BAB II. THOMAS MATULESSIA ANAK LEASE
O, Saparua tempat bersejarah eee
bersejarah bagi kami anak anak Maluku eee
tempat berjuang Pattimura dan kawan eee
untuk menghalaukan penjajah dari tanah Maluku eee
sioh mako nau anak konaeeee
Pattimura gagah dan perkasa sioh
sudahlah gugur jadi bunga bangsa
2.1. Alam Maluku Membentuk Manusianya
Demikianlah lagu anak-anak Maluku, mengenangkan suatu peristiwa dalam sejarah perjuangan rakyat Nusa Ina, Ambon dan Lease (pulau-pulau Saparua dan Nusalaut). Dari Nusa Ina, pulau Ibu atau Seram, terpancar penduduk Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut. Dari daerah tiga batang sungai, Eti, Tala dan Sapalewa, bergeraklah penduduk dari gunung dan hutan ke pesisir, menyeberangi lautan, menghuni pulau-pulau sebelah selatan Seram Barat. Itu terjadi beberapa ribu tahun yang lalu. Kapan... ? Tidak diketahui orang dengan pasti.
Ibarat seorang ibu melindungi anak-anaknya demikian letak Pulau-pulau itu di tengah-tengah Kepulauan Maluku. Terpesona tiap-tiap pengunjung yang menyusuri pesisir pulau itu. Alangkah indahnya kebun lautnya, penuh aneka ragam karang berwarna dan binatang-binatang laut. Berjenis ikan beraneka warna, berombongan atau sendiri-sendiri, dengan indah dan lincah berenang kian kemari. Sekali-sekali tiba-tiba terpencar atau menghilang, karena muncul seekor ikan atau binatang laut yang ganas. Kemudian muncul lagi dari balik batu karang atau dari lubang-lubang batu.
Setiap sudut atau setiap tanjung mempunyai daya tarik tersendiri. Pantai-pantai dengan pasir putihnya berkilau-kilauan di bawah terik matahari. Disana-sini dilindungi oleh pohon nyiur atau ketapang. Hutan-hutan bakau merupakan tempat berteduh dan bersembunyi ikan-ikan pantai. Pada malam terang bulan berpantulan cahaya yang redup. Riak gelombang dan alun bergulung-gulung, berpecahan dan melampiaskan buihnya membasahi pasir putih yang halus. Dari balik pohon-pohon sayup-sayup kedengaran bunyi tifa dan petikan gitar atau ukulele mengiringi lagu-lagu yang merayu-rayu. Di situlah ada negeri. Penduduknya tengah beristirahat sesudah bekerja keras pada siang hari mencari ikan, berkebun atau berladang, berburu, mencari hasil hutan dan sebagainya.
Di kejauhan kelihatan hutan-hutan sagu, sumber pokok makanan rakyat. Dataran pulau-pulau yang tidak begitu luas sampai ke lereng gunung ditanami dengan pohon-pohon nyiur, durian, kenari, mangga, langsat, gandaria, rambutan, manggistan dan lain-lain pohon buah-buahan. Terbentang di bawah pohon-pohon yang rindang itu kebun cengkih dan pala. Hutan di Seram masih rawan ditumbuhi rumpun sagu, berjenis-jenis kayu-kayuan, rotan, pohon damar dan lain-lain. Berjenis binatang dan bermacam burung berkeliaran di hutan-hutan.
lklim di Maluku sangat keras. Panas terik di musim kemarau membakar kulit manusia. Petani, pemburu ataupun nelayan biasanya berkulit hitam, karena terik matahari yang membara di badannya. Hujan lebat di musim penghujan, disertai angin kencang dan badai, menuntut daya tahan yang kuat dari tiap-tiap manusia. Adakalanya hujan terus-menerus berhari-hari, deras berseling gerimis. Tak tampak sang matahari berhari-hari.
Ombak menghempas dan menghantam tepi pantai. Bergemuruhlah hantaman ombak di tanjung-tanjung atau ditepi pantai yang berbatu karang. Pelaut dan nelayan ragu-ragu keluar labuhan. Arus deras yang berbahaya bisa menyebabkan orang terbawa ke laut terbuka, kemudian menemui ajalnya. Lautan Maluku sangat kaya akan ikan seperti cakalang, taniri, ikan layar, ikan hiu, ikan babi (lumba-lumba) dan seribu satu macam ikan lain dan binatang laut. Berjenis kulit bia atau lokan bertaburan di pantai-pantai. Isinya menambah protein penduduk.
Letak geografis pulau-pulau yang berat, keadaan iklim yang keras, lautan yang sering bergolak, hutan yang lebat, melahirkan manusia-manusia Seram, Ambon dan Lease, yang tegap-tegap dan kekar, pemberani, tabah tahan penderitaan, wanita maupun lelakinya. Sekalipun makanannya sagu dan ubi, tetapi dibumbui dengan sayur dan kelapa atau kenari, ikan dan daging hewan buruan, menjadikannya orang yang kuat ditempa alam. Manusia-manusia yang kuat fisiklah yang mampu hidup dalam iklim dan alam sedemikian.
Iklim dan alam pun membekas dalam dirinya. Ibarat laut yang tenang, tiba-tiba diganggu angin, bergolaklah lautan, mendidih, bergelombang setinggi gunung. Demikianlah pula watak orang Seram, Ambon dan Lease. Cepat naik darah, jika diganggu atau haknya dilanggar atau tidak diindahkan. Kemarahannya cepat menggelombang, ia memukul, mengamuk sampai-sampai bisa membunuh. Keras hatinya, keras kepalanya bukan main. Seringkali sulit dikuasai.
Alam yang indah serta laut yang biru, beralun, bergelombang, hutan dan gunung yang hijau, menjadikannya orang yang riang gembira, berdendang dan menari, memuji-muji tanah tumpah darahnya, Maluku "maniseeee."
Tetapi alam pula kerap kali menjadikan orang malas. Alam yang kaya, yang seolah-olah menyediakan kebutuhan hidup di depan hidung, menjadikan manusia "harap gampang" artinya tidak memikirkan hari esok atau hari kemudian. Cukuplah dipikirkannya hari kini. Ia mencari hanya untuk hari ini saja. Untuk apa bersusah-payah ? Ibarat "lempar tongkat ke dalam tanah dan keluarlah ubi hari esok," kata orang Seram. Begitu subur tanah di situ, atau "pergi kelaut, timbalah, dan kau akan peroleh ikan untuk satu tanuar (satu kali makan)."
2.2. Thomas Anak Haria
Dalam iklim semacam itulah lahir seorang anak laki-laki, bernama Thomas, dari keluarga Matulessia. Ia dilahirkan dalam tahun 1783 di negeri Haria. Perkawinan Frans Matulessia dan Fransina Silahoi melahirkan dua orang anak laki-laki saja, Johannis dan Thomas.
Datuk-datuk keluarga Matulessia berasal dari Seram. Turun-temurun mereka berpindah ke Haturessi (sekarang Negeri Hulaliu). Kemudian seorang moyang dari Thomas berpindah ke Titawaka (sekarang Negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang menetap di Itawaka, ada yang berpindah ke Ulath, ada yang kembali menetap di Hulaliu dan ada yang berpindah ke Haria. Yang di Haria menurunkan ayah dari Johannis dan Thomas, ibu mereka berasal dari Siri Sori Serani.
Thomas tidak kawin dan tidak berketurunan. Perkawinan Johannis menurunkan keluarga Matulessy, yang sekarang berdiam di Haria, ahli waris yang memegang surat pengangkatan kapitan Pattimura sebagai pahlawan nasional. Di rumah keluarga itu pula disimpan pakaian, parang dan salawaku dari pahlawan Pattimura. Keluarga Matulessia beragama Kristen Protestan. Nama Johannis dan Thomas diambil dari Alkitab. Keluarga atau mata-rumah Matulessia terpancar dari mata-rumah Matatulessi (ma = mati ; tula = dengan ; lessi = lebih). Nama itu kemudian berubah menjadi Matulessia.
Di dalam 'Proklamasi Haria" tertera nama Thomas Matulessia. Sepucuk surat dikirim Thomas kepada raja-raja di Seram, ditandatanganinya dengan nama Thomas Matulessia. Menurut beberapa orang yang ber-fam (nama famili) Matulessy, sesudah Perang Pattimura, Belanda tidak mau menerima raja, patih, murid, pegawai, serdadu atau agen polisi, yang bernama Matulessia. Fam itu harus diganti, lalu ada keluarga yang berganti fam menjadi Matulessy atau Matualessy. Ada pula yang tetap memakai nama Matulessia. Di Hulaliu keluarga itu mengganti namanya menjadi Lesiputih, artinya putih lebih, yang mengandung makna orang putih yang menang. Pada tahun 1920, atas rekes dari keluarga tersebut, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum memutuskan mengizinkan keluarga Lesiputih memakai nama Matulessy lagi.
Negeri Haria di Pulau Saparua terletak di sebuah teluk yang indah, terang sepanjang tahun, kecuali jika angin barat bertiup. Tempat persinggahan kora-kora dan "arombai" atau perahu-perahu yang datang dari Ambon dan Haruku ke Saparua. Pada saat itu musim hujan, laut Banda bergolak, sehingga Teluk Saparua tidak dapat dimasuki. Teluk dan laut di sekitar Haria kaya akan ikan dan mengundang rakyat untuk turun ke laut. Menangkap ikan adalah pencarian rakyat Haria.
Di pantai berderet-deret perahu-perahu nelayan, arombai (rembaya) kecil besar, yang mempunyai haluan dan buritan melengkung naik. berukiran warna-wara. Arombai, yang wajib disediakan untuk keperluan Kompeni berderet-deret di sabuah (=bubungan terbuka, yang atapnya ditopang oleh tiang-tiang kayu). Di sana-sini kelihatan kora-kora yang sudah menua, ada pula yang sudah rapuh, karena tidak dipergunakan lagi, sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Kompeni beberapa tahun yang lalu. Teluk Haria penuh dengan sero.
Tanah di balik Negeri Haria berbatu karang, tidak baik untuk bercocok tanam. Hutan jati menutupi daratan dan gunung berbatu itu. Melengkung sepanjang pesisir selatan dan tenggara Teluk Haria sampai ke gunung, ada tanah yang subur. Di sini rakyat berkebun dan berladang. Di sini terdapat kebun kebun cengkih dan pala. Tanah ini berbatasan dengan tanah Negeri Booi.
Di tengah-tengah negeri, dekat dengan pelabuhan berdiri sebuah gereja. Bangunan itu dibangun oleh rakyat sebagai tempat menyembah Allah, untuk memperkenalkan agama Kristen Protestan, yang masuk dan disebarkan oleh orang-orang Belanda beberapa puluh tahun yang lalu. Didekatnya letak sebuah "baeleo" (balai musyawarah rakyat). Di sini tempat musyawarah raja dengan seluruh "saniri negeri" dan tua-tua adat. Di sini pula tempat anak negeri membawa berjenis persembahan sebagaimana telah ditentukan oleh adat-istiadat secara turun-temurun.
Di dekat baeleo berdiri rumah raja. Raja dipilih dalam suatu musyawarah besar. Kompeni mengeluarkan peraturan agar bisa turut campur tangan dalam penentuan calon raja, patih atau orang-kaya, sehingga seorang raja bisa saja dipecat atau diangkat tanpa musyawarah atau persetujuan rakyat. Hal ini terjadi jika raja tidak ketat mengawasi pelaksanaan peraturan monopoli, kerja rodi dan lain-lain.
Sebuah sekolah rakyat berdiri tidak jauh dari gereja. Tempat anak-anak belajar agama, berhitung, dan membaca. Biasanya seorang guru sekolah merangkap juga guru injil, penyebar agama dan pemelihara kehidupan rohaniah rakyat. Guru adalah orang kedua sesudah raja. Pengaruhnya sangat besar. Rakyat sangat menghormatinya. Keadaan yang sama terdapat di Negeri Porto yang berbatasan dengan Haria. Rakyat Porto adalah rakyat nelayan, petani dan pemburu. Tanah pertanian dibalik negeri itu juga subur.
2.3. Cengkeraman Monopoli dan Kerja Rodi
"Mungare" dan "jujaro" (= pemuda dan pemudi) Porto dan Haria tegap-tegap badannya. Kekar dan kuat-kuat perawakannya. Pemuda-pemuda pelaut, nelayan dan pendayung itu besar-besar lengannya, lebar-lebar dadanya. Badan yang kehitam-hitaman, terbakar karena sinar matahari dilaut, rambut keriting atau berombak, mata kemerah-merahan kena uap laut yang asin dan tajam, itulah mungare-mungare sebaya dengan Thomas.
Masa kanak-kanak Thomas tidak diketahui orang. Ia seorang anak biasa di antara ratusan anak rakyat Haria dan Porto. Dia seorang anak Lease senasib dengan beribu-ribu anak dari ketiga pulau itu, yang hidup dalam kekurangan karena cengkeraman monopoli Kompeni. Semasa kecil dia melihat orang-orang sekampungnya, termasuk ayah, paman, dan saudara-saudaranya, dipaksakan untuk kerja rodi. Disamping itu ada kerja kuarto. Kompania Wolanda memerlukan dan mengerahkan tenaga rakyat untuk berjenis pekerjaan, suatu sistem kerja paksa atau rodi. Dia mengalami pengerahan berpuluh laki-laki senegeri untuk mendayung arombai, mengangkut balok-balok kayu dari hutan Seram dan Lease untuk berjenis keperluan Kompania. Kayu-kayu yang berat dan keras, seperti kayu besi, kayu nani, kayu lenggoa harus diangkut ke Ambon. Tiap negeri diwajibkan menyerahkan sebuah atau lebih arombai untuk keperluan pengangkutan Kompeni. Rakyat pun diwajibkan mendayung atau mengayuh arombai itu dan perahu pos, yaitu perahu yang mengangkut dan mengambil surat-surat bagi kepentingan residen di Haruku atau Saparua ke dan dari Ambon. Atau untuk mengangkut residen dalam perjalanan dinasnya. Melalaikan pekerjaan rodi itu berarti menerima risiko hukuman badan, dipanggil oleh residen ke Saparua, diikat pada tiang lalu dicambuk dengan rotan. Yang berani melawan dirantai dan dimasukkan ke dalam kamar gelap di dalam benteng Duurstede. Sekalipun ada ditentukan pembayaran, biasanya amat rendah, tetapi adakalanya pendayung-pendayung itu dibayar, ada kalanya tidak. Itu tergantung daripada mental pegawai-pegawai Kompeni, karena ada yang serakah, korup dan pemeras.
Raja-raja diharuskan menyerahkan kayu, kapur dan lain-lain bahan bangunan kepada Kompeni dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak. Adakalanya datang perintah untuk memperbanyak tanaman cengkih, karena ada kekurangan cengkih di pasaran dunia. Tiga empat tahun kemudian belum lagi pohon-pohon itu berbuah, diperlukan waktu tujuh sampai delapan tahun untuk berbuah, datang perintah pohon-pohon itu harus ditebang, dimusnahkan atau dibakar karena produksi cengkih sudah berlebihan. Ini yang disebut "ekstirpasi" yang mematikan pencaharian rakyat.
Raja, patih atau orang-orang kaya sebagai kepala pemerintahan negeri harus mengawasi kerja kwarto dan rodi, menyediakan arombai, mengerahkan tenaga pendayung dan mengawasi peraturan monopoli. Negeri-negeri diwajibkan menyerahkan sejumlah rempah-rempah, yang sudah ditentukan oleh Kompeni, setiap tahun dengan bayaran yang rendah sekali atau sama sekali tidak dibayar, Inilah contingenten, semacam pajak dibayar natura (hasil bumi). Ada lagi lain macam pajak yaitu "penyerahan wajib" yang disebut verplichte leverantien. Raja atau Sultan diikat dengan perjanjian untuk menyerahkan sejumlah rempah-rempah kepada Kompeni dengan harga yang telah ditetapkan. Tetapi di dalam praktek kerap kali kedua macam pajak itu dicampur baurkan. Ada kalanya contingenten itu dibayar sedangkan verplichte leverantien, tidak dalam praktek keduanya tidak dapat dipisahkan atau dibedakan, sehingga kerap kali rakyat di Seram, Ambon dan Lease dikenakan sekaligus kedua macam pajak itu.
Tetapi monopoli hanya dapat dipertahankan dengan bedil dan meriam. Oleh karena itu tangan besi Kompeni sangat terasa di negeri-negeri. Kompeni berusaha mati-matian mencegah perdagangan bebas antara rakyat dengan pedagang-pedagang Jawa, Makasar, dan Melayu. Perdagangan rakyat antar pulau diperkenankan, tetapi semua pedagang harus mendapat pas dari Kompeni. Berkali-kali pedagang-pedagang dari luar Maluku itu mencoba mendobrak blokade kapal-kapal Belanda. Mereka dikejar dan jika tertangkap dihancurkan kapal-kapalnya. anak buahnya ditangkap dan dihukum. Rakyat yang mengadakan perdagangan dengan pedagang-pedagang itu dicap "penyelundup," didenda atau dihukum badan.
Para raja diwajibkan mengawasi secara cermat, agar jangan ada rempah-rempah yang dijual kepada siapa pun, atau dibawa pohon-pohon cengkih dan pala yang dilarikan ke luar daerah Maluku. Jika ini terjadi hukuman berat akan dijatuhkan atas para raja. Setiap tahun raja-raja dari Ambon, Lease, Buru, Seram Barat dan pulau-pulau di sekitarnya harus menyerahkan arombai atau kora-kora ke Benteng Victoria di Ambon, dengan pendayung-pendayungnya untuk pelayaran hongi. Raja negeri harus turut serta sebagai nakoda di arombai yang beranak buah kira-kira tiga puluh enam orang. Bayaran tidak ada, hanya "masnait" (=anak buah arombai) diberi bekal berupa beras, dendeng dan sopi (=minuman keras yang dibuat dari enau). Peraturan hongi sudah ditetapkan dan dijalankan secara ketat dan keras, diawasi langsung oleh gubernur. Sebelum berangkat peraturan itu dibacakan dulu dalam bahasa Melayu di hadapan raja-raja yang turut serta. Pelayaran itu memakan waktu beberapa minggu dengan tujuan melaksanakan ekstirpasi, memburu pedagang-pedagang asing yang masuk ke perairan Maluku, menghukum suku-suku yang sering menyerang kapal-kapal Kompeni atau mengamankan sesuatu daerah kerusuhan.
2.4. Mungare-Mungare Lease
Dalam suasana semacam inilah Thomas makin menjadi dewasa, makin mengertilah ia betapa berat beban rakyat. Ia sendiri tidak luput dari tugas-tugas kuarto dan rodi. Bersama dengan kakaknya, Johannis dan kawan-kawannya seperti Hermanus dan Bastian Latupeirissa, Marawael Hattu, Jeremias dari Haria dan pemuda Nanlohy, Latumaliallo, Tetelepta, Sahertian dan lain-lain dari Porto, diperintahkan pada waktu-waktu tertentu oleh bapa raja Haria dan Porto untuk mendayung arombai ke Ambon atau mengangkut residen. Mereka diperintahkan mengambil kayu di Seram dan mengangkutnya ke Benteng Victoria di Ambon.
Pada kesempatan semacam itu Thomas bertemu dengan kakak beradik Pattiwael dari Tiow dan Saparua, Philip dan Lukas Latumahina dari Paperu, pemuda-pemuda dari Hatawano, Ulath, Ouw, Booi dan dari lain-lain negeri. Kerap kali mereka berlomba kecepatan arombai dari Seram ke Ambon atau sekembalinya dari Ambon ke Saparua. Arombai mereka melaju cepat membelah ombak dan gelombang, menentang arus dan angin, dengan ayunan kayuh serentak seirama dengan bunyi tifa dan gong. Para masnait berbadan hitam, kekar dan atletis bermandikan keringat dan percikan air laut, bersorak-sorak menambahkan semangat tanding. Dengan demikian cepatlah mereka tiba di tempat tujuan.
Sekali-sekali di kala arombai mereka berputar haluan untuk masuk Teluk Ambon, melewati tanjung Alang dan Nusaniwe, gerakan kayuh diperlambat diiringi oleh "kapata" (=lagu dalam bahasa tanah = bahasa daerah) yang merdu dan tenang seirama dengan Teluk Ambon yang tenang dan indah. Di kejauhan tampak Gunung Nona, dibelakangnya lagi muncul gunung Sirimau melindungi Negeri Soya. Samar-samar kelihatan Kota Ambon, jauh di belakang teluk dalam. Diliputi kabut, tampak Gunung Salahutu di Jazirah Hitu.
Beramai-ramai mendekati Benteng Victoria lalu buang sauh di Labuan Honipopu. Di situ muatan diturunkan sambil diawasi pegawai Kompeni. Para Masnait turun ke darat dan beristirahat beberapa hari di Ambon. Bandar Ambon cukup ramai, kota kecil tetapi rapih dan teratur. Banyak ragam bahasa terdengar di situ. Kota itu didiami oleh penduduk dari berbagai negeri di Pulau Ambon yang dikumpulkan oleh Kompeni dan mendirikan kampung-kampung di sekitar Benteng Victoria. Di kota itu berdiam juga suku-suku bangsa Ternate, Bugis, Bali, Timor dan Irian. Juga orang-orang asing, seperti orang Eropa, Benggala, Papanga dan Cina.
Di sini mereka bertemu dan bermalam pada kawan-kawan. Mereka mendengar bermacam khabar, mereka diberitahukan tentang bermacam peraturan dan tindakan yang diambil oleh Kompeni. Mereka mendengar tentang kerusuhan-kerusuhan di berbagai negeri. Mereka mendengar tentang sikap angkuh dari pegawai-pegawai Kompania, kecurangan-kecurangan, pemerasan terhadap rakyat, tingkah laku dan tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat, yang tidak sesuai dengan usaha para pendeta dan guru injil yang giat menyebarkan moral agama Kristen yang mereka anut, yaitu kasih sayang terhadap Tuhan dan sesama manusia.
Tetapi jangan dikira pemuda-pemuda Lease ini adalah orang-orang yang halus perangai dan budi, sopan-santun dan taat. Pekerjaan mereka yang berat, alam yang keras, menjadikan mereka manusia-manusia yang keras pula, keras kemauan, keras hati, keras kepala, keras dan kasar dalam tindak-tanduk, keras suara, kasar dalam pembawaan dan lekas naik darah. Mereka mengutuk perbuatan dan tindakan dan pemerasan Kompania. Dendam kesumat membara di dalam hati mereka, mendengar berita dan cerita dari kawan-kawan mereka. Reaksi mereka terhadap sesuatu masih menurut naluri alamiah, terutama Alifuru dari Seram. Masih terlalu singkat waktu bagi agama Kristen untuk menembus jiwa mereka, untuk mengubah manusia alam ini, melepaskan mereka dari ikatan kepercayaan dan adat-istiadat yang animistic, magic, penuh tahyul, guna-guna dan lain-lain. Sinar agama belum berhasil mengubah ahlak Alifuru itu. Sekalipun demikian rakyat patuh pada agama dan rajin ke gereja. Mereka merasa ada sesuatu inti kebenaran dan norma-norma yang berlainan dengan apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Dan inilah yang sedang mereka kejar setapak demi setapak.
Thomas dan kawan-kawannya bukan mungare-mungare yang mudah diperintah. Sering terjadi keributan di dalam negeri. Sering terjadi perkelahian antara pemuda senegeri atau antar negeri. Naluri berkelahi ini diwarisi dari nenek moyang mereka, orang-orang Alifuru, dipertebal lagi oleh pertumpahan darah antar suku dan peperangan melawan orang asing sejak dari kedatangan orang Portugis, jadi hampir tiga ratus tahun sudah. Alasan perkelahian itu bermacam-macam seperti perebutan gadis, bertanding mengadu kekuatan, kekalahan dalam lomba arombai, perselisihan batas tanah petuanan antara dua negeri. Raja bertindak keras dan menghukum yang membandel.
Sering pula mungare dan jujaro mengadakan keramaian disertai tari-tarian, cakalele (= tari perang), berkapata, berdendang dan berpantun, diiringi oleh tifa dan totobuang (semacam jajaran kenong), genderang, gong, dan lain-lain alat musik. Minuman tuak dan sopi menghangati suasana. Tua muda, lelaki perempuan, kecil besar turut bergembira. Adu ketangkasan mempergunakan parang dan salawaku, panah dan tombak, sering terjadi. Adu gulat dan adu berkelahi tidak ketinggalan.
Dalam upacara penting seperti pengangkatan raja, memperbaiki baeleo atau gereja, mengangkat atau memanas "pela", perkawinan raja atau anak raja, rakyat Siri Sori Islam, yaitu pela Negeri Haria, turut menghadiri dan meramaikan upacara itu. Pela datang menyumbang ramuan, tenaga, hasil kebun, dan ladang. Dalam suasana "masohi" (=gotong-royong) rakyat negeri-negeri itu bantu membantu dalam duka dan suka, juga dalam peperangan. Suasana diramaikan pula oleh "jujaro" dan mungare dari Porto, Tiow, Saparua, Paperu dan Booi,negeri- negeri yang berdekatan dengan Haria. Keramaian sering pula dihadiri oleh pembesar dan pegawai Belanda. Sekali-sekali residen juga hadir. Tidak ketinggalan para informan dilepaskan di tengah-tengah rakyat untuk memasang telinga menangkap keluhan atau komplotan yang mungkin sedang direncanakan. Tuak dan sopi, adakalanya jenever dari negeri dingin, yang dihadiahkan oleh pegawai Belanda, kerap kali membocorkan rahasia yang mempunyai akibat buruk bagi rakyat.
Pada hari-hari tertentu residen mengadakan keramaian. Raja-raja diundang ke Saparua. Rakyat turut meramaikan suasana dengan bermacam perlombaan antar negeri, bermacam tarian diperlihatkan. Inilah ksesempatan pula bagi residen, komandan militer dan lain-lain petugas Belanda untuk menegaskan lagi cara-cara pelaksanaan monopoli, pemberantasan "penyelundupan," pemungutan pajak pelaksanaan kuarto dan lain-lain. Ini pula kesempatan untuk memberi hadiah kepada raja-raja yang berjasa kepada Belanda dan menghardik raja-raja yang berkepala batu.
Lease tidak mudah diperintah. Penulis-penulis Belanda dan para residen dalam laporan mereka, mengakui sendiri bahwa rakyat Lease adalah rakyat yang paling "lastig" (=memusingkan), "woelig" (= bergolak) dan geneigd tot verzet (= cenderung untuk berontak). Pulau Saparua spant de kroon, artinya paling atas dalam membangkang, baru menyusul Pulau Haruku, Nusa laut terhitung yang paling lunak. Rakyat Haria, Porto dan Tuhaha paling berkepala batu, paling sulit dengar-dengaran, paling sulit menuruti perintah.
2.5. Inggris Kekuasaan Baru
Pada waktu Thomas berumur tiga belas tahun terjadi pergantian pemerintahan. Pada suatu hari pada akhir bulan Pebruari tahun 1976, residen memerintahkan kepada raja Saparua supaya satu arombai disiapkan untuk mengangkutnya ke Ambon, karena dipanggil oleh gubemur Cornabe. Berangkatlah ia dengan komandan militer dan pengawalnya ke ibu kota. Sekembalinya, para masnait menyiarkan kabar bahwa ada kesibukan yang luar biasa di Ambon. Kapal-kapal perang Inggris berlabuh di pelabuhan. Mereka melihat bendera Inggris berkibar di Benteng Victoria, sedangkan tentara Inggris berbaris dan berpatroli di jalan-jalan.
Beberapa hari kemudian nelayan-nelayan dari Haria dan Porto melihat kapal-kapal berbendera Inggris menuju ke Saparua. Juga rakyat Booi, yang negerinya terletak di lereng gunung melihat kapal-kapal itu. Apa gerangan yang terjadi........ ?
Permulaan bulan Maret, raja-raja, patih dan orang kaya dari Pulau Haruku diundang oleh residen ke Benteng Zeelandia di Negeri Haruku dan dari Pulau Saparua dan Nusalaut diundang oleh residen Saparua ke Benteng Duurstede. Tentu ada sesuatu yang penting yang terjadi. Raja-raja, patih dan orang kaya dari Pulau Saparua dan Nusalaut, disertai saniri masing-masing, pada hari yang ditentukan, berdatangan ke ibu kota karesidenan Saparua. Ada pula rakyat dari berbagai negeri yang datang ke Saparua. Mereka ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dari jauh telah kelihatan bendera Inggris berkibar di Duurstede. Beberapa kapal berbendera Inggris berlabuh di dekat benteng itu.
Tuan-tuan raja, patih, orang kaya dan saniri negeri dari Pulau Saparua dan Nusalaut, begitulah ujar tuan residen membuka pertemuan. Sejak tanggal 17 Pebruari terjadi pergantian pemerintahan. Pemerintahan Inggris telah mengambil alih pemerintahan atas gubernemen Ambon dan Banda. Dan pada hari ini saya akan menyerahkan kekuasaan atas Pulau Saparua dan Nusalaut kepada utusan Kompeni Inggris. Demikianlah melalui juru bahasa seorang Belanda, hadirin mendengar penjelasan dari residen dalam bahasa Melayu.
Komandan Inggris sebagai utusan dari Laksamana Pieter Tarnier gubernur Inggris di Ambon, melalui juru bahasanya, menerangkan bahwa di Eropa, jauh dari sini sedang mengamuk peperangan antara Inggris dan Perancis. Negeri Belanda diduduki oleh Perancis, sedangkan raja Willem V melarikan diri ke Inggris, dan berdiam di kota kecil Kew dekat London. Raja itu telah mengeluarkan instruksi dalam "warkat Kew" supaya semua jajahan Kompeni Belanda di Afrika dan Asia diserahkan kepada Inggris. Jadi hari ini dia akan mengambil alih kekuasaan dari residen Belanda." Selanjutnya ia katakan bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama lagi akan dikeluarkan peraturan-peraturan berhubung dengan penggantian pemerintahan itu. Ulu berakhirlah pertemuan itu.
Hadirin bangkit berdiri bersalaman dengan kedua penguasa itu lalu keluar turun dari Benteng Duurstede. Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pengetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mengerti pergolakan yang sedang terjadi di sana. Sedangkan residen dan para pegawai Kompeni sendiri tidak bisa mengerti situasi yang timbul. Komunikasi begitu sulit, perjalanan dari Eropa ke Maluku memakan waktu kurang lebih satu tahun, tidak memungkinkan mereka mengetahui apa yang terjadi. Bagaimana dengan Batavia.. ? Apakah Inggris juga menguasai Jawa.. ?
Gegerlah rakyat di negeri-negeri Lease mendengar penjelasan dari kepala-kepala mereka. Rakyat bertanya-tanya apa yang akan dibawa oleh pemerintah yang baru itu. Apakah mereka akan lebih baik dari Kompeni Belanda ? Ataukah akan lebih buruk lagi ? Suatu hal yang mereka sadar benar adalah bahwa kekuasaan Belanda di Ambon dapat juga dipatahkan oleh suatu kesatuan kecil. Kiranya ini suatu kesempatan baik bagi rakyat untuk mengangkat senjata menghancurkan kekuasaan orang-orang Eropa untuk membebaskan diri dari kaum penjajah.
Kekuatan Inggris di Ambon tidak seberapa, karena sebagian sedang dikerahkan untuk merebut Banda. Rakyat Hitu melihat hal ini lalu mengangkat senjata dibawah pimpinan raja Seit, Ulupaha Tua, menyerang Benteng Victoria. Ancaman itu hampir saja berhasil, kalau bala bantuan Inggris tidak tiba pada waktunya dari Banda. Ulupaha Tua dan pemimpin-peimpin Hitu mengalami nasib buruk, seperti nenek moyang mereka dalam abad ke-16 dan 17. Mereka dihukum mati gantung. Mereka berkorban untuk kemerdekaan yang mereka inginkan kembali.
Tetapi di negeri-negeri lain rakyat rupanya tidak siap untuk mengangkat senjata. Terbetik berita bahwa hati pemuda-pemuda yang panas, didinginkan oleh pemuka-pemuka gereja dan guru-guru. Risiko masih terlalu besar. Orang dikejutkan oleh tindakan Inggris terhadap raja Seit. Keadaan belum masak.
Sementara itu setapak demi setapak, Inggris mulai menyusun pemerintahannya. Para risiden diangkat menggantikan residen Belanda. Pegawai-pegawai Kompeni Belanda tetap bekerja sesuai dengan instruksi dari raja mereka Willem V. Mulailah peraturan-peraturan tiba di negeri-negeri. Raja dan rakyat mulai melihat cuaca yang terang. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Peraturan Kompeni Belanda berganti dengan peraturan Kompeni Inggris. Peraturan monopoli diperlunak, kerja kwarto dan rodi diperingan, rakyat diberi lebih banyak kebebasan untuk berdagang, ekstirpasi dihentikan dan hongi dihapus.
Tujuh tahun lamanya rakyat Seram, Ambon dan Lease merasa bahwa ada sesuatu berkah yang turun atas mereka. Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebun-kebun cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras juga.
Sementara itu Thomas dan kawan-kawannya makin menjadi dewasa. Penghapusan pas menjamin kebebasan bergerak. Pemuda-pemuda Haria ini sering pergi pulang Ambon Saparua. Di ibu kota banyak yang didengar, banyak berita yang mereka dapati. Antara lain bahwa Belanda masih tetap bertahan di Ternate. Gubernur di sana tidak mau tunduk pada instruksi raja dan tidak mau menyerah kepada Inggris. Baru nanti ketika pada tahun 1801 Ternate diserang oleh Inggris, dengan bantuan Sultan Nuku dari Tidore, maka runtuhlah kekuasaan Kompania Wolanda.
2.6. Kompania Wolanda Kembali Lagi
Dalam tahun 1802 rakyat mendengar berita bahwa terjadi lagi perubahan pemerintahan. Dari Ambon datang kabar bahwa Inggris dan Belanda telah mengadakan perjanjian. Maluku akan dikembalikan lagi kepada Belanda. Gegerlah rakyat di negeri-negeri. Apakah hal ini benar-benar akan terjadi ?
Bulan Maret 1803, raja-raja dan patih dari Pulau Saparua dan Nusalaut diundang lagi ke Benteng Duurstede. Sekali lagi mereka menyaksikan penyerahan pemerintahan. Kali ini dari Inggris kepada Belanda. Kompania Wolanda telah kembali. Tujuh tahun lamanya rakyat hidup damai, lepas dari berbagai tekanan monopoli, kerja rodi, ekstirpasi dan hongi. Lenyaplah harapan akan kesejahteraan di negeri-negeri. Inggris telah pergi. Suatu bangsa yang berlainan perangai, budi, tingkah laku dari pada orang-orang Belanda. Dalam tujuh tahun itu rakyat belajar menghargai dan mengerti apa kebebasan itu sebenarnya. Kekejaman Kompania Wolanda akan terulang lagi. Sampai kapan ? Ya, sampai kapankah kekejaman itu akan berlangsung ? Mungkin untuk selama-lamanya. Jiwa rakyat tertekan lagi. Suasana menjadi mendung di negeri-negeri. Apakah ada yang akan mencoba melawan dan mengangkat senjata ? Apajawaban kaum muda ? Apa jawaban Thomas dan kawan-kawannya ? Apa jawaban putra-putra Saparua yang terkenal pemberani dan pembangkang ? Rupanya keadaan belum masak. Belum ada orang yang berani muncul sebagai pemimpin untuk memimpin rakyat melawan penjajah Belanda. Jadi kembalilah Belanda berkuasa. Sekalipun secara resmi Kompeni telah mati dan semua miliknya, termasuk jajahannya, dikuasai oleh Pemerintah Belanda, akan tetapi rakyat tidak mengetahui dan tidak mengerti akan hal ini. Yang terbayang di mata mereka hanya kekejaman Kompania Wolanda akan kembali lagi.
Thomas dan kawan-kawannya mengalami hal ini kembali. Residen Belanda Kruipenning, mengumumkan bahwa peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Inggris ditiadakan. Peraturan Zaman Kompeni akan berlaku lagi. Dan karena peperangan di Eropa mengamuk lagi, maka Pemerintah Belanda memerlukan uang. Uang itu harus datang dari rakyat. Dan untuk itu peraturan monopoli harus dijalankan kembali. Bukan main kegoncangan yang timbul di kalangan rakyat. Pemuda-pemuda di berbagai negeri menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak berdaya. Demikian pula raja-raja patih. Contingenten dan verplichte leverantien mulai dipungut kembali. Kerja rodi terulang lagi. Perdagangan bebas dilarang. Sistem pas dikenakan lagi bagi rakyat yang bepergian.
Karena peperangan antara Belanda dan Inggris berulang lagi dalam tahun 1803 itu, maka kapal-kapal perang Inggris berhasil memutuskan hubungan antara Batavia dan Maluku. Kas pemerintahan Belanda di Ambon menjadi kosong. Tidak ada uang yang dikirim dari Batavia untuk membayar kaum militer dan pegawai-pegawai. Juga tidak untuk membayar rakyat yang menyetor verplichte leverantien. Lalu pemerintah mencari ke suatu sistem keuangan yang belum pernah dikenal rakyat. Dikeluarkannya uang kertas. Secara paksa diedarkan dan rakyat diharuskan menerimanya. Akibatnya rakyat memboikot pemerintah. Pasar-pasar menjadi kosong dan kebutuhan sehari-hari menjadi mahal. Hal ini sangat merisaukan kaum militer. Lalu pemerintah mencari akal lain. Rakyat dikenakan "penyerahan wajib" daging ayam, rusa, babi hutan, minyak goreng dan lain-lain, dibayar dengan harga rendah.
Dalam tahun 1808 rakyat mendengar berita tentang tibanya seorang gubernur jenderal baru di Batavia. Namanya Daendels. Katanya ia dikirim raja Belanda, adik kaisar Perancis yang bernama Napoleon. Nama ini sudah sering didengar rakyat dari orang Inggris. Inggris bercerita mengenai perang besar di Eropah antara Inggris dan sekutunya melawan Perancis. Tetapi apa hubungannya dengan rakyat di Maluku, tidak dimengerti dan disadari oleh penduduk. Baru sesudah kapal-kapal dari Batavia menembus blokade Inggris dan membawa perintah untuk Gubernur Maluku Cransen mulailah rakyat di negeri-negeri menjadi gelisah, terutama kaum mudanya. Anak buah orang Belanda dan pelaut-pelaut Jawa dan Makasar, yang bekerja di kapal-kapal Belanda itu membawa kabar bahwa Daendels disebut rakyat Jawa "Jenderal Guntur," karena dia memerintah dengan tangan besi. Seluruh pulau Jawa dijadikan benteng pertahanan untuk menghalau pendaratan tentara Inggris. Pegawai-pegawai sipil distreliterisasikan dan tunduk pada hukum dan undang undang militer. Rakyat dikerahkan secara besar-besaran untuk membuat pertahanan. Siapa membangkang ia dihukum berat.
Tangan besi itu akan menimpa pula rakyat di Ambon dan Lease. Instruksi tiba dari Daendels. Gubernur dan komandan militer harus mengerahkan tenaga kaum muda jika perlu secara paksa, untuk dijadikan militer dan dikirim ke Jawa. Pemerintahan harus direorganisir sehingga komandan militer harus bertanggung jawab penuh atas pertahanan. Rakyat harus dikerahkan dan bahan-bahan disediakan untuk membuat benteng pertahanan.
Pengumuman dikeluarkan. Raja-raja patih dipanggil oleh residen. Timbul kegoncangan di negeri-negeri. Di antara pemuda-pemuda ada yang meninggalkan negeri dan menyingkir ke hutan. Mereka tidak sudi dijadikan serdadu Belanda, apalagi dikirim ke Jawa. Rakyat dikerahkan untuk menebang kayu, menyediakan bahan-bahan bangunan dan lain-lain dan mengangkutnya ke tempat-tempat tertentu untuk membuat benteng pertahanan, jika ada bayaran, tidak berarti sama sekali karena sangat rendah. Rakyat mengeluh dan memprotes. Mereka membandingkan pemerintahan Belanda dengan pemerintahan Inggris. Tetapi raja-raja patih diancam sehingga mereka bertindak keras pula terhadap rakyat yang berani melawan.
Setahun kemudian raja-raja mendengar bahwa telah terjadi perselisihan antara Gubernur Cransen dengan komandan militer dalam pelaksanaan instruksi Daendels. Akibatnya keduanya dipecat oleh "Jenderal Guntur" dan diperintahkan berangkat ke Batavia. Gubernur Ternate, Wieling, dipindahkan ke Ambon untuk mengganti Cransen. Dengan pemindahan ini, gubernemen Ternate dihapus dan Maluku Utara diletakkan langsung dibawah gubernur Ambon. Tetapi alangkah terkejutnya rakyat Ambon, sebab beberapa bulan kemudian tentang berita dari Benteng Victoria, bahwa gubernur baru itu telah membunuh diri. Berita ini tersiar sampai ke negeri-negeri. Ternyata Wieling tertekan jiwanya. Dia merasa tidak bisa mengatasi kekuasaan militer. Menghadapi ancaman serbuan armada Inggris, ia menjadi bingung, takut dihukum oleh tangan besi gubernur jenderal di Batavia, lalu memutuskan untuk berpamitan dengan dunia yang fana ini. "Berbaringlah ia dengan damai." Sedang penggantinya, Gubernur Heukevlugt, akan menghadapi tugas yang berat.
Kekurangan uang kontan menyebabkan Daendels memerintahkan supaya diadakan penghematan di segala bidang, kecuali untuk pertahanan. Gubernur mengeluarkan instruksi supaya rakyat di tiap-tiap negeri membayar sendiri guru-gurunya. Sampai saat itu Kompenilah yang membayar guru-guru. Bayaran itu tidak seberapa, tetapi berarti besar bagi guru-guru. Belum lagi diambil langkah selanjutnya, gaji guru telah dihentikan. Guru-guru tidak sudi hidup dari belas kasihan rakyat. Rasa angkuh mereka untuk menerima sedekah dari rakyat, menyebabkan dalam waktu singkat mereka hidup merana. Dapat dimengerti bila kegelisahan timbul di semua negeri Kristen. Timbullah kebencian yang mendalam dalam kalbu guru-guru itu terhadap Belanda. Karena besar pengaruh mereka di kalangan rakyat dan kebencian itu tidak disembunyikan, maka bertambah membara kebencian rakyat terhadap Pemerintah Belanda.
2.7. Tiupan Angin Kebebasan
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Pada tanggal 16 Pebruari 1810, untuk kedua kalinya rakyat Kota Ambon menyaksikan sebuah armada Inggris memasuki Teluk Ambon. Kapten Tucker mendarat dengan satu pasukan berkekuatan empat ratus orang tanpa ada perlawanan dari pihak Belanda.
Satu kesatuan mendarat di Wainitu. Satu kesatuan lagi bergerak ke Batu Gantung. Di sini terjadi pertempuran singkat. Belanda mempertahankan diri di atas sebuah bukit, tetapi akhirnya menyerah. Keesokan harinya bendera putih dinaikkan di Benteng Victoria tanda Belanda menyerah. Komandan Militer Belanda Kolonel Filz adalah seorang komandan yang lemah. Ia tidak bersemangat sama sekali untuk bertempur. Tanggal 19 Pebruari Gubernur Heukevlugt menandatangani perjanjian penyerahan Ambon dan daerah bawahannya kepada Inggris.
Banda pun diserang dan dengan mudah jatuh ke tangan Inggris. Ternate baru diserang bulan Agustus dan menyerah pada tanggal 31 Agustus 1810. "Tidak dapat disangkal, bahwa serdadu-serdadu Belanda di sini, sama seperti di daerah lain di Nusantara, tidak berjuang dengan tekad yang menjadi ciri khas dari kesatuan-kesatuan Belanda di masa lampau. Mereka mengalami demoralisasi karena pertikaian aliran-aliran politik pada waktu itu dan tidak mempunyai minat untuk mempertahankan regim baru itu," demikian tulis seorang Inggris.
Untuk kedua kali Maluku jatuh ke tangan Inggris. Untuk kedua kali timbul harapan bagi rakyat Ambon, Lease dan Seram akan perbaikan hidup. Menarik pelajaran dari masa pendudukan yang pertama, segera Pemerintah Inggris mengeluarkan pengumuman dan peraturan yang disiarkan kepada raja-raja, patih dan rakyat. Maksudnya untuk mendapat dukungan dan simpati rakyat, sehingga tercegah timbulnya perlawanan bersenjata.
Diberitakan kepada-segenap rakyat Maluku, bahwa Belanda sebagai suatu bangsa sudah lenyap dan tidak akan bangkit lagi. Negara Belanda sudah dimasukkan ke dalam Kekaisaran Perancis. Jadi untuk selanjutnya rakyat Maluku akan diperintah oleh bangsa Inggris. Hal ini sangat mempengaruhi Thomas dan kawan-kawannya di Lease. Mereka mengalami lagi perubahan dan tindakan Pemerintah Inggris dan menyambut baik semuanya itu. Pertama-tama tunggakan gaji guru-guru segera dibayar dan keadaan yang sudah-sudah dipulihkan. Kedua,verplichte leverantien dihapus, rempah-rempah dibayar kontan dan harga bahan pakaian diturunkan. Ketiga, kerja rodi diperingan, sedangkan upah para pekerja kuarto dari satu menjadi tiga "Ropijn".
Selama pemerintahan Inggris berjalan banyak uang beredar dalam masyarakat. Disamping "ropijn" beredar juga mata uang "matten", sedangkan uang kertas ditiadakan. Karena pegawai-pegawai dan kaum militer Inggris bergaji cukup tinggi dan banyak mengeluarkan uang, bertambah banyak pula uang dalam sirkulasi. Hasil produksi rakyat dibayar cukup wajar. Kesejahteraan dipertinggi lagi dengan pembentukan satu korps militer Ambon, sebesar lima ratus orang, yang bergaji cukup tinggi dan berseragam baik. Gaji mereka dapat membantu keluarga dan sanak-saudara mereka di negeri- negeri.
Pemerintahan negeri diperlunak. Raja-raja dan patih tidak diperbolehkan menghukum rakyat. Yang bersalah harus diajukan kepada pemerintah. Jika rakyat mengadukan rajanya kepada Pemerintah Inggris, karena sesuatu tindakan yang tidak benar atau tidak adil, kerapkali kepala itu dipecat tanpa didengar lagi, seperti terjadi dengan raja-raja Pelau, Kailolo dan Aboru. Kebebasan ini, terutama kebebasan kaum muda di negeri-negeri, mempunyai akibat buruk bagi Belanda bila nanti mereka kembali lagi sesudah Pemerintah Inggris berakhir.
2.8. Sersan Mayor Thomas Matulessia
Kebebasan bergerak dipergunakan oleh Thomas dan pemuda-pemuda Lease untuk sewaktu-waktu berkayuh ke Ambon. Ketika dikeluarkan pengumuman memanggil pemuda-pemuda untuk masuk tentara Inggris. Thomas dan kawan-kawannya segera mendaftarkan diri. Mereka tidak ragu-ragu karena dalam peraturan penerimaan ditentukan bahwa mereka hanya akan berdinas di Ambon. Sesudah dipenuhi syarat-syarat penerimaan, diperiksa kesehatan dan diuji kemampuan masing- masing menerima lima ratus orang, termasuk Thomas Matulessia dari Haria. Korps Ambon disusun dan dimasukkan ke dalam asrama di Ambon. Mereka dibayar cukup tinggi dan berseragam yang baik. Berbagai macam latihan dan keterampilan mempergunakan senjata api mereka pelajari selama dalam ketenteraan Inggris. Latihan perang-perangan, pendaratan di berbagai pantai yang berombak dan tidak, berkarang atau berpasir putih, adalah latihan-latihan yang sungguh dipersiapkan untuk menangkis dan menyerang musuh. Karena perang antara Inggris melawan Belanda dan Perancis masih berkecamuk, maka pemerintah Inggris di Maluku tetap siap siaga. Oleh karena itu sesudah latihan-latihan dasar selesai kesatuan-kesatuan korps itu disebarkan ke berbagai pulau.
Thomas Matulessia telah menjadi seorang laki-laki dewasa, tegap dan kekar kuat badannya. Ia menunjukkan kecakapan, keterampilan dan pimpinan yang melebihi kawan-kawannya. Oleh karena itu cepat ia naik pangkat. la diangkat menjadi pemimpin kawan-kawannya, dari sersan kemudian menjadi sersan mayor. Ia seorang pemberani, wataknya keras, kerap kali tindakannya juga keras terhadap anak buahnya. Pengalaman ini bagi Thomas sangat berguna di kemudian hari. Tidak disangka oleh Thomas dan kawan-kawannya bahwa masa dinas militer dalam angkatan perang Inggris ini akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam memberi pimpinan kepada rakyat di masa yang akan datang. Kebencian mereka terhadap Belanda menjadikan mereka prajurit-prajurit yang bertekad bulat untuk menghancurkan Belanda. Tetapi mereka tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Rasanya tidak banyak mereka ketahui dan mengerti tentang pergolakan politik dan jalannya peperangan di Eropa. Melalui komandan militer, Thomas dan korpsnya mendengar bahwa Gubernur Jenderal Daendels sudah berangkat meninggalkan Jawa. Janssens, penggantinya telah menyerahkan kekuasaan kepada Gubernur Jenderal Inggeris Raffles. Seluruh Nusantara sekarang dikuasai oleh Inggris.
Sedikit-dikitnya Thomas sudah berumur duapuluh tujuh tahun ketika ia memasuki ketentaraan Inggris. Pada suatu hari ia berkenalan dengan seorang cantik yang di dalam tubuhnya mengalir darah Eropa. Namanya pun menunjukkan dia turunan negeri dingin. Itulah Elisabeth Gassier. Suami Elisabeth adalah Eliza Titaley. Perpisahan mereka terjadi dengan paksa, karena Eliza diangkut ke Pulau Jawa sebagai tentara Belanda. Terputuslah hubungan suami-isteri karena angkatan laut Inggris memutuskan semua hubungan antara Jawa dan Ambon.
Ketika Thomas berkenalan dengan Elisabeth, wanita ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada keluarga White, syahbandar Pelabuhan Ambon. Percintaan kedua orang muda ini terjalin selanjutnya, tanpa ada perkawinan. Elizabeth inilah yang dikemudian hari selalu menyertai Thomas dan terus-menerus mendorong Thomas untuk melawan Belanda. Kebencian dan rasa dendam yang membara dalam sanubarinya terhadap Belanda adalah akibat dari pemutusan hubungan secara paksa dengan suaminya.
Demikianlah kehidupan Thomas selama hampir tujuh tahun dalam ketentaraan Inggris. Sekalipun Inggris memerintah dengan lunak menurut prinsip liberal, tetapi terjadi pula pembunuhan terhadap residen Inggris di Saparua. Menurut orang Inggris residen itu bertindak terlalu keras terhadap penyelundupan. Tetapi orang Belanda mengatakan bahwa tindak-tanduknya yang tidak senonoh terhadap seorang gadis cantik di Saparua menyebabkan ia menjadi korban pembunuhan. Pemerintah Inggris menuduh Raja Ulath, Jeremias Latuihamalo alias Salemba, sebagai biang keladi. Ia ditangkap, diadili lalu dibuang ke Madras. Setelah masa pembuangannya, ia kembali ke Saparua dan berdiam di Porto, negeri asalnya. Salemba inilah yang akan memainkan peranan penting dan mendampingi Thomas sebagai penasehat dalam perang melawan Belanda.
Pada umumnya, selama masa pemerintahan Inggris rakyat di Seram, Ambon dan Lease hidup lega, damai dan tenteram terlepas dari bermacam- macam tekanan monopoli selama tujuh tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar