumerah (1835). Ia mempunyai rekan sepekerjaan seorang Ambon, yaitu Picauly. Murid-murid hanya terima sesudah melalui penyaringan yang ketat dan mereka harus tunduk kepada disiplin yang sangat ketat - tetapi serentak mereka sendiri diberi suara yang besar dalam pelaksanaan disiplin itu, dan malahan dalam penyaringan murid-murid baru. Jelaslah bahwa guru-guru yang telah dididik dengan sistem ini tidak akan menyadi orang-orang yang senang kalau semata-mata merupakan alat pendeta dan yang hanya ingin mempertahankan keadaan yang sudah berlaku (bnd § 27). Pendidikan mereka meliputi mata pelajaran yang berguna bagi sekolah maupun gereja, antara lain latihan khotbah dan tentu saja musik. SPG Batumerah menghasilkan seratus guru lebih. Mereka lama-lama menggantikan angkatan guru yang lama, dan banyak juga yang dikirim ke daerah-daerah di luar Ambon, sampai ke Menado dan Timor.
Ketegangan "Gereja-Negara"
Pemerintah Belanda senang sekali melihat mutu guru-guru tamatan Batumerah. Akan tetapi sesudah beberapa waktu, mulailah nampak hasil-hasil sistem pendidikan Roskott yang tidak begitu menyenangkan bagi pemerintah. Guru-guru muda didikan Roskott tidak selalu puas dengan keadaan yang mereka dapati dinegeri-negeri tempat mereka bekerja. Mereka mulai menggugat tata-cara, "adat Kristen", yang mudah terbentuk sejak dua abad lebih. Para raja sebagai pelindung adat tidak menerima baik perobahan-perobahan yang diusahakan oleh para guru, dan terjadilah bentrokan-bentrokan. Secara kecil-kecilan terulang di sini pertikaian antara gereja dan negara yang telah terjadi di Eropa dalam Abad Pertengahan, yaitu konflik antara suatu negara yang ingin memelihara kesatuan kehidupan yang statis, dan suatu gereja yang telah dibangkitkan oleh Injil dan yang mau mendobrak kesatuan itu.
Tindakan-Tindakan Pemerintah, Dan Reaksi NZG
Roskott mau memecahkan konflik ini dengan meletakkan seluruh kekuasaan sipil di tangan para utusan Injil (bnd cita-cita paus Innocentius!). Tetapi pemerintah Belanda tidak menerima usul ini dan mengambil tindakan tegas untuk membendung pengaruh sending yang membahayakan "keamanan dan ketertiban" itu (bnd § 17). Daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk pekabaran Injil (1842). Para zendeling boleh tetap tinggal, tetapi sebagai pekerja GPI. Di dalam rangka GPI mereka lebih mudah dapat diawasi. Dan memang oleh Pengurus GPI mereka dilarang mencampuri urusan-urusan pemerintahan negeri (desa) (1850). Para zendeling dilarang pula mencampuri urusan-urusan sekolah. Bagi pemerintah Belanda, dalam abad ke-19, sekolah bukan lagi persemaian gereja (§ 10), melainkan lembaga untuk mendidik warganegara-warganegara yang baik. Dalam keadaan itu, NZG tidak mau lagi membiayai SPG. Pada tahun 1864 lembaga itu ditutup. (Keputusan ini dipercepat oleh pertikaian antara Pengurus NZG dengan Roskott). NZG tidak mau lagi bekerja sama dengan pemerintah pula. Akibatnya, para zendeling yang bersedia beralih ke GPI diberi status resmi dalam gereja itu, dengan pangkat pendeta-pembantu (1867). Seluruh Maluku menyadi daerah GPI.
Penyediaan Buku-Buku, Kam, Roskott
Kam dan Roskott ingin meningkatkan mutu hidup gerejani di Maluku dengan cara lain lagi, yakni dengan buku-buku. Ketika Kam datang, hampir tidak tersedia bacaan Kristen dalam bahasa Melayu. Alkitab pun (terjemahan Leijdecker, § 15) sudah menyadi begitu langka, sehingga ditawarkan dengan harga puluhan ribu rupiah. Kitab Mazmur, buku katekisasi (§ 10, 15), semuanya habis. Kam segera mengimpor bahan-bahan yang paling perlu, ribuan buah Alkitab dan duapuluh ribu kitab Mazmur. Tetapi ia berpikir lebih jauh dan mendirikan suatu percetakan sendiri. Di situ ia antara lain mencetak kitab katekisasi besar yang lama ("Tiksar", § 10), sebuah kitab katekisasi sederhana yang baru, dan suatu kumpulan khotbah-khotbah yang diterjemahkannya sendiri dari bahasa Inggeris. Khotbah-khotbah ini menggantikan kumpulan Caron (§ 10), yang sudah dipakai selama 130 tahun yang bahasanya sudah lama tidak dipahami lagi. Roskott di kemudian hari mempersiapkan suatu terjemahan PB ke dalam bahasa Melayu yang lebih sederhana daripada yang dipakai dalam Alkitab-Leijdecker. Dengan kegiatan ini juga, kedua tokoh tersebut meletakkan dasar bagi suatu kehidupan gerejani yang lebih mantap.
Namun demikian, kehidupan baru dalam gereja di Maluku tidak berhasil dimatikan. Kegiatan utusan-utusan NZG telah memasukkan suatu unsur baru ke dalam lingkungan jemaat-jemaat di Maluku. Unsur baru itu untuk sementara waktu tidak diberi kesempatan menciptakan pembaharuan di dalam, karena dikekang oleh pemerintah. Tetapi semangat baru itu diarahkan ke luar. Di banyak jemaat didirikan kelompok-kelompok yang menunyang pekerjaan yang oleh guru-guru Ambon dilakukan di daerah-daerah di pinggiran Maluku atau di luarnya, sampai di Timor dan Irian. Melalui usaha-usaha ini, orang-orang Kristen di Maluku Tengah belajar melihat gereja sebagai urusan mereka sendiri yang harus mereka tanggung sendiri.
Ringkasan
Sekitar tahun 1800, hubungan gereja di Maluku dengan dunia luar terputus untuk sementara waktu. Di Maluku Tengah, kehidupan gerejani berlangsung terus di bawah pimpinan para guru, menurut corak yang berlaku sejak abad ke-17. Di wilayah-wilayah luar, jemaat-jemaat semakin lemah atau malah menghilang. Mulai tahun 1813, tenaga-tenaga baru membawa kekristenan gaya baru ke Maluku. Unsur baru ini lama-lama mulai mengerjakan pembaharuan dalam jemaat-jemaat. Pemerintah berusaha mengekangnya, tetapi pembaharuan itu berjalan terus.
Sejarah Gereja Di Indonesia Sesudah Tahun 1799 Sejarah Gereja Protestan Maluku
Sekitar tahun 1800, keadaan gereja di Indonesia memprihatinkan. Jumlah anggota-anggotanya selama dua abad hampir tidak bertambah. Pendeta-pendeta tinggal empat orang saja (1810). Belum ada pendeta bangsa Indonesia berwenang penuh. Kebanyakan orang Kristen selama sepuluh tahun lebih tidak dilayani oleh seorang pendeta dan tidak mempunyai Kitab Suci dalam bahasa yang dapat dipahaminya. Kebanyakan jemaat tidak mempunyai majelis yang dapat memimpin mereka. Pada zaman itu agama Kristen hilang dari beberapa daerah seperti Bolaang Mongodow, Maluku Tenggara dan lain-lainnya. Tampaknya seakan-akan agama itu akan hilang dari seluruh Indonesia.
Satu abad kemudian gambarannya lain sama sekali. Di banyak daerah di Indonesia pekabaran Injil sedang dilakukan dengan giat oleh ratusan orang. Dan, pertama kali dalam sejarah, tenaga-tenaga Indonesia mulai dididik pula. Di mana-mana diusahakan terjemahan Alkitab dan terjemahan tulisan-tulisan lain ke dalam pelbagai bahasa daerah. Dalam abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 diletakkanlah dasar gereja-gereja Indonesia yang ada sekarang. Jadi, juga bagi Indonesia abad ke-19 itu betul-betul menyadi "abad pekabaran Injil".
Ambon, Pekerjaan Pastorat
Sama seperti di Belanda (**Bnd R. Bijlsman, Kleine Catechetiek, 1969, blz. 75 v.), demikian pula di Indonesia katekisasi pada waktu itu erat berhubungan dengan pengajaran-agama di sekolah-sekolah. Begitu erat, sehingga pengajaran-agama di sekolah-sekolah dianggap sebagai "bagian" dari katekisasi di Gereja. Hal itu nyata dengan jelas dari ketetapan Sidang Gereja Agung (6-20 Agustus 1624) di Betawi, di mana a.l. dikatakan, bahwa "anak-anak Belanda dan juga anak-anak yang bukan-Belanda harus dididik dan diajar secara Kristen di sekolah-sekolah" dan bahwa "untuk pengajaran-agama selanjutnya anak-anak itu harus mengikuti pengajaran katekisasi. (**Van Boetzelaer II, blz. 35). Yang dimaksudkan di sini dengan pengajaran katekisasi ialah pengajaran yang diberikan oleh pendeta-pendeta di Gereja.
Untuk memungkinkan pelaksanaan ketetapan itu bagi anak-anak Indonesia, diusahakan penterjemahan bagian-bagian Kitab Suci [**Yang terpenting di antaranya ialah: Injil Matius dan beberapa Mazmur dalam bentuk sajak, oleh A.C. Ruyl (1629), Injil Matius dan Injil Markus, oleh A.C. Ruyl (1638), Injil Lukas dan Injil Yohanes oleh J. van Hazel (1646), Keempat Injil (direvisi) dan Kisah Para Rasul (diterjemahkan), oleh J. Heurinus (t.t), Limapuluh Mazmur, oleh J. van Hazel dan diperbaiki oleh J. Heurinus (1648), Seratus limapuluh Mazmur, oleh J. Heurinus (1652), Kejadian, oleh D. Brouwerius (1668) dan Kitab Mazmur dalam bentuk sajak, oleh G.H. Werndly (1735). Bnd Van Boetzelaer II, blz. 121 v., 257, Valetijn, a.w., blz. 54 v., Troostenburg de Bruyn, a.w., blz. 419, 435 v., dan Bouwstoffen, III, blz. 751], bahan-bahan katekisasi [**Yang terpenting di antaranya ialah: Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde, oleh J.C. Ruyl (1602), Ikhtisar dari buku Marnix van St. Aldegonde dan beberapa karya lain dalam bahasa Melayu Ambon, oleh F. Houtman (t.t), Katekismus Heidelberg, oleh S. Danckaerts (625), (t.t), Buku Tanya-Jawab, oleh Spiljardus (t.t), Katekismus, dalam bahasa Melayu Ambon, oleh F. Valentijn (1756)] dan nyanyian-nyanyian [**Yaitu: Mazmur-mazmur dalam bentuk sajak (lih. catatan 133) dan kemudian "Mazmur dan Tahlil", oleh Schroder (1908)] dalam bahasa Melayu.
Salah satu buku katekisasi yang lama memainkan peranan penting dalam pelayanan Jemaat-jemaat di Indonesia pada waktu itu ialah Buku Tanya-Jawab dari Marnix van St. Aldegonde. [**Bnd D. van Dijk, Het "vraegboecxken van St. Aldegonde" (dalam: De Heerbaan), 1950, blz. 150-164 dan 205-210.] Buku ini, menurut Danckaerts, mula-mula diterjemahkan oleh A.C. Ruyl dalam "bahasa Melayu yang baik" (1602), tetapi terjemahan itu di beberapa tempat -- khususnya "di Amboina, Banda dan Maluku" -- tidak dapat dipahami orang. Untuk mengatasi kesulitan ini Houtman mengusahakan suatu terjemahan lain dalam bahasa Melayu Ambon -- tetapi terjemahan ini juga sukar dimengerti. [**Bnd Van Dijk, a.w, blz. 161.] Berhubung dengan itu Danckaerts -- yang pada waktu itu menyadi pendeta di Ambon -- mengambil keputusan untuk sedikit merobah terjemahan Ruyl, sehingga buku itu dapat berguna bagi "anak-anak dan orang-orang Kristen baru". [**Dalam kata-pendahuluannya Danckaerts katakan, bahwa maksudnya "bukanlah untuk memperbaiki terjemahan Ruyl dalam bahasa Melayu yang lebih baik, tetapi...hanya untuk merobahnya sedikit-sedikit dalam bahasa Melayu yang dapat dimengerti" oleh orang-orang di Amboina, Banda dan Maluku. Bnd Van Dijk, a.w., blz. 159]. Judul buku itu dalam bahasa Melayu Ambon ialah: Ajaran dalam yang mana jadi caber ajar capallanya deri agama Christaon". Isinya terdiri dari suatu percakapan sederhana yang berlangsung antara seorang guru dan empat orang murid (= Abraham, Daud, Soleman dan Yakob) tentang: penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia, maksud penciptaan manusia, Allah sebagai Pencipta, tempat di mana Allah bersemayam, pengakuan iman rasuli, dasafirman, Gereja, baptisan, perjamuan, dan lain-lain.
Suatu buku kecil lain, yang juga lama memainkan peranan penting dalam pelayanan Jemaat-jemaat di Indonesia pada waktu itu ialah Katekismus Heidelberg [**Disusun oleh Caspar Olivianus dan Zachardias Ursinus atas perintah raja Frederik III dari Pfalz pada tahun 1542.], yaitu buku katekisasi yang sampai sekarang masih dipakai oleh banyak Gereja di Indonesia.
Theoretis pekerjaan katekisasi diatur dengan baik dan secara terperinci dalam tatagereja-tatagereja [**Tatagereja tahun 1624, tahun 1643 dan tatagereja Ambon (1673)] dan dalam keputusan-keputusan gerejani yang lain [**Bnd Van Boetzelaer II, blz. 35.], tetapi dalam praktik ia sukar dijalankan, terutama karena kekurangan tenaga pendeta. Di beberapa Jemaat Majelis Gereja berusaha mengatasi kesulitan itu dengan jalan mengangkat tenaga-tenaga pembantu [**Di Betawi umpamanya diangkat seorang diakones dalam Jemaat berbahasa Belanda dengan tugas untuk memberikan pengajaran-agama dan seorang "guru katekisasi" yang kemudian menyadi pendeta, dengan tugas yang sama, dalam Jemaat berbahasa Melayu. Bnd Van Boetzelaer II, blz. 270.], tetapi pada umumnya usaha itu juga tidak banyak menolong: sama seperti guru-guru sekolah, demikian pula tenaga-tenaga pembantu ini tidak cukup diperlengkapi, sehingga mereka tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik.
Gereja-Gereja Di Maluku Dan Irian Barat
I. Gereja Protestan Maluku
Sejarah GPM Sampai 1864
GPM mempunyai sejarah yang paling lama di Indonesia. Sejarahnya mencerminkan hidupnya dari abad keabad sehingga beraneka warnalah keadaannya. Malah dapat dikatakan bahwa sejarah GPM merupakan sebuah ringkasan dari sejarah Gereja di Indonesia pada umumnya. Sejarahnya itu dapat kita bagi sebagai berikut:
± 1540-1605
|
Usaha Misi RK Portugis serta pengkristenan yang pertama
|
± 1605-1815
|
Gereja di Maluku dibawah pemeliharaan Gereja VOC sampai 1800 - dan yangka pendek yang berikutnya dibawah pemeliharaan Pekabaran Injil dari pihak Inggris (1814- 1817).
|
± 1815-1864
|
Hidupnya kembali Gereja di Maluku oleh usaha Pekabaran Injil NZG dalam kerjasama dengan Gereja Protestan.
|
± 1864-1935
|
Gereja di Maluku dibawah pimpinan Gereja Protestan serta perkembangan Gereja itu.
|
Sejak 1935 GPM selaku Gereja yang berdiri sendiri. Rasanya tidaklah perlu lagi untuk membentangkan sejarah Gereja di Maluku pada zaman Portugis dan VOC. Pada satu pihak harus diakui bahwa sejarahnya selama dua setengah abad itu hanyalah merupakan "pra sejarah" saja dari Gereja itu. Namun begitu terkumpullah juga pada waktu itu sejumlah orang-orang Kristen yang tidak sedikit, biarpun mereka itu diperanaktirikan saja dalam Gereja VOC. Bagian-bagian yang berbahasa Indonesia dari Gereja VOC membonceng saja pada jemaat-jemaat yang khusus dibentuk untuk orang-orang Belanda. Memang agama Kristen sudah berakar dibeberapa daerah Maluku, akan tetapi tunas-tunas yang baru bertumbuh itu sangat kurang dipelihara dan diperkembang, sehingga kekristenan mereka tercampurlah dengan anasir-anasir yang berasal dari agama kafir dahulu. Tradisi gerejani memang ada, akan tetapi keinsafan mereka mengenai arti serta kebenaran kekristenan sangatlah kurang. Kekristenannya itu dianggap hanya merupakan salah satu agama disamping agama-agama lain, dan agamanya ialah "agama Belanda". Sejak tahun 1801 hampir tidak terdapat seorang pendeta Belanda di Ambon sampai tibanya J. Kam pada tahun 1816. Hanya pada tahun 1808 untuk dua bulan lamanya dilakukan pemeliharaan rohani oleh pendeta van den Broek, yang meninggal disitu tidak berapa lama kemudian. Demikian merosotnya kekristenan pada waktu itu sehingga pada tahun 1809 gedung gereja Ambon pun mau dijadikan sebuah gudang. Keadaan yang sangat menjedihkan itu berlaku juga di-jemaat-jemaat yang lain. Di Saparua misalnya terdapat lowongan pendeta sejak tahun 1801 dan baru pada tahun 1807 dan 1809 terjadilah perkunjungan pendeta sejak tahun 1796 sampai 1819, Banda dari 1800 sampai 1820. Memang ada beberapa guru sekolah yang memimpin kebaktian-kebaktian dengan membacakan chotbah-chotbah serta doa-doa menurut kebiasaan Gereja VOC. Tetapi kita dapat membayangkan keadaan Gereja yang berpuluh-puluh tahun lamanya tidak dilajani sakramen-sakramen serta pemberkatan nikah oleh seorang pendetapun.
Pada waktu pemerintahan Inggris yang pendek itu (1811-1815) masuklah para pekabar Injil Inggris yang pertama di Indonesia. Juga ke Ambon diutus seorang, yaitu Jabez Carey, anak William Carey, perintis pekabaran Injil yang ternama di India. Pergaulannya dengan orang-orang Ambon demikian baiknya sehingga dengan sangat sedih hati disertai tangisan mereka berpisah dari padanya ketika ia terpaksa meninggalkan Ambon pada tahun 1817.
Akan tetapi pada tahun 1816 tibalah seorang pekabar Injil yaitu J. Kam yang kemudian mendapat gelar "Rasul Maluku", begitulah tertulis pada kuburannya di Ambon. Sebenarnya kita ingin merobah gelar itu menyadi "Reformator Maluku", oleh karena pekerjaan Kam itu bukannya untuk pertama kalinya menanamkan Injil didaerah itu, melainkan dengan segala daja-upajanya ia berusaha memperbaiki keadaan gerejani yang sangat mengecewakan itu. Kam sudah berusia 44 tahun ketika ia diutus ke Ambon. Sebelum itu ia melakukan pekerjaan yang rendah sesuai dengan pendidikannya juga. Akan tetapi ia sungguh yakin akan panggilan Tuhan terhadapnya. Sesudah pendidikannya beberapa tahun lamanya iapun diutus ke Indonesia ber-sama-sama dengan dua orang pekabar Injil dari Jerman, yaitu Supper dan Bruckner, pada tahun 1814. Berhubung dengan keadaan politik pada waktu itu maka mereka diutus dengan perantaraan "Perhimpunan Pekabaran Injil dari London". Baru pada tahun 1815 tibalah mereka di Jakarta. Disitu ketiga orang ini "disita" oleh Gereja Protestan yang pada waktu itu amat kekurangan tenaga-tenaga. Kam ditempatkan di Ambon untuk memelihara Gereja didaerah itu. Pada tahun 1816 tibalah ia di Ambon. Ketika ia melalui Surabaja ia menghidupkan disitu segolongan orang-orang Kristen yang mempunyai arti bagi permulaan Gereja Jawa Timur dikemudian hari.
Di Ambon Kam mewakili Gereja Protestan untuk seluruh Indonesia Timur. Dialah satu-satunya pendeta yang ditempatkan diwilayah yang sangat luas itu dengan tugas gerejani. Bukankah wilayah itu begitu luas, sehingga ia seorang diri mustahil dapat mencapai hasil biarpun sedikit saja, bilamana Kam benar-benar mencoba hendak mengerjakan seluruh wilayah itu? Bukankah ia dapat bekerja dengan hasil yang memadai disatu daerah yang terbatas saja, misalnya di Ambon sendiri? Kam memberanikan dirinya untuk melakukan apa yang dianggap "mustahil". Sebuah perahu yang dibuat sendiri membawa dia kesana kemari, ber-kali-kali ia mengadakan pelajaran dengan tiada henti-hentinya. Ia berlajar sampai ke Ternate, Manado dan Sangir Talaud, kepulauan Baru dan kekepulauan sebelah selatan, sampai ke Aru, Kai dan Tanimbar, bahkan sampai ke Kupang. Ia mengunjungi jemaat yang sudah tidak terpelihara lagi. Dengan girangnya bahkan dengan gairahnya orang-orang Kristen itu menyambutnya. Tibanya seorang pendeta dikepulauan yang terpencil berarti bahwa ada kesempatan untuk membaptiskan anak-anak untuk memberkati pernikahan-pernikahan yang sudah puluhan tahun lamanya. Dapatkah Kam memenuhi segala permintaan penduduk itu, yang kekristenannya sering menurut nama saja? Diceritakannya bahwa dipantai sebuah pulau yang terpencil ia disambut oleh sebuah pawai terdiri dari seluruh penduduk kampung itu. Raja beserta tua-tuanya, ja seluruh rakyat menyambut dia dengan gembira sekali. Dimuka pawai itu berjalanlah wanita-wanita yang tua. Mereka berpakaian hitam dengan kain pikul seperti kebiasaan suku Ambon. Mereka masing-masing memegang sebuah buku mazmur ditangannya dan bernyanji dengan sungguh-sungguh hati. Memang lagu-lagu yang dinyanjikan mereka ganjil sekali kedengarannya, mereka sudah lupa lagu yang sebenarnya. Perkataan-perkataannya pun mereka tidak ingat lagi. Lagipula sebenarnya mereka itu buta huruf, sehingga tidak bisa membaca buku mazmur itu, bahkan diantara mereka ada beberapa wanita yang memegang buku mazmur itu terbalik. Peristiwa itu melukiskan kepada kita keadaan gerejani yang sedang dialami oleh Kam. Di mana-mana rakyat sangat menghargai Gereja Kristen, akan tetapi Gereja itu sudah hampir runtuh.
Kam berpendapat, bahwa selaku pendeta ia Wajib melajani sakramen dan pemberkatan nikah untuk mereka. Ribuan orang dibaptiskannya pada perkunjungan-perkunjungan itu, namun tidaklah mungkin baginya untuk melakukan pemeliharaan rohani secukupnya buat mereka sekalian. Tetapi dengan sangat giat ia mencari jalan untuk memperbaiki keadaan yang jelek itu. Per-tama-tama ia menempatkan pekabar-pekabar Injil di-daerah-daerah itu. Sejak tahun 1818 dan tahun-tahun yang berikutnya maka Ternate, Banda, Kupang diduduki oleh beberapa pekabar Injil. Kemudian ia mengutus pekabar-pekabar Injil baik ke Leti, Kisar, Moa dikepulauan Tenggara, maupun kedaerah Minahasa, Ambon merupakan pusat untuk segala pekerjaan gerejani di Indonesia Timur. Dari situlah dilakukannya kehidupan kembali diseluruh wilayah.
Akan tetapi bukan saja penempatan para pekabar Injil yang dapat menimbulkan hidup baru didalam tubuh gereja yang hampir mati itu. Soal kedua yang diperhatikan oleh Kam ialah memperoleh buku-buku katekisasi dan mazmur bagi jemaat-jemaat yang sudah lalai itu. Kekurangan buku-buku adalah sedemikian rupa hingga orang-orang Maluku bersedia untuk membajar 20 ringgit untuk sebuah kitab Perjanjian Baru. Pada tahun 1819 ia mendirikan sebuah percetakan di Ambon yang menerbitkan ribuan buku katekismus, sedangkan dari Belanda dikirim 100.000 buku mazmur bahasa Melaju. Selain daripada itu Kam membuka sebuah sekolah guru jemaat pada tahun 1821, supaja dapat diperoleh tenaga-tenaga yang cukup untuk jemaat-jemaat yang tidak terpelihara lagi itu. Pada tahun 1893 Kam meninggal dunia. Dengan giatnya dan bersusah-pajah ia bekerja 17 tahun lamanya terus menerus. Pada waktu itu belum tampak apa-apa dari usahanya itu. Gereja-gereja yang dibentuk seabad kemudiannya yaitu GPM, GMIM dan GMIT, belum memperlihatkan apa-apa tentang batas masing-masing. Daerah-daerah itu masih merupakan suatu wilayah Gereja Protestan bagian Indonesia Timur. Akan tetapi tak dapat disangkal, bahwa terjadinya Gereja-gereja itu adalah berkat persediaan Kam, yang sudah membangunkan kembali kekristenan di Maluku dari tidurnya. Benarlah jika Gereja Maluku menganggapnya selaku reformator kekristenan diwilayah itu.
Ada kesulitan sedikit dalam bentuk pekerjaan gerejani di Indonesia Timur pada waktu itu. Pada satu pihak hampir segala pekerjaan itu dilakukan oleh para pekabar Injil NZG. Pun NZG memberi banyak sokongan secara materi, misalnya buku-buku dsb-nya, bagi usaha itu. Pada pihak lain Gereja Protestanlah yang memelihara Gereja Kristen di Indonesia Timur. Gereja itu menempatkan Kam di Ambon serta memberikan hak kepadanya untuk memimpin pekerjaan gerejani diwilayah itu. Gerejalah pula yang membiajai para pekabar Injil, andaikata mereka dipinyamkan oleh NZG kepadanya. Lambat laun Gereja ingin menempatkan pendeta-pendetanya sendiri disitu. Sejak tahun 1835 sejumlah pendeta Belanda dipindahkan ke Ambon untuk melakukan usaha-usaha gerejani disitu akan tetapi diantara mereka itu tidak terdapat lagi seorang seperti Kam. Sama seperti pada waktu VOC maka mereka lebih memperhatikan jemaat Belanda daripada orang-orang Kristen Ambon, yang ribuan jumlahnya itu. Memang tidak ada sedikitpun pergaulan dengan masjarakat, ter-lebih-lebih oleh karena seorang demi seorang mereka meninggal di Ambon dalam waktu yang singkat. Lagi pula masih ada beberapa pekabar Injil NZG disitu yang mengerjakan jemaat-jemaat di Ambon dan dikepulauan Lease. Mereka berusaha melakukan pekerjaannya baik secara rohani maupun secara materiil. Salah satu usaha yang sangat bermanfaat ialah sekolah guru yang didirikan oleh Roskott pada tahun 1836 di Batu Merah, letaknya diteluk Ambon. Roskott bermaksud mendidik guru-guru untuk sekolah-sekolah Kristen yang disamping itu dapat memimpin jemaat-jemaat kecil. Makin lama makin banyak hasil sekolah guru itu untuk seluruh kepulauan Maluku. Kira-kira 100 guru dihasilkannya untuk 80 sekolah rakyat. Bahkan pemerintah menghargai pekerjaan Roskott demikian rupa, sehingga ia diangkat menyadi Inspektur sekolah-sekolah pada tahun 1851.
Dapat dimengerti bahwa lambat laun berkembanglah usaha kehidupan jemaat-jemaat didaerah itu. Tetapi justru keadaan yang makin baik itu menimbulkan banyak kesulitan. Menurut tradisi di Ambon dan Lease maka rapatlah sekali hubungan jemaat dengan pemerintah desa disitu yang disebut "negorij" ("negeri", kampung). Sudah berabad lamanya Gereja, sekolah dan balai pemerintahan desa merupakan suatu kesatuan didalam negorij-negorij itu. Bahkan raja yang disebut "regent" mempunyai tempat duduk kehormatan didalam gedung gereja. Tetapi disebabkan hidup yang baru didalam jemaat masing-masing, kadang-kadang terjadilah percekcokan diantara para pekerja gereja dengan para pemerintah negorij itu, yang sering tidak puas dengan keadaan yang baru oleh karena mereka kuatir bahwa kekuasaannya akan dibatasi didalam jemaat, dan tidak bisa lagi melakukan perbuatan yang se-wenang-wenang. Bagaimanakah memperbaiki keadaan yang sulit itu? Roskott mengusulkan supaja para pekabar Injil mendapat kuasa pemerintahan di-tempat-tempat mereka. Dengan demikian maka para "regent" itu harus tunduk saja kepada mereka. Tetapi pemerintah Belanda menolak usul yang memang kurang bijaksana itu. Bahkan pusat Gereja Protestan dengan tegas melarang para pekabar Injil turut campur tangan dalam pemerintahan desa. Pusat itu agaknya tidak berkeberatan bahwa para "regent" campur tangan dalam hal ihwal jemaat - menurut kebiasaan yang sudah bersejarah. Pusat Gereja Protestan tidak lain hendak menunjukkan ketaatannya terhadap pemerintah Belanda, yang pada pihaknya mau menutupi saja kesulitan-kesulitan tersebut.
Kejadian itu menyadi alasan bagi pusat Gereja Protestan untuk memutuskan bahwa di Ambon harus ditempatkan 4 pendeta Belanda, artinya tenaga gerejani yang tidak berasal dari pihak Pekabaran Injil. Bahkan pemerintah Belanda memutuskan supaja daerah Ambon dan sekitarnya ditutup untuk Pekabaran Injil sejak tahun 1842, dengan dalih bahwa disitu sudah terbentuk Gereja yang tatap. Tetapi para pekabar Injil masih dperlukan disitu, karena tenaga-tenaga pendeta Gereja Belanda tidak ada. Jalan keluar daripada kesulitan itu terdapat dalam perjanjian antara NZG dan Gereja Protestan. Menurut perjanjian itu NZG meminjamkan 6 orang pekabar Injil kepada Gereja Protestan selama 10 tahun jakni 1854-1864. Gaji ke-6 orang itu ditetapkan sama tinggi dengan gaji dua orang pendeta Belanda. Demikianlah Gereja Protestan mendapat tenaga-tenaga yang diawasi pekerjaannya oleh Gereja Protestan, sehingga percekcokan tersebut tidak timbul lagi. Perjanjian itu menjebabkan pula suatu kejadian yang sangat penting terhadap bentuk Gereja Protestan, ialah tersusunnya tingkat "pendeta pembantu". Kejadiannya adalah sebagai berikut: pada tahun 1864 NZG tidak bersedia lagi untuk melanjutkan perjanjian tersebut. Akan tetapi untuk mencukupi kebutuhan tenaga-tenaga gerejani maka pemerintah beserta dengan Gereja Protestan menciptakan tingkat pendeta pembantu. Hal itu dibeslitkan pada tahun 1867. Beberapa peabar Injil diambil alih menyadi pendeta pembantu, lalu tenaga-tenaga baru dipanggil dari Belanda untuk pekerjaan itu. Mereka biasanya menerima pendidikan untuk menyadi pekabar Injil serta diterima dalam pekerjaan Gereja Protestan sesudah tamat dari salah satu ujian didepan "Komisi Den Haag".
Jelaslah bahwa dengan dipekerjakannya para pendeta pembantu didalam Gereja itu habislah pengaruh Pekabar Injil secara resmi. Kita sudah melihat diatas tadi, bahwa pada tahun 1842 daerah Ambon sudah ditutup untuk Pekabaran Injil. Memang suatu Gereja yang didukung oleh pemerintah yang bersifat netral, tidak diizinkan lagi untuk mengabarkan Injil kepada mereka yang bukan Kristen, karena hal itu menjinggung kenetralan pemerintah. Sikap itu menjebabkan pula dirobahnya sekolah-sekolah gereja menyadi sekolah-sekolah pemerintah kira-kira pada tahun 1850. Memang suatu Gereja "pemerintah" tidak diizinkan mengusahakan sekolah-sekolah Kristen. Tindakan yang ketiga untuk melepaskan Gereja Maluku dari pengaruh-pengaruh Pekabaran Injil yang tidak dikehendaki ialah terbentuknya tingkat "pendeta pembantu" yang dibentangkan diatas tadi. Merekapun menyadi pegawai negeri seperti juga para pendeta, dan tidak bergantung lagi kepada NZG. Dengan demikian tidaklah berlaku lagi bagi mereka tugas pekabaran Injil dari NZG. Namun begitu pada sebagian dari mereka tetaplah ada hasrat untuk mengabarkan berita kesukaan. Memang diantara para pendeta pembantu ada juga sejumlah yang bersifat pekabar Injil, sehingga usaha pekabaran Injil tidak berhenti sama sekali didalam Gereja Maluku.
Dari 1864 sampai 1935
Dengan terhentinya kerjasama NZG dan Gereja Protestan maka berkembanglah organisasi Gereja Protestan diseluruh daerah itu. Makin lama makin tegaslah batas-batas daerah yang diliputi oleh Gereja Maluku, daerah-daerah Gereja Minahasa dan Timor kemudiannya. Hanyalah mengenai kepulauan dibarat daja, yaitu Leti, Moa, Kisar, Wetar belum ada keputusan, apakah itu termasuk daerah Maluku atau daerah Timor. Baru pada tahun 1936 ditetapkan oleh karena perhubungan yang lebih lancar bahwa pulau-pulau itu terikat didalam Gereja Maluku. Jemaat-Jemaat Gereja itu terletak terutama dipulau Ambon bagian Laitimur, sedangkan bagian Hitu sudah diislamkan sebelum zaman VOC. Jemaat-jemaat yang lain terdapat pula dikepulauan Lease ialah Haruku, Nusalaut dan Saparua. Disebelah Utara termasuk pula Ternate, yang diduduki oleh seorang pendeta pembantu yang mengawasi jemaat-jemaat Bacan dan Tidore. Dipulau Seram ada juga dua jemaat, di Amahai dan di Kamarian (Piru). Juga dipulau Buru bagian utara terdapat jemaat Kajeli yang termasuk Gereja Maluku pada waktu itu. Achirnya harus dicatat pula jemaat yang ada di Bandaneira. Pada achir abad ke-19 menyadi lebih luaslah daerah Gereja Maluku. Ber-angsur-angsur beberapa kepulauan sebelah tenggara dan selatan dikerjakan untuk pertama kali. Mengherankan bahwa suatu Gereja yang paling tua, yang sudah bersejarah ber-abad-abad lamanya, tidak sanggup untuk melakukan pekabaran Injil didaerahnya sendiri. Memang kira-kira pada tahun 1635 pulau-pulau Aru dikunjungi oleh seorang pendeta VOC, juga dapat diduga bahwa dikepulauan Tanimbar terdapat sisa-sisa kekristenan dari zaman VOC. Akan tetapi orang-orang Kristen disitu diabaikan saja, sehingga Kam yang mengunjungi kepulauan itu kira-kira pada tahun 1819 tidak menemukan seorang Kristen lagi disitu. Usaha pekabaran Injil yang mulai pada achir abad itu disebabkan oleh dua alasan, pertama bahwa baru pada bagian kedua abad ke-19 pemerintah memberikan perhatian kepada kepulauan itu. Hal itu berhubung dengan perobahan politiknya diseluruh wilayah Indonesia. Dan memang, bilamana pemerintah membuka tanah, maka Gerejapun lantas mengikutinya. Alasan kedua jakni perhatian yang dicurahkan oleh pihak RK kepada kepulauan tersebut mulai tahun 1880. Sesudah RK mengusahakan misi disitu, barulah Gereja Protestan bertindak juga. Pulau Tanimbar misalnya sudah dikunjungi oleh Kam pada tahun 1825, tetapi baru pada tahun 1882 pekerjaan dapat dimulai disitu. Demikian pula halnya dipulau Kai, tempat markas RK memulai pada tahun 1890 sedangkan Gereja Protestan memulai usahanya pada tahun 1900. Pada bagian pertama abad ini hampir selesailah pengkristenan kepulauan-kepulauan itu. Kita telah mengetahui bahwa sebenarnya perluasan secara pekabaran Injil tidak diizinkan kepada Gereja Protestan pada waktu itu. Hal itu berarti bahwa sebagian besar dari biaja itu harus menyadi beban Gereja Protestan sendiri.
Pulau Burupun sebagiannya dari "Utrechtsche Zendings Vereniging" (UZV) diserahkan kepada Gereja Maluku pada tahun 1933. Usaha pekabaran Injil dipulau itu sudah dimulai pada zaman VOC. Di Kajeli yang letaknya di Buru Utara terdapat segolongan orang Kristen Ambon. Akan tetapi baru sejak tahun 1879 usaha pekabaran Injil diadakan oleh beberapa guru Ambon, yang dipimpin oleh pendeta pembantu di Alang (pulau Ambon). UZV-lah yang mengutus seorang pekabar Injil kedaerah Buru Selatan (Masareta) pada tahun 1885. Para pekabar Injil UZV menyalankan penginjilan dipulau itu sampai saat perang dunia kedua. Sejak 1911 juga daerah Buru Utara (Namlea) dimasuki oleh mereka, dan mulai 1917 dipedalaman (Waekatin). Pada tahun 1934 daerah sebelah utara (Kajeli dll.) diserahkan oleh UZV kepada Gereja Protestan, sedangkan disebabkan oleh perang dunia kedua maka seluruh daerah itu termasuk kedalam wilayah GPM. Selain daripada itu kita mencatat bahwa jemaat-jemaat Ambon dan Lease bersedia menjokong usaha Pekabaran Injil di Irian Barat, bagian Fakfak dan Kaja-kaja (Merauke). Melihat luasnya wilayah yang diliputi oleh Gereja Maluku maka mengertilah kita bahwa tidak ada sebuah Gereja lainpun di Indonesia yang begitu sulit keadaan geografisnya seperti Gereja Maluku itu. Sebenarnya Gereja itu merupakan Gereja kepulauan.
Sejak 1864 secara ber-angsur-angsur organisasi Gereja itu menyadi rampung. Ditetapkanlah bahwa di Ambon selaku pusatnya bertempat dua pendeta Belanda, diantaranya seorang untuk melajani jemaat yang berbahasa Belanda dan yang lain sebagai Ketua Gereja di Maluku. Di-daerah-daerah ditempatkanlah sejumlah pendeta-pendeta pembantu yang menurut peraturan tahun 1867 pekerjaannya diawasi oleh ketua tersebut. Setahun sekali mereka wajib mengadakan konperensi dibawah pimpinan pendeta itu. Mereka pada pihaknya mengawasi pekerjaan para guru Injil yang ditempatkan didaerah masing-masing. Tingkat dan pekerjaan para guru Injil itu juga ditetapkan dalam peraturan 1867. Mula-mula barangkali belum dipikirkan soal tingkat mereka supaja kemudian mereka dijadikan pendeta yang berhak dan bertanggung-jawab penuh. Agaknya tujuan peraturan tersebut ialah untuk memperoleh sejumlah pembantu dalam segala pekerjaan gerejani, misalnya untuk memimpin kebaktian-kebaktian, untuk mengajarkan katekisasi dll. Dan sangat lama kemudian terbukalah kemungkinan untuk mentahbiskan mereka dengan hak untuk melajani sakramen-sakramen. Sampai tahun 1935, yaitu terbentuknya Synode yang berdiri sendiri, maka sejumlah yang kecil berhak sedemikian. Hal itu berarti bahwa guru-guru Injil tersebut tinggal tetap didalam tingkat bawahan terhadap para pendeta pembantu. Pendidikan mereka direncanakan pada permulaan seperti pendidikan yang diperoleh mereka dalam rumah-rumah pendeta pembantu masing-masing. Kemudian pendidikan itu dipersatukan didalam sebuah sekolah guru Injil yang disebut STOVIL (School tot opleiding van Inlandse leeraren). Sekolah guru Injil yang pertama didirikan di Ambon pada tahun 1885, kemudian juga di Tomohon (1886) dan dipulau Roti (1902). Guru-guru Injil tersebut diangkat menyadi pegawai pemerintah seperti juga para pendeta dan para pendeta pembantu. Tetapi tingkat-tingkat yang lebih rendah dibawahnya berlainan dalam hal itu. Guru-guru jemaat yang melajani jemaat-jemaat yang kecil tidak dibiajai oleh pemerintah tetapi oleh jemaat atau Gereja sendiri. Achirnya kita melihat didalam Gereja tingkat penatua sjamas. Belumlah ada tatagereja yang menetapkan tingkat dan kewajiban mereka itu. Baru pada tahun 1935 waktu mana GPM menetapkan tatagerejanya maka segala sesuatupun diaturlah serta ditetapkan.
Dari 1935 Sampai Sekarang Ini
Pada tanggal 6 September 1935 Gereja Malukupun berdiri sendirilah. namanya disebut Gereja Protestan Maluku (GPM), Tatagerejanya disahkan pada tahun 1936. Seluk-beluk tatagereja itu tidak perlu dibentangkan disini. Kita tak heran melihat didalam tatagereja itu penetapan mengenai pengakuan iman yang hampir sama isinya dengan apa yang sudah ditetapkan untuk Gereja Protestan Am, 1933. Pula kita tak heran bahwa fasal mengenai keanggotaan didalam Gereja memperlihatkan ciri dari sebuah Gereja bangsa. Misalnya menurut fasal tersebut terhitung kepada Gereja juga anak-anak yang belum dibaptiskan, bilamana orang tua mereka anggota Gereja. Bahkan anak-anak mereka yang bukan anggota, terhisab juga kepada Gereja, bilamana mereka disekolahkan didalam sekolah Gereja terkecuali mereka yang sudah memberitahukan, bahwa mereka tidak ingin dihitungkan kepada Gereja. Artinya, terdapatlah anggota-anggota Gereja yang dilahirkan didalam Gereja, dan bukan hanya dibaptiskan saja didalamnya. Faktor-faktor sebagai keturunan masih berlaku dalam hal ini.
Selain daripada itu kita melihat beberapa gejala dari sebuah Gereja menurut tata presbyterial-synodal. Hak memilih dipunyai oleh anggota sidi yang sudah berusia 21 tahun, sehingga dengan pemilihan-pemilihan itu dapat terbentuk majelis-majelis jemaat yang terdiri dari penatua-penatua dan sjamas-sjamas yang dipilih. Juga klasis-klasis yang terdiri dari sejumlah jemaat-jemaat dibentuk, dan para utusan klasis merupakan synode. Disamping itu kita melihat juga banyak ciri dari suatu Gereja pemerintah, artinya yang didalamnya hak dan kuasa bukannya berada dalam tangan badan-badan yang dipilih melainkan dalam tangan badan yang ditetapkan dari atas. Misalnya para pemimpin jemaat setempat, yaitu pendeta-pendeta, guru-guru jemaat bukannya dipilih serta dipanggil oleh majelis-majelis itu, melainkan ditetapkan oleh Badan Pekerja Synode. Pula para ketua klasis tidak lain daripada para pendeta pembantu yang ditetapkan oleh Badan Pekerja Am Gereja Protestan. Achirnya ketua synode dan badan pekerja synode pun adalah pendeta Belanda yang ditetapkan oleh Badan Pekerja Am Gereja Protestan. Susunan itu berarti, bahwa pengaruh Gereja Prostestan Am masih kuat, sehingga kesempatan GPM untuk bertindak sendiri sangat terbatas adanya. Badan pekerja synode pun terdiri dari 10 anggota, yang diantaranya hanya 3 orang yang bukan pendeta. Hal itu berarti bahwa pengaruh para pendeta, yaitu para pendeta pembantu dan para guru Injil sangat kuat juga. Gereja yang merupakan suatu Gereja Pemerintah dengan ini menyadi juga Gereja Pendeta.
Bentuk ini dapat dimengerti, jika kita menginsafi keadaan yang istimewa dari daerah gerejani di Maluku. Seperti sudah jelas dari yang dikatakan diatas, maka daerah itu sangat luas dan sangat sulit perhubungannya dari satu bagian ke bagian lain. Bayangkanlah jarak dari Ternate ke Babar, dari Buru atau Sulu ke Merauke dan Fakfak. Bagaimanakah caranya untuk menghubungkan badan Gereja yang begitu jarang-jarang jemaat-jemaatnya, supaja mereka merupakan suatu persekutuan yang hidup? Lagi pula, tampaklah perbedaan yang sangat besar diantara jemaat-jemaat tersebut. Diantaranya ada sejumlah yang sudah tua sekali, bahkan yang tertua diseluruh Asia. Akan tetapi disampingnya ada pula yang masih amat muda sekali, bahkan yang belum terbentuk selaku jemaat yang tetap. Harus diakui bahwa susunan GPM itu menimbulkan banyak kesulitan yang tidak dapat diatasi dengan menetapkan sebuah tatagereja yang coraknya se-mata-mata presbyterial-synodal.
Jalan yang ditempuh oleh tatagereja GPM adalah sebagai berikut. Daerah-daerah Gereja di-bagi-bagi menurut kedewasaan mereka masing-masing. Ditetapkanlah tiga bagian: (a) Klasis-klasis yang berhak penuh, oleh karena jemaatnya masing-masing sudah berdiri tetap dengan mempunyai majelis-majelisnya yang dipilih, dll. (b) "Bagian-bagian" Gereja (yang disebut "afdeling") yang belum mempunyai hak penuh daripada klasis-klasis tersebut, oleh karena jemaat-jemaat disitu masih muda serta majelisnya masing-masing belum berjalan sebagaimana mestinya. ( ) "Bidang" (yang disebut "terrein"), ialah lapangan-lapangan usaha pekabaran Injil, yang sebenarnya belum membentuk jemaat serta yang berhak membentuk synode, sedangkan "bagian-bagian" tersebut diwakili oleh pendeta pembantu yang ditempatkan disitu. Akan tetapi "bidang-bidang" tidak mempunyai suara didalam synode. Terbentuklah 7 klasis yaitu Ambon, Lease, Seram Barat, Seram Timur, Banda, Ternate, termasuk jemaat Ambon-kota dengan tingkat yang istimewa. Jumlah bagian adalah 6, yaitu pulau Aru, pulau Kai, pulau Tanimbar, Babar, Kisar, Irian Barat. Achirnya "bidang" berjumlah 2, yaitu Irian Barat-Daja dan Buru Utara.
Memang, rencana dari permulaannya ialah supaja ber-angsur-angsur "bagian-bagian" dan "bidang-bidang" achirnya dapat diakui sebagai klasis juga. Synodelah yang berhak untuk menetapkannya itu. Dan ternyata pada tahun-tahun yang berikut, bahwa satu demi satu bagian-bagian itu diangkat menyadi klasis. Pada tahun 1947 pulau Kai menerima tingkat itu selanjutnya pada tahun 1948 bagian-bagian dipulau Tanimbar, Barbar, Kisar, dan Aru. Sehingga selaku "bagian" dan "bidang" tinggallah saja jemaat-jemaat di Irian Barat. Pada umumnya harus diakui, bahwa tatagereja tersebut adalah bijaksana dan sewajar dengan keadaan Gereja di Maluku pada saat itu, oleh karena diberikan kesempatan kepada daerah-daerah yang masih muda dan terbelakang untuk berkembang supaja mencapai tingkatnya yang semestinya. Tak boleh tidak berpusatkan pimpinan GPM didalam badan pekerja synodenya. Keadaan GPM dilihat dari sudut geografi dan sejarah agaknya tidak mengizinkan adanya suatu desentralisasi, sehingga beban pimpinan dapat dibagikan kepada daerah-daerah. Bukankah Gereja itu akan terpecahbelah, jika daerah-daerahnya dapat bertindak sendirian? Bukankah diperlukan suatu pimpinan yang tegas untuk memelihara kesatuan Gereja-gereja itu? Bukankah dengan demikian saja kehidupan gerejani di-pulau-pulau yang terpencil dapat dipelihara? Memang suatu Gereja kepuluan yang begitu luas dan terpencil daerah-daerahnya tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran yang berlaku didalam suatu "Gereja daratan". Betapa gampang usaha untuk menciptakan persaudaraan diantara jemaat-jemaat, bilamana mereka itu dapat saling mengunjungi satu sama lain, oleh karena perhubungan jalan selalu ada! Betapa sulit usaha itu diantara jemaat-jemaat kepulauan! Agaknya tatagereja pemerintah, yang berarti pula "Gereja pendeta" serta "Gereja sentral" merupakan jalan yang sangat lancar untuk mengatasi segala kesulitan tersebut.
Akan tetapi tidak dapat disangkal, bahwa pada jalan itu timbullah pula bahaja-bahaja yang dapat menghalangi perkembangannya yang sehat. Jelaslah bahwa pemerintahan Gereja dibentuk oleh mereka yang paling berpengalaman. Dan mereka yang paling maju serta berpengalaman memang berasal dari jemaat yang paling tua. Oleh karena itu ternyata di GPM bahwa pengaruh jemaat-jemaat Ambon dan Lease sangat kuat adanya. Hampir 95% dari sekalian pendeta berasal dari jemaat-jemaat itu, sehingga timbul perasaan segan dikepulauan yang lain se-olah-olah mereka "dijajah" saja oleh orang-orang Ambon dan Lease, serta tidak beroleh kesempatan yang sepenuhnya untuk berkembang menurut wataknya sendiri. Sangat diperlukan kebijaksanaan yang tidak sedikit, untuk memperhatikan keadaan tersebut. Itulah tugas yang berat bagi pimpinan GPM.
Jelaslah bahwa pekerjaan gerejani disuatu wilayah yang begitu luas memerlukan sejumlah besar guru Injil dan guru jemaat. Kita sudah melihat, bahwa pendidikan para guru Injil dipusatkan di Stovil Ambon. Yang tamat dari sekolah itu dibagi dalam dua bagian, yaitu guru Injil klas I dan klas II. Yang klas II makin lama makin banyak memperoleh hak untuk melajani sakramen juga, oleh karena mereka ditempatkan di-jemaat-jemaat yang tidak dilajani oleh para pendeta pembantu. Tetapi yang bertingkat demikian jarang terdapat. Yang klas I biasanya diperbantukan kepada para pendeta pembantu. Baru sesudah 10 tahun dinas dengan setia dan dengan tiada ada apa-apa yang kurang, maka mereka mendapat hak melajani sakramen. Hal itu berlaku sejak tahun 1916. Barulah dalam synode pada waktu perang dunia kedua peraturan yang ganjil dan yang tak dapat dipertahankan itu dihapuskan.
Para guru jemaat dididik sampai tahun 1864 didalam sekolah guru yang telah dibuka oleh Roskott pada tahun 1836. Sekolah itu ditutup pada tahun tersebut, oleh karena sekolah-sekolah Kristen diambil alih oleh pemerintah, sehingga guru-guru sekolah Kristen tidak diperlukan lagi. Untuk waktu yang lama tidak terdapat pendidikan yang sewajarnya bagi guru-guru jemaat. Baru pada permulaan abad ini kursus-kursus guru jemaat dibuka di Ambon. Hal itu terjadi berhubung dengan adanya kebutuhan-kebutuhan akan guru-guru sekolah Kristen dikepulauan selatan. Disitu sekolah-sekolah Kristen dibuka di-daerah-daerah yang baru diinjili. Dan memang guru-guru sekolah Kristen disitu mempunyai tugas gerejani juga didalam jemaat yang masih muda. Oleh karena itu pendidikan mengenai pimpinan jemaat dsbnya dilaksanakanlah. Sebuah sekolah yang sama tujuannya dibuka pula di Tual (ibukota pulau Kai). Pada tahun 1936 sekolah-sekolah itu beserta dengan Stovil diserahkan oleh Gereja Protestan kepada synode GPM. Sesudah perang dunia kedua, maka Stovil yang selama pendudukan Jepang disuruh tutup, dibuka kembali sebagai "Sekolah Theologia Menengah". Pula dibuka lagi sekolah-sekolah guru Kristen di Ambon dan di Tual.
Perkembangan GPM pada perjalanannya untuk berdiri sendiri telah dipercepat oleh keadaan yang ditimbulkan oleh perang dunia kedua. Dengan ditangkapnya para tenaga Belanda, maka para pendeta suku maluku menyalankan pimpinan atas Gereja di Maluku sejak tahun 1942. Memang sesudah perang dunia kedua ketua synode yang berbangsa Belanda ditempatkan lagi oleh Badan Pekerjaan Am Gereja Protestan disitu, sedangkan para pendeta pembantu tidak lagi diperlukan oleh karena para tamatan HTS Jakarta dianggap sama derajatnya dengan mereka. Sejak tahun 1949 tidak ada lagi seorang pendeta Belanda yang duduk dalam pimpinan GPM.
Gereja "Tua" Imanuel Hila |
Corak GPM
Tak heran bahwa sebuah Gereja yang bersejarah sedemikian mempunyai coraknya yang amat bertradisi. Masih terdapat beberapa gedung gereja, yang asalnya dari zaman VOC dan yang bentuknya sangat indah. Gedung-gedung yang tua itu didirikan dengan batu, ukuran-ukurannya biasanya besar dan bentuknya hampir sama dengan bentuk gedung-gedung gereja ditanah Belanda yang berasal dari abad ke-17. Pada pertengahan dinding depan berdirilah mimbar, sedangkan diantara tempat-tempat duduk adalah beberapa yang diutamakan, yaitu tempat-tempat duduk untuk "regent dengan golongan-golongannya, selaku tanda dari keadaan tersangkut-pautnya pemerintah dengan Gereja pada zaman VOC. Sayang sekali bahwa gedung gereja yang sangat indah beserta perabot-perabotnya, yaitu gereja di Ambon, diruntuhkan pada waktu dan sesudah perang dunia kedua. Ada pula keistimewaan Ambon yaitu pakaian-pakaian yang dipakai oleh orang-orang Ambon didalam kebaktian-kebaktian. Terutama para wanita masih berpegang kepada pakaian yang hitam warnanya. Mereka yang sidi memakai "kain pikul", jakni sebuah kain setelempap lebarnya, berwarna hitam dihias dengan manik-manik hitam dan disandangkan pada bahu kiri. Agaknya pakaianl itu khususnya kain pikul itu, merupakan sisa-sida dari zaman Portugis. Seperti diketahui para padri RK membentuk persekutuan-persekutuan Kesalehan, yang biasanya memakai salah satu tanda pada pakaian mereka.
Musik gerejani merupakan pula suatu keistimewaan. Biasanya di-negeri-negeri Ambon dan Lease nyanjian-nyanjian jemaat diiringi orkes suling, yang terdiri dari sejumlah pemuda-pemuda. Bila dibandingkan dengan iringan orgel-orgel kecil yang dipakai oleh kebanyakan jemaat-jemaat di Indonesia maka dapatlah dikatakan, bahwa orkes-orkes suling itu jauh lebih baik dan bermanfaat bagi jemaat-jemaat itu. Kepandaian untuk meniup suling nampaknya hal biasa saja diantara pemuda-pemuda sedangkan sering ternyata bahwa kepandaian memainkan orgel hampir tidak ada. Alat-alat musik pun diperoleh dengan kepandaian kerjatangan sendiri dan dari bahan-bahan yang ada di Indonesia, sedangkan orgel-orgel itu harus dibeli dengan mahal dari luar negeri. Taraf musikpun daripada orkes-orkes suling lebih baik dan lebih indah daripada orgel-orgel. Manfaatnya ada pula untuk hidup gerejani, oleh karena para pemuda diberikan salah satu tugas yang tetap didalam kebaktian-kebaktian. Orkes-orkes suling itu telah didirikan atas usul Kam dan memang GPM patut berterima kasih kepadanya oleh sebab usul yang sangat bermanfaat itu.
Termasuk pula tradisi Ambon ialah penghargaan orang-orang Ambon atas Alkitab terjemahan Leydekker. Meskipun sudah lama terjemahan itu diganti dengan terjemahan Klinkert dan Bode, namun terjemahan Leydekker masih berlaku seperti suatu pusaka. Dilihat dari sudut sejarah penghargaan itu dapat mengagumkan kita. Sebenarnya Valentijnlah yang menjediakan sebuah terjemahan Alkitab kedalam bahasa Melaju-Ambon justru pada waktu terjemahan Leydekker sedang disiapkan . Tetapi pemerintah VOC mengutamakan terjemahan Leydekker, sehingga terjemahan Valentijn tidak diterbitkan pada waktu itu.
Mazmur dan Tahlil pun berlaku didalam kebaktian-kebaktian, sedangkan didalam ibadat-ibadat dirumah buku-buku nyanjian "Dua sahabat lama" sangat disukai oleh orang-orang Kristen Ambon. Mengherankan bahwa mereka yang mempunyai pembawaan yang istimewa untuk menciptakan lagu-lagu duniawi, belum memperkaja jumlah nyanjian-nyanjian rohani dengan ciptaan sendiri. Bolehkah dikatakan, bahwa mereka itu merasa segan mempergunakan pembawaan itu untuk menciptakan nyanjian-nyanjian rohani se-olah-olah didalam kebaktian-kebaktian dan didalam hidup rohani pada umumnya hanyalah dianggap resmi apa yang sudah dikuduskan oleh tradisi?
Tradisi memang memainkan peranan yang luar biasa didalam kegerejaan Ambon. Kebiasaan-kebiasaan dianggap oleh mereka itu seperti anasir-anasir kekristenan yang hakiki. Terjadilah suatu corak kegerejaan demikian rupa, sehingga boleh dikatakan bahwa kekristenan sudah diambonisasikan. Dengan sendirinya corak itu dibawa dan disebarkan oleh orang-orang Ambon ke-mana-mana saja. Misalnya dikepulauan Selatan yang baru saja dikristenkan, bahkan sampai ke Irian Barat berlaku tradisi tersebut yaitu memakai pakaian gerejani dan mengadakan koor (orkes) suling.
Jikalau anasir-anasir kekristenan sudah bercampur dengan anasir-anasir suku itu secara begitu jauh, maka kita tak merasa heran, bahwa didalam campuran agama Ambon terdapat pula anasir-anasir tachjul. Kita mencatat disini misalnya pemberian kolekte-kolekte dengan uang logam 2 atau 3 sen, atau kebiasaan mengadakan upacara "malam ketiga" berhubung dengan peristiwa "penguburan" dan sebagainya. Pula sakramen-sakramen dicampuri dengan tachjul-tachjul. Pada pihak lain harus diakui, bahwa justru tradisi gerejani memperteguh hati-hati mereka untuk berlaku setia terhadap Gerejanya. Schisma-schisma serta keinginan-keinginan memecah-belah jemaat-jemaat hampir tidak terdapat di GPM.
Memang penghargaan terhadap tradisi itu menghalangi pula segala usaha untuk menghidupkan kerohanian didalam Gereja itu. Boleh dikatakan bahwa sering kesaksian Gereja keluar jemaat tidak dapat berbicara lagi oleh karena tradisi tidak mengizinkan. Pada satu pihak tradisi memelihara kegerejaan pada pihak lain tradisi pulalah yang tidak memungkinkan berkembangnya kegerejaan didalam suatu usaha yang hidup. Misalnya ter-bagi-bagilah suku Maluku di Ambon dan Lease antara negorij-negorij Kristen dengan negorij Islam. Masing-masing menghargai batas-batas negorijnya. Adat istiadat menguasai hubungan satu sama lainnya, sehingga pekabaran Injil terhadap negorij-negorij Islam tak mungkin dilaksanakan. Saling mengakui, saling menghormati bahkan saling menolong itulah yang menyadi tradisi. Dan selama tiga abad orang-orang Kristen Ambon boleh dikatakan tidak menyadari tugasnya sebagai garam dan terang dalam dunianya yang berdekatan, tak lain karena tradisi tersebut.
Pada pihak lain kita melihat bahwa hati orang-orang Kristen Ambon terbuka untuk melakukan pekabaran Injil, akan tetapi kedaerah yang jauh. Sudah disinggung diatas tadi, bahwa kira-kira pada tahun 1930 mereka mengambil alih tanggungjawab untuk mengusahakan Pekabaran Injil di Irian Barat, dan ratusan pekerja gereja, pendeta-pendeta, guru-guru dan penginjil mencurahkan tenaga mereka disitu. Ber-kali-kali dan dengan hati yang tabah sebagai perintis-perintis yang benar mereka "membuka tanah" - yaitu istilah yang sering mereka pergunakan untuk usaha pekabaran Injil. Bukan dikepulauan selatan, dipedalaman Seram, dan di Irian Barat saja mereka membuka tanah, melainkan segolongan besar orang-orang Ambon menuruti panggilan usaha pekabaran Injil untuk merintis di Sulawesi Tengah dan Selatan, dan di Halmahera. Memang itu juga merupakan suatu tradisi. Kita mengetahui bahwa sudah pada zaman VOC guru-guru Ambonlah yang siap sedia untuk diutus dan dipekerjakan diluar daerahnya, sampai-sampai kepulau Sangir. Akan tetapi jumlah mereka yang mau diperbantukan dalam bidang-bidang pekabaran Injil yang baru terbuka pada abad ini, jauh melebihi jumlah mereka pada zaman VOC. Dan tak boleh tidak timbullah perhatian bahkan keinsafan dalam jemaat Ambon dan Lease untuk mengambil bagiannya dalam tugas pekabaran Injil itu. Terbentuklah beberapa perhimpunan pekabaran Injil yang mempunyai nama-nama seperti "Ora et labora", "Sebiji sesawi" ("Het mosterzaad") dll. Sudah lama pada tiap-tiap tahun yaitu pada "Hari reformasi" (31 Oktober) dirajakan "pesta zending". Memang terpisahnya Irian Barat dari wilayah Indonesia menjebabkan juga terputusnya GPM dari bidang pekabaran Injil yang khusus itu. Tetapi hal itu tidak berarti, bahwa tugas pekabaran Injil tidak berlaku lagi sesudah bidangnya itu ditutup. Baru dalam tahun-tahun yang lalu GPM mencari jalan untuk melakukan tugasnya itu di-daerah-daerah yang berdekatan. Dengan itu GPM menghadapi orang-orang Islam dengan kesaksiannya selaku orang-orang Kristen. Dan hal itu untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarahnya yang lama itu.
sumber : http://sejarah.sabda.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar