Selasa, 11 Februari 2014

KAPITAN PATTIMURA, (BAB V. PAHLAWAN-PAHLAWAN TIANG GANTUNGAN - Tamat)



BAB V. PAHLAWAN-PAHLAWAN TIANG GANTUNGAN 

5.1. Merenungkan Tanggung Jawab
Ibu Fransina Matulessia telah lanjut umur. Tidak disangka-sangka bahwa kedua anaknya yang laki-laki akan memimpin rakyat menentang Belanda. la pun tidak bermimpi bahwa Thomas akan diangkat oleh raja-raja patih sebagai panglima perang bergelar Kapitan Pattimura. Sudah lama suaminya berpulang. Seorang diri ibu yang sudah tua itu mendampingi kedua anaknya dalam suka dan duka. Sebagai seorang ibu, hatinya selalu gelisah melihat anak bungsunya memikul tanggung jawab begitu berat. Tetapi bangga pula ia karena mata rumah Matulessia dan Silahoi melahirkan seorang pemimpin rakyat. Resah juga hatinya melihat Thomas belum lagi beristri. Jujaro-jujaro Haria mengkhayalkan hidup selanjutnya dalam pelukan laki-laki kabaresi ini. Ibu-ibu memasang berbagai jerat untuk mengikat Thomas dengan gadis mereka.

Dalam hari tuanya dan dalam keadaan perang Ibu Fransina menghiburnya dengan tiga orang cucunya yaitu putra Johannis dan Nyawael Manuhutu : Abraham, Dominggus dan Thomas. Tiga orang anak itu menyibukkan nenek Fransina setiap hari. Menggeleng-geleng ibu Fransina apabila ia menegur Thomas supaya memilih seorang teman hidup dan hanya memperoleh senyum saja. Thomas tidak ada waktu, ia terlalu sibuk memikirkan perang dan memikirkan nasib rakyat. Sekalipun demikian, ibunya mengetahui bahwa Thomas mempunyai kekasih di Saparua. Sebelum perang, Elisabeth Titaley Gassier telah kembali ke Saparua. Dalam masa-masa permulaan pergolakan rakyat, Lisbeth tidak tanggung-tanggung memuntahkan kebenciannya terhadap Belanda dan mendesak Thomas untuk mengangkat senjata. Kerap kali Lisbeth kelihatan mendampingi Thomas di front terdepan. Dalam ketegangan perang yang mencekam, Thomas sering mencari ketenangan pada Lisbeth, yang berdiam dengan keluarga Raja Titaley. Tetapi hubungan cinta mereka tidak bisa diikat oleh perkawinan karena Elisabeth masih terikat pada suaminya, Eliza Titaley, yang dulu diangkut ke Batavia sebagai serdadu. 

Pada waktu-waktu tertentu Thomas memerlukan pelepasan ketegangan dari perang. Larilah ia ke tepi pantai pada malam hari, duduk di perahu mengayunkan kaki memainkan air laut yang jernih di Teluk Haria. Pandangannya menembus jauh ke Haruku. Teluk yang tenang memantulkan ketenangan dalam batin Thomas. Tetapi pikirannya tidak terhenti. Ia merenungkan tanggung jawab yang begitu berat. Dia adalah panglima perang. Raja-raja memberikan kepadanya wewenang penuh untuk memimpin mereka dan bala rakyat dalam perang ini menuju ke pembebasan dari cengkeraman penjajahan. Bagaimana kalau mereka menang, apa selanjutnya yang akan diperbuat ? Bagaimana kalau mereka kalah ? Malapetaka akan menimpa rakyat ! Dalam keadaan semacam ini naiklah doanya kehadapan Allah Yang Mahakasih, memohon keteguhan iman baginya dan bagi kawan-kawannya. Rakyat memerlukan bimbingan Tuhan dalam pertarungan mati-matian ini. Saat-saat semacam ini adalah saat-saat peneguhan bathin, saat-saat pembaharuan kebulatan tekad untuk memimpin rakyat menuju kemenangan. Dalam saat-saat semacam ini, para pengawal, yang senantiasa mengiringi kapitan mereka, berdiam diri ; tidak berani mereka berbicara, tidak berani bersenda gurau, tidak berani mengganggu kapitan mereka. Mereka sadar bahwa Thomas sedang memikirkan rakyatnya. Ada yang telah kehilangan anggota keluarganya, ada yang telah tewas, rumah-rumah yang telah menjadi mangsa musuh. Apa yang akan terjadi di Haruku ? Dapatkah pasukannya menahan serangan balasan Belanda ? Hatawano telah memaksakan musuh meninggalkan daerah itu. Saparua adalah benteng yang sulit ditembus sekalipun Duurstede telah jatuh. Nusalaut belum dijamah oleh musuh. Tetapi pengkhianatan patih Akoon ticlak bisa diampuni. Rahasia apa saja yang telah ia beritahukan kepada Belanda ? Terkutuk orang itu dan seisi mata rumahnya. Arwah nenek moyang akan menimpa dan menghancurkan pengkhianat itu seperti halnya dengan raja Amet dan raja Siri-Sori Serani. Pikirannya melayang ke Kapitan Tua Ulupaha. Sekalipun tidak bisa berjalan lagi dan harus dipikul dengan tandu, kapitan itu memperkuat kedudukan para pejuang. Bukankah Seram Barat sekarang dikuasai penuh oleh rakyat yang dipimpin oleh Patih Kris dari Piru, para kapitan Hatiroya, Elias Latupau dari Piru dan Kapitan Tapenussa dari Eti, yang dibantu oleh Ulupaha dan pasukannya dari Hitu ? Bukankah para kapitan ini telah membebaskan Luhu dan sekitarnya dari kekuasaan musuh ? 

Keyakinan keagamaan Thomas sangat mendalam. la pernah menjadi tuagama atau seorang petugas gereja di Haria. Dengan demikian hubungannya dengan para guru agama yang juga menjadi guru sekolah sangat rapat, seperti guru Strudiek dari Haria, Guru Kepala Sahetappy dari Saparua dan guru Risakotta dari Porto. Sekalipun Risakotta tidak menyukainya, tetapi Thomas tetap menghargai guru itu. Guru Sahetappy yang sudah lanjut usianya senantiasa mengkhotbahkan legalisasi perjuangan rakyat atas dasar Alkitab, Mazmur 17. Musyawarah-musyawarah selalu didahului dengan dia. Anggota-anggota pasukan diharuskan mengunjungi kebaktian setiap hari Minggu. Tuntutan yang diajukan kepada utusan Belanda untuk mengirim dua orang pendeta ke Saparua, menunjukkan betapa pimpinan perang menaruh kepercayaan besar pada seorang pendeta. Pendeta adalah orang yang diharapkan bisa mendengar hati nurani rakyat. Betapa besar Thomas menaruh perhatian pada perkembangan agama rakyatnya dan pendidikan agama bagi anak-anak, tercantum suratnya kepada raja-raja dan patih di Seram yang berbunyi :

Pertama : Kepada tuan-tuan sekalian, raja-raja patih dan orang kaya, diperintahkan agar sejauh mungkin diusahakan supaya semua orang Kristen, baik anggota maupun bukan anggota jema'at, laki-laki maupun perempuan, hidup dengan damai sebagaimana biasanya. Hendaklah tuan-tuan mengembangkan kepentingan agama orang-orang Kristen, sesuai dengan perintah Yang Maha Tinggi yang bersemayam di dalam surga. Hal itu harus dilakukan dengan jalan pergi ke gereja setiap hari Minggu dan mengunjungi kebaktian setiap pekan. Supaya jangan seorangpun lalai dalam menjalankan perintah Tuhan, agar iman kita diperteguhkan dan kita dihiburkan dalam peperangan ini, yang bertujuan untuk memperbaiki nasib dan tanah air kita.

Kedua : Hendaklah tuan-tuan berusaha supaya anak-anak disekolahkan. Semua ibu-bapak, seperti biasa, harus menyerahkan anak-anaknya kepada para guru untuk diajarkan sabda Allah sebagaimana patut dilaksanakan oleh orang-orang Kristen untuk kebahagiaan tanah air kita, sesuai kehendak suci dari Tuhan Allah.

Selanjutnya : Jika diantara tuan-tuan ada yang tidak melaksanakan perintah ini, maka ia akan diadili dan dihukum, ia akan dibunuh serta seisi rumahnya. Apabila tuan-tuan raja-patih mengeluh karena perbuatan seseorang, tidak perduli siapapun dia itu, yang menentang tuan-tuan dan tidak mau menuruti perintah, maka ia harus dihukum, sebagaimana dikatakan di atas. Lagipula tuan-tuan, para raja-patih dengan kepala-kepala Soa, jika tidak memerintah rakyat sebagaimana dikatakan diatas, sehingga rakyat mengajukan pengaduan, maka tuan-tuan akan dihukum dengan cara yang tidak ada taranya.

Haria, 29 September 1817
Panglima perang
ttd.
Thomas Matulessia



Dalam jangka waktu dua minggu Kapitan Thomas Matulessia menerima tigapuluh satu jawaban dari raja-raja dan patih di Seram yang membubuhi tanda tangan mereka sebagai tanda terima surat itu. 

Tanggung jawab terhadap kebahagiaan rakyatnya menggerakkan Thomas untuk mencari hubungan dengan suku bangsa lain di Nusantara. Hubungan surat-menyurat dan pengiriman perutusan diadakan pula dengan raja-raja Bali dan Lombok. Pada permulaan bulan Oktober datang raja Ondor ke Haria membawa mesiu. Ketika ia akan kembali, Pattimura menitipkan sepucuk surat kepada raja Bali. Dua orang borgor sebagai utusan rakyat yang berjuang, ikut serta untuk menghubungi raja-raja Bali. 

Begitulah Thomas Matulessia, Kapitan Pattimura, melaksanakan tanggungjawabnya terhadap rakyat dan tanah airnya.

5.2. Strategi dan Taktik Seorang Laksamana
Pimpinan pemerintahan Belanda ternyata tidak sanggup menghadapi rakyat. Perselisihan gubernur dengan komisaris justru makin meningkat. Para komandan militer dan marine tidak berhasil mendamaikan kedua pembesar itu. Terpaksa para komisaris jenderal di Batavia mengambil tindakan. Pimpinan pemerintahan harus diganti dengan seorang gubernur baru yang harus pula mempunyai kekuasaan penuh dan berwibawa atas angkatan bersenjata. Pembesar yang tepat pada waktu itu ialah Laksamana Muda Buyskes. Dia sudah pernah ke Maluku dalam tahun 1802 untuk menerima kembali pemerintahan dari Inggris. Jadi dia sudah mengenal keadaan di daerah ini. Pattimura, Ulupaha dan para kapitan akan berhadapan dengan seorang laksamana yang telah berpengalaman dalam peperangan Napoleon di Eropa, terutama dalam perang laut.

Tanggal 26 Juni 1918 Buyskes berangkat ke Surakarta melalui darat. Tanggal 27 Juli ia meninggalkan Surabaya menuju Ambon dengan kapal perang Prins Frederik, disertai oleh dua buah kapal pengangkut penuh dengan serdadu, mesiu, peluru, senjata dan lain-lain keperluan. Tentara yang dibawanya terdiri dari dua ratus lima puluh empat orang dibawah pimpinan Kapten Gezelschap dan duaratus limapuluh orang dipimpin oleh Mayor Meyer dan Vermeulen Krieger serta turut pula Pendeta Lenting. 

Tanggal 1 September Buyskes tiba di Ternate. Perjalanan ke Ternate mempunyai tujuan tertentu, yaitu membujuk sultan Ternate dan Tidore supaya membantu Belanda memerangi rakyat Ambon, Seram dan Lease. Buyskes menjalankan politik lama dari kompeni, divide et impera. Kedua sultan itu kena terbujuk dan berjanji untuk menyerahkan duapuluh buah kora-kora dengan prajurit dalam waktu yang singkat. Sebagai imbalan dan tanda terima kasih, Pemerintah Belanda menganugerahkan kepada kedua sultan itu masing-masing sebuah medali emas. 

Tetapi bagaimana sikap rakyat Tidore dan Ternate ? Mereka sudah tidak mau mati untuk kepentingan Belanda. Istri dan anak-anak tidak sudi lagi mengorbankan suami dan ayah mereka untuk kepentingan penjajah. Seorang Belanda pada waktu itu mencatat : 

".......Siapa saja yang kelihatan kuat untuk berperang ditangkap di jalan-jalan dan diambil dari rumah-rumah untuk mengisi kora-kora. Begitu hebat-hebat semangat perang orang-orang Ternate, hingga ada yang menangis-nangis seperti anak kecil, ada yang putus asa dan mencebur ke dalam laut atau lari bersembunyi di pegunungan".

Sebab itu kedua sultan tersebut memerintahkan supaya dikerahkan orang Alifuru dari berbagai pulau dalam kerajaan mereka untuk diberangkatkan ke Ambon. Sudah menjadi kewajiban dari tiap-tiap rumah tangga untuk menyerahkan seorang lakilaki guna kepentingan perang.

Tanggal 12 September armada Buyskes meninggalkan Ternate dan membawa serta residen Ternate, Neys. Delapanbelas hari kemudian, tanggal 30 September, Prins Frederik membuang sauh di Pelabuhan Ambon. Kedatangan laksamana itu disambut dengan gembira oleh masyarakat Belanda. Hanya pucuk pimpinan pemerintah dan para komandan militer serta marine yang gelisah. Mereka semua menunggu keputusan. Kolonel Sloterdijk, komandan kapal perang Nassau, yang juga mengepalai eskader Ambon, menunggu keputusan dalam keadaan bingung. Ia bertanggung jawab atas pengiriman ekspedisi Beetjes yang malam itu, tanpa dikawali oleh sebuah kapal perangpun. Akhirnya Sloterdijk memutuskan untuk berpisah saja dengan dunia fana ini. Dengan satu tembakan pistol ia mengakhiri hidupnya. Peristiwa ini menggegerkan kalangan pemerintah dan masyarakat Belanda. 

Buyskes segera mengadakan reorganisasi pemerintahan. Komisariat Maluku dibubarkan. Gubernur van Middelkoop dipecat dan diperintahkan berangkat ke Batavia pada kesempatan pertama. Komisaris Engelhard ditugaskan untuk mengadakan inspeksi umum terhadap keadaan di Keresidenan Banda, karena di sana terdapat juga perselisihan antara orang-orang Belanda militer dan sipil. Tetapi Engelhard menolak dengan alasan sakit. Ia diperintahkan berangkat kembali ke Batavia dan menghadap pucuk pimpinan pemerintahan. Kekuasaan atas pemerintahan sipil dan militer diambil-alih oleh Buyskes. Untuk sementara Net's diangkat menjadi residen di Ambon dengan tugas memimpin seluruh administrasi penyelenggaraan semua urusan mengenai rakyat pribumi. Ternyata seluruh administrasi pemerintahan kacau. 

Keadaan perang yang bagaimana yang dihadapi Buyskes dalam bulan Oktober ini ? Pasukan Pattimura menguasai seluruh Pulau Saparua. Duurstede telah direbut kembali oleh Belanda, tetapi benteng itu dikepung rapat. Sulit dan berbahaya bagi setiap serdadu musuh yang keluar mengambil air dari perigi, yang berada hanya duapuluh lima langkah dari tangga-tangga benteng. Di Pulau Haruku semua negeri memerangi Belanda. Hanya Negeri Haruku dan Samet dikuasai oleh musuh. Nusalaut sepenuhnya dikuasai oleh para kapitan. Di Pulau Ambon, bagian barat Jazirah Hitu, negeri-negeri Wakasihu, Larike, Asilulu, Seit, Lima, Lebelehu, Uring dan Hatiwe, berada dalam keadaan perang dibawah pimpinan Kapitan Ulupaha. Bagian timur Hulu dikuasai oleh Belanda. Negeri-negeri di Leitimor dikuasai oleh Belanda dengan mempergunakan kaum borgor, yang banyak terdapat di Kota Ambon dan negeri-negeri. Seram Barat dan Selatan tetap bergolak dan dikuasai rakyat. Dari sini mengalir pasukan-pasukan untuk membantu rakyat di Hitu, Haruku dan Saparua. 

Buyskes menyusun rencana dan siasat militer. Laksamana muda itu menggariskan kepada para opsir dalam stafnya beberapa tindakan reorganisasi angktan bersenjata dan prinsip penyerangan. Pertama, dibentuk tiga detasemen, masing-masing terdiri dari empat puluh enam orang marinir dan ditempatkan di tiga buah kapal yaitu Evertsen, Nassau dan Prins Frederik. Detasemen itu disebut menurut nama kapal perang dimana mereka ditempatkan dan diperkuat oleh satu kesatuan angkatan darat. Kedua, para komandan yang akan memimpin berbagai ekspedisi diberi keterangan dan instruksi yang jelas. Ketiga, siasat pengepungan, yaitu serangan serentak dari berbagai jurusan akan dilakukan, sehingga pasukan rakyat tidak bisa menduga dimana akan terjadi pendaratan dan dari arah mana datangnya serangan utama.

Pada tanggal 11 Oktober rakyat yang berdiam di sekitar Teluk Ambon menyaksikan suatu pawai kora-kora. Delapanbelas buah memasuki teluk. Kora-kora itu dipersenjatai dengan meriam-meriam kecil dan membawa Alifuru Tidore dan Ternate. Pasukan Ternate dipimpin oleh Pangeran Tusan dan pasukan Tidore oleh Kimelaha Dukimi. Jumlah mereka sekitar seribu limaratus orang. Dalam hari-hari berikutnya menyusul kora-kora lainnya, sehingga menjadi empatpuluh buah. Dengan bantuan beberapa ribu Alifuru Ternate dan Tidore ini, berhasillah Buyskes menjalankan politik memecah-belahnya. Buyskes mengorganisasi angkatan lautnya. Pada waktu itu kapal perang Maria Reygersbergen berada di Saparua. Iris dan The Dispatch sedang berpatroli di perairan Lease. Di Ambon ada Evertsen, Nassau dan Anna Maria. Armada itu diperkuat dengan kedatangan Prins Frederik. Swallow dibeli dari Inggris dan diganti namanya menjadi Zwaluw. Kemudian datang pula Venus. Disamping itu tersedia empatpuluh kora-kora, sejumlah kapal angkutan dan barkas. Kekuatan militer inilah yang akan dihadapi oleh Kapitan Pattimura dan Kapitan Ulupaha. 

Kini Buyskes siap untuk melaksanakan strategi dan taktik perangnya. Sesudah mempelajari keadaan, direncanakannya tindakan pertama, yaitu menaklukkan Jazirah Hitu, kemudian Haruku, lalu memutuskan hubungan antara Nusalaut dan Saparua untuk kemudian menaklukan kedua pulau itu. Giliran terakhir ialah penaklukan Seram. 

5.3. Pertarungan di Jazirah Hitu
Beberapa hari sebelum rakyat di pesisir Teluk Ambon menyaksikan pawai kora-kora, rakyat di jazirah Hitu telah mengamati-amati dengan saksama gerakan armada kora-kora itu tatkala menyusur pesisir Utara Hitu. Ulupaha dan para kapitan menyangka bahwa ada bala bantuan yang datang dari Seram atau dari Utara. Tetapi sesudah mengetahui bahwa armada itu adalah armada Ternate dan Tidore yang berbendera Belanda, maka sadarlah mereka bahwa kedua sultan di Utara itu telah dibeli oleh musuh. Karena arombai yang tersedia tidak seimbang untuk mencegat kora-kora yang dipersenjatai itu, maka Ulupaha dan para kapitan tidak dapat mengambil risiko untuk menyerang armada itu. Kabar kedatangan armada itu segera disiarkan ke seluruh Pulau Ambon, Seram dan Haruku, Dari Haruku dan Seram berita itu disampaikan ke markas besar Pattimura.

Ulupaha mengambil tindakan. Pasukan dikerahkan dan dipusatkan di markas di Negeri Lima. Larike akan diserang, kemudian baru Hila. Untuk mengembalikan keamanan di Jazirah Hitu, Buyskes mengeluarkan suatu seruan pada tanggal 10 Oktober yang ditujukan kepada rakyat di Jazirah Hitu supaya menyerah. Mereka yang menyerah akan diampuni. Seruan itu sia-sia saja, rakyat tidak sudi tunduk lagi pada Belanda. Bersiap-siap pasukan Ulupaha untuk menyerang Larike. 

Tanggal 13 Oktober Buyskes menjelaskan rencana penyerangannya kepada Overste Krayenhoff. Mayor Meyer akan memegang komando atas seratus duapuluh orang marinir Eropa, tigapuluh orang infantri Eropa dan duapuluh orang infantri bumiputra. Setiap alat pengangkutan laut dan setiap serdadu dibagi dalam tiga divisi, diberi nama Divisi Evertsen, Divisi Prins Frederik dan Divisi Nassau. Pada setiap divisi ditambah satu kora-kora dengan pasukan Alifuru Tidore. Tujuan serangan ialah Larike. Di sana Mayor Meyer dan komandan benteng, Coenraad Keller, akan berusaha mengajak rakyat untuk bekerja sama dan menyerang Lima, karena diperkirakan markas pertahanan rakyat berada di negeri Lima atau Lebelehu. Serangan terhadap Lima akan dimulai oleh kora-kora Tidore. Dari selatan Letnan Hofman akan menyerang dari Laha bersama seratus orang Alifuru Tidore dan Ternate dan duabelas serdadu bumiputra. Tiga buah kora-kora Ternate dan sebuah arombai akan menuju ke Laha. Di situ rakyat akan dibujuk untuk menunjukkan jalan ke Lima memotong hutan dan pegunungan. 

Selama itu kora-kora dan arombai tetap menunggu di Laha. Satu divisi akan masuk labuan Uring, tetapi tetap berada di kapal atau sekoci. Komandan di Hila dengan residen dan pasukannya akan menyerang Seit dari timur, sedangkan pasukan Meyer melalui Asilulu, Uring dan Lima akan menyerang dari Barat. Selama serangan itu kapal pengangkut Lasem akan bersiap-siap di Labuan Hila. Letnan Knops dan detasemennya dari Mamala akan menduduki jembatan dan simpang Jalan Mamala-Hitulama-Rumahtiga. Letnan Teunissen dari Hitulama bergerak ke Hila dan akan bertempur di bawah pimpinan Letnan de Bree. Jika pasukan rakyat dipukul mundur ke hutan-hutan, maka serdadu Eropa tidak boleh mengejar mereka. Tugas itu diserahkan kepada Alifuru Ternate dan Tidore. Jika operasi berhasil segera semua sekoci dan serdadu Eropa kembali ke Ambon, kora-kora dan arombai tetap berlayar berjaga-jaga dari pesisir Hila sampai ke Larike dengan pimpinan Letnan Gerards. Pasukan Alifuru Ternate harus kembali ke Laha lalu menuju ke Ambon. Sesudah beberapa hari di Hila, Mayor Meyer dan Gerards dengan menggunakan satu sekoci dari Prins Frederik dan kapal pengangkut Lasem kembali ke Ambon, karena akan segera diberangkatkan ke Saparua. Demikian rapihnya diatur siasat operasi oleh seorang laksamana yang berpengalaman. Para kapitan berhadapan dengan seorang ahli perang, yang mempergunakan pasukan, kapal, sekoci dan kora-kora dalam jumlah yang begitu besar. 

Keesokan harinya Buyskes mengadakan inspeksi pasukan. Tanggal 15 Oktober pasukan diangkut ke Hitu Barat dan Baratdaya dengan lima sekoci yang dipersenjatai dengan meriam-meriam kecil, dua arombai perang, enam arombai pengangkut, sebuah kapal dagang kecil yang membawa Meyer dan tiga buah kora-kora Tidore di bawah pimpinan Kimelaha Dukimi. Pasukan Alifuru memakai ban putih di lengan kiri sebagai tanda pengenal. 

Sementara Buyskes sibuk mengatur siasat operasinya. Kapitan Ulupaha mengerahkan pasukannya menyerang Larike. Negeri itu dipertahankan oleh empatpuluh orang pasukan infantri. Pasukan rakyat memukul mereka, sehingga mereka menarik diri ke benteng. Rakyat mengepung musuh. Musuh kehabisan peluru, hampir kehabisan makanan, panas melemahkan mereka, nasi dimasak dengan air laut karena kehabisan garam. Tanggal 15 siang serangan umum dilancarkan rakyat dengan tembakan seru. Panah api melayang ke dalam benteng untuk membakar isinya. Tetapi maut belum mau merenggut nyawa musuh. Pada puncak krisis Meyer tiba dengan pasukannya. Pertempuran sengit terjadi. Tembakan meriam dari sekoci-sekoci melemahkan serangan dan pertahanan rakyat. Akhirnya pasukan rakyat mengundurkan diri ke hutan-hutan. Bersama ekspedisi itu datang pula orang kaya Uring dan orang kaya Asilulu, yang pada permulaan perang melarikan diri ke Ambon. Mereka ditugaskan oleh Buyskes untuk berusaha mengajak rakyat menyerah. Pengumuman itu mereka sebarkan. 

Sementara itu rencana serangan umum seperti direncanakan oleh Buyskes, dijalankan. Pagi-pagi tanggal 16 Oktober Meyer dan pasukannya bergerak dari Larike ke Seit. Ditengah jalan mereka bertemu dengan sejumlah laki-laki yang berjubah putih dan membawa bendera putih. Mereka datang menyerah. Kepada Meyer mereka beritahukan bahwa tadi malam Ulupaha dengan seribu tigaratus orang bergerak ke Lima. Keesokan harinya pasukan Meyer dan pasukan Ulupaha berhadapan di Lima. Pertempuran sengit terjadi di Lima dan di Seit. Dari segala penjuru pasukan rakyat diserang. Ulupaha digotong dengan tandu, didampingi oleh putranya. Kapitan Katahala, memimpin pasukannya. Tetapi lama-kelamaan pasukan itu tidak bisa bertahan, karena diserang dari semua jurusan dari laut, dari darat, dari barat dan timur dan dari pegunungan. Akhirnya pasukan Ulupaha mundur ke hutan-hutan, dikejar oleh pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore. Disini terjadi adu kekuatan dan kecerdikan dari pohon ke pohon, dari semak ke semak sampai gelap menutup pemandangan. Beberapa korban yang jatuh tidak dapat dikatakan. 

Keesokan harinya, tanggal 17 Oktober, ekspedisi Hila berakhir. Dua hari kemudian ekspedisi kembali ke Ambon tanpa Ulupaha. Kapitan tua itu dengan Kapitan Katahala, disertai pasukan rakyat dan Alifuru dari Seram, berhasil meloloskan diri ke Seram Barat. Disini mereka melanjutkan peperangan melawan penjajah. Ketika ekspedisi Belanda kembali, pasukan Ulupaha menyeberang dari Seram dan menyerang Benteng Larike. Pertempuran terjadi lagi. Tetapi mereka dipukul mundur lalu menyingkir ke Luhu. Tujuh orang tertangkap. Mereka gugur sebagai pahlawan, mereka ditembak mati oleh pasukan Belanda. Dari Luhu Ulupaha dikirim berita ke Haria memberitahukan kepada Pattimura dan stafnya tentang situasi di Jazirah Hitu. 

5.4. Api Peperangan Membakar Haruku
Jatuhnya Hitu mendorong Pattimura dan para kapitan di Haruku untuk mencoba lagi merebut Benteng Zeelandia. Melalui Haruku, para pengintai di Ambon, menyampaikan kabar kepada markas di Haria tentang kegiatan angkatan laut yang luar biasa di Teluk Ambon. Adanya beberapa puluh kora-kora penuh dengan Alifuru Ternate dan Tidore, menyadarkan pemimpin-pemimpin rakyat, bahwa mereka tidak saja menghadapi Belanda tetapi juga bangsanya sendiri. Betapa ironis perkembangan sejarah rakyat cengkih dan pala. Sementara rakyat Seram, Ambon dan Lease mempertaruhkan jiwa raganya untuk memerdekakan diri dari cengkraman penjajah, beberapa ribu Alifuru Ternate dan Tidore diperalat oleh Belanda untuk mengembalikan rakyat ke bawah telapak kaki penjajah. Usaha itu hal itu terjadi dengan rakyat Hitu. Apa boleh buat. Tekad rakyat Lease dan Seram telah dibulatkan. Perjuangan harus diteruskan.

Pattimura menyeberang ke Haruku. Siasat diatur. Benteng Zeelandia harus dikepung lagi. Keadaan perang, yang agak mereda dalam beberapa minggu terakhir, mulai panas lagi. Kubu-kubu di Pelau diperkuat. Hulaliu menjadi basis terakhir dalam pertahanan Pulau Haruku. Berpuluh-puluh pasukan mengalir lagi dari Seram. Bantuan senjata dan mesiu tiba dari Bali dibawa oleh pelaut-pelaut Seram Timur pada tanggal 2, 3, dan 13 Oktober. Sebagian besar disalurkan kepada Kapitan Selano di Haruku. Setelah Hitu, Haruku pasti mendapat giliran. Perhitungan Pattimura tidak meleset. Komandan pertempuran, Kapitan Selano, segera mengerahkan pasukannya menyerbu Negeri Haruku. Serangan merebut benteng tidak berhasil. Tetapi sampai tanggal 30 Oktober Benteng Zeelandia dikepung rapat. Jatuhnya Hitu menimbulkan kegembiraan besar di kalangan masyarakat Belanda. Sudah beberapa bulan lamanya mereka kehilangan kepercayaan pada gubernur dan para komandannya. Kemenangan Buyskes mereka disambut dengan berduyun-duyun memasuki tentara secara sukarela. Tigaratus sukarelawan, termasuk kaum borgor Ambon dipersenjatai. Mereka disebarkan dalam ketiga divisi yang telah dibentuk sebelum Hitu diserang. 

Sementara itu Buyskes mempelajari laporan-laporan yang mencemaskan dari Haruku. Segera disiapkan tigaratus orang tentara Eropa dan delapanpuluh orang sukarelawan, dengan pimpinan Letnan Meynerd. Beberapa ribu tentara Alifuru Ternate dan Tidore dengan duapuluh lima kora-kora, di bawah pimpinan kapitan mereka, ditaruh di bawah komando tiga orang Belanda "liplap" (=indo), yaitu Letnan Landouw, Shutz dan Pietersen. Tigapuluh lima orang yang berasal dari kapal perang Frederik bertugas di barkas dan sekoci yang dipersenjatai dengan dua pucuk meriam kecil. Mereka mengangkut mesiu, peluru dan bahan makanan untuk delapan hari. Letnan 't Hooft, seorang marinir yang luput dari kehancuran di Waisisil, mengepalai pasukan itu. Ekspedisi itu dibagi dalam tiga divisi yang sudah ada. Sebagai komandan ekspedisi diangkat Mayor Meyer dan wakil komandan Kapten Vermeulen Krieger. 

Tanggal 30 Oktober ekspedisi Meyer menyeberang dari Paso ke Haruku. Buyskes dan Pendeta Lenting turut serta. Pada saat itu Belanda di Benteng Zeelandia mengalami saat-saat yang kritis, karena sedang dikepung rapat dan diserang oleh pasukan rakyat. Kedatangan ekspedisi membebaskan benteng itu dari kepungan. Di Haruku telah menunggu Overste Groot yang tiba pukul sepuluh pagi. Sehari sebelumnya orang kaya Batumerah dan seorang serdadu Belanda tiba di Saparua dan menyampaikan perintah Buyskes supaya Groot datang ke Haruku agar turut dalam perundingan mengatur siasat serangan terhadap Haruku, Saparua dan Nusalaut. Segera Buyskes dan para komandan mengatur siasat penyerangan. Tanggal 2 Nopember, pada waktu fajar merekah, Meyer akan berangkat dengan armadanya ke Kailolo. Kubu-kubu pertahanan rakyat di situ harus dihancurkan. la akan disertai raja Pelau, yang dahulu diusir oleh rakyatnya karena memihak Belanda dan ditahan oleh gubernur di Ambon. Raja ini ditugaskan untuk mempengaruhi rakyatnya supaya tunduk pada Belanda. Gerakan ke Pelau akan diperkuat dengan dua arombai yang dipersenjatai dengan dua pucuk meriam kecil. Sesudah Pelau diduduki akan ditempatkan di situ satu divisi, dua arombai perang dan empat orang arteleris. Negeri tidak boleh dibakar. Kemudian Negeri Hutasuwa yang berdekatan dengan Pelau harus direbut dan dihancurkan. Pasukan di Pelau akan bergabung dengan divisi keempat yang dipimpin oleh Hofman. Overste Krayenhoff telah diinstruksikan supaya mengirim divisi itu ke Pelau. Dari situ pasukan itu harus segera berangkat ke Saparua. 

Kapitan Lukas Selano dan Pattisaba, yang sedang mengepung Benteng Zeelandia pada tanggal 30 Oktober melihat armada yang besar itu menuju ke Haruku. Menjelang tengah hari musuh mendekati benteng. Pada saat itulah meriam di benteng dan dari laut memuntahkan peluru-peluru mautnya. Begitu hebat tembakan-tembakan itu sehingga kubu-kubu kepungan hancur dan Kapitan Selano terpaksa memerintahkan pasukannya agar mundur. Pada malam hari pasukan itu menarik diri ke Kailolo dan Pelau. 

Tanggal 2 Nopember 1817. Pagi itu cuaca sangat cerah, laut tenang dan licin. Maklumlah, bulan Oktober dan Nopember adalah bulan-bulan yang tenang. Lautan di Maluku licin seperti minyak, kata orang. Pasukan yang berjaga-jaga di pantai melihat armada musuh bergerak menuju ke labuan Kailolo. Sesudah armada tiba di depan negeri, Meyer memerintahkan untuk mendarat. Dua divisi dan sebagian pasukan Alifuru didaratkan. Ketika mereka menginjak pantai, meletuslah bedil-bedil. Darah memerahi laut dan pasukan musuh berjatuhan di pantai. Meriam-meriam memuntahkan pelurunya, menghambur maut di tengah pasukan rakyat. Pertempuran berlangsung dari pantai ke pantai, dari semak ke semak, dari hutan ke hutan. Kolam-kolam yang berborang menelan musuh yang terperosok ke dalamnya. Serangan musuh terlalu kuat untuk ditahan. Pasukan Selano dan Pattisaba mundur ke hutan. Habislah Kailolo dirampok dan rumah-rumah rakyat dibakar. Dalam waktu singkat Kailolo rata dengan tanah. Pasukan yang mundur itu bergerak menuju ke Pelau untuk memperkuat pertahanan negeri itu. 

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, tiga kesatuan musuh bergerak ke Pelau melalui laut dan dua kesatuan melalui darat. Menjelang tengah hari kapal perang Iris dan The Dispatch memasuki labuan Pelau lalu mulai menghujani kubu-kubu pertahanan rakyat dengan gencar. Arombai dan perahu-perahu hancur oleh tembakan-tembakan itu. Menjelang pukul satu siang kesatuan darat mendekati Pelau, sementara armada dan pasukannya memasuki labuan. Kapal-kapal perang mulai lagi memuntahkan peluru mautnya ke pantai. Pasukan Meyer kemudian mulai mendarat di tiga tempat. Sementara itu pasukan darat mulai menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat. Pasukan Alifuru diperintahkan menyusup ke hutan-hutan dan mengepung Negeri Pelau. Terjadi pertarungan hebat antara pasukan Alifuru dari Seram melawan Alifuru dari Ternate dan Tidore. Korban dari kedua belah pihak berguguran. Sementara itu kapitan-kapitan menangkis serangan serdadu-serdadu Belanda. Terjadi pula pertempuran sengit. Begitu kuat tekanan musuh dari laut maupun dari darat hingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan. 

Rakyat mulai digiring ke pantai, tiga ratus orang tertangkap. Di antaranya banyak pejuang yang tidak sempat lolos dari kepungan musuh. Laki-laki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Mereka diikat dan ditawan di mesjid dan di rumah-rumah. Atas perintah Buyskes, duapuluh empat orang, antara lain beberapa kapitan dan pemimpin rakyat, beberapa orang guru dan imam serta putra raja Pelau, digiring ke pantai lalu ditembak mati, atas komando Meyer. Kejadian itu terjadi di depan mata raja Pelau. 

Awan gelap meliputi rakyat. Ratap tangis terdengar di mana-mana. Belum lagi mereka sadari benar-benar apa yang telah menimpa mereka, terjadilah perampokan harta milik mereka. Perampokan selama duapuluh empat jam yang diizinkan oleh pimpinan perang Belanda sebagai hukuman terhadap rakyat dan untuk memuaskan nafsu rampok dari tentara musuh. Untung rumah-rumah tidak dibakar. 

Benteng Hoorn diperbaiki. Tiga kesatuan di bawah pimpinan Letnan Artileri Richemont, mendudukinya sampai divisi empat sebesar seratus orang tiba di bawah pimpinan Hofman untuk mempertahankan benteng itu, dan dibawa serta dua pucuk meriam. Sesudah mengatur operasi selanjutnya Buyskes kembali ke Ambon. 

Tanggal 5 Nopember Meyer menyerang Hatusuwa yang cukup kuat pertahanannya. Pasukan rakyat dipukul mundur dan menarik diri ke Hulaliu. Meyer dan pasukannya terus bergerak dari laut ke kubu pertahanan yang terakhir. Kubu itu dipertahankan oleh Kapitan Sahureka Bakarbessy dan Suwarapatty Tuanoya. Di sebelah barat negeri itu musuh mendarat, serangan ke negeri itu dibantu dari laut dengan hantaman tembakan meriam. Musuh yang begitu besar jumlahnya menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat habis-habisan. Banyak yang mati terperosok ke dalam lubang-lubang. Karena tidak berhasil bertahan maka pimpinan pertahanan memerintahkan pasukannya menarik diri ke hutan dan gunung. Meyer memerintahkan pasukan Alifuru Ternate dan Tidore mengejar mereka. Disini pasukan rakyat telah menyiapkan perangkap. Sepanjang hutan diikat kentongan bambu pada rotan-rotan atau tali yang ditarik ke pos penjagaan. Kedatangan musuh segera diketahui dari arah mana tali rotan itu disentuh. Kemudian serangan tiba-tiba menewaskan pasukan Alifuru itu. Di jalan-jalan setapak dipasang jerat, yang kalau diinjak menjerat musuh lalu menariknya ke udara, sehingga tergantung di pohon dan mudah menjadi mangsa panah atau tembakan. Juga dipasang jerat bambu, yang dilengkungkan melintang di jalan dan ditutup dengan rumput. Jika diinjak bambu itu akan memukul regu musuh yang lewat dan pada saat itu musuh diserbu. Pertempuran yang sengit di hutan-hutan berlangsung beberapa hari. Tetapi Negeri Hulaliu menjadi lautan api, dibakar oleh musuh. Demikian pula arombai dan perahu-perahu menjadi abu di sulut api. 

Para kapitan di Aboru dan Wasuu menyusun pasukannya berjaga-jaga di sebelah barat setelah mundur pada tanggal 30 Oktober dari pengepungan Benteng Zeelandia. Mereka memperhitungkan bahwa serangan akan datang dari laut dan dari daerah barat. Berita tentang jatuhnya Kailolo dan Pelau telah sampai pula di kedua negeri itu. Pada malam tanggal 5 Nopember datang berita dari utara tentang jatuhnya Hatusuwa dan Hulaliu. Dalam waktu singkat tentu negeri mereka akan diserang. Rakyat telah diungsikan ke hutan dan gunung. Keesokan harinya tiba-tiba saja, secara tidak diduga-duga, mereka diserang dari gunung. Musuh datang dari utara. Serangan limaratus alifuru Ternate yang dikirim oleh Meyer memotong jalan menembus hutan dan gunung mengagetkan para kapitan. Empat buah barkas dan sekoci tidak bisa mendaratkan pasukan karena dihalangi ombak. Terlambat pasukan-pasukan ditarik dari barat. Serangan yang dilancarkan tidak berhasil menahan pasukan alifuru Ternate. Aboru dan Wassu direbut, kemudian semua bangunan dibakar. Tidak luput arombai dan perahu-perahu. Api menjulang tinggi ke udara hingga terlihat di Saparua dan Haria. 

Semua negeri di Pulau Haruku jatuh ke tangan musuh. Semua isi negeri kecuali Pelau dibakar. Rakyat berlindung di hutan-hutan di bawah kolong langit. Pohon-pohon yang rendah menjadi payung pada siang hari dan tempat berbaring di bawahnya pada malam hari. Pasukan rakyat yang ada di hutan dan di gunung setiap kali bergerak ke pesisir, mengadakan serangan tiba-tiba, mengacaukan musuh, kemudian menghilang lagi. Kapitan Pattimura dan stafnya cemas ketika menerima berita tentang jatuhnya Kailolo dan Pelau. Panas hati mereka, kutukan dan maki-makian dilontarkan kepada musuh, ketika pembawa berita menceritakan penembakan mati pahlawan-pahlawan di Pantai Pelau. 

Hari Minggu, tanggal 5 Nopember, dalam suatu kebaktian penuh prihatin seluruh jemaat Haria dan Porto menaikkan doa ke hadapan Allah Yang Mahakasih agar rakyat Haruku dilindungi dan agar dikaruniakan keselamatan bagi jiwa mereka yang tewas dan dihukum mati. Sehabis kebaktian Pattimura memerintahkan supaya pasukan di Haria dan Porto bersiap-siap, karena ada berita bahwa gerakan armada besar telah menuju ke bagian timur Haruku. Melalui teropongnya, di pantai Pattimura dapat mengikuti gerakan armada itu sampai pada pertempuran di Hulaliu dan terbakarnya negeri itu. Dentuman-dentuman meriam mengejutkan rakyat. Pattimura mengeluarkan perintah supaya wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit, menyingkir ke gunung. Hari itu rakyat sibuk mengumpulkan harta miliknya dan berbondong-bondong meninggalkan negeri. 

Keesokan harinya Hulaliu masih tampak terbakar dan pada siang hari tampak api menjulang dari balik gunung di selatan Hulaliu. Aboru dan Wassu sedang terbakar. Pikiran Pattimura melayang- layang ke Haruku, mengenang para pejuang yang telah tewas dan yang masih bertahan di hutan dan di gunung. Betapa hebat perjuangan mereka melawan musuh yang begitu besar kekuatannya di laut dan di darat. la mengenang rakyat yang menderita karena kehilangan suami, anak, kakak atau adik, rumah yang dibakar, harta milik yang dirampok. Mereka berkorban demi kebebasan dari rantai penjajahan. Pada hari itu juga kurir dikirim ke Saparua dan Tiouw, ke Hatawano dan Jazirah Tenggara untuk memberitahu kepada para kapitan tentang keadaan di Pulau Haruku. 

5.5. Saparua Kubu Terakhir

Apa yang terjadi di Saparua dalam minggu terakhir bulan Oktober setelah Buyskes melancarkan siasatnya ? Kapitan Pattimura dan stafnya sangat sibuk menjadikan Saparua sebagai suatu kubu pertahanan yang lebih kuat dari yang sudah-sudah. Di Tiouw dibuat benteng pertahanan yang terkuat untuk mengimbangi Duurstede. Tembok-tembok benteng itu dibuat dari batu karang yang besar-besar ; tebalnya antara duabelas sampai empatbelas kaki dan limabelas kaki tingginya. Di dalam benteng itu diperkuat dengan balok-balok. Antara kedua tembok dibuat pula tembok melintang untuk menahan musuh sambil mundur. Di bagian luar dibuat lubang-lubang yang diberi borang. Tanah disekitar benteng ditaburi sengat. Begitu kuat benteng itu sehingga tidak bisa ditembus oleh peluru meriam tigapuluh pon.

Dari Tiouw dan Saparua, Pattimura dan stafnya bergerak ke Jazirah Hatawano dan Jazirah Tenggara. Dari Siri-Sori sampai ke Ouw dibangun kubu-kubu dan lubang-lubang dalam digali sepanjang pantai, menyusur hutan yang diperkirakan akan dilalui musuh. Anthone Rhebok menyeberang ke Nusalaut dan memerintahkan raja-raja dan sebagian para kapitan dengan pasukannya supaya berangkat ke Saparua untuk memperkuat pertahanan di sana, terutama di Jazirah Tenggara. 

Tentara Belanda tidak bisa bergerak ke pedalaman, karena kekuatan mereka masih terlalu kecil dan lemah. Pimpinan Duurstede juga mengalami perubahan. Kapten Lisnet diangkat menjadi komandan dan Laksamana Muda Buyskes mengirim bala bantuan ke Saparua. Tanggal 23 Oktober kapal perang Eversten di bawah komando Overste Verheull tiba di Saparua membawa limapuluh orang sukarelawan Ambon, seorang sersan mayor, dua orang sersan, empat kopral dan empatpuluh tiga prajurit. Bantuan senjata yang dibawa berupa dua meriam lapangan dan sebuah meriam kecil. Tambahan kekuatan itu menggiatkan pasukan Belanda kembali. Tanggal 24 Oktober Reygersbergen menghantam pantai untuk melindungi sekoci-sekoci yang menurunkan tentara dan senjata. Tembakan gencar dilepaskan oleh pasukan rakyat. Pada saat itu Kapitan Latumahina dengan pasukannya sedang mengepung rapat Benteng Duurstede. Setiap kepala yang muncul dari balik tembok pasti terguling kena tembakan. Sekalipun pasukannya terus-menerus ditembaki oleh Reygersbergen dan Eversten, tetapi anak buah Latumahina makin berani mendekati benteng dalam jumlah yang besar. Boelen mengerahkan pasukannya untuk membersihkan daerah sekitar benteng, tetapi tembakan gencar dari kubu-kubu pertahanan rakyat mendesak pasukannya terbirit-birit lari masuk ke benteng. Kubu-kubu dipindahkan makin mendekati benteng dan karena dibuat dari batu karang yang besar-besar sulit ditembus peluru meriam. Tembakan Eversten kepada pasukan di Tiouw yang sedang memperkuat kubu-kubu, tidak membawa hasil apa-apa sehingga Verheull memerintahkan supaya tembakan dihentikan. 

Overste Groot yang turut dalam perundingan di Haruku pada tanggal 30 Oktober, kembali lagi pada tanggal 2 Nopember dengan korvet Zwalyw. Pada hari itu seorang pelayan dari Salomon Pattiwael secara diam-diam berhasil naik ke kapal Evertsen. Kepada Verheull ia beritahukan bahwa anak laki- laki van den Berg masih hidup dan dipelihara dengan baik-baik di gunung. Itulah pertama kali kabar tentang anak ini terdengar oleh pihak Belanda. 

Tanggal 5 Nopember kapal perang Nassau memasuki Teluk Saparua dengan membawa tujuh puluh empat pucuk meriam, disertai beberapa kora-kora Ternate dan Tidore. Dari darat kelihatan kegiatan yang luar biasa. Satu divisi marinir, dengan pimpinan Letnan 't Hooft, diturunkan dari Eversten untuk memperkuat Benteng Duurstede. Sementara itu senjata dan meriam yang baru saja tiba dari Ambon, dipindahkan ke Reygersbergen. Juga meriam kecil di Evertsen dipindahkan ke kapal perang itu. 

Apakah rencana Belanda ? Reygersbergen di bawah pimpinan Overste Groot bertolak ke barat menuju Haria dan Porto, dengan maksud mendaratkan pasukan di situ. Kemudian pasukan itu akan menerobos ke Tiouw dan Saparua. Pada saat yang sama pasukan dari Duurstede akan menyerang pertahanan rakyat, lalu menerobos pula ke Tiouw. Bersamaan dengan berangkatnya Reygersbergen, Zwaluw menuju ke Nusalaut, Iris ke Hatawano, Venus dikirim ke Kulor untuk memutuskan hubungan Saparua dengan Nusalaut dan Seram. Verheull ditetapkan sebagai komandan di Teluk Saparua. Eversten dan Nassau akan menembaki pertahanan rakyat sementara pasukan Belanda menerobos ke Tiouw.

Gerakan kapal-kapal ini dilaporkan Kapitan Anthone Rhebok kepada Pattimura yang pada waktu itu berada di Haria. Kapitan Pattimura tidak berdaya di laut. Di sini terletak kelemahan pertahanannya. Sekalipun keberanian pasukannya tidak pernah diragukan apa gerangan yang dapat diperbuat oleh perahu dan arombai terhadap kapal-kapal perang yang besar dan barkas yang dipersenjatai meriam. Sebagai seorang bekas sersan mayor ia tahu benar akan kekuatan meriam. Sebab itu ia mengirim kurir ke pantai untuk memperoleh laporan lebih lanjut mengenai gerakan kapal-kapal perang musuh. Pada saat ini Pattimura dan stafnya ragu-ragu. Di mana sebenarnya musuh akan mendaratkan pasukan utamanya ? Pulau Saparua telah dikepung. Tetapi dari mana akan datang induk pasukannya ? Mereka tidak tahu. Haruku telah jatuh. Bagaimana di Nusalaut ? Pertahanan Nusalaut tidak kuat lagi karena sebagian besar pasukannya sudah berada di Saparua dengan para kapitannya bersama raja-raja dan patih. Tanggal 6 Nopember Zwaluw tiba di depan Benteng Beverwijk. Dua orang raja yang dibawa dari Ambon, yaitu raja Tulehu dan raja Waai, turun ke darat. Dengan sekoci berbendera putih mereka menuju ke benteng. Di depan pasukan pengawal benteng dibaca pengumuman Buyskes yang menyerukan kepada rakyat supaya menyerah. Kedua orang raja itu membujuk pasukan yang ada disitu supaya menyerah, tetapi pasukan itu menolak. Mereka menyatakan agar menghubungi raja-raja mereka yang berada di Saparua. Utusan Belanda naik kembali ke kapal Zwaluw yang berlayar berpatroli lagi di pesisir. Pada suatu ketika guru Soselisa mengadakan kontak dengan musuh, dan atas nama rakyat, menyatakan bahwa mereka menyerah kepada Belanda. Dengan demikian Benteng Beverwijk jatuh ke tangan musuh tanpa perlawanan pada tanggal 10 Oktober. Peristiwa ini tidak diketahui oleh Pattimura. 

Sementara itu pada tanggal 7 Nopember tengah hari, Reygersbergen kelihatan memasuki Teluk Haria. dan Porto. Pattimura telah siap dengan pasukan dan armadanya. Begitu sekoci-sekoci diturunkan meletuslah bedil menghujani sekoci-sekoci itu. Reygersbergen membalas dengan tembakan meriam yang gencar. Tetapi ternyata tidak ada pendaratan pada petang hari itu. Pukul setengah delapan malam Reygersbergen menjatuhkan jangkarnya di depan negeri Porto. Pada saat yang sama delapan buah kora-kora Ternate dan Tidore membuang sauh di samping Reygersbergen. Kora-kora dengan pasukan itu dikirim oleh Meyer untuk membantu Groot. Mereka memberitahukan Groot dan anak buahnya tentang jatuhnya Pulau Haruku. Tanggal 8 Nopember, pukul empat pagi, alarm di Reygersbergen membangunkan pasukan di kapal dan di kora-kora. Sekoci-sekoci dan serdadu-serdadu lalu diturunkan. 

Semalam suntuk Pattimura dan para kapitan berada di tengah pasukan. Armada arombai Haria dan Porto telah siap. Begitu fajar merekah terlihat sekoci dan kora-kora dikayuhkan ke darat. Armada arombai menyambut mereka dengan tembakan yang seru. Terjadilah pertempuran sengit. Sejalan dengan itu udara sejuk pada pagi itu digetarkan oleh begitu banyak dentuman meriam. Armada arombai mulai mundur karena tidak tahan muntahan meriam-meriam itu. Ada pula yang hancur dan anak buahnya berusaha menyelamatkan diri dengan jalan berenang. Dari darat musuh dihujani peluru dan korban mulai berjatuhan. Sebaliknya Pattimura dan pasukannya diberondong habis-habisan oleh meriam besar dan meriam kecil. Lama-kelamaan tidak tertahan lagi tembakan-tembakan gencar itu. Pattimura memberi perintah agar pasukannya mundur dari daerah pantai. Dengan demikian musuh berhasil mendarat, tetapi kolam-kolam menelan banyak korban. Sesudah musuh menguasai keadaan, maka kolam-kolam dan kubu-kubu pertahanan dimusnahkan. Rumah-rumah, gereja dan baeleo menjadi lautan api, dibakar musuh. Jam sebelas pertempuran berhenti. Beberapa bagian Negeri Haria dan Porto jatuh ke tangan musuh. 

Tetapi begitu meriam-meriam berhenti pasukan rakyat menyerang lagi. Sepanjang hari masih terjadi tembak-menembak. Pada waktu dentuman meriam di Haria terdengar di Saparua, Verheull memerintahkan Nassau untuk melepaskan tembakan ke hutan dan gunung, sekedar siasat untuk mengalihkan perhatian pasukan rakyat saja. Ia sendiri turun ke darat menuju benteng. 

Kapitan Anthone Rhebok dan Latumahina menerima berita tentang pendaratan di Haria dan Porto itu. Segera beberapa puluh pasukan diperintahkan untuk berangkat memperkuat pasukan di sana. Tetapi baru saja mereka meninggalkan Tiouw, datang serangan dari pasukan Lisnet. Tergesa-gesa mereka diperintahkan kembali. Siasat musuh yang menyerang dari dua arah dibantu oleh tembakan meriam besar dan kecil, menyebabkan pasukan-pasukan tidak sempat saling membantu. Masing-masing terikat pada medan pertempurannya. Hanya para kurir yang bergerak cepat menyampaikan berita dan instruksi dari markas Pattimura. Demikian datang pula berita, dari Tiouw dan Saparua. Kurir dikirim ke Jazirah Tenggara dan Jazirah Hatawano untuk memberitahukan situasi perang di Haria-Porto dan Tiouw-Saparua. 

Pada malam hari Pattimura mengadakan rapat staf dengan para kapitan dari medan Haria-Porto dan Tiouw-Saparua untuk meninjau situasi dan mengatur siasat menghadapi hari-hari yang akan datang. Sudah terang musuh mengepung Saparua dan induk pasukannya menyerang Haria. Jika Haria, Porto dan Tiouw jatuh perjuangan harus diteruskan di Jazirah Tenggara di bawah pimpinan Said Perintah, Kapitan Lusikoy dan Kapitan Paulus Tiahahu yang memimpin pasukan Nusalaut. Semua pasukan harus mundur ke situ. Kapitan Aron harus tetap mempertahankan Hatawano. Tidak ada berita mengenai Kapitan Lukas Selano dan Kapitan Pattisaba. Para kurir ditugaskan berangkat pada malam itu juga ke semua medan untuk menyampaikan instruksi-instruksi itu. Tidak terduga oleh Pattimura dan kawan-kawannya bahwa rapat itu adalah rapat terakhir. Ketika perundingan sedang berlangsung terdengar tembakan Reygersbergen melepaskan tiga kali tembakan peluru api tanda bahwa Haria dan Porto telah direbut. Dari Saparua Eversten membalas dengan tiga kali tembakan yang sama. 

Pada tanggal 8 Nopember itu Meyer berangkat dari Hulaliu dengan duaratus orang ke Porto dan Haria. Ia diiringi oleh beberapa buah arombai perang dan dua buah sekoci, semuanya dipersenjatai dengan meriam kecil, anak buahnya terdiri atas serdadu Belanda dan bumiputra. Pukul setengah lima ia bertemu dengan Overste Groot di Reygersbergen. Atas perintah Buyskes seluruh ekspedisi di Saparua diletakkan di bawah komando Meyer. Lalu kedua opsir itu menentuan rencana serangan selanjutnya. 

Dua buah kora-kora Tidore dan Ternate dengan pimpinan O.Tusan dikirim ke Teluk Saparua, disertai Kadet Zoutman. Mereka membawa instruksi itu kepada Lisnet supaya besok tanggal 9 pukul setengah tujuh pagi menyerang kubu-kubu pertahanan rakyat. Kepada Verheull diinstruksikan supaya Evertsen dan Nassau melindungi tentara Lisnet dengan tembakan meriam. Di benteng harus ada satu kesatuan serdadu dengan para opsirnya untuk memberi perlindungan bila ada gerak mundur. Keesokan harinya Meyer akan mendarat dengan tigaratus orang di Haria merebut negeri itu lalu menerobos ke Tiouw untuk bersamaan dengan pasukan Lisnet menyerang benteng pertahanan rakyat. Saat itu Meyer masih menunggu divisi ketiganya yang belum tiba dari Pelau. Tetapi Groot bisa segera menyerahkan seratus orang marinir kepada Meyer. 

Malam hari tanggal 8 itu pula, Zoutman tiba di Saparua. Verheull segera turun ke benteng untuk berunding dengan Lisnet. Mereka memutuskan agar keesokan harinya, pagi-pagi benar, satu detasemen meriam akan dikirim ke Duurstede untuk menjaga benteng itu sementara Lisnet bergerak dengan kesatuannya. Pada malam itu juga, pasukan Pattimura menyusup ke Negeri Porto dan Haria. Ternyata musuh sudah menarik diri ke kapal dan tidak menduduki kedua negeri ini. Pertahanan diatur lagi untuk menghadapi hari esok. 

Pagi-pagi kira-kira pukul enam, Reygersbergen mulai melepaskan tembakan tanda pendaratan baru akan dimulai. Di bawah komando Meyer dengan stafnya, Vermeulen, Krieger dan Gezelschap, mendaratlah tentara Belanda yang terdiri atas kesatuan pendaratan dari Reygersbergen, korps sukarela Ambon, kesatuan artileri, satu detasemen kelasi dan marinir dipimpin Letnan 't Hooft dan Alifuru Ternate dan Tidore dengan kora-kora mereka. Begitu musuh menginjak pantai pasukan Pattimura menyerbu. Tembak-menembak dengan sengit terjadi. Dari kubu-kubu pertahanan yang masih utuh, yang tidak dimusnahkan sehari sebelumnya, Pattimura dan pasukannya bertahan mati-matian melawan musuh yang begitu banyak dan kuat persenjataannya. Meriam besar dan kecil didaratkan, dan akhirnya mematahkan perlawanan pasukan rakyat. Setapak demi setapak mereka mundur ke kubu-kubu garis belakang. 

Pada saat pendaratan, terdengar tembakan dari Duurstede, tanda bahwa Lisnet dengan tigaratus duabelas serdadu dan beratus-ratus alifuru, dengan dilindungi meriam, mulai bergerak menyerang kubu pertahanan rakyat. Pasukan Anthone Rhebok dan Latumahina bersorak-sorak menyambut serangan musuh. Jembatan ke Tiouw dibakar, sehingga meriam tidak bisa liwat dan harus dikirim kembali. Pasukan musuh terpaksa harus menyusur pantai menuju ke Tiouw, sementara Eversten dan Nassau menghantam kubu-kubu pertahanan rakyat. Korban kedua pihak berguguran. Gerakan mundur pasukan Pattimura membuka kesempatan bagi musuh untuk membakar habis apa yang belum dimakan api sehari sebelumnya. 

Overste Groot tetap berada di kapal dan memerintahkan supaya setiap sekoci, kora-kora dan arombai perang dijaga keras untuk menghindari kemungkinan terulangnya peristiwa Beetjes. Meyer memerintahkan supaya meriam-meriam besar dan kecil membuka jalan bagi serangan ke Tiouw dan usaha ini berhasil. 

Kubu-kubu pertahanan menjadi sasaran dan pasukan musuh mulai bergerak menuju Tiouw. Pertempuran sengit terjadi sepanjang jalan dan memakan banyak korban dari pihak musuh maupun pihak pasukan rakyat. Begitu hebat tembakan balasan dan serangan sergapan mendadak dari pasukan Pattimura, sehingga alifuru Ternate dan Tidore gentar maju dan hanya berlindung di semak-semak dan di balik pohon untuk menghadang pasukan rakyat yan muncul. Hanya karena tembakan meriam besar dan kecil yang begitu gencar, memaksakan Pattimura dan pasukannya makin mundur ke Tiouw dan pasukan Meyer makin mendekati tujuannya. 

Pada waktu yang telah ditentukan pasukan Lisnet dan Meyer tiba di depan benteng pertahanan Tiouw. Dari dua jurusan meriam besar dan kecil menghantam benteng itu. Pasukan Pattimura terkepung dari pantai dan dari darat ! Begitu dentuman meriam berhenti serangan serentak dilancarkan. Kapitan Pattimura dengan sebagian pasukannya berhasil menarik diri ke benteng pertahanan Tiouw. Segera ia mengambil pimpinan dalam benteng itu. Pertempuran detik-detik mendatang menentukan jalannya perang kemerdekaan rakyat Lease. Serangan musuh dibalas serentak dengan sorak-sorai dan letusan beratus bedil. Bekas anggota-anggota "Krops Lima Ratus" memperlihatkan keberaniannya dan ketangkasan luar biasa. Di beberapa tempat musuh dipukul mundur. Tetapi kembali mereka menyerbu. Meyer dan Vermeulen Krieger memimpin pasukannya menyerbu masuk ke benteng pertahanan Pattimura. Terjadi pertempuran sengit, muka berhadapan muka, kelewang-kelewang bergemerincing, sangkur melawan kelewang, letusan bedil merobohkan lawan. Korban berjatuhan di kedua belah pihak ; yang luka bercampuran dengan yang tewas. Tetapi selangkah demi selangkah pasukan rakyat terdesak dan mulai mundur. Sambil mundur mereka melepaskan tembakan-tembakan ; tetapi mereka dihujani peluru meriam besar dan kecil. Akhirnya musuh berhasil merebut benteng yang kuat itu. 

Kapitan Pattimura dan stafnya tercerai-berai dari anak buahnya. Sebagian mundur ke Siri-Sori, sebagian lagi ke gunung dan hutan Tiouw-Saparua, sebagian lain ke hutan Tiouw-Haria, ada pula ke Hatawano. Kapitan Pattimura mundur ke hutan Haria perbatasan dengan petuanan Booi, diikuti oleh beberapa anggota stafnya. Jalan mundur ke Siri-Sori telah terpotong ketika pertempuran masih berjalan. Di hutan Haria ia mengumpulkan lagi pasukan yang mundur kesitu, semuanya duaratus tigapuluh orang. Rakyat Negeri Haria banyak pula yang lari kesitu. Sekali lagi mereka bersumpah setia pada kapitan mereka. Dari ternpat itu Pattimura mengirim pasukan ke Haria untuk menahan rakyat yang sudah mulai masuk ke negeri dan mengancam mereka yang mencari hubungan dengan Overste Groot. 

Bagaimanapun keras hati dan keras kemauannya, Pattimura adalah manusia juga. Kekalahan di Haria-Porto dan Tiouw-Saparua merupakan pukulan besar baginya. Hatinya cemas karena para komandannya tercerai. Ke mana Anthone Rhebok dan Philip Latumahina ? Kemana para pembantunya yang terdekat ? Sudah tewaskah mereka ? Bagaimana keadaan di Jazirah Tenggara ? Tidak akan lagi ia mendengar keadaan sebenarnya karena peristiwa-peristiwa terjadi begitu cepat sehingga ia tidak sempat memperoleh berita dari medan-medan pertempuran. 

Suasana di Tiouw dan Saparua hiruk-pikuk sesudah pertempuran. Rumah-rumah menjadi lautan api dibakar musuh. Mayat mayat musuh dikumpulkan untuk ditanam. Yang luka-luka diangkut ke kapal. Anggota pasukan rakyat yang tertangkap diperintahkan menggali lubang untuk menguburkan kawan-kawan mereka. Pada siang hari divisi tiga tiba dari Haruku dengan pimpinan Letnan Richemont. Divisi sebesar seratus orang serdadu Belanda dan Jawa itu telah ditunggu-tunggu oleh Meyer. Semalam Overste Groot telah memberikan pada Meyer informasi yang ia peroleh dari mata- matanya, yaitu jika Tiouw direbut, pasukan rakyat akan mundur ke Siri-Sori. Oleh karena itu Meyer segera akan berunding dengan Verheull untuk mengatur siasat penyerangan Jazirah Tenggara. Meyer memerintahkan satu detasemen kembali ke Haria bersama dengan sepasukan Alifuru, Kurir Zoutman diperintahkan membawa Surat kepada Groot yang berisi berita tentang jatuhnya Tiouw dan Saparua dan instruksi supaya semua arombai, kora-kora, sekoci dan barkas dikirim ke Saparua. Letnan Jacobsen diperintahkan oleh Groot supaya memimpin armada kecil itu ke Saparua. Pukul sembilan malam ia tiba. Lalu Verheull menembakkan peluru api memberitahukan kepada Groot bahwa satuan armada telah tiba. Malam harinya Meyer dan stafnya mengatur siasat bersama Verheull. Tanggal 10 Nopember, pagi-pagi benar Meyer berangkat ke Siri-Sori dengan empat ratus orang serdadu. Berangkat pula divisi Eversten di bawah pimpinan Vermeulen Krieger dan 't Hooft, didahului oleh seratus limapuluh alifuru Ternate. Melalui jalan sempit penuh dengan kolam, sengat dan jerat pasukan itu, tiba jam sembilan di depan kubu pertahanan rakyat yang pertama di Siri-Sori. 

Kapitan Said Perintah dengan para kapitan Siri-Sori Sarani dan Siri-Sori Islam mendapat laporan tentang pertempuran di Tiouw dari pasukan yang mundur. Pagi itu mereka melihat satu armada kora-kora menyusur pantai, datang dari Saparua. Korakora itu membawa pasukan alifuru Ternate di bawah pimpinan O Tusan. Verheull mengirim semua kora-kora Ternate ke SiriSori, sementara Eversten berlayar mengawasi dari jauh. Segera mereka disambut oleh armada arombai dan perahu rakyat. Tetapi siasat Belanda ini ternyata hanya untuk mengelabui pimpinan pertahanan. Karena sekitar jam sembilan tiba-tiba kubu pertahanan yang pertama diserang. Meriam meriam memuntahkan peluru mautnya. Serangan ini tidak diduga-duga, karena perhatian pasukan sedang dipusatkan ke laut. Berkobarlah pertempuran sengit di darat maupun di laut. Sekali lagi bekas "Korps Lima Ratus" yang berada di daerah ini memperlihatkan ketangkasan berperang dan keberanian yang mengagumkan musuh. Dari balik tembok-tembok pertahanan musuh dihantam dan tembak- menembak dengan sengit terjadi. Tekanan makin berat. Pertempuran berpindah ke Siri-Sori Islam. Pertempuran makin ketat karena bantuan datang dari pasukan pasukan Ouw, Ulat dan Nusalaut. Sekalipun demikian, lambat laun tembakan-tembakan pasukan rakyat berkurang karena makin berkurang peluru dan mesiu. Said Perintah dengan pasukannya mundur ke Ulat - O uw. Jatuh Sudah kedua negeri itu (Siri-Sori Kristen dan Siri-Sori Islam). Mulailah pembakaran dan perampokan dengan seizin komandan Belanda. Apapun yang dijumpai dibakar ; baeleo, mesjid, arombai dan perahu. Kecuali gereja. Mungkin karena di dalamnya terdapat wanita dan anak-anak. Mereka tidak sempat menyingkir berhubung dengan serangan yang tiba-tiba. Sepanjang siang dan malam hari negeri mereka dibakar dan dirampok habis. Besar korban yang diberikan rakyat demi kebebasan. 

Tanggal 11 Oktober. Pagi cerah dan sejuk. Sang surya muncul dari balik gunung memanasi bumi Ulat dan Ouw. Tetapi di udara terasa ketegangan perang meliputi pasukan di balik kubu pertahanan. Semua bersiap-siap. Sudah sejak kemarin mereka menunggu-nunggu kedatangan Belanda. Kapitan Lusikoy, Kapitan Titaley, Kapitan Said Perintah, dan Kapitan Paulus Tiahahu dari Nusalaut bergerak di antara pasukan. Disini memberi dorongan, di sana memberi nasihat, kesana memeriksa senjata, kemari membangkitkan semangat tempur. Gelak-tawa di sana-sini, tanda semangat pasukan tetap tinggi. Tiba-tiba terdengar teriakan : "Kompania Wolanda datang ; bunuh dia". Serentak musuh sebesar enampuluh orang, dibawah pimpinan Letnan Richemont disambut dengan tembakan gencar. Musuh dipukul mundur dan dikejar. Larilah mereka kembali ke Siri-Sori. Sorakan kemenangan membelah udara. 

Meyer, yang sedang menunggu kembalinya pasukan alifuru yang dikirimnya ke hutan untuk memburu pasukan rakyat, sibuk hari itu. Ia menyebar pengumuman Buyskes, mencari anak van den Berg dan menggiring rakyat kembali ke negeri. Ia tidak mau menerima laporan Richemont, bahwa kekuatan pasukan rakyat begitu besar dan bersenjata api. Oleh karena itu hanya dengan seratus orang ia bergerak ke Ulat. Setiba di kubu pertahanan pertama ia disambut dengan hebat. Tembak-menembak gencar sekali. Meyer tertahan di situ. Peluru dan mesiu makin menipis. Kurir dikirim ke Eversten. Verheull mengirim enamribu peluru, lalu Meyer melancarkan serangan lagi, tetapi ia dipukul mundur lagi. Kembali pasukan musuh menyerang dengan sangkur terhunus. Mereka berhasil menerobos pertahanan rakyat dan maju terus sampai ke kubu ketujuh dengan korban yang tidak sedikit. Disini Richemont tertembak mati. Kapten Krieger kena tembak, tergores dadanya, hancur senapannya. Topi dan seragamnya ditembusi beberapa butir peluru. Ia terpelanting jatuh ke dalam pelukan 't Hooft. Pingsan ia untuk beberapa waktu. Setelah sadar ternyata dada dan perutnya luka karena peluru. Tetapi Meyer memerintahkan pasukannya maju terus. Mereka berhasil merebut kubu kedelapan. Tibalah pasukan Belanda pada tanjakan Negeri Ouw. Disini mereka tertahan. Dari segala jurusan bermunculan pasukan rakyat mengepung mereka. Serdadu Jawa menolak perintah maju, sebab itu Meyer mengancam dengan menembak bila mereka mundur. 

Sorak-sorai pasukan yang bercakalele, teriakan perang yang menggigilkan, memecahkan udara dan mendirikan bulu roma. Di tengah-tengah keganasan itu muncul seorang gadis remaja bercakelele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Christina Martha Tiahahu. Srikandi berambut panjang, terurai ke belakang, berikat kepala sehelai kain berang (merah), mendampingi ayahnya, dan memberi semangat kepada pasukan Nusalaut untuk menghancurkan musuh. Semuda ini ia telah memberikan semangat kepada kaum wanita dari Ulat dan Ouw untuk turut mendampingi kaum lelaki di medan pertempuran. Baru di medan inilah Belanda berhadapan dengan kaum wanita yang fanatik turut bertempur. Di semua medan srikandi ini muncul memberi semangat kepada para pejuang. 

Pasukan musuh mencari perlindungan di balik tembok kubu yang mereka rebut. Meyer telah kehilangan banyak anak buah, dan mengirim kurir ke Siri-Sori untuk mendatangkan kora-kora dan pasukan alifuru Ternate. Baru saja mereka tiba, kora-kora itu disambut oleh armada arombai dan perahu Ulat dan Ouw dan terjadilah pertempuran laut mati-matian. Sementara itu bantuan bagi Meyer datang juga dari pasukannya di Siri-Sori. Pertempuran makin menjacli sengit lagi. Korban berjatuhan, di laut maupun di darat. Pada suatu saat seorang penembak jitu memanjat pohon kelapa yang berada dekat kubu di mana pasukan Belanda berlindung. Berdesing sebuah peluru menembus leher seorang opsir. Robohlah ia, luka parah. Ia adalah Mayor Meyer, komandan ekspedisi Saparua. Bersorak-sorailah para pejuang di kubu yang berhadapan dengan tempat berlindung musuh, ketika penembak itu datang berlari-lari memberitahukan bahwa seorang opsir kena tembakannya. 

Vermeulen Krieger mengambil alih komando dan Meyer diangkut ke kapal Eversten. Verheull mengirim kurir ke Saparua sehingga semua kora-kora diperintahkan menuju ke Ouw, juga sepasukan tentara dibawah pimpinan Letnan Gezelschap. Malam hari bala bantuan ini tiba. Sepanjang malam tembak-menembak tiada reda. Keesokan harinya Eversten dan barkas bermeriam menghujani Negeri Ulat dan Ouw dengan tembakan peluru-peluru mautnya. Sesudah itu Krieger memerintahkan serangan umum. Hari itu tanggal 12 Nopember, hari yang menentukan perlawanan rakyat Lease. Serangan musuh begitu hebat sehingga pejuang-pejuang yang menangkisnya kehabisan peluru. Pada suatu saat pasukan musuh dihujani dengan batu-batu. Tembakan makin berkurang. Para opsir musuh sadar bahwa pasukan rakyat kehabisan peluru. Krieger memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu. Serangan umum dilancarkan dengan sangkur terhunus. Perlawanan mati-matian diberikan. Tetapi kehabisan peluru memaksa para pejuang mulai mundur. Mulailah musuh membakar rumah-rumah dan bangunan-bangunan. Pasukan mundur ke hutan dan gunung, meninggalkan kawan dan lawan yang tewas dan luka. Jatuhlah kubu pertahanan rakyat yang terakhir di Lease. Seluruh Ulat dan Ouw diratakan dengan tanah, dibakar dan dirampok habis-habisan. Para pejuang meneruskan perjuangan di hutan-hutan melawan pasukan alifuru yang memburu mereka. Beberapa kapitan tertangkap, antara lain Said Perintah, Paulus Tiahahu dan putrinya Christina, Kapitan Hehanusa dari Titawai, raja Ulat dan patih Ouw. Besar juga korban musuh yang jatuh. Opsir-opsir ada yang luka berat maupun ringan dan yang tewas. Mayat pasukan Alifuru Ternate dan Tidore bergelimpangan di pantai. 

Dengan jatuhnya kubu pertahanan rakyat di Jazirah Tenggara, tinggal lagi pertahanan di Hatawano. Tetapi rupanya Buyskes, yang datang ke Saparua pada tanggal 12 Nopember, tidak menganggap perlu untuk menyerang Hatawano. Cukup saja diblokir dari laut dan darat hingga pemimpin-pemimpin dan rakyatnya menyerah. Groot sebagai komandan armada telah mengerahkan kapal-kapal, barkas dan sekoci yang bersenjata meriam kecil untuk memusnahkan semua arombai dan perahu sehingga para pejuang tidak dapat lagi menyeberang ke Seram. 

5.6. Mega Mendung di Atas Lease
Tanggal 10 Nopember pagi, kira-kira pukul sembilan, terdengar tembakan meriam dari Jazirah Tenggara, Kapitan Pattimura dengan staf dan pengawalnya mendaki sebuah bukit di hutan Booi. Dari situ melalui teropongnya ia dapat mengikuti pertempuran yang sedang berlangsung di Siri-Sori. Hutan itu terletak berhadapan dengan Jazirah Tenggara terpisah oleh Teluk Saparua. Beberapa waktu kemudian kelihatan kebakaran besar di kedua Negeri Siri-Sori. Bagi Pattimura, menjadi jelas bahwa kedua negeri itu telah direbut musuh. Sampai matahari terbenam mereka mengawasi keadaan itu dari jauh.

Keesokan harinya terdengar lagi tembakan dari arah tenggara. Di tempat yang sama Pattimura mengawasi Pantai Ulat dan Ouw. Jelas kelihatan pertempuran laut antara armada arombai melawan kora-kora. Pertempuran di pantai-pantai kelihatan pula dengan jelas. Apa yang terlintas di hati sanubarinya sulit diterka. Ingin ia berada di tengah-tengah rakyat yang sedang bertempur, tetapi sudah sulit baginya untuk bergerak ke Jazirah Tenggara. Hutan-hutan di Tiouw dan Saparua penuh dengan musuh. Alifuru yang dikirim untuk membersihkan hutan-hutan menggiring rakyat turun ke Tiouw dan Saparua dan mencari anak van den Berg. 

Malam 11 Nopember, di sebuah rumah di hutan Booi-Haria, Thomas Matulessia sedang duduk termenung. Apa yang sedang dipikirkannya ? Nasib rakyatnya ? Nasib yang akan dihadapi para pejuang jika kalah perang ? Bermacam-macam hal terlintas dalam pikirannya. Sekali-sekali ia berdiri, berjalan kian kemari sambil menarik napas seolah-olah hendak mengenyahkan sesakan dadanya. Anggota staf dan pengawalnya duduk dengan tenang mengamati gerak-gerik pemimpin mereka. Tiba-tiba pintu terbuka ditendang orang. Beberapa pucuk bedil diarahkan kepada mereka. Terlambat para pengawal melompat meraih bedil. Seorang opsir berteriak : "Menyerahlah kalian, jangan meraih bedil, kalau tidak mau ditembak", sambil pistolnya ditujukan ke dada Pattimura. Pada saat itu masuk dan betteriak raja Booi : "Thomas, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya untuk melawan. Rumah ini sudah dikepung, empatpuluh serdadu siap sedia menembak mati kalian." "Terkutuklah engkau, pengkhianat", geram Kapitan Pattimura. Lalu ia digiring ke luar, dibawa ke Negeri Booi. 

Apa yang terjadi sebenarnya ? Mengapa para pengawal begitu lengah ? Pada malam tanggal 10 Nopember, sehabis merebut Siri-Sori, Meyer sedang duduk beristirahat. Seorang yang ingin bertemu dengan dia dibawa masuk oleh seorang pengawal. Dia adalah raja Booi. Raja ini memberitahukan Meyer tempat bersembunyi Thomas Matulessia, yaitu di perbatasan hutan Booi dan Haria. Dia sanggup menangkapnya bila Meyer memberi sepasukan tentara untuk menyertainya. Letnan Pietersen dipanggil lalu diperintahkan untuk menyeberang ke Negeri Booi, bersama empatpuluh orang serdadu dengan dua arombai perang dengan disertai raja Booi. Malam hari tanggal 11 Nopember mereka tiba di Booi. Melalui jalan yang berliku-liku, didahului raja Booi sebagai penunjuk jalan, tibalah mereka di rumah persembunyiannya Pattimura dan stafnya. Ternyata tempat itu tidak dikawal. Rupa-rupanya mereka semua, merasa aman karena tempat itu terletak cukup jauh di pegunungan. Tetapi naas bagi Kapitan Pattimura. Malam itu juga ia diangkut menuju Eversten. Inilah satu ironi didalam perjuangan rakyat. Panglima mereka jatuh ke tangan musuh karena pengkhianatan seorang raja yang turut mengangkatnya sebagai panglima perang. Tetapi inilah pula suatu pembalasan dendam dari seorang yang beberapa waktu yang lalu dipecat sebagai raja Booi oleh Kapitan Pattimura. 

Malam itu juga Kapitan Lukas Latumahina, seorang Letnan Pattimura, tertangkap, oleh Letnan Veerman yang ditugaskan Verheull menyusur Pantai Booi dan Paperu untuk membakar semua arombai dan perahu. Segera ia dibawa ke kapal Eversten. Anthone Rhebok dan Jakobus Pattiwael, Patih Tiouw, tertangkap pula pada hari yang sama (13 Nopember). Di kapal Eversten mereka bertemu muka dengan kapitan mereka. Para kapitan dan raja yang tertangkap di Siri- Sori, Ouw dan Ulat dibawa pula ke kapal Evertsen. 

Pada hari yang sama guru Risakotta menyerah kepada Groot di Haria. la menyerahkan sebuah laporan berupa buku catatan hariannya. Laporan ini dalam sejarah dikenal dengan nama "Rapport Porto". la juga menyerahkan suatu daftar nama kaum lelaki di Porto dan Haria yang mengangkat senjata melawan Belanda. Laporan dan daftar ini nanti dipakai oleh Buyskes untuk menangkap orang-orang itu dan dijadikan bukti dalam proses pemeriksaan di depan pengadilan. Beberapa hari kemudian Johannis Matulessia dan Philip Latumahina tertangkap pula. Mereka ditawan di kapal perang Reygersbergen. 

Penangkapan Pattimura dan para kapitannya tersiar kemana-mana. Di hutan dan di gunung rakyat meratap karena kehilangan para pemimpin. Para pejuang diliputi kesedihan. Ada yang memutuskan untuk meletakkan senjata dan menyerah, ada pula yang bertekad untuk meneruskan perjuangan. Raja-raja dan rakyatnya turun ke negeri masing-masing. Tetapi yang mereka dapati hanya puing-puing dan abu bekas rumah yang dibakar musuh. Laki-laki yang turun semuanya ditangkap untuk diperiksa. Di antara orang-orang yang turun dari pegunungan tampak pula Salomon Pattiwael dengan Jean Lubert, putra van den Berg. Selama peperangan ia disembunyikan di gunung Rila di Saparua. Anak itu diserahkan kepada Verheull. Dua tawanan bekas serdadu Beetjes kembali lagi dengan selamat di tengah kawan-kawan mereka. 

Dalam hari-hari berikutnya banyak raja-raja dan pemimpin menyerah kepada Buyskes, antara lain guru kepala J. Sahetappy dari Saparua. 

Di kapal Evertsen Pattimura dan para kapitannya berhadapan muka dengan lawan mereka yaitu Buyskes, Verheull dan para opsirnya. Mereka semua dirantai. Buyskes dan stafnya mengadakan interogasi, tetapi tidak banyak keterangan yang mereka peroleh. Para pejuang tetap memegang teguh sumpah setia yang berkali-kali mereka ulangi dalam musyawarah rakyat. Tidak akan mereka buka rahasia apa pun. Konsekuensi akan mereka pikul, sekalipun berhadapan dengan maut. Demikian pula dengan raja dan Kapitan Paulus Tiahahu dari Abubu. Di depan lawannya pahlawan yang beruban ini bersikap menantang. Tubuhnya yang sudah sangat tua bergemetaran. Pada Verheull ia memberi kesan seolah-olah ia sangat ketakutan. Tidak ada kata-kata yang ia keluarkan ketika Buyskes menjatuhkan hukuman "Raja Paulus Tiahahu akan dihukum mati di Nusalaut." 

Christina Martha dihadapkan pada Buyskes. Verheull menatapnya dan merasa tertarik pada gadis remaja belasan tahun ini. Parasnya manis, tubuhnya tegap, mata hitam jelita memancarkan berbagai perasaan, garis mulut yang sayu, gigi putih bak mutiara, rambut hitam terurai di punggung, itulah srikandi dari Nusalaut. Berbaju kain linen biru dan bersarung sampai ke betis, ia berdiri memandang musuhnya. Tiba-tiba ia merebahkan diri di kaki Buyskes dan menangis tersedu-sedu, memohon ampun bagi ayahnya yang sudah tua dan yang dicintainya dengan segenap jiwanya. Sebagaimana dalam perjuangan pada detik-detik ini pun ia berjuang mati-matian untuk menyelamatkan ayahnya, sekalipun ia harus merendahkan diri di hadapan musuh yang dibencinya. Ia telah bersumpah untuk tidak akan menggulung rambutnya sebelum ia mandi dengan darah kompania. Betapapun ia mencintai ayahnya, betapapun para opsir Belanda yang hadir terharu oleh adegan ini, ia tidak berhasil menyelamatkan nyawa ayahnya. 

Christina Martha diantarkan ke luar. Ia menolak ditempatkan terpisah. Ia ingin berada disisi ayahnya yang dirantai pada tiang besi. Beberapa hari kemudian mereka diangkut ke Nusalaut. Mereka tidak diizinkan pamitan dengan Pattimura dan kawan-kawan seperjuangan. Kesedihan meliputi Kapitan Pattimura dan kawan-kawannya. Mereka tidak berdaya lagi. Hanya doa bagi keselamatan jiwa Paulus sempat mereka naikkan ke hadirat Allah. Di benteng "Beverwijk" Paulus dan putrinya ditahan sambil menunggu pelaksanaan vonis. 

Tanggal 17 Nopember pagi, Groot, Verheull dan Residen Neys yang datang bersama Buyskes beberapa hari yang lalu, berangkat dengan sebuah arombai ke Nusalaut. Duabelas kora-kora dengan alifuru Ternate dan Tidore di bawah pimpinan O Tusan dan Dukimi, turut serta tujuhratus orang alifuru berbadan telanjang, bercidaku (cawat) dan berikat kepala disisipi bulu ayam atau bulu burung diturunkan di depan Benteng Beverwijk. Mereka ditugaskan Buyskes untuk melaksanakan hukuman mati dan berjaga-jaga jangan sampai ada serangan yang tidak diduga-duga. Di pantai mereka bercakalele dengan parang dan salawaku (perisai) ; berteriak-teriak seolah-olah berada dalam pertempuran. Ngeri, seram dan ganas. Berduyun-duyun rakyat datang dari segala penjuru ke tempat pelaksanaan hukuman. Mereka berdiri di sekeliling tempat itu, diam, penuh rasa sedih dan duka, putus asa bercampur dengan kebencian. Air mata mengalir membasahi pipi para ibu dan para jujaro. Sanak-saudara raja Paulus menangis tersedu-sedu. Lalu datanglah Paulus Tiahahu, tangannya terikat, didampingi oleh putrinya. Serentak rakyat berlutut, menundukkan kepala. Hening, sepi, sunyi mencekam, tanda malak'ul maut akan berlalu. Paulus berhenti, mengangkat kepalanya yang beruban, memandang rakyatnya, hatinya terharu. Putrinya melayangkan pandangannya mencari sanak-saudara dan kawan. Paulus maju ke tempat yang telah ditunjuk. Seluruh tempat itu dikepung oleh tentara alifuru. Pasukan alifuru lainnya, para algojo, dideretkan pada tempatnya. O Tusan berdiri didepan dengan ujung kelewang tertuju ke bawah. Sesaat Christina bergerak maju hendak mencoba lagi meminta ampun dari para pembesar Belanda, tetapi ia tertegun lalu mundur lagi. Seorang pengawal diperintahkan untuk membawanya kembali ke benteng. Residen Neys maju ke depan lalu mengatakan pada Paulus bahwa saat pelaksanaan hukuman telah tiba. Guru Soselisa maju mendekati Paulus. "Rajaku, angkatlah hati tuanku, serahkan jiwa tuanku kepada Allah Pencipta segala mahluk". Lalu guru itu melanjutkan dengan doa "Bapa kami". Paulus memejamkan matanya. Rakyatnya turut mendoakan keselamatan jiwanya. Begitu kedengaran "amin". O Tusan, alat penjajah, memandang sekelilingnya bagaikan panglima maut. Sesaat kemudian kelewangnya diangkat. Bedil bedil memuntahkan peluru mautnya. Menyerbulah dengan buas dan ganas pasukan alifuru dan musnahlah tubuh pahlawan Raja Paulus Tiahahu. "0, Tuhan," jerit para ibu. Ratap-tangis membelah udara, mengiringi nyawa raja yang dicintai. 

Detasemen marinir bergerak pulang kebenteng. Sambil meliwati mayat Paulus, tubuh yang sudah tidak bernyawa itu ditikam-tikam dengan sangkur. Jenazah pahlawan Nusahalawano, raja Abubu, Paulus Tiahahu diusung oleh rakyat dan dimakamkan dengan upacara adat sebagai tanda penghormatan dan terima kasih atas pengorbanan yang dipersembahkannya kepada nusa dan bangsa. Putrinya diserahkan kepada guru Soselisa untuk dipelihara. Dengan langkah tetap, tanpa setetes air matapun. Christina keluar dari benteng dikelilingi oleh rakyat dan bergerak mengikuti usungan jenasah ayahnya 

Berita pembunuhan Raja Paulus dengan cara yang begitu kejam tersiar ke seluruh pelosok Lease. Kesedihan dan kemarahan meliputi rakyat. Nasib apa yang akan dialami oleh Pattimura dan kawan-kawannya ? Akan dibunuhkah mereka dengan cara yang sama ataukah lebih ngeri lagi ? Mega mendung meliputi seluruh rakyat Lease. Untuk memperkuat posisi dan untuk mengembalikan kekuasaan kolonial atas kepulauan Lease, maka Buyskes memerintahkan pembuatan benteng pertahanan dari kayu di Haria-Porto. Di situ ditempatkan limapuluh orang, diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan ini ditujukan kepada para pejuang yang masih berada di hutan dan pegunungan sekitar Haria dan Porto, dan juga kepada mereka yang masih berjuang di Haruku. Di Ulat dan Ouw ditempatkan limapuluh orang serdadu di benteng kayu. Di Hatawano, yang terpaksa menyerah karena blokade yang rapat, didirikan juga benteng pertahanan dari kayu dengan seratus orang, diperkuat dengan dua pucuk meriam. Pertahanan itu ditujukan pula terhadap kemungkinan serangan dari Seram. Di Duurstede ditempatkan dua ratus serdadu, diperkuat dengan sejumlah besar meriam besar dan kecil. Karena Ulupaha dan para kapitan masih menguasai Seram Barat dan Selatan, maka Buyskes mulai menyusun strategi untuk menyerang daerah itu. 

Tanggal 18 Nopember Eversten meninggalkan Saparua menuju ke Ambon dengan membawa tigapuluh tiga serdadu yang luka-luka, antara lain Meyer yang luka parah, dan sejumlah tawanan, diantaranya duapuluh dua orang pemimpin perang. Overste Groot dengan Reygersbergen berangkat ke Hila pada tanggal 23 Nopember, siap untuk ke Seram, dengan iringan kora-kora alifuru Ternate dan Tidore. Hari itu korvet Iris dan Venus berangkat juga ke Hila. Ulupaha dan para kapitan bersiap-siap untuk menangkis serangan musuh setelah menerima kabar tentang jatuhnya Lease dan tertangkapnya Kapitan Pattimura dan kawan-kawan. 

5.7. Pengorbanan di Tiang Gantungan
Setiba di Ambon, Thomas dan kawan-kawannya dikurung dalam sel di Benteng Victoria. Buyskes membentuk satu tim untuk menginterogasi para tawanan. Thomas tidak banyak bicara. Tidak gampang untuk membujuknya. Pernah di kapal Evertsen O Tusan datang membujuknya supaya mengakui kesalahannya, Kepada Thomas ia menanyakan mengapa ia begitu berani mengangkat senjata memerangi kekuasaan kompeni yang begitu kuat. Thomas memandangnya dengan sinar mata penuh penghinaan, sehingga budak penjajah itu mundur penuh malu.

Pada permulaan Desember para pemimpin perang dihadapkan pada Ambonsche Raad van Justiti (Dewan Pengadilan di Ambon). Dewan ini diketuai oleh JHJ Moorrees dan beranggota JJ Bruins, JH Martens, J. de Keyzer, JH van Schuler, LH. Smits dan G. Reis. Bertindak sebagai fiskal adalah penuntut umum RH. Cateau van Rosevelt dan Sekretaris JB. Timmerman. Sesudah beberapa kali bersidang vonis dijatuhkan. Empat pemimpin, masing-masing Thomas Matulessia, Anthone Rhebok, Said Perintah dan Philip Latumahina dijatuhi hukuman gantung sampai mati. Thomas dikenakan hukuman tambahan, mayatnya akan digantung di dalam kurungan besi untuk dipertontonkan pada rakyat. Bagian terakhir ini disetujui Buyskes dengan maksud menakut-nakuti rakyat. Sejumlah besar pemimpin lain dihukum buangan ke Pulau Jawa. 

Tanggal 15 Desember malam, sel tempat para tahanan penuh ketegangan dan peperangan batin. Pikiran keempat pemimpin itu melayang-layang ke anak istri dan sanak saudara. Pikiran Thomas beralih dari ibunya yang sudah tua dan anak-istri kakaknya serta Elisabeth, dan juga kepada nasib rakyat yang dicintainya. Kebebasan yang mereka ingini membawa pengorbanan besar yang harus mereka berikan. Tetapi sekarang kembali mereka akan ditindas oleh kaum penjajah. 

Lamunan para pejuang itu terganggu ketika beberapa orang guru masuk. Mereka berpelukan dengan para tahanan. Tidak ada kata, tidak ada suara, tidak ada keluhan ; tersumbat kerongkongan masing-masing karena terharu. Mereka datang untuk melangsungkan suatu kebaktian yang mengiringi para terhukum ke tiang gantungan. "Mari kita panjatkan doa ke hadirat Allah Yang Mahakudus", berkata seorang guru. Doa dinaikkan. Dengan penuh kerelaan keempat orang itu menyerahkan hidup mati mereka ke dalam tangan Allah Yang Mahakuasa. Sehabis berdoa mereka bersama-sama menyanyikan mazmur, yang mempersiapkan dan akan mengiring mereka ke alam baka. 

Pintu sel dibuka oleh pengawal perlahan-lahan. Overste Verheull masuk dengan diam-diam. Suatu kunjungan yang tidak diduga-duga. Apa yang diingininya ? Apa yang akan dikatakannya ? Apakah ia datang untuk berpamitan dengan lawan-lawannya ? Apa yang terlintas di dalam kalbunya ? Ia berdiri memperhatikan sekumpulan kecil orang-orang yang terus menyanyi dan tidak menghiraukan apapun di sekelilingnya. Selesai menyanyikan beberapa mazmur seorang guru membawa renungan mempersiapkan mereka menghadapi hakim surgawi, yaitu Allah Yang Mahaadil. Thomas berdiri di bawah lampu yang tergantung di tengah bilik. Air mukanya memancarkan ketenangan jiwa. Perhatiannya dipusatkan pada kebaktian singkat itu. Tidak ada barang apa pun yang bisa membelokkan perhatiannya. Ia tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya. Kawan-kawan senasibnya berdiam diri, masing-masing dengan pikirannya sendiri. 

Verheull meninggalkan mereka. Sampai fajar menyingsing para guru itu menyertai Pattimura dan kawan-kawan, berdoa dan bernyanyi. Said Perintah mempersiapkan diri menurut keyakinan agamanya. la pun telah menyerahkan segenap jiwa raganya kepada Allah. Beberapa kali matanya bertemu mata dengan Kapitan Pattimura. Diantara keduanya telah terjalin suatu persekutuan "pela" yang mereka warisi dari datuk-datuk Negeri Haria dan Siri-Sori Islam. Pada saat-saat semacam ini, dicekam oleh suasana maut, keduanya merupakan suatu simbol persekutuan Kristen dan Islam yang mendalam, yang dapat dimengerti oleh orang-orang Maluku, yang terikat dalam persekutuan pela. 

Pagi-pagi benar, Selasa tanggal 16 Desember 1817. Para pemimpin rakyat telah siap. Sekitar pukul tujuh datang pengawal. Keempat orang pemimpin itu saling berpelukan, juga dengan para guru, kemudian berpamitan dari kawan-kawan mereka. Tangan mereka diikat lalu dibawa keluar. Di luar Benteng Victoria, didepan dewan pemerintahan (raadhuis), tiang gantungan sudah disiapkan sejak sehari sebelumnya. Para algojo telah siap berdiri di dekat tiang itu. Di Pelabuhan Ambon ada empatpuluh lima kora-kora Ternate dan Tidore. Pasukan alifuru dalam pakaian perang didaratkan untuk menjaga keamanan dan terjadi saksi peristiwa yang akan terjadi nanti. Semua divisi diturunkan dari kapal-kapal perang, dengan pimpinan Letnan laut Kelas Satu Steenboom, opsir dari Evertsen. Di lapangan pasukan ini mengambil posisi tempur dengan sangkur terhunus, beriaga-jaga terhadap segala kemungkinan. 

Buyskes dan para pembesar sipil dan militer, didampingi para anggota Dewan Pengadilan, menunggu kedatangan para terhukum. Dari jauh rakyat Ambon berdiri berkelompok-kelompok menunggu apa yang akan terjadi. Tenang, hening dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Dalam hari-hari terakhir ramai orang membicarakan hukuman mati atas keempat pemimpin perang dari Saparua itu. Berjenis perasaan meliputi masyarakat Ambon. Pro dan kontra menurut rasa simpati atau antipati masing-masing. Sekarang, pada pagi yang cerah ini, rakyat Ambon berkerumun untuk menyaksikan hukuman itu. 

Pukul tujuh. Dengan kawalan ketat, Kapitan Thomas Matulessia, Kapitan Anthone Rhebok, Letnan Philip Latumahina dan Raja Said Perintah tegap melangkah menuju ke lapangan tiang gantungan. Beratus pasang mata tertuju kepada mereka. Setiba di depan tiang gantungan mereka berhenti. Seorang petugas pengadilan maju ke depan untuk membacakan keputusan Dewan Pengadilan Ambon dalam bahasa Melayu : 

Bahwa mereka akan dibawa ke tempat eksekusi yang biasa dilaksanakan di Ambon. Disana mereka akan dihukum gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para algojo. Kemudian mayat mereka akan dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung dan agar tulang-belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa mayat Thomas Matulessia untuk selama-lamanya akan digantung di dalam sebuah kurungan besi dan sekalpun telah menjadi debu, akan menimbulkan ketakutan karena perbuatannya. 

Ketika Thomas mendengar apa yang akan terjadi dengan jenazahnya sedetik kepalanya diangkat kemudian ditujukan lagi lurus ke bawah di depannya. 

Philip Latumahina yang pertama-tama menaiki tiang gantungan. Latumahina yang berbadan gemuk dan besar. Jatuh ketanah, hampir ia meninggal seketika. Dengan susah-payah ia diseret oleh algojo menaiki tangga lagi. Untuk kedua kalinya ia merasa tali gantungan di lehernya. Beberapa detik berlalu, kemudian nyawanya melayang. Anthone Rhebok dengan tenang, dengan ketetapan hati menantang maut, menaiki tangga tiang gantungan. Sejurus ia memandang sekelilingnya, seakan-akan hendak memberi selamat tinggal kepada hadirin. Tali membelit lehernya...... bunyi genderang.... hilanglah nyawanya. Kemudian Said Perintah menaiki tangga. Tegap, memandang musuh-musuhnya dengan pandangan yang menantang. Algojo melakukan tugasnya. Bunyi genderang....... Said Perintah menghembuskan nafas yang penghabisan. 

Thomas Matulassia laki-laki kabaresi. Gagah perkasa di medan perang, gagah perkasa pula di medan maut. Dengan tegap, tanpa ragu-ragu ia menaiki tiang gantungan. Setibanya diatas pandanganya dilayangkan ke atas, kepala musuh-musuhnya, memandang jauh kesana dimana rakyatnya berdiri, rakyat yang ingin dibebaskannya. Tetapi ia tidak berhasil. Sekarang ia akan menebus perjuangannya dengan jiwa-raganya. Waktu sudah tiba, algojo memasang tali membelit lehernya. Pandangannya ditujukan kepada musuh-musuhnya, berhenti pada tuan tuan hakim. "Selamat tinggal tuan-tuan", demikian kata-kata perpisahan Thomas Matulessia. Genderang berbunyi dan selamat jalan ke alam baka, pahlawan. Pengorbanan telah kau berikan. Tetapi musuh-musuhmu belum puas. Jenazah Thomas dimasukkan ke dalam kurungan besi, digantung, kemudian dibawa ke jurusan timur kota. Di sana pahlawan yang tidak bernyawa itu dipertontonkan kepada rakyat. 

Kapitan Pattimura telah menyelesaikan baktinya. Semangatnya memancar dari tahun ke tahun, memberi inspirasi bagi Pattimura-Pattimura muda agar bangkit meneruskan perjuangannya, memerdekakan rakyat dari rantai penjajahan. 

5.8. Ulupaha Menutup Tiang Gantungan
Sebenarnya perlawanan rakyat masih berjalan terus selama bulan Desember di Lease. Di pegunungan dan hutan-hutan masih ada anggota-anggota pasukan yang berjuang. Kapitan Lukas Selano, Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron masih bertahan. Di sekitar Hulaliu masih ada Kapitan Sahureka Bakarbesy dan Kapitan Swarapatti Tuanoya, yang sewaktu-waktu menyerang pasukan Belanda. Mereka sering dicari-cari oleh Belanda. Pattisaba juga belum menyerah. Nusalaut ternyata belum aman, rakyat bergolak lagi sebab pembunuhan terhadap Raja Paulus. Oleh karena itu dalam pertengahan bulan Januari 1818, satu detasemen Belanda mengadakan pembersihan dan menangkap duapuluh tujuh orang laki-laki. Mereka diangkut ke Ambon.

Tanggal 1 Desember Buyskes mengerahkan tiga divisi, diperkuat oleh kapal-kapal perang Reygersbergen, Iris, The Dispatch, sejumlah sekoci dan barkas yang dipersenjatai dengan meriam dan kora-kora Ternate dan Tidore untuk menyerang Seram Barat dan Selatan. Overste Groot dan Kapten Driel memimpin ekspedisi itu. Di tiga tempat diadakan pendaratan. Luhu direbut dan dibakar. Semua negeri di sepanjang pesisir, dari Piru sampai ke Hualoi, habis dibakar berikut semua arombai, perahu dan jung. Hanya Piru dan Tanupu, sesuai instruksi Buyskes, tidak dimakan api. 

Ulupaha dan para kapitan memberi perlawanan yang gigih. Ekspedisi itu tidak berhasil menangkap para pemimpin perang. Oleh karena itu sekali lagi dalam bulan Januari 1818 dikerahkan ekspedisi Seram kedua. Kali ini musuh berhasil menangkap bebeberapa kapitan. Baru pada pertengahan Pebruari, Kapitan Ulupaha menyerah dalam keadaan sakit. Segera kapitan yang berumur delapanpuluh tahun itu diangkut ke Ambon. Sementara itu sel-sel tahanan di Benteng Victoria menjadi penuh dalam bulan Januari. Nampak kapitan-kapitan : Lukas Selano, Lukas Lisapaly, Jakobus Pattiwael, Patih Tiouw. Mereka tertangkap dalam satu serangan pembersihan. Jeremias Latuhamallo alias Salemba berada juga diantara para tawanan. Suasana duka dan murung meliputi setiap tawanan. 

Buyskes memerintahkan agar Dewan Pengadilan bersidang. Dewan itu menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada empat orang tersebut. Tanggal 16 Januari 1818 rakyat Ambon menyaksikan hukuman gantung atas Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron dari Negeri Ihamahu. la dipersalahkan mengangkat senjata menyerang Benteng Duurstede, berkomplotan membunuh guru dari Amahai serta kakak dan anak-anaknya dan berkomplotan membununuh Julianus Tuwankotta, kakak Patih Akoon. Tanggal 26 Januari Lukas Selano, kapitan dari Nolot menjalani hukuman gantung. la dipersalahkan menyerang Duurstede, membunuh Nyonya van den Berg dan menyerang Benteng Zeelandia. 

Tanggal 2 Pebruari sekali lagi rakyat Ambon menyaksikan pelaksanaan hukuman gantung atas Jakobus Pattiwael, patih Negeri Tiouw. la dipersalahkan menjadi pembantu dan penasihat Thomas Matulessia dan memerintahkan agar beberapa serdadu Beetjes yang tertangkap dibunuh. Tanggal 2 Pebruari itu vonis akan dilaksanakan atas diri Jeremias Latuhamallo. la dipersalahkan menjadi penasihat Thomas Matulessia dan turut bertanggung jawab atas segala peristiwa yang telah terjadi, Mayatnya digantung ditontonkan dan dibiarkan menjadi mangsa udara dan burung. Tetapi nasibnya baik. Buyskes memberi pengampunan baginya, karena laksamana itu berpendapat sudah cukup banyak para pemimpin digantung untuk menakut-nakuti rakyat, dan Jeremias tidak terbukti pernah membunuh seseorang serta pernah menyerang pasukan Belanda. Hukumannya diperingan menjadi hukuman buang di Jawa selama 25 tahun. Hukuman mati dijatuhkan juga kepada duapuluh tiga orang lainnya. Tetapi Buyskes memberi keampunan kepada sembilan orang. Mereka dibuang ke Jawa. Sedangkan empatbelas orang lainnya menjalani hukuman mati, diantaranya empat orang kapitan dari Seram yang menjalani hukuman gantung sampai mati pada tanggal 10 Pebruari. 

Tanggal 18 Pebruari seorang tua digotong dengan tandu memasuki Benteng Victoria. la adalah kapitan Ulupaha, pahlawan tua dari Seit. la sedang sakit keras. Buyskes khawatir kalau-kalau kapitan itu tidak lama lagi akan meninggal sehingga luput dari hukuman hakim dunia. Sebab itu, pada tanggal 19 Pebruari, Buyskes menyurat kepada Dewan Pengadilan dan penuntut umum agar segera membawa persoalan Ulupaha ke depan pengadilan, tanpa menempuh proses yang biasa, sebab dari interogasi ia telah mengakui perbuatannya. Pada hari itu juga Buyskes memberi instruksi kepada Krayenhoff supaya komandan itu menyiapkan pasukan pengawal keesokan harinya di tempat eksekusi jika vonis hukuman mati dijatuhkan dan jadi dilaksanakan pada tanggal 20 Pebruari. Sidang kilat Dewan Pengadilan diadakan hari itu juga. Vonis dijatuhkan : hukuman gantung sampai mati dan akan dilaksanakan pada keesokan harinya. 

Tanggal 20 Pebruari pagi pasukan pengawal telah siap di lapangan tempat eksekusi. Para pembesar dan anggota Dewan Pengadilan telah siap menunggu kedatangan terhukum. Sekitar pukul tujuh kapitan Ulupaha, dalam keadaan sakit keras, digotong memasuki lapangan eksekusi. Di depan tiang gantungan tandu diturunkan. Vonis dibaca. Kemudian para algojo memapah pahlawan tua itu menaiki tiang gantungan. Tali dipasang di lehernya.... genderang dipalu Kapitan Ulupaha, pahlawan delapanpuluhan dari Seit mengakhiri hukuman tiang gantungan. 

Tawanan lainnya dibuang ke Pulau Jawa. Ketika Evertsen pada akhir Desember berangkat ke Pulau Jawa tigapuluh sembilan orang tawanan dibawa pula ; antara lain Christina Martha. Gadis ini sangat tertekan jiwanya sehingga menolak makan dan diobati ketika berada dalam sel. Verheull mencoba membujuk dan menghiburnya, tetapi sia-sia. Tubuhnya makin lemah dan ketika Evertsen baru meninggalkan Tanjung Alang, Christina menghembuskan nafasnya yang penghabisan pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya diturunkan dan diserahkan kepada Laut Banda. Seorang srikandi muda telah berkorban untuk kebebasan rakyatnya. 

Tanggal 25 Pebruari Buyskes meninggalkan Ambon dan membawa serta Vermeulen Krieger yang luka berat. Meyer sudah mati pada pertengahan Januari. Di kapal Wilhelmina itu banyak tawanan, semuanya laki-laki. Dalam waktu-waktu tertentu menyusul beberapa puluh lagi sehingga semuanya berjumlah sembilanpuluh orang. Mereka semua dibuang ke Pulau Jawa. Kebanyakan dipekerjakan di perkebunan kopi di Jawa Timur dan Priangan. Banyak keluarga di Jazirah Hitu, Lease dan Seram kehilangan atau ditinggalkan oleh suami, ayah, kakak atau adik. semuanya memberi pengorbanan bagi kemerdekan rakyat yang ingin mereka bebaskan dari cengkeraman penjajahan. 

Darah Thomas Matulessia alias Kapitan Pattimura dan para pahlawan mengalir membasahi bumi ibu pertiwi memberi kesuburan bagi bibit-bibit yang kelak akan tumbuh dan mengangkat senjata untuk membebaskan rakyat dari rantai penjajahan. Pattimura-Pattimura muda bangkit pada permulaan abad ke-20 dalam pergerakan nasional seperti Yong Ambon, Sarekat Ambon, Ina Tuni dan lain-lain lalu dilanjutkan oleh generasi penerusnya dalam tahun 1945, dan berakhir dengan tercapainya cita-cita Pattimura dan kawan-kawannya. Tidak sia-sia kurban yang mereka persembahkan di tiang gantungan. 

Sebagai tanda terima kasih Pattimura-Pattimura muda mengabadikan Kapitan Pattimura dalam Divisi Pattimura. Kodam XV Pattimura, Universitas Pattimura, Kapal Perang Pattimura, pangkalan udara Pattimura dan Jalan-jalan Pattimura di berbagai kota di Indonesia. Penghargaan terbesar adalah pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai "pahlawan nasional" oleh Pemerintah Republik Indonesia. Semoga semangat juang dan pengorbanan Pattimura dan kawan-kawannya menjadi suri tauladan bagi kita semua dalam pembangunan Negara dan Bangsa Indonesia.

TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemisahan antara Belgia dengan Belanda

Kerajaan Belanda Serikat (1815) B elanda dan Belgia dulunya adalah 1 negara. Saat itu, Perancis berbatasan dengan Belanda di sebelah selatan...