BAB III. KAPITAN PATTIMURA PEMIMPIN PERANG PEMBEBASAN RAKYAT
3.1. Maluku Berpindah Tangan.
Dentuman meriam silih berganti susul-menyusul di medan pertempuran Waterloo di Belgia pada tanggal 18 Juni 1815. Pertempuran itu menentukan nasib Napoleon Bonaparte dengan kekaisaran Perancisnya. Pertempuran itu menentukan pula masa depan negara-negara Eropa yang sedang saling menghancurkan. Perancis kalah. Sebab itu lawan-lawannya berkumpul di Wiena pada tahun itu juga untuk mengatur kembali tata kehidupan bernegara dari bangsa-bangsa Eropa yang telah diobrak- abrik oleh Napoleon, dan di situ pula diatur kembali milik dan status jajahan di Asia.
Tanpa disadari dan tanpa diketahui apa yang terjadi di belahan bumi yang jauh itu, rakyat Maluku melanjutkan hidupnya, menghirup udara yang lebih bebas di bawah pemerintahan Inggris yang mau mengerti dan mengatur kehidupan rakyat lebih baik daripada kekuasaan sebelumnya. Tetapi setahun sesudah pertempuran di Waterloo itu, datang berita bahwa Maluku harus diserahkan kembali kepada Belanda. Ada apa sebenarnya ? Inggris, yang keluar sebagai pemenang harus melaksanakan Traktat London, yang dibuatnya dengan Belanda dalam tahun 1814. Traktat London ! Itulah sumber penyerahan kembali Indonesia kepada Belanda. Sumber yang dikukuhkan dalam musyawarah bangsa-bangsa Eropa di Wiena.
Setahun kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1816, ketika bendera Union Jack diturunkan dan dikibarkan triwarna merah-putih-biru di Balai Kota Batavia disaksikan oleh Letnan Gubernur Inggris John Fendall dan para Komisaris Jenderal Belanda. Elout, Buyskes dan van der Capellen, barulah terlaksana Traktar London.
Berita penyerahan itu sampai juga di Ambon, kemudian tersiar ke seluruh pelosok daerah Maluku. Berita itu menggemparkan rakyat di negeri-negeri Seram, Ambon dan Lease. Bukankah orang Inggris pernah menyiarkan berita bahwa Belanda tidak akan kembali lagi ? Bahwa sebagai suatu bangsa, riwayat Belanda sudah berakhir ? Kalau memang benar Belanda akan kembali, masih sudikah rakyat menerima nasibnya seperti dahulu, hidup lagi dalam cengkeraman monopoli ?
Apa yang berkecamuk di dalam hati sanubari Thomas ketika ia mendengar berita itu, sulit diduga. Sehari-harian ia bermuram-muraman saja. Kebenciannya terhadap Belanda digelorakan lagi oleh Lisbeth, begitulah Elisabeth disapakan sehari-hari. Kiranya dapat dimengerti bahwa Lisbeth mendorongnya untuk bertindak. Thomas mempunyai anak buah. Mengapa tidak menggunakannya pada saat Belanda kembali ? Tetapi keadaan belum masak, saat belum tiba. Disiplin militer terlalu meresap dalam diri Thomas dan korpsnya untuk bertindak di luar kehendak opsir-opsir atasannya. Ia masih harus menurut perintah.
Tanggal 18 Maret 1817, pagi-pagi benar Thomas telah menggerakkan kesatuannya ke berbagai tempat. Daerah pelabuhan dan pantai pendaratan di dekat Benteng Victoria dijaga keras. Beberapa hari sebelumnya pimpinannya telah mengumpulkan komandan-komandan pasukan dan menerangkan kepada mereka situasi yang timbul karena Traktat London. Dalam beberapa hari lagi akan tiba suatu eskader Belanda membawa Gubernur Belanda dan pengiringnya. Mereka akan disertai pula oleh sepasukan tentara. Jadi pasukan Thomas harus bersiap-siap untuk bertugas bila eskader itu telah kelihatan di Tanjung Alang. Benar juga apa yang terjadi pagi itu. Pagi itu rakyat Alang dan Nusaniwe menyaksikan suatu iring-iringan kapal Belanda sebanyak tujuh buah, terdiri atas kapal perang dan kapat pengangkut, memasuki Teluk Ambon. Rakyat di pesisir teluk berbondong-bondong lari ke pantai untuk menyaksikan eskader itu. Beberapa buah kapal perang Inggris angkat sauh lalu berlayar menuju eskader itu. Sesudah pertukaran tanda-tanda penghormatan maritim dan tembakan penghormatan, menyusurlah kapal-kapal itu ke Ambon. Berhadapan dengan Benteng Victoria berdentum meriam-meriam tanda penghormatan dari kedua belah pihak. Lalu kapal-kapal membuang sauh.
Di dekat pelabuhan dan pantai sekitar benteng, rakyat Ambon berkerumun menonton dengan diam dan cemas menyaksikan apa yang sedang dan akan terjadi. Dentuman meriam mengundang rakyat dari daerah pegunungan bergegas-gegas turun ke pantai. Sekoci-sekoci diturunkan dari kapal untuk mengangkut Komisaris Engelhard dan van Mideelkoop ke darat diikuti para pembesar militer dan sipil disertai keluarga masing-masing dan para komandan kapal. Dalam suatu upacara resmi, Martin, residen Inggris bersama para pembesar menyambut rombongan itu.
Sersan Mayor Thomas dan beberapa kawannya memperhatikan situasi secara sungguh-sungguh. Kapal-kapal itu menarik perhatian mereka. Bertanya di sana-sini dari anak buah kapal dan memperoleh keterangan bahwa armada Belanda itu terdiri atas kapal perang Maria Reygersbergen, dipimpin komandan Overste J. Groot ; Nassau dengan komandan Sloterdijk ; Lversten dengan komandan Kapten Laut PM. Dietz dan beberapa buah kapal pengangkut Swallow, Salambone dan Malabar. Juga diperoleh kabar bahwa ada sepasukan tentara yang berkekuatan kira-kira delapan ratus orang. Mereka sebagian besar terdiri atas orang-orang Jawa, yang baru direkrut. Pada hari-hari berikutnya Thomas dan pasukannya mengalami kesibukan menghadapi berakhirnya tugas mereka di dalam ketentaraan Inggris.
Persiapan penyerahan kekuasaan pada hari-hari berikutnya menyibukkan para pembesar dari kedua belah pihak. Perundingan pelaksanaan Traktat London menghasilkan persetujuan pada tanggal 14 Maret dan baru ditandatangani pada tanggal 24 Maret, oleh Martin, Engelhard dan van Middelkoop. Tanggal 20 Maret Burfhgraaff dilantik sebagai residen di Hila dan keesokan harinya sebagai residen Larike. Pada hari itu juga Jr. van den Berg dilantik sebagai residen Saparua.
Pada tanggal 25 Maret, tanggal serah terima kekuasaan. Rakyat Ambon menyaksikan upacara penurunan bendera Inggris dan penaikan bendera Belanda. Penurunan Union Jack disambut oleh Nassau dengan tiga puluh tiga tembakan meriam, sedangkan sebuah kapal Inggris membunyikan dua puluh satu tembakan. Dari Benteng Victoria berdentum tembakan yang sama jumlahnya sebagai tanda penghormatan dan terima kasih. Kemudian tri warna merah-putih-biru dinaikkan dengan sambutan tembakan meriam yang sama pula jumlahnya dari kedua kapal perang tadi dan Benteng Victoria. Sesudah itu van Mideelkoop dilantik sebagai gubernur Maluku. Lalu disusul dengan penyerahan kekuasaan dari Residen Martin kepada Van Middelkoop dan Engelhard. Dalam menyusun dan menjalankan pemerintahan gubernur itu didampingi oleh Engelhard. Pada hari itu juga Uijtenbroek dilantik sebagai residen Haruku. Seluruh upacara diadakan di Batugajah, di tempat kediaman residen Inggris. Sehabis upacara serah terima, proklamasi penyerahan dibaca di depan umum dan disaksikan oleh raja-raja patih yang memenuhi undangan residen Inggris dan rakyat Ambon yang berdiri di luar gedung upacara.
Serah terima kekuasaan itu disusul dengan penggantian penjagaan di pos-pos militer dan marine. Thomas dan kawan-kawan menyerahkan tugas mereka kepada pasukan Jawa. Masih muda-muda mereka itu. Tetapi alangkah lucunya. Pasukan Jawa ini tidak dilengkapi sebagai layaknya pasukan. Mereka belum diberi pakaian seragam. Mereka masuk pos-pos hanya bercelana pendek dan berbadan telanjang. Pandangan ini tidak menguntungkan Belanda di mata masyarakat. Kenyataan ini menurunkan penilaian rakyat terhadap kualitas tentara Belanda. Lebih-lebih lagi mereka pernah menyaksikan kekalahan tentara Belanda beberapa tahun yang lalu oleh sepasukan kecil tentara Inggris.
Tanda buruk menimpa Belanda di siang hari, yaitu ketika rakyat Ambon menyaksikan tri warna diturunkan setengah tiang. Apa gerangan yang terjadi ? Tersiar kabar bahwa Kapten Laut PM Dietz, komandan kapal perang Evertsen yang pagi itu bertolak ke Banda, meninggal dunia ketika mendekati Tanjung Alang. Jenazahnya diturunkan dengan sekoci dan didayungkan kembali ke Kota Ambon.
Sore hari rakyat menyaksikan kesedihan orang-orang Belanda yang menguburkan opsir mereka itu. Kebetulan pada saat itu terlihat di langit beberapa gumpalan awan yang aneh bentuknya. Rakyat yang masih penuh tahyul menyiarkan desa-desus bahwa kematian Dietz dan gejala alam itu adalah pertanda buruk bagi Belanda. Berita ini seolah-olah ditiup angin ke seluruh pelosok dan mulailah orang-orang meramalkan keruntuhan Kompania Wolanda. Setelah penyerahan itu, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai residen Ternate. Demikianlah dalam waktu yang singkat pimpinan pemerintahan pusat di Ambon maupun di daerah diambil alih oleh pemerintah Belanda dan berkibarlah kembali bendera merah-putih-biru di setiap benteng, pusat kekuasaan kaum penjajah. Untuk kesekian kali sultan-sultan, raja-raja dan patih serta rakyat Maluku mengalami perubahan kekuasaan. Kembalinya Belanda telah menjadi kenyataan.
Tanda buruk menimpa Belanda di siang hari, yaitu ketika rakyat Ambon menyaksikan tri warna diturunkan setengah tiang. Apa gerangan yang terjadi ? Tersiar kabar bahwa Kapten Laut PM Dietz, komandan kapal perang Evertsen yang pagi itu bertolak ke Banda, meninggal dunia ketika mendekati Tanjung Alang. Jenazahnya diturunkan dengan sekoci dan didayungkan kembali ke Kota Ambon.
Sore hari rakyat menyaksikan kesedihan orang-orang Belanda yang menguburkan opsir mereka itu. Kebetulan pada saat itu terlihat di langit beberapa gumpalan awan yang aneh bentuknya. Rakyat yang masih penuh tahyul menyiarkan desa-desus bahwa kematian Dietz dan gejala alam itu adalah pertanda buruk bagi Belanda. Berita ini seolah-olah ditiup angin ke seluruh pelosok dan mulailah orang-orang meramalkan keruntuhan Kompania Wolanda. Setelah penyerahan itu, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai residen Ternate. Demikianlah dalam waktu yang singkat pimpinan pemerintahan pusat di Ambon maupun di daerah diambil alih oleh pemerintah Belanda dan berkibarlah kembali bendera merah-putih-biru di setiap benteng, pusat kekuasaan kaum penjajah. Untuk kesekian kali sultan-sultan, raja-raja dan patih serta rakyat Maluku mengalami perubahan kekuasaan. Kembalinya Belanda telah menjadi kenyataan.
Sore hari rakyat menyaksikan kesedihan orang-orang Belanda yang menguburkan opsir mereka itu. Kebetulan pada saat itu terlihat di langit beberapa gumpalan awan yang aneh bentuknya. Rakyat yang masih penuh tahyul menyiarkan desa-desus bahwa kematian Dietz dan gejala alam itu adalah pertanda buruk bagi Belanda. Berita ini seolah-olah ditiup angin ke seluruh pelosok dan mulailah orang-orang meramalkan keruntuhan Kompania Wolanda. Setelah penyerahan itu, Berkhoff diangkat sebagai residen Banda dan Neijs sebagai residen Ternate. Demikianlah dalam waktu yang singkat pimpinan pemerintahan pusat di Ambon maupun di daerah diambil alih oleh pemerintah Belanda dan berkibarlah kembali bendera merah-putih-biru di setiap benteng, pusat kekuasaan kaum penjajah. Untuk kesekian kali sultan-sultan, raja-raja dan patih serta rakyat Maluku mengalami perubahan kekuasaan. Kembalinya Belanda telah menjadi kenyataan.
3.2. Demobilisasi "Korps Limaratus".
Bagaimana dengan status Thomas dan kawan-kawannya sekarang ? Pada waktu Traktat London disusun, Pemerintah Inggris menawarkan Korps Ambon dari Thomas kepada Belanda tetapi ditolak. Karena Belanda berpendapat bahwa nanti bila Maluku telah dikembalikan toh akan ada pengerahan pemuda-pemuda Ambon untuk menjadi sedadu. Dalam artikel 11 Traktat London ditetapkan agar supaya residen Inggris di Ambon merundingkan pengoperan Korps Ambon ini dengan gubernur Belanda. Akan tetapi di dalam surat perjanjian penerimaan serdadu Ambon yang dibuat dengan Inggris dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku, maka serdadu-serdadu harus dibebaskan, sehingga mereka berkebebasan penuh untuk memilih memasuki dinas militer kekuasaan baru itu atau tidak. Berdasarkan hal ini anggota-anggota Korps Ambon menuntut keluar dari dinas militer Inggris. Thomas dan kawan-kawannya tidak mau dioperkan begitu saja sebagai barang dagangan. Para komisaris menolak keinginan Korps Ambon ini. Tetapi residen Martinlah yang berkuasa atas mereka. Sesudah tanggal 24 Maret ia menandatangani suatu seruan memanggil semua anggota Korps Ambon untuk berkumpul di Kota Ambon. Berduyun-duyun dan beramai-ramai diiringi tifa dan totobuang dengan menggunakan arombai-arombai yang dihiasi daun kelapa dan bendera-bendera, datanglah mereka dari pulau-pulau ke ibu kota.
Rakyat berlari-lari ke pantai Teluk Ambon, bergembira ria dan kagum melihat lelaki-lelaki yang tegap-tegap, kekar, gagah dengan seragam militer Inggris, berkayuh masuk Pelabuhan Ambon diiringi irama tifa, gong dan totobuang. Suatu pameran kekuatan otot-otot yang memikat hati, menggetarkan hati gagis-gadis Ambon yang senang berkhayal. Terpikat hati mereka ketika "Korps Lima Ratus" sehari kemudian berdefile di hadapan residen dan para opsir Inggris, para pembesar dan opsir Belanda disaksikan oleh ratusan rakyat Ambon baik dari kota maupun dari negeri dan gunung-gunung. Bangga pula Residen Martin berhadapan untuk penghabisan kali dengan hasil gemblengan Inggris selama tujuh tahun. Kata perpisahannya sungguh mengesankan Thomas dan kawan-kawannya. Tanda mata dibagi-bagikan. Tetapi yang lebih penting lagi bagi seorang militer yang didemobilisasikan ialah penyerahan surat bebas oleh residen Inggris kepada masing-masing anggota korps. Surat itu mengangkat mereka ke status "borgor". Bukan saja mereka, tetapi juga anggota keluarga mereka mengecap kesenangan dan keuntungan dari status itu.
Sebagai seorang "borgor" (dari kata Belanda : burger) yang memiliki surat bebas (vrijbrief), mereka memperoleh status sosial yang lebih bebas dan lebih tinggi dari pada anak negeri biasa. Mereka dibebaskan dari berbagai jenis kerja-paksa dan kerja kuarto. Didalam pemerintahan kota atau negeri, mereka diletakkan di bawah perintah seorang sersan lingkungan (sergeant wijkmeester). Mereka tidak tunduk pada raja atau patih. Mereka tidak boleh dihukum oleh kepala negeri, tetapi hanya oleh residen, dan dengan cara yang berlainan dari pada anak negeri biasa.
Setelah upacara selesai dan ditutup dengan defile, para anggota korps ini diserbu oleh sanak-saudara, pemuda dan pemudi, kawan-kawan dan kenalan. Pada malam harinya Thomas dan kawan-kawan mengadakan pesta perpisahan dengan rakyat Ambon. Para opsir dan prajurit Inggris diundang pula. Semalam suntuk rakyat Ambon turut berpesta. Lagu-lagu berkumandang di udara. Dendang-berdengang pantun-berpantun saling berbalasan. Tifa dan totobuang mengiringi lagu-lagu "mungare" dan "jujaro". Jalan-jalan menjadi ramai. Di sana-sini ada rombongan yang berjalan terhuyung-huyung, beroleng kesana kemari, bersorak-sorai, dan berteriak-teriak sebagai tanda bahwa mereka terlalu banyak berkenalan dengan "air kata-kata" yaitu tuak dan sopi, anggur atau jenever. Sehari dua lagi mereka yang berasal dari Lease tinggal di Ambon untuk berbelanja ; membeli keperluan hidup, hadiah dan lain-lain bagi anak isteri, kekasih, sahabat dan kaum kerabat. Habislah sudah gratifikasi (uang demobilisasi) dua bulan gaji dari balatentara Inggris. Mereka pergunakan pula kesempatan untuk berpamitan dengan kawan-kawan mereka orang Inggris.
Pada saat berangkat ke Lease, Thomas dan kawan-kawannya diantar oleh kawan-kawan ke pelabuhan menaiki arombai masing-masing. Berpamitanlah mereka dengan ibukota Ambon dan rakyatnya. Beberapa kali arombai-arombai berputar-putar di teluk kemudian terjadi suatu pandangan yang sangat menarik. Rakyat di sepanjang Teluk Ambon menyaksikan suatu perlombaan adu tenaga mengayuh arombai menuju ke teluk dalam. Tifa gong mengiringi irama kayuh. Sorak-sorai bergembira putra-putra dari Lease ini memperlihatkan kerja otot-otot yang kekar. Ketika kapal-kapal Belanda tiba, para masnait bersorak-sorak berteriak-teriak mengejek Kompania Wolanda. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara Belanda sekarang dengan Kompania dahulu. Mereka tidak menyembunyikan kebencian mereka sepanjang jalan bila berpapasan dengan kapal Belanda.
Setiba di Negeri Baguala (Paso) mereka memikul arombai mereka, berjalan kira-kira lima belas menit melalui genting tanah (pas), kemudian menurun ke Teluk Baguala. Dari situ mereka melanjutkan perjalanan ke Lease. Jalan ini adalah jalan yang terpendek dan lebih aman dari Ambon ke Lease dan sebaliknya, sehingga dihindari jalan panjang yang berombak dan bergelombang di Tanjung Alang dan Nusaniwe. Lomba arombai mempercepat perjalanan ke negeri masing-masing. Yang pertama tiba adalah arombai dari negeri-negeri di Pulau Haruku. Dari jauh kawan-kawannya dari Saparua dan Nusalaut melihat mereka disambut oleh anak negeri, sanak-saudara dan sahabat. Semua orang ingin mengetahui apa yang sudah terjadi di Ambon. Ketika memasuki Teluk Haria tifa dan gong mengiringi perlombaan antara arombai Haria dan Porto disertai sorak-sorai dan teriakan para masnait. Rakyat kedua negeri itu berlari-lari ke pantai ingin menyaksikan Lomba arombai itu. Lomba arombai antara kedua negeri itu selalu menarik perhatian, karena telah menjadi tradisi dan permainan rakyat. Kalah atau menang silih berganti Haria dan Porto menjadi saingan bebuyutan. Perlombaan sore hari itu di teluk yang begitu tenang dan sungguh mengasyikkan. Tua-muda, kecil-besar, semuanya turut bersorak-sorak. Perahu-perahu kecil besar yang ada di darat tergesa-gesa didorong ke laut dan turut berlomba-lomba mendekati arombai-arombai yang sedang bertanding itu.
Haluan diputar dan peralahan-lahan mereka menuju ke pantai. Thomas dan kawan-kawan disambut oleh rakyat dengan riang gembira. Semua orang ingin mendengar kabar dari Ambon, Bagaimana dengan Inggris ? Sudah berangkat atau belum ? Apakah betul-betul Belanda sudah kembali ? Ada kapal perang Belanda ? Berapa banyak ? Tentara Belanda kuat atau lemah. Begitulah bertubi-tubi rombongan eks prajurit Inggris itu dijhujani dengan berjenis pertanyaan. Peluk mesra antara Thomas dengan ibu dan sanak-saudaranya. Akhirnya mereka bersatu kembali sesudah berpisah beberapa tahun. Malam harinya mereka disambut oleh bapa raja, tuan guru dan saniri negeri. Bala rakyat memenuhi halaman rumah raja. Para bekas prajurit itu menceritakan pengalaman mereka dan kejadian di Ambon. Sampai jauh malam orang berkumpul di rumah-rumah mendengar cerita, obrolan dan dongeng. Pada hari Minggu gereja penuh sesak. Tuan guru menaikkan doa ke hadriat Allah, mengucapkan syukur akan kembalinya para bekas prajurit itu bersatu lagi dengan kaum-keluarganya. Suasana yang sama di Haira dan Porto itu terjadi juga di lain-lain negeri di Lease.
3.3. Kesan dan Beban
Beberapa hari kemudian, pada akhir bulan Maret terdengar dentuman meriam silih-berganti. Datangnya dari Teluk Saparua. Ada apa ? Perang lagi ? Rakyat Haria bertanya-tanya. Ternyata hanya tembakan penghormatan, tanda Residen Van den Berg tiba dengan kapal perang di Saparua. Sehari dua lagi akan diadakan timbang-terima pemerintahan. Sekali lagi raja-raja patih dan orang-kaya dari Pulau Saparua dan Nusalaut menuju ke Kota Saparua atas undangan residen Inggris untuk menyaksikan timbang-terima dengan Van den Berg. Ini adalah yang terakhir kalinya mereka menyaksikan penggantian kekuasaan. Sesudah itu tidak pernah lagi ada kekuasaan asing lain menggantikan Belanda.
Di Ambon pasukan Inggris, pegawai sipil dan para pembesar bergegas-gegas untuk meninggalkan Ambon. Kali ini untuk selama-lamanya. Residen Martin akan menyusul kemudian, karena masih ada hal-hal yang harus diselesaikan dengan Middelkoop dan Englehard. Inggris meninggalkan berbagai kesan di hati rakyat. Pada rakyat Negeri Seit diwarisi kebencian karena Ulupaha, pahlawan tua, telah dihukum mati oleh Pemerintah Inggris dalam tahun 1796. Banyak juga orang yang tewas dan dihukum mati pada waktu itu. Penduduk lain mendapat kesan bahwa Pemerintah Inggris sungguh-sungguh memperhatikan penderitaan rakyat. Berbagai peraturan yang dikeluarkan dan dijalankan meringankan rakyat.
Memang Inggris meninggalkan kesan yang menonjol dibandingkan dengan Kompeni. Bentuk pemerintahan tidak banyak berubah. Tetapi pikiran-pikiran yang maju dan bebas dirasai oleh rakyat. Urusan keuangan membawa ketenangan di kalangan masyarakat. Pegawai-pegawainya berwatak dan sungguh-sungguh. Kepala-kepala pemerintahan seperti gubernur, para residen dan para opsir, disamping gaji, menerima juga tunjangan yang wajar, sehingga pemerasan terhadap rakyat dapat dijauhkan. Pada awal masa pemerintahan, Engelhard dan van Middelkoop melaporkan ke Batavia apa yang mereka alami.
"Monopoli rempah-rempah dimana-mana mengalami kemunduran dan terancam akan punah. Karena semasa pemerintahan Inggris perniagaan swasta di Maluku begitu berkembang, sehingga Amboina dapat dikatakan menjadi bandar penimbunan hasil dari seluruh perdagangan di bagian timur Jawa. Kapal-kapal dari barat Nusantara membawa kesana pakaian, candu barang-barang buatan Eropah, yang dapat dibeli dengan murah, sesudah pelayaran dari Inggris ke Indonesia menjadi bebas.
Jadi perbedaan ini sangat menyolok. Sampai kedatangan orang Inggris, rakyat hanya mengenal Kompeni. Sekarang mereka merasa kehilangan suatu pemerintah yang mempunyai ide-ide yang maju dan bebas. Engelhard menulis kepada Flout di Batavia sebagai berikut : "Berbagai adat kebiasaan orang Inggris, yang berbeda dengan adat kebiasaan kita, tak dapat tiada meninggalkan bekas, yang tidak menguntungkan kita di Maluku. Pada rakyat ditinggalkan prinsip-prinsip yang lain sama sekali."
Jadi perbedaan ini sangat menyolok. Sampai kedatangan orang Inggris, rakyat hanya mengenal Kompeni. Sekarang mereka merasa kehilangan suatu pemerintah yang mempunyai ide-ide yang maju dan bebas. Engelhard menulis kepada Flout di Batavia sebagai berikut : "Berbagai adat kebiasaan orang Inggris, yang berbeda dengan adat kebiasaan kita, tak dapat tiada meninggalkan bekas, yang tidak menguntungkan kita di Maluku. Pada rakyat ditinggalkan prinsip-prinsip yang lain sama sekali."
Apa yang dibawa oleh orang-orang Belanda yang kembali ke Maluku ? Dari kantor gubernur dikeluarkan bermacam-macam putusan yang merehabilitasi peraturan-peraturan di zaman Kompeni. Monopoli berlaku lagi. Perdagangan bebas dilarang dan tindakan diambil terhadap pedagang-pedagang yang melanggarnya. Kembali mereka dicap "penyelundup", Tindakan Gubernur Middelkoop dalam bidang keuangan sangat menggelisahkan, baik pegawai-pegawainya sendiri dan kaum militer maupun rakyat. Karena tidak ada uang, maka diedarkan kembali uang kertas yang sangat dibenci itu. Tindakan itu tidak terpuji dan tidak disetujui oleh Engelhard oleh karena kantor penukaran belum diorganisasi dan dibuka. Walaupun demikian dilaksanakan juga. Tindakan ini menjadi permulaan pertengkaran antara kedua pembesar itu. Uang kertas dalam kenyataannya tidak bisa ditukar. Di seluruh Indonesia Timur hanya ada tiga buah kantor penukaran.
Rakyat menjadi makin gelisah. Mereka menolak menerima uang kertas itu. Mereka teringat kembali akan pengalaman di zaman Daendels. Di dalam peredaran dan simpanan mereka masih ada uang ropijn Inggris dan uang matten Spanyol, perak dan emas. Tetapi celakanya bagi rakyat di Saparua, jika uang kertas itu ditolak, si penolak ditangkap oleh residen lalu dihukum cambuk dengan rotan. Sebaliknya jika rakyat membeli sesuatu di gudang atau toko gubernemen dan membayar dengan uang kertas, pegawai residen tidak bersedia menerimanya. Mereka diharuskan membayar dengan uang perak.
Lain lagi pendirian Residen Berkhoff di Banda tanggal 9 April dia menulis surat kepada gubernur Maluku seperti berikut : "Saat ini saya merasa tidak berwewenang untuk mengesahkan pembayaran dengan uang kertas, tanpa ada sesuatu pengumuman yang mendesak atau tanpa ada sesuatu jaminan. Tanpa itu dikhawatirkan akan timbul ketidak percayaan dan mungkin agitasi. Apa lagi pengalaman di masa lampau di wilayah ini meninggalkan bekas yang mendalam".
Jujurkah ? Beranikah ? Mungkin ! Mungkin pula ada motif yang lain, yaitu membela rakyat Belanda dan turunannya yang menghuni Kepulauan Banda. Maklumlah, masyarakat Banda bukan masyarakat kulit hitam, jadi untuk apa mereka harus disusahkan ?
Lagi-lagi keluar perintah untuk kerja rodi. Rakyat diharuskan membuka kebun cengkeh dan pala untuk kepentingan gubernemen. Saparua telah mulai dengan penanaman pala sebanyak tujuh ratus lima puluh pohon, yang dibebankan kepada rakyat. Penanaman pala ini dilakukan sebagai percobaan, karena sampai saat ini hanya Banda yang diizinkan menanam pala. Belum lagi selesai pekerjaan ini datang lagi perintah untuk membuka kebun kopi. Kayu diperlukan oleh gubernemen dalam jumlah yang banyak untuk tonggak-tonggak pangkalan angkatan laut, untuk memperbaiki kerusakan berat pada benteng, rumah sakit tentara, gedung-gedung di Banda dan pos-pos di Leitimor. Kapal perang "Nassau" memerlukan kayu bakar dua ratus vadem dan Reybersbergen tiga puluh enam vadem (per vadem enam kaki kubik, berharga empat ropijn). Sekalipun harga telah ditentukan, tetapi pembayarannya sangat seret. Rakyat negeri-negeri yang langsung diperintah dari benteng Nieuw Victoria mengalami keseretan yang menjengkelkan. Tanda penyerahan kayu diterima dari opsir zeni. Dari orang ini ke superintendent atau pengawas umum pemerintahan negeri untuk disetujui, kemudian ke pemegang buku untuk diberi fiat, baru dapat diambil uangnya di kantor keuangan. Urusan yang berbelit-belit dan birokratis ini memakan waktu berhari-hari, kadang-kadang berminggu-minggu. Kesempatan terbuka bagi pegawai-pegawai untuk memotong disini, mengurangi disana dan memeras lagi. Maklumlah pegawai-pegawai itu masih banyak dari rezim lama, yaitu rezim Kompania Wolanda, yang terkenal dengan korupsi dan pemerasan. Di daerah-daerah residen baru boleh membayar, sesudah mendapat izin dari gubernur untuk mengeluarkan sejumlah uang yang disetujuinya, lebih mendongkolkan lagi, dibayar dengan uang kertas. Dalam rangka kerja paksa komandan militer memerintahkan tiap negeri supaya menyediakan dua buah arombai dengan masnaitnya untuk pelayaran secara teratur ke pos Baguala, kewajiban ini melanjutkan ketentuan lama semasa Kompania yang sudah dihapus oleh Inggris.
Tidak ada tanda-tanda sama sekali bahwa gubernur pernah membela nasib rakyat terhadap begitu banyak tuntutan dari fihak militer. Jika gubernur berhasil mendapatkan serdadu untuk berdinas di Maluku saja, maka komandan militer tidak menyetujuinya. la berpendapat bahwa seorang serdadu dapat dikirim kemana saja diperlukan oleh gubernemen. Ini yang ditentang oleh rakyat. Pemuda-pemuda tidak mau masuk dinas militer untuk diangkut ke Jawa. Tantangan ini yang memusingkan Residen van den Berg. Apalagi menghadapi rakyat Saparua dan Nusalaut yang sudah dipengaruhi oleh Thomas dan kawan-kawannya, bekas prajurit-prajurit Inggris, yang banyak terdapat di negeri- negeri.
Inilah kegagalan Engelhard yang mengeluarkan instruksi untuk merekrut serdadu Ambon bagi Jawa. Belanda memerlukan empat ratus orang. Hanya tigapuluh tiga orang memasuki dinas militer, memenuhi panggilan itu. Itu pun sebagian besar orang-orang Jawa yang berdiam di Ambon. Kewajiban rakyat seolah-olah tidak habis-habis. Dendeng, ikan kering dan garam harus pula diserahkan kepada gubernemen. Bertambah berat tugas rakyat. Bertambah gelisah seluruh rakyat Ambon, Lease dan Seram.
Di negeri-negeri tersiar kabar bahwa sekolah-sekolah akan ditutup. Terutama di Saparua isyu ini menambah kegelisahan masyarakat. Disini tersiar kabar bahwa guru-guru akan diberhentikan dan anak-anak akan disekolahkan di kota Saparua. Benarkah hal ini ? Dalam suratnya kepada para komisaris di Ambon tertanggal 15 April, Residen van den Berg menulis bahwa persekolahan akan hancur sama sekali jika Pemerintah Belanda tidak membayar para guru seperti di zaman Kompeni. Pemerintah Perancis (Daendels) dalam tahun 1810 telah menghentikan pembayaran gaji guru-guru dan memerintahkan rakyat tiap-tiap negeri untuk membayar guru-guru mereka. Tindakan itu sangat merugikan. Oleh karena itu residen tidak akan mengadakan perubahan apapun.
Inilah nasihat residen kepada para komisaris sebagai jawaban atas surat mereka mengenai rencana untuk mempersatukan sekolah-sekolah di ibukota Keresidenan Saparua. Mereka hendak mengikuti contoh pemerintah Inggris yang mempersatukan sekolah-sekolah kecil di sekitar kota dalam satu sekolah besar di Kota Ambon. Bukan maksud para komisaris untuk memperbaiki pendidikan, tetapi untuk menghemat uang negara, sehingga beban sekolah-sekolah yang tidak digabungkan dapat ditanggung oleh negeri masing-masing. Advis residen ini adalah pendapat yang bijaksana. Ini berarti guru-guru akan tetap menerima gaji mereka. Tetapi hal ini tidak diketahui oleh rakyat. Residen tidak dapat mengatasi isyu-isyu yang telah tersiar di dalam masyarakat Saparua dan Nusalaut. Jadi akhirnya tuduhan rakyat terhadap pemerintah Belanda, bahwa gubernemen akan menutup sekolah-sekolah dan akan memecat guru-guru, harus dipikul oleh van den Berg.
Saparua adalah pulau yang terpadat penduduknya, kira-kira dua belas ribu orang, dan tanahnya tersubur. Oleh karena itu hasil produksi cengkih juga sangat besar. Kata orang Belanda "Saparua is het neusje van de zalm" (Saparua adalah hidung ikan zalem). Hidung ikan zalem adalah bahagian yang paling enak. Jadi Saparua merupakan bagian yang paling empuk, paling basah, paling enak untuk menjadi kaya dengan cara pemerasan dan lain-lain tindakan yang tidak halal. Itulah sebabnya mengapa bekas Gubernur Jenderal Siberg mengusulkan kepada para komisaris jenderal untuk mengangkat keponakannya, van den Berg, sebagai residen Saparua.
Thomas Matulessia sadar bahwa kebencian rakyat Saparua dan Nusalaut makin meningkat karena residen dan pegawai-pegawainya menjalankan instruksi dari gubernur dengan keras. Tanpa kebijaksanaan, dengan sikap seorang ambtenar penjajahan yang otoriter, tanpa pengertian terhadap persoalan-persoalan masyarakat dan terhadap manusia Lease. Tindakan-tindakannya sangat menyakitkan hati, misalnya, residen memaksa rakyat membuat garam untuk gubernemen, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Residen mengadakan perjalanan keliling untuk cacah jiwa yang ada hubungan dengan kerja rodi dan pajak. Siapa tidak muncul atau terlambat datang dicambuk dengan rotan. Dalam kesempatan berkeliling itu ia memerintahkan kaum borgor untuk kerja paksa. Siapa yang hendak bebas harus memberi uang sogok kepada residen. Tetapi residen mempunyai alasan. Dalam masa berakhir pemerintahan Inggris terjadi manipulasi dengan surat bebas. Surat itu dapat dibeli dari pegawai-pegawai Inggris. Maklumlah para pemuda dan kaum lelaki sudah jemu dengan kerja rodi, kerja kuarto dan berjenis-jenis kewajiban. Jadi mereka cari jalan apa saja untuk mendapatkan surat bebas itu. Pencatatan jiwa penduduk itu menimbulkan pula kecurigaan diantara kaum lelaki. Mereka khawatir dipaksa memasuki tentara Belanda lalu diangkut ke Jawa. Yang selalu menggelisahkan mereka ialah apabila mereka dibawa ke Jawa, Siapa yang akan memberi makan dan memelihara anak-isteri dan orang tua mereka ? Itulah sebabnya, setiap kali residen datang, banyak laki-laki yang meninggalkan negeri pergi ke hutan.
Sering residen menuntut, mengadili, menjatuhkan vonis dan menghukum sendiri orang-orang yang bersalah. Tanpa pemeriksaan yang teliti dan adil, orang yang bersalah dihukum berat, dipukul dengan rotan atau dihukum kurungan dalam kamar gelap di benteng. Kaum borgor yang bersalah sering dicambuk dengan rotan dengan cara seperti mencambuk anak negeri. Mereka diikat pada tiang atau pohon kemudian dicambuk. Menurut peraturan seorang borgor harus ditiarapkan di alas bangku baru dipukul dengan tali pengganti rotan. Dua orang kawan Thomas, yaitu Anthonie Rhebok dan Philip Latumahina, keduanya borgor dan berusia sekitar tigapuluh lima dan empat puluh tahun dicambuk seperti orang biasa.
Dalam waktu yang begitu pendek, belum sampai sebulan setengah, van den Berg telah menyulut sumbu dinamit bagi meledaknya suatu revolusi rakyat yang paling berdarah. Dinamit kebencian berpuluh-puluh tahun terhadap penjajah Belanda tidak dapat lagi ditahan lagi dan meledaklah.
3.4. Gerakan Kemerdekaan
Suasana pada umumnya menjadi tegang segera setelah timbang terima kekuasaan. Rakyat Ambon, Lease, Seram Barat dan Selatan memikul beban yang berat jika dibandingkan dengan rakyat Seram Timur, Goram dan pulau-pulau sekitarnya. Rakyat disitu tidak langsung dikuasai oleh pegawai dan militer Kompeni. Mereka lebih beruntung. Mereka lebih bebas bergerak dan berdagang dengan orang asing. Mereka tidak merasa akibat ekstirpasi dan hongi Kompeni.
Jadi di dalam jiwa rakyat Ambon, Lease, Seram Barat dan Selatan tertanam keinginan besar untuk melepaskan diri dari Belanda. Tetapi adat istiadat yang mengikat mereka pada raja-raja patih, tindakan keras dari Kompeni yang mengakibatkan/memaksakan mereka tunduk, pengaruh besar dari guru sekolah dan guru injil, mencegah rakyat untuk mengangkat senjata pada waktu-waktu yang lampau. Tetapi runtuhnya kekuasaan Kompeni oleh suatu pasukan kecil Inggris pada tahun 1796, kemudian terulang lagi pada tahun 1810, membuka mata rakyat bahwa kekuasaan Belanda dapat dihancurkan dengan senjata. Jadi sudahlah tiba waktunya untuk merencanakan perebutan kekuasaan dengan kekerasan senjata.
Suasana di Kota Ambon. Segera sesudah penyerahan para eks militer Inggris menolak masuk tentara Belanda. Mereka mulai mempengaruhi orang-orang buangan gubernemen yang telah dibebaskan dan bekas budak-budak Kompeni. Juga sebagian kaum borgor yang tidak berpenghasilan menggabungkan diri dengan mereka. Kota Ambon mulai dikacaukan dengan permainan judi, gangguan keamanan, pencurian, perkelahian dan lain-lain tindakan kekerasan. Pasukan penjagaan kota dan polisi yang berpatroli diserang di jalan-jalan. Semua fihak mengeluh. Pemerintah menjadi pusing.
Pada saat yang sama datang laporan dari Residen Hila bahwa ada orang-orang dari pegunungan dan hutan yang mengganggu keamanan di jalan raya. Untuk mengatasi gangguan itu, gubernur mengeluarkan pengumuman :
"Dalam jangka waktu tiga bulan semua eks prajurit Ingris, para penganggur dan orang asing tanpa pekerjaan atau tanpa Surat keterangan dari kepala negeri, harus mencari pekerjaan di kota Ambon, atau masuk tentara Belanda atau pulang ke negeri masing-masing. Jika tidak mereka akan ditangkap dan diangkut ke Banda".
Ke Banda berarti kerja paksa sebagai budak di perkebunan pala kaum pertikelir. Karena ancaman ini banyak di antara mereka yang meninggalkan kota Ambon, antara lain ke Saparua. Bertambahlah di situ potensi yang militant yang dapat diperlukan bagi suatu perang rakyat.
Pada tanggal 4 April, delapan puluh orang laki-laki dari Jazirah Hitu mengadakan suatu rapat rahasia di hutan petuanan Liang. Mereka bermusyawarah selama empat hari. Pada tanggal 9 April sekali lagi limapuluh orang berkumpul selama tiga hari di tempat yang sama. Di sini mereka menentukan sikap untuk mengangkat senjata memerangi Belanda. Mereka bersumpah setia secara khidmat seraya memutuskan untuk mengirim surat kepada rakyat di Seram dan Haruku, mengajak rakyat bangkit untuk melepaskan diri dari pemerintahan Belanda. Sesudah musyawarah itu para penghubung berangkat ke negeri-negeri di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku.
Di Pelau seorang tua, Kapitan Suwara Patti dihubungi agar siap menerima kedatangan orang-orang Hitu. Kapitan itu pergi pula ke Liang untuk menghubungi kapitan-kapitan disana. Dari Haruku khabar rencana Liang itu tersiar pula ke Hulaliu, dari sana dibawa orang menyeberang selat ke Haria.
Raja lepas dari Hulaliu dan Pelau mendengar rencana ini. Mereka menuju ke ibu kota karesidenan, Haruku, dan melaporkannya kepada Residen Uitenbroek. Tanggal 25 April residen menulis surat kepada gubernur di Ambon dan melaporkan hal itu. Tetapi gubernur tidak begitu percaya akan laporan itu. Sekalipun demikian, van Middelkoop memerintahkan Overste Krayenhoff, komandan militer se-Maluku, untuk menempatkan seorang sersan, seorang kopral dan enam orang serdadu di Benteng Hoorn di Pelau. Uitenbroek juga diperintahkan untuk menyelidiki hal itu selanjutnya. Dikirim pula seregu serdadu untuk menduduki Hitulama. Dua orang secara terpisah, dikirim ke Liang melalui jalan yang berbeda, untuk menyelidiki keadaan disitu dan untuk mengetahui apakah kapitan Suwara Patti berada di Liang. Tanggal 26 April kedua pesuruh itu kembali dan melaporkan bahwa keadaan di Liang tenang-tenang saja dan kapitan Suwara Patti tidak berada disitu. Laporan ini cocok dengan laporan Residen Hila tanggal 30 April, yang juga menerima surat dari gubernur untuk menyelidiki keadaan di Liang. Menurut penyelidikan dua orang petugasnya keadaan di Liang tenang, malahan rakyat sangat gembira dengan kembalinya Belanda. Hanya orang kaya lepas dari Liang yang dicurigai.
Residen Haruku melaporkan pada tanggal 5 Mei, bahwa menurut penyelidikannya tidak ada tanda-tanda ketidak puasan dan rencana pemberontakan di kalangan rakyat Pelau dan Kailolo. Lagi pula berita adanya komplotan antara rakyat kedua negeri itu dengan rakyat Liang tidak benar sama sekali. Sedangkan kapitan Suwara Patti adalah seorang penduduk Pelau yang sudah tua, tidak berdaya lagi dan tidak mengetahui apa-apa. la tidak pernah pergi ke Liang. Berita ini diperkuat lagi oleh seorang pesuruh gubernur yang dikirim ke sana untuk menyelidiki keadaan.
Kemudian Residen Haruku mengirim raja lepas Pelau dan Hulaliu tersebut ke Ambon untuk menghadap Gubernur. Kedua orang itu memberi laporan bahwa ada keresahan di kalangan rakyat. Laporan mereka tidak dipercayai oleh van Middlekoop dan Engenhard. Mereka mencurigai kedua raja itu, karena mereka menduga bahwa kedua raja itu memberi laporan palsu dengan perhitungan akan diangkat kembali menggantikan raja sekarang yang diangkat oleh Inggris. Hal semacam itu pernah terjadi. Ketika tahun 1803 Pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaan dari Inggris ada beberapa raja yang telah dipecat Inggris diangkat kembali. Raja Pelau dan Hulalui ditangkap dan dipenjarakan.
Palsukah laporan-laporan itu ? Benarkah tidak ada kegelisahan dan kebencian serta rencana perlawanan di kalangan masyarakat terhadap Belanda ? Pimpinan Belanda di Ambon berpendapat tidak ada apa-apa. Kalau begitu rakyat di Jazirah Hitu dan Pulau Haruku sangat waspada. Pengalaman di waktu lampau menjadikan mereka sangat hati-hati. Terlambat pembesar Belanda sadar bahwa berita tentang rencana Liang itu memang benar, ketika rakyat Saparua mengangkat senjata disusul oleh rakyat di Pulau Haruku dan Jazirah Hitu.
3.5. Rencana Saparua
Pada akhir April 1817, suasana di negeri-negeri di Pulau Saparua dan Nusalaut makin menjadi tegang dan panas. Bermacam berita menggelisahkan rakyat, antara lain bahwa kaum lelaki akan dipaksakan untuk memasuki tentara Belanda dan akan dikirim ke Batavia. Berita ini bersumber pada pengumuman van Middelkoop, yang seperti disebut di atas menyebabkan bekas prajurit Inggris dan orang-orang borgor yang menganggur meninggalkan Ambon dan berpindah ke Saparua.
Philip Latumahina, seorang bekas juru tulis Residen van den Berg, menyiarkan berita itu ke mana- mana. Sebagai seorang borgor ia pernah dicambuk dengan rotan oleh residen bersama dengan Anthonie Rhebok dengan alasan berkelahi. Kemudian ia diberhentikan. Philip tidak pernah lupa akan penghinaan itu.
Selama itu terdapat pula berita dari Hulailu mengenai rencana Liang. Thomas dan adiknya hampir setiap malam mengumpulkan kawan-kawan mereka untuk membicarakan situasi yang makin memburuk. Ibu Thomas yang sudah tua hanya menggeleng-geleng kepala saja. la tidak pernah mencegah anak-anaknya dan pemuda-pemuda Haria lainnya, yang sudah menjadi bapak-bapak itu, untuk melancarkan suatu rencana bersenjata menghancurkan kekuasaan Belanda.
Patih Haria, Jeremias Leihitu, mencium adanya kegelisahan. Haria adalah pintu masuk-keluar Pulau Saparua, dan sering dilalui oleh pegawai dan serdadu Belanda ke Ambon dan sebaliknya. Patih yang tidak menguasai rakyatnya mudah diketahui dan dihardik residen. Tetapi Patih Haria tidak berani bertindak terhadap Thomas dan kawan-kawannya, lebih-lebih mengingat status borgor dari orang-orang itu.
Malam tanggal 2 Mei, serombongan laki-laki berkumpul lagi di rumah Thomas dan Johannis. Saatnya telah tiba untuk bertindak. Besok setiap pemuda Haria harus dikerahkan. Kita berkumpul di Wailunyo, demikian Johannis. Enam orang beta tugaskan untuk mengerahkan orang-orang dari Haria, berkata Thomas. Semua harus membawa senjata. Keesokan harinya Johannis Matulessia, Nikolas Pattinasarany, Jeremias Tamaela, Marawael Hattu, Bastian Latupeirissa dan Hermanus Latupeirissa berkeliling rumah-rumah di Haria untuk mengajak setiap pemuda berkumpul di Wailunyo, hutan petuanan Haria yang berbatasan dengan petunaan Tiouw dan Paperu. Kesibukan-kesibukan di Haria itu diketahui pula oleh orang-orang Porto. Bergegas-gegas dan berbondong-bondong kaum lelaki Haria dan Porto menuju ke Wailunyo. Seratus orang laki-laki yang tegap, berorot kekar, penuh dengan kebencian terhadap Belanda, berkumpul di hutan itu. Ada yang bersenjata api, ada yang bersenjata parang dan salawaku ada yang bersenjata panah dan tombak, semuanya bersiap-siap, waspada kalau-kalau pertemuan telah diketahui residen.
Musyawarah tanggal 3 Mei itu dibuka oleh Hermanus Latupeirissa dengan doa. Dalam keadaan yang menentukan ini, seratus orang itu sadar bahwa sebagai manusia mereka memerlukan bimbingan Ilahi dalam menghadapi kesukaran-kesukaran yang akan timbul. Di atas bahu Thomas dan kawan-kawannya terletak suatu tanggung jawab yang berat sekali. Jiwa raga mereka pertaruhkan dalam mengambil prakarsa untuk menghancurkan kekuasaan kolonial Belanda. Olen karena itu diperlukan dari kelompok seratus orang laki-laki itu tekad yang sebulat-bulatnya, karena pertaruhan adalah jiwa raga mereka, keluarga mereka, anak-isteri mereka dan seluruh rakyat. Sebab itu dengan khidmat, sesuai kebiasaan masyarakat adat di Lease yang penuh religio-magis, mereka bersumpah saling setia. Kutukan "tete nenek moyang" akan menimpa barang siapa yang mengingkari sumpah setia itu.
Thomas, Johannis dan kawan-kawannya mengemukakan keberatan-keberatan terhadap Pemerintah Belanda. Sudah terlalu berat beban rakyat. Dengan berapi-api isi hati kelompok seratus itu dicurahkan, penuh kebencian dan nafsu membunuh. Akhirnya diputuskan untuk menghancurkan Benteng Duurstede di Saparua dan membunuh semua orang yang berada di dalamnya. Barang siapa mengingkari putusan itu akan dibunuh beserta keluarganya. Dalam waktu singkat, ibarat ditiup angin, tersiar rencana Wailunyo ke seluruh pelosok Lease. Suasana perang mulai meliputi rakyat. Senjata api dikeluarkan, parang, tombak dan anak panah diasah. Sudah terlalu lama rakyat menunggu-nunggu saat ini.
Bagaimana sikap raja-raja, patih dan orang-kaya ? Pendirian mereka terbagi-bagi. Ada yang menyetujui rencana itu, ada yang tidak memperlihatkan sikap tetapi diam-diam menyetujui, ada pula yang menolaknya. Thomas dan kawan-kawannya mengawasi gerak-gerik Patih Haria. Setiap hari ia bertemu dengan residen. Datang berita dari Siri-Sori Serani bahwa juga raja negeri itu, Honannis Salomo Kesaulya, setiap hari menemui residen. Apa gerangan yang mereka bicarakan ? Sudahkah mereka membuka rahasia Wailunyo kepada residen ? Tak ayal lagi, kedua orang ini membahayakan rencana rakyat. Harus disingkirkan, begitulah pendapat Thomas dan Johannis.
Pada tanggal 9 Mei, ke-enam orang tadi berkeliling lagi di rumah-rumah di Haria dan memanggil kaum lelaki dan mungare untuk berkumpul lagi di Wailunyo. Kali ini sekitar seratus orang pula berkumpul di situ. Tiupan kulit bia (siput), tanda rapat akan dimulai, membelah udara dan menyebabkan bulu roma berdiri. Thomas memimpin rapat ini. la membuka rapat dengan bersembahyang. Suatu tanda bahwa kelompok seratus sungguh-sungguh berada dalam keadaan tekanan jiwa yang maha hebat dan berat. Apa pun yang akan mereka lakukan Tuhan akan beserta dengan mereka, melindungi rakyat dan mengampuni mereka. Demikianlah Thomas menutup doanya.
Sesudah itu hadirin mengajukan pertanyaan siapa akan memimpin mereka, siapa yang akan diangkat menjadi kapitan. Dengan ketetapan hati dan kebulatan tekad, sambil menatap hadirin, dengan sinar mata yang berapi-api, yang memancarkan tanggung jawab yang besar dengan mengacungkan kelewangnya, berserulah Thomas Matulessia bahwa dia akan menjadi kapitan. Dia akan memimpin kawan-kawannya dan akan mengerahkan suatu armada laut terdiri dari arombai-arombai. Benteng akan diserang dan dihancurkan. Tuan "Fetor" akan dibunuh.
Serentak bersoraklah kelompok seratus orang itu. Thomas Matulessia laki-laki kabaresi ! Dan, menggemalah sorakan itu ke seluruh pelosok pulau-pulau di Maluku dari abad ke abad hingga kini. Sorak-sorai orang-orang itu menggetarkan dan membelah udara di hutan Wailunyo dan disambut dengan bunyi tifa, gong, tiupan kulit bia dan genderang perang. Berkelompok serentak mereka melakukan tari cakalele. Sungguh sangat emosional.
Setelah itu musyawaran dilanjutkan. Persoalan patih Haria dan raja Siri-Sori Serani dikemukakan. Kedua kepala negeri itu dicurigai karena hubungan mereka dengan residen yang dilakukan hampir setiap hari. Olen karena itu musyawarah memutuskan untuk membunuh kedua kepala negeri itu. Putusan diambil untuk mengirim kurir ke semua negeri di Lease, memanggil semua laki-laki untuk musyawarah besar di hutan Saniri di Saparua, berbatasan dengan hutan Siri-Sori dan Tuhaha, pada tanggal 14 Mei.
Sementara rakyat di negeri-negeri mempersiapkan suatu peperangan, bagaimana keadaan di Benteng Duurstede ? Residen mendapat laporan yang saling bertentangan. Ada yang melaporkan tentang adanya persiapan perlawanan, tetapi ada pula yang membantahnya. Van den Berg tidak menguasai bahasa daerah, lagi pula ia tidak mengerti dialek bahasa Melayu Ambon dengan baik. Juru tulisnyalah, Ornek, seorang Indo, banyak mengetahui tentang gerak-gerik dan suasana rakyat. la dan kawan-kawan sekerjanya bertanggung jawab atas banyak tindakan residen yang dilakukan berdasarkan saran mereka. Apakah Patih Haria telah memberitahukan residen tentang rencana Wailunyo itu ? Hukuman mati telah diputus dalam musyawarah rakyatnya. Akan tetapi dia belum, diapa-apakan. Mungkinkah dia memberi laporan yang menenteramkan residen ? Mungkinkah ia sendiri setuju dengan rencana rakyatnya ? Mungkinkah ia mengelabui mata tuan Fetor ?
Seorang pria Haria, Pieter Matheus Souhoka, melapor kepada residen betapa bencinya rakyat terhadap Belanda dan bahwa suatu perlawanan bersenjata sedang dipersiapkan. Untuk mengetahui kebenaran berita itu. van den Berg mengundang raja Booi dan Nolot ke benteng. Tetapi kedua raja ini menyangkal berita itu. Benarkah mereka tidak mencium dan tidak mengetahui gerak-gerik rakyatnya ? Ataukah mereka takut akan dibunuh ? Ataukah merekapun hendak mengelabui mata residen ? Souhoka harus membayar laporannya itu dengan cambukan rotan. Tetapi dua hari kemudian "nyora" Raja Nolot bertamu pada Nyonya van den Berg. Sambil minum kopi ia memberitahukan bahwa laporan Souhoka itu benar adanya. Sebab di negerinya setiap hari kaum lelaki mengadakan rapat dan sedang menyiapkan senjata untuk menyerang Belanda. Berita ini pun tidak dipercayai oleh van den Berg dan komandan pasukannya. Kelalaian ini akan mereka bayar dengan jiwa mereka.
Raja Siri-Sori Serani dan raja Amet tidak berani melaporkan gerakan rakyat itu kepada residen. Mereka takut diketahui oleh rakyatnya dan dibunuh. Apalagi vonis di Wailunyo telah dijatuhkan atas raja Siri-Sori. Tetapi secara diam-diam mereka berangkat ke Ambon dan melaporkan kepada gubernur rencana Saparua itu. Juga kali ini pembesar Belanda tidak percaya pada laporan kedua raja itu. Raja Amet disuruh pulang, sedangkan raja Siri Sori ditahan di Ambon.
Raja Siri-Sori Serani dan raja Amet tidak berani melaporkan gerakan rakyat itu kepada residen. Mereka takut diketahui oleh rakyatnya dan dibunuh. Apalagi vonis di Wailunyo telah dijatuhkan atas raja Siri-Sori. Tetapi secara diam-diam mereka berangkat ke Ambon dan melaporkan kepada gubernur rencana Saparua itu. Juga kali ini pembesar Belanda tidak percaya pada laporan kedua raja itu. Raja Amet disuruh pulang, sedangkan raja Siri Sori ditahan di Ambon.
3.6. Runtuhnya Benteng Duurstede ; Sambutan Oleh Hitu
Hari Rabu tanggal 14 Mei. Pagi-pagi benar, setiap pemuda di semua negeri berkeliling, memalu tifa, meniup kulit bia (siput), memanggil rakyat untuk berangkat ke hutan Saniri menghadiri musyawarah benar rakyat desa. Cuaca mendung pagi itu, karena musim penghujan sudah mulai, meramalkan kesuraman yang akan meliputi Saparua pada hari-hari yang akan datang. Dari segenap penjuru rakyat Hunimua (Saparua), Nusahalawano (Nusalaut) dan Haruku menuju ke tempat musyawarah. Kaum lelaki dan mungare bersenjatakan senjata api dan berjenis senjata tajam, mendaki gunung diikuti oleh kaum ibu dan jujaro yang membawa bekal, air, tuak dan sopi. Tidak banyak orang berbicara, gelak-tawa tidak kedengaran. Air muka para pendaki gunung itu memancarkan apa yang terkandung dalam kalbu mereka. Kesungguhan dan kebulatan tekad untuk berjuang. Para kapitan bermunculan memimpin pasukan dari negeri masing-masing. Kapitan Thomas Matulessia memimpin pasukan dari Haria. Tampak pula raja-raja dan patih dari berbagai negeri juga hadir beberapa orang guru.
Di tempat musyawarah tampak tokoh-tokoh yang akan memainkan peranan penting dalam pertarungan melawan penjajah : Johannis Matulessia dan Anthone Rhebok dari Saparua, Philip Latumahina dengan adiknya Lukas dari Paperu, Said Perintah dari Siri-Sori Islam, kakak beradik Pattiwael dari Tiouw. Lukas Selano kapitan dari Nolot, Lukas Lisapialia alias Aron kapitan dari Ihamahu, pemuda Titaley dari Saparua, kapitan Aipasa dari Tuhaha, kapitan Nanleita dan Henanussa dari Booi dan kapitan Watimury alias Kakirussi dari Porto.
Bunyi tiupan kulit bia panjang......... tiga kali berturut-turut. Hening.........., sunyi senyap........... semua terpaku pada tempatnya masing-masing. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri menunggu apa yang akan datang. Seorang kepala adat muncul di tengah-tengah rakyat. Berserulah ia dalam bahasa tanah (bahasa daerah) mengundang segenap rakyat untuk memperhatikan apa yang akan dikemukakan di dalam musyawarah yang penting ini. Kemudian naiklah suaranya berseru kepada datuk-datuk Hunimua, Nusahalawano dan Haruku untuk menyertai anak cucunya dalam waktu yang genting itu. Itulah adat kebiasaan rakyat yang masih belum terlepas dari alam animisme. Seorang guru maju ke tengah lingkaran manusia yang berkumpul itu. Semua orang berdiri, kepala ditundukkan. Bergemalah suara guru itu menaikkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Mahakuasa, mendoakan keteguhan iman bagi para pemimpin rakyat, keampunan bagi segenap rakyat, yang pada detik-detik ini berada di ambang pintu perjuangan kemerdekaan. Kemudian kapitan Thomas Matulessia maju ke depan dan memimpin musyawarah besar itu. Suaranya bergema di hutan belantara, membentangkan keberatan-keberatan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Waktu sudah tiba untuk membebaskan rakyat. Benteng Duurstede harus diserang, besok atau lusa. Semua orang Belanda harus dibunuh, semua penghuni benteng harus dimusnahkan. Juga mereka yang mengkhianati perjuangan rakyat ini. Segenap rakyat harus mempersiapkan semua jenis senjata yang dapat dipakai. Bahan makanan harus dikumpulkan.
Tangga-tangga kayu atau bambu harus disiapkan untuk menyerang benteng. Untuk perjuangan besar ini diperlukan persatuan. Segala perselisihan antar negeri harus dilenyapkan ; permusuhan antara "patasiwa" dan "patalima" harus ditiadakan.
Banyak orang berbicara, kapitan-kapitan, tua-tua adat, kepala-kepala negeri, guru-guru, kepala-kepala mungare ; semuanya berapi-api, emosional, semuanya memuntahkan kebencian dan kemarahan mereka terhadap Wolanda, yang sudah bertahun-tahun ditahan dan disimpan, malahan ditekan. Akhirnya dalam suatu upacara adat yang khidmat, tegang mendirikan bulu roma, semua hadirin bersumpah saling setia satu terhadap yang lain. Barang siapa yang berani berkhianat akan digantung pada dua batang pohon yang berdiri disitu. Suasana kemudian menjadi riuh rendah, bersorak-sorai pasukan-pasukan diikuti oleh cakalele. Tifa gong dan genderang dipalu, balas membalas, disambut dengan lagu-lagu perang, sampai jauh petang. Sementara itu para kapitan berunding mengatur siasat penyerangan terhadap Benteng Duurstede. Rencana Saparua telah dibulatkan, tidak ada lagi jalan keluar atau mundur. Rencana harus dilaksanakan malam itu juga. Revolusi pembebasan rakyat telah dimulai.
Dari tempat musyawarah itu pasukan dari Hatawano, Siri-Sori, Ulat, Ouw, dan Booi, menuju ke Porto. Jam Sembilan malam mereka tiba, disertai banyak ribut, tifa-tifa dipalu, bercakalele mereka sepanjang jalan, sehingga rakyat Haria dan Porto berbondong-bondong dengan obor yang menyala-nyala menuju Pelabuhan Porto. Di situ arumbai dan kayu-kayu gubernemen, yang telah siap untuk diangkut ke Ambon, disita. Juga sebuah arombai pesanan residen, yang tidak dibayar olehnya sesuai dengan harga yang telah disepakati, disita.
Keesokan harinya, tanggal 15 Mei, residen yang pagi-pagi benar menerima laporan tentang tindakan rakyat di Porto, segera menaiki kudanya dan menuju ke Porto seorang diri. Mungkin pada sangkanya, jika ia sendiri seorang wakil raja Belanda, muncul, maka rakyat yang membandel itu akan mundur dan menjadi tenang. Tetapi setiba di Haria dia mengalami keadaan yang gawat. Mula-mula ia singgah di rumah patih Haria untuk meminta laporan mengenai kejadian malam sebelumnya. Tetapi rakyat, yang mengetahui kedatangannya mencari untuk membunuhnya. Terpaksa ia disembunyikan. Tergesa-gesa ia menulis surat kepada komandannya di Saparua yang berbunyi : "Sersan datanglah segera dengan dua belas orang bersenjata lengkap untuk membebaskan saya. Seluruh rakyat berontak. Datanglah segera." Surat itu dibawa oleh dua orang laki-laki Haria. Seterima surat itu juru tulisnya, Ornek, disertai beberapa orang, segera menuju ke Haria. Tetapi di Hariapu mereka disambut oleh tembakan pasukan rakyat. Tangan Ornek kena peluru. Melihat begitu banyak orang bersenjata, ia tergesa-gesa kembali. Dengan dikawal dua puluh orang borgor, seorang kopral dan dua belas prajurit, untuk kedua kalinya, Ornek menuju Haria. Turut pula raja Amet. Tetapi setiba di tempat yang sama, terjadi tembak menembak yang ramai. Tangan seorang prajurit Belanda hancur kena tembakan. Pasukan Belanda diserang pasukan rakyat yang besar jumlahnya. Sebab itu Ornek memerintahkan pasukan mundur kembali lagi ke Saparua.
Sementara itu rakyat Haria dan Porto mencari residen untuk dibunuh. Thomas yang baru kembali dari pos depan memerintahkan supaya residen dilepas dan diantar ke Saparua. Berbondong-bondong laki-laki dari Haria dan Porto mengantar tuan Fetor sampai ke depan benteng. Juga Thomas turut serta. Di antara jalan residen harus menelan ejekan dan hinaan. Mengapa Thomas ini tidak mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh residen ? Ada dugaan bahwa ia tidak menghendaki rakyat Haria dan Porto dipersalahkan negeri lain karena membunuh residen. Tindakan itu harus dilakukan bersama-sama dengan cara menyerang benteng. Mungkin juga ia tidak sampai hati membunuh residen yang sudah tidak berdaya, tidak bersenjata dan tidak dikawal. Membunuh lawan di medan laga adalah soal lain bagi seorang prajurit.
Segera sesudah van den Berg berada kembali di Duurstede, ia memerintahkan untuk mengadakan persiapan guna menghadapi segala kemungkinan. Sebelumnya, ditengah jalan ia telah melihat sendiri betapa bergelora semangat perang rakyat. Nyonya van den Berg dan Ornek melaporkan kepada residen bahwa mereka sudah mengirim surat ke Ambon memberitahukan kejadian pagi itu. Surat Ornek ditujukan kepada gubernur, sedangkan surat nyonya van den Berg ditujukan kepada pamannya. Isinya memberitahukan bahwa rakyat Saparua telah berontak. Suaminya telah ditangkap dan dibunuh. Itulah surat terakhir yang diterima oleh para pembesar di Ambon mengenai orang-orang Belanda dan pasukannya di Saparua.
Segera Residen berusaha mengirim surat ke Ambon lewat Paperu. Usaha itu gagal karena orang-orang yang disuruhnya mencari arombai di Paperu ditembak di jalan. Mereka tidak kembali lagi ke benteng. Risakotta, guru di Porto, yang bersama-sama Patih Haria mengantar residen masuk ke dalam benteng, kembali pada petang hari. Setiba di Tiouw, Patih Haria tidak mau lagi kembali ke negerinya karena takut dibunuh. Guru Risakotta inilah yang mencatat kejadian-kejadian dalam peperangan melawan Belanda. Catatannya itu dikenal dengan nama Rapport Porto. Pada malam harinya Anthonie Rhebok dan Philip Latumahina mengunjungi residen. Thomas telah memberi instruksi kepada kedua orang itu agar mencatat apa yang ada di dalam benteng itu. Kekuatan dan jumlah tentara, persenjataan mereka, berapa meriam yang ada dan kegiatan apa yang sedang dilakukan.
Anthonie Rhebok, seorang borgor dari Saparua, adalah bekas serdadu Kompeni. la sudah berumur empat puluh tahun, berbadan besar dan sangat kuat. Parasnya menyinarkan batin yang kuat tetapi perangai yang lemah-lembut. Philip Latumahina, juga seorang borgor, berbadan besar dan gemuk. Berotot kekar dan berbadan kuat, berasal dari Paperu. Pernah ia menjadi juru tulis residen van den Berg. Kedua orang ini membenci van den Berg karena mereka pernah dicambuk dengan rotan oleh residen sendiri. Tetapi malam itu mereka harus melupakan semua itu. Van den Berg agak curiga, terkejut dan ragu-ragu menerima kedua orang itu. Tetapi sesudah mereka menasihati residen supaya berhati-hati dan bertindak bijaksana dan jangan memakai kekerasan, maka residen berbalik menjadi berbesar hati. Anggur dikeluarkan dan mereka minum bersama. Residen minta maaf atas hukuman yang dilakukan terhadap keduanya beberapa waktu yang lalu. Malahan Latumahina diizinkan tidur dalam benteng pada malam itu. Sedang Rhebok diminta untuk mengantarkan sepucuk surat kepada rakyat Siri-Sori untuk menenteramkan mereka, karena kegelisahan yang timbul, disebabkan raja mereka ditahan di Ambon. Rhebok bersedia dan ketika ia akan berangkat residen menjabat tangannya. Tetapi surat itu tidak pernah disampaikannya. Ia menuju ke pasar Saparua dan menempelkan surat itu di sebuah tiang. Latumahina mempergunakan kesempatan malam itu untuk mengumpulkan keterangan yang diperlukan. Pagi-pagi benar ia meninggalkan benteng. Sungguh residen bertindak naif dan sangat tidak waspada. Bukankah ia sudah diperingati oleh raja Siri-Sori Serani, patih Haria, raja Amet dan guru Risakotta ? Hari itu ia sangat tidak hati-hati. Ketidak-waspadaan ini akan mengakibatkan maut meraih seluruh isi benteng itu.
Anthonie Rhebok, seorang borgor dari Saparua, adalah bekas serdadu Kompeni. la sudah berumur empat puluh tahun, berbadan besar dan sangat kuat. Parasnya menyinarkan batin yang kuat tetapi perangai yang lemah-lembut. Philip Latumahina, juga seorang borgor, berbadan besar dan gemuk. Berotot kekar dan berbadan kuat, berasal dari Paperu. Pernah ia menjadi juru tulis residen van den Berg. Kedua orang ini membenci van den Berg karena mereka pernah dicambuk dengan rotan oleh residen sendiri. Tetapi malam itu mereka harus melupakan semua itu. Van den Berg agak curiga, terkejut dan ragu-ragu menerima kedua orang itu. Tetapi sesudah mereka menasihati residen supaya berhati-hati dan bertindak bijaksana dan jangan memakai kekerasan, maka residen berbalik menjadi berbesar hati. Anggur dikeluarkan dan mereka minum bersama. Residen minta maaf atas hukuman yang dilakukan terhadap keduanya beberapa waktu yang lalu. Malahan Latumahina diizinkan tidur dalam benteng pada malam itu. Sedang Rhebok diminta untuk mengantarkan sepucuk surat kepada rakyat Siri-Sori untuk menenteramkan mereka, karena kegelisahan yang timbul, disebabkan raja mereka ditahan di Ambon. Rhebok bersedia dan ketika ia akan berangkat residen menjabat tangannya. Tetapi surat itu tidak pernah disampaikannya. Ia menuju ke pasar Saparua dan menempelkan surat itu di sebuah tiang. Latumahina mempergunakan kesempatan malam itu untuk mengumpulkan keterangan yang diperlukan. Pagi-pagi benar ia meninggalkan benteng. Sungguh residen bertindak naif dan sangat tidak waspada. Bukankah ia sudah diperingati oleh raja Siri-Sori Serani, patih Haria, raja Amet dan guru Risakotta ? Hari itu ia sangat tidak hati-hati. Ketidak-waspadaan ini akan mengakibatkan maut meraih seluruh isi benteng itu.
Benteng Duurslede dihuni oleh residen beserta istri pegawai dan tiga orang anaknya, Juru Tulis Ornek, seorang sersan, dua orang artileris, dua orang kopral dan sepasukan serdadu serta sejumlah orang borgor. Pada malam itu sersan Verhagen berhasil menyelamatkan putrinya, Maria yang berusia 13 tahun yang beribu seorang pribumi. Melihat keadaanya yang sudah gawat, pada malam hari, sesudah air surut, maka anak yang telah dihitamkan wajahnya itu diturunkan dengan tali disebelah selatan benteng ke atas pantai berkarang. Berlarilah Maria ke sanak saudara ibunya. Sampai tahun 1886 ternyata Maria masih hidup.
Malam itu terjadi ketegangan yang besar dalam benteng. Demikian pula di luar benteng suasana sangat sibuk dan tegang. Subuh tanggal 16 Mei, pasukan rakyat telah siap sedia untuk menyerang benteng. Tetapi siapa yang akan memimpin mereka ? Aneh, tidaklah rakyat memilih seorang kapitan, seorang panglima, dalam musyawarah besar kemarin dulu ? Mengapa pada waktu itu Thomas Matulessia tidak diangkat oleh para kapitan ? Apakah mereka mau beroperasi sendiri-sendiri ? Belumlah mereka menaruh kepercayaan kepada laki-laki dari Haria itu ?
Pada pagi itu, saat mereka menghadapi peristiwa genting itu, tidak ada seorang kapitan yang berani mengambil pimpinan. Apakah Thomas tidak mengetahui rencana penyerangan pada pagi itu ? Mengapa ia tidak hadir ? Thomas berada di negerinya, Haria, hanya lima kilometer dari Saparua. Saat genting itu merupakan saat yang menentukan, namun Thomas tidak berada di tengah pasukan rakyat.
Wakil-wakil rakyat dan para kapitan, kira-kira lima puluh orang banyaknya, bermusyawarah pada pagi itu untuk mamperbincangkan siapa yang akan memimpin mereka. Beberapa orang berseru bahwa Thomas Matulessia adalah pemimpin yang telah terpilih di hutan Wailunyo, seorang kepala "soa" dari Negeri Tuhaha menyambut dan mengusulkan supaya Thomas Matulessia diangkat sebagai kapitan untuk memimpin penyerangan dan perjuangan selanjutnya. Karena dia telah memimpin rapat-rapat sebelumnya dan mempunyai kecakapan militer, berani, perkasa, jujur dan beriman kuat, rapat menerima usul itu.
Wakil-wakil rakyat dan para kapitan, kira-kira lima puluh orang banyaknya, bermusyawarah pada pagi itu untuk mamperbincangkan siapa yang akan memimpin mereka. Beberapa orang berseru bahwa Thomas Matulessia adalah pemimpin yang telah terpilih di hutan Wailunyo, seorang kepala "soa" dari Negeri Tuhaha menyambut dan mengusulkan supaya Thomas Matulessia diangkat sebagai kapitan untuk memimpin penyerangan dan perjuangan selanjutnya. Karena dia telah memimpin rapat-rapat sebelumnya dan mempunyai kecakapan militer, berani, perkasa, jujur dan beriman kuat, rapat menerima usul itu.
Demikianlah pada pagi buta itu Thomas Matulessia diangkat menjadi kapitan dan panglima perang tentara rakyat untuk memimpin rakyat dalam perang kemerdekaan yang akan dicetuskan pada pagi itu. Rapat mengutus empat orang berangkat ke Haria guna memberitahukan Thomas tentang keputusan itu, lalu membawanya ke Saparua. Mereka menemui Thomas, Johannis, kakak beradik Latuperissa dan lain-lain kawan sedang membicarakan berbagai masalah. Utusan mengemukakan putusan musyawarah dan mengajak Thomas untuk ke Saparua. Sesudah Thomas dan kawan-kawan yakin akan kesungguhan wakil-wakil rakyat yang mengangkatnya sebagai panglima perang, maka berangkatlah ia dengan kawan-kawannya disertai utusan-utusan itu ke Saparua pada waktu fajar menyingsing.
Pasukan-pasukan menyambutnya dengan sorak-sorai, teriakan-teriakan yang menggetarkan udara pada pagi hari itu dan mengejutkan penghuni benteng. Anthonie Rhebok menemui Thomas. Tadi malam ia telah memberi laporan tentang pertemuannya dengan residen kepada Thomas dan kawan-kawannya. Tidak lama kemudian Philip Latumahina datang. Ia baru saja keluar dari benteng. Ia memberi laporan tentang situasi di dalam benteng. Kapitan-kapitan dikumpulkan. Kapitan Thomas Matulessia berdiri menengadah ke langit. Semua orang berdiri menundukkan kepalanya. Guru kepala dari Saparua, J. Sahetappy, memanjatkan doa ke hadapan hadirat Allah, memohon kekuatan dan ketabahan bagi pasukan-pasukan, yang akan mengadakan serangan umum terhadap Duurstede. Kemudian Kapitan Matulessia dan para kapitan mengatur siasat penyerangan. Pasukan-pasukan dibagi dalam satuan-satuan kecil dipimpin oleh seorang kapitan atau oleh seorang bekas prajurit. Bekas serdadu Kompeni dan Inggris yang sudah terlatih baik dijadikan inti penyerangan. Banyak juga pasukan yang bersenjatakan bedil. Pasukan-pasukan mulai bergerak mengepung benteng. Tangga-tangga disiapkan.
Pasukan-pasukan menyambutnya dengan sorak-sorai, teriakan-teriakan yang menggetarkan udara pada pagi hari itu dan mengejutkan penghuni benteng. Anthonie Rhebok menemui Thomas. Tadi malam ia telah memberi laporan tentang pertemuannya dengan residen kepada Thomas dan kawan-kawannya. Tidak lama kemudian Philip Latumahina datang. Ia baru saja keluar dari benteng. Ia memberi laporan tentang situasi di dalam benteng. Kapitan-kapitan dikumpulkan. Kapitan Thomas Matulessia berdiri menengadah ke langit. Semua orang berdiri menundukkan kepalanya. Guru kepala dari Saparua, J. Sahetappy, memanjatkan doa ke hadapan hadirat Allah, memohon kekuatan dan ketabahan bagi pasukan-pasukan, yang akan mengadakan serangan umum terhadap Duurstede. Kemudian Kapitan Matulessia dan para kapitan mengatur siasat penyerangan. Pasukan-pasukan dibagi dalam satuan-satuan kecil dipimpin oleh seorang kapitan atau oleh seorang bekas prajurit. Bekas serdadu Kompeni dan Inggris yang sudah terlatih baik dijadikan inti penyerangan. Banyak juga pasukan yang bersenjatakan bedil. Pasukan-pasukan mulai bergerak mengepung benteng. Tangga-tangga disiapkan.
Sementara itu van den Berg dan Sersan Verhagen mengawasi gerakan rakyat pada pagi itu dari benteng. Pasukan telah disiapkan sejak malam hari. Matahari sudah semakin tinggi, tetapi belum lagi ada serangan. Dari berbagai negeri berdatangan pasukan-pasukan rakyat, lengkap dengan berbagai senjata. Dari benteng tidak ada tembakan, meriam pun membisu. Semuanya tunggu-menunggu. Tiba-tiba.......... lihatlah.......... Beratus-ratus mata ditujukan ke benteng. Bendera putih sedang dinaikkan.
Belanda menyerah ? Suatu siasatkah ? Sudahkah van den Berg terpengaruh oleh nasihat Rhebok dan Latumahina tadi malam ? Utusan Belanda datang menemui Kapitan Matulessia, minta berunding. Tetapi panglima perang dan kapitan-kapitan telah membulatkan tekad. Perundingan ditolak, utusan disuruh kembali.
Pada tengah hari segala sesuatu sudah siap. Putusan dijatuhkan, komando diberikan : serang... ! ! ! serbu... ! ! ! Bedil diletuskan, cakalele disertai teriak-teriakan yang mendirikan bulu roma membelah angkasa. Berlari-lari pasukan-pasukan menyerbu benteng. Pasukan Belanda menyambutnya dengan tembakan yang gencar. Meriam-meriam memuntahkan peluru yang menyebarkan maut di kalangan para penyerbu. Sampai dua kali serangan dipukul mundur. Untuk ketiga kali datang lagi serangan. Tangga disandarkan, tali-temali dengan kaitan dilemparkan ke atas tembok benteng dan mulailah pasukan menaiki benteng dari berbagai jurusan. Udara bergetar dengan letusan beratus bedil, sahut-menyahut dari kedua belah pihak, disertai teriakan-teriakan yang seram.
Van den Berg muncul di atas benteng, melambai-lambaikan sepotong kain putih dalam usahanya yang terakhir untuk menyelamatkan isi benteng itu. Sebuah peluru menembus pahanya menyebabkan ia terpelanting ke bawah. Sementara itu Kapitan Matulessia dan pasukannya tiba di atas benteng dan menyerbu masuk, menyerang musuh. Melihat penyerbuan yang begitu galak dan residen yang tergeletak di tanah dan disangka sudah mati, berlarilah pasukan Belanda yang masih hidup keluar melalui tembok benteng. Tetapi alangkah sedih nasib mereka. Di luar rakyat telah siap menunggu. Nyawa mereka dihabiskan. Di dalam benteng terjadi adegan yang sama. Perlawanan yang gigih diberikan oleh lawan yang bertahan. Tetapi akhirnya mereka dihabiskan karena kekuatan dan jumlah pasukan rakyat yang begitu besar. Ornek dan kakaknya disertai raja Amet berhasil meloncat keluar benteng lalu lari dengan perahu, tetapi mengalami nasib yang mengerikan. Mereka diburu oleh pasukan yang berjaga di laut dan diseret ke darat. Maut lalu merenggut nyawa mereka.
Setelah keadaan agak mereda berbaliklah Kapitan Matulessia mencari van den Berg. Masih tergeletak di tanah, belum tewas ia. Matulessia memerintahkan beberapa orang menyeretnya ke sebuah tiang, lalu diikat. Guru Sahetappy dipanggil. Berdoalah untuk tuan Fetor, perintah Kapitan Matulessia. Sementara itu beberapa juru tembak telah siap. Begitu doa selesai, kelewang panglima diangkat, bedil-bedil meletus serentak dan tamatlah riwayat seorang kepala pemerintah yang lalim, yang menyebabkan begitu banyak perbuatan ngeri dan begitu banyak korban yang jatuh. Ia pun harus menebus kelaliman pemerintah kolonial dengan jiwanya. Nyonya van den Berg dan dua orang putranya serta seorang putrinya diketemukan bersembunyi di gudang cengkih. Mereka diseret ke samping mayat residen dan mautpun merenggut nyawa mereka.
Sesudah benteng itu jatuh dan semua musuh tewas, muncul Salomo seorang budak asal Paperu, bekas pelayan residen, dengan seorang anak residen yang bernama Jean. Ia dibungkus dengan sehelai kain karena kepala dan telinganya terpotong pedang. Setelah anak itu dihadapkan pada Kapitan Matulessia, berkumpullah para kapitan dan para penasihat di ruang jaga untuk menentukan nasib anak itu. Pasukan mendesak agar ia dibunuh saja. Tetapi Salomon Pattiwael, seorang tua anggota keluarga patih Tiouw, maju ke depan dan memohon supaya anak itu jangan dibunuh, tetapi diserahkan kepadanya untuk dirawat dan dipelihara. Sejenak Thomas berpaling memandang para hadirin. Terharu juga ia melihat anak kecil yang tidak berdaya dan berlumuran darah itu. Kemudian Thomas memutuskan dan berkata : "Ini suatu tanda bahwa Tuhan tidak menghendaki anak ini dibunuh. Janganlah seorang berani mengangkat pedangnya menyentuh anak ini. Siapa pun yang berani ia akan dibunuh bersama seluruh keluarganya". Berbalik kepada Salomon Pattiwael, Thomas memerintahkan : "Bawalah anak ini dan peliharalah dia baik-baik. Luputlah Jean Lubert van den Berg dari maut. Suatu episode yang berdarah telah berlalu. Kemenangan telah dicapai tetapi dengan pengorbanan baik lawan maupun kawan.
Kapitan Matulessia memberi perintah mengumpulkan raja-raja dan patih pada keesokan harinya di Saparua. Mereka dihadapkan pada pilihan : memimpin rakyat dalam perjuangan atau mengalami nasib seperti tuan Fetor dan raja Amet. Sejak hari itu semua kegiatan harus ditujukan dan dipusatkan pada perang pembebasan rakyat. Raja-raja dan patih harus turut serta bertanggung jawab. Demikian perintah panglima perang, Kapitan Thomas Matulessia. Kemudian raja-raja diperintahkan bersama sama rakyat menguburkan mayat-mayat musuh.
Sesudah benteng dibersihkan, panglima perang memerintahkan untuk memaku semua meriam yang ada, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Bedil-bedil dan peluru dibagi-bagikan. Gudang yang penuh dengan cengkih ditutup. Cengkih itu kemudian sangat berguna untuk membelanjai peperangan. Sesudah benteng diperiksa dengan teliti, ternyata bahwa hanya ada sisa satu tong mesiu meriam. Kemudian pintu-pintu benteng itu ditutup dengan palang besi. Tidak pernah benteng itu dipakai oleh pasukan rakyat sebagai benteng pertahanan rakyat. Benteng itu dianggap tidak dapat dipergunakan karena tidak ada mesiu meriam. Bertahan di benteng itu berarti menjadi bulan-bulanan tembakan meriam dari kapal-kapal perang Belanda yang pasti akan muncul. Mungkin ini benar. Tetapi dilihat dari segi strategi pertahanan dengan direbutnya kembali benteng itu oleh Belanda di kemudian hari, pertahanan rakyat di Saparua dan Tiouw menjadi sulit.
Segera para kapitan dikumpulkan. Siasat harus diatur, karena Belanda tentu akan datang menyerang dalam waktu beberapa hari lagi. Pimpinan perang harus disusun. Kapitan Matulessia mengangkat Anthonie Rhebok menjadi kapitan dan wakilnya. Philip Latumahina ditetapkan sebagai letnan. Kapitan Lukas Selano alias Huliselan, Kapitan Aron dan Kapitan Aipassa ditetapkan menjadi kapitan pertahanan di Hatawano. Pertahanan di jazirah tenggara Saparua ditugaskan pada Said Perintah, Pieter Titaley dari Ouw dan Kapitan Lusikoy dari Ulath.
Kapitan Matulessia mengirim Surat kepada semua raja-raja dan patih serta orang kaya di Lease, Ambon dan Seram. Ia bentangkan sebab-sebab rakyat Lease memulai suatu perang melawan Belanda dan merebut Benteng Duurstede. Hubungan pimpinan rakyat di Saparua dengan Hitu berlangsung melalui Hulaliu, Pelau dan Kailolo. Dengan demikian apa yang terjadi di Saparua diketahui pula oleh raja-raja dan patih dan kapitan-kapitan di Jazirah Hitu. Serentak dengan perlawanan di Saparua, rakyat di jazirah itu mengangkat senjata. Di bawah pimpinan Kapitan Ulupaha dari Seit rencana Liang dilaksanakan. Kapitan yang telah berusia kira-kira delapan puluh tahun itu sangat berpengaruh. Keluarganya senantiasa menentang kaum penjajah. Kakaknya pernah mengangkat senjata memerangi Pemerintah Inggris dalam tahun 1796, yang dibayarnya dengan jiwanya.
Seit menberi komando. Rakyat Seit, Asilulu, Uring, Wakasihu dan Larike menyerang benteng Belanda di Larike dan mengepungnya. Pada saat yang sama Hila diserang. Residen Burghgraaff kena tembak. Tetapi tidak semua kepala negeri berada di fihak rakyatnya. Pada waktu Hila diserang, para orang kaya Seit dan Lima melarikan diri ke Kota Ambon. Van Middelkoop mencurigai mereka karena mereka meninggalkan anak-istri. Alasannya baru diketahui kemudian sewaktu keamanan sudah dipulihkan kembali. Pejabat residen Hila dalam laporannya kepada gubernur, menasihatkan supaya kedua orang kaya itu ditahan. Gubernur memerintahkan penangkapan kedua orang kaya itu. Juga raja Mamala, yang pada waktu itu berada di Batumerah dicurigai. Ia pun ditawan. Dua orang lainnya yaitu para orang kaya Uring dan Asilulu sudah meninggalkan negeri mereka sebelum rakyat mengangkat senjata. Van Middelkoop menganggap mereka bersalah meninggalkan tempat tugas karena desa-desus atau karena takut atau karena berhubungan dengan pasukan rakyat. Selain itu mereka tiba di Ambon tanpa membawa keluarga mereka yang ditinggalkan di Lebelehu dan Lima. Sebab itu mereka pun ditawan.
3.7. Drama di Waisisil
Kenyataannya pemerintah di Ambon panik. Sebab sampai kini laporan-laporan yang masuk tidak dipercayai oleh para komisaris dan komandan militer. Baru sesudah menerima surat dari Scriba Ornek dan Nyonya van den Berg pada tanggal 16 Mei mereka terkejut. Kelalaian mereka menyebabkan seluruh isi Benteng Duurstede menjadi korban. Rapat antara para Komisaris diadakan tergesa-gesa dengan Letnan Kolonel Krayenhoff dan Overste Verheull, komandan "Evertsen". Verheull mengusulkan supaya segera dikirim kapal-kapal perang ke Saparua. Ia sendiri siap sedia untuk memimpin eskader itu. Usul itu disetujui. Tetapi sementara Verheul mengadakan persiapan, datang perintah dari para komisaris untuk membatalkan rencana itu sebab Residen Martin dan para opsir Inggris menasihatkan para komisaris supaya jangan mengirim kapal-kapal ke Saparua. Mereka mengatakan, dalam musim penghujan laut Banda di sebelah selatan Pulau Ambon dan Lease sangat bergolak dan berbahaya. Lagi pula para komisaris pun berpendapat kapal-kapal perang diperlukan untuk menjaga ibukota, walaupun wakyat di Leitimor kelihatan tidak akan mengangkat senjata. Dengan adanya pemusatan tentara di Ambon dan kapal-kapal perang berjaga-jaga, sedangkan banyak kaum borgor tetap setia kepada Pemerintah Belanda, maka Leitimor tidak mengikuti jejak Saparua dan Hitu.
Sidang diadakan lagi dan Overste Krayenhooff ditugaskan untuk menyusun suatu pasukan ekspedisi ke Saparua yang akan dipimpin oleh Mayor Beetjes. Sementara persiapan diadakan keesokan harinya. Di tengah-tengah kesibukan berpamitan dengan Residen Martin yang akan meninggalkan Ambon, datang berita tentang peristiwa penyerangan Benteng Duurstede. Martin yang diberitahu merasa heran bagaimana mungkin peristiwa itu bisa terjadi ? Pada tanggal 17 Mei itu, tiba berita dari Hila tentang penyerangan rakyat di daerah itu. Bala bantuan di bawah pimpinan Walraven segera dikirim ke Hila. Malam hari terlihat nyala api di arah Hila. Kemudian menyusul berita bahwa dari Seram datang pasukan untuk membantu rakyat.
Ekspedisi Beetjes terdiri atas pasukan infantri Belanda dipimpin oleh Kapten Staalman dan Letnan Verbruggen, sedangkan pasukan infanteri Jawa dipimpin Letnan Abdulmana. Pasukan marinir dari kapal perang Eversten dan Nassau dipimpin oleh letnan-letnan laut Munter de Jong, Scheidius, Musquetier, Rijk Ian de Jeude. Raja Siri-Sori Serani turut pula dalam ekspedisi tu. la diizinkan untuk kembali ke negerinya, mungkin karena para komisaris mengira ia dapat menentramkan rakyatnya dan selanjutnya dapat ia memainkan peranan untuk membantu pasukan Belanda.
Orang kaya Batumerah diikutsertakan untuk tugas tertentu. Sebelum ekspedisi yang terdiri atas 300 orang itu berangkat, diadakan inspeksi. Engelhard merasa sangat bangga dengan pasukan dan persenjataannya. Tanggal 3 Juni ia menulis Surat kepada iparnya, yaitu eks Gubernur Jenderal Siberg, di Batavia : "Saya mengakui bahwa belum pernah saya melihat suatu korps seindah detasemen ini." Dengan disaksikan rakyat Ambon dan didahului oleh korps genderang dan musik, ekspedisi itu berjalan ke Passo (Baguala). Setiba di situ pada petang hari ternyata hanya tersedia delapan perahu kecil dan dua arombai. Musqetier diperintahkan berangkat lebih dahulu dengan sepasukan kecil menuju Haruku. Di sana ia harus mempersiapkan sejumlah arombai untuk mengangkut pasukan lainnya dari Passo ke Saparua.
Beetjes melanjutkan perjalanan ke Suli. Tengah malam mereka tiba. Pasukannya sudah sangat letih. Juga di sini tidak ada arombai. Apakah rakyat Suli juga sudah mendengar berita dari Saparua dan diam-diam berpihak pada pasukan rakyat ? Kenyataannya tidak ada arombai walaupun Suli adalah sebuah negeri nelayan. Pasukan bermalam dan keesokan harinya meneruskan perjalanan ke Negeri Tial, tidak jauh dari Suli. Di sini Beetjes menyita dua puluh arombai dan perahu dan memerintahkan rakyat untuk menyeberangkan pasukannya ke Haruku. Waktu untuk berkemas dan lautan yang berombak menyebabkan ekspedisi baru tiba pada tanggal 19 Mei di Haruku. Untuk memperkuat Benteng Zeelandia di Negeri Haruku, Beetjes meninggalkan lima puluh lima orang pasukannya, karena berdasarkan laporan-laporan yang dulu sampai di Ambon, pasti rakyat Haruku akan bangkit. Kemudian sebagian pasukannya berjalan kaki menuju Pelau dan sebagian lagi diangkut melalui laut. Keduanya bertemu lagi di Pelau, dan raja Pelau telah diperintahkan untuk menyediakan arombai. Pada malam hari seluruh ekspedisi bertolak dengan sepuluh buah arombai besar dan kecil. Orang kaya Batumerah ditugaskan untuk mengepalai arombai yang memuat mesiu, makanan dan air minum. Dua arombai dipersenjatai masing-masing dengan sebuah meriam kapal kecil yang bisa berputar (draaibas). Tetapi perjalanan yang begitu lama, turun-naik arombai dan perahu, kemudian jalan kaki tanpa istirahat, serta gelombang laut yang memabukkan, menyebabkan pasukan sangat letih dan kehilangan semangat bertempur.
Berita tentang gerakan ekspedisi Beetjes tiba di markas besar Kapitan Matulessia. Tanggal 18 Mei ia menyeberang ke Hulaliu dan menggerakkan rakyat mengatur penyerangan dan pertahanan. Pada waktu arombai mulai dikumpulkan di Pelau, pengamat-pengamat rakyat segera berlari-lari menuju ke Hulaliu untuk memberitahukan hal itu kepada para kapitan di sana. Berita itu kemudian diseberangkan ke Haria, markas besar Panglima Matulessia. Segera para kurir dikirim kemana-mana untuk menggerakkan para pejuang menuju ke Saparua. Juga ke Seram dikirim kurir-kurir.
Tanggal 20 Mei, pukul enam pagi, tampak armada Beetjes menyeberang dari Hulaliu menuju Tanjung Hatuwakane di ujung barat Teluk Haria. Pasukan rakyat telah bersiap-siap di Porto dan Haria, di darat maupun di laut. Eskader arombai rakyat di Teluk Haria bersiap-siap menunggu kedatangan eskader Beetjes. Tetapi sekitar pukul delapan ternyata eskader Belanda mengarah ke Saparua. Segera Kapitan Matulessia memerintahkan pasukan Haria ke Urputi untuk menjaga daerah Urputi sampai ke Paperu. Pasukan yang terdiri atas kaum borgor, kebanyakan eks prajurit Kompeni dan Inggris mengikuti Matulessia ke Saparua untuk menunggu pasukan Beetjes. Pukul sembilan pagi tiba pasukan dari Seram di Haria, masing-masing dari Rumakai dan Tihulale. Mereka segera menuju ke Saparua.
Pasukan rakyat yang telah berkumpul kira-kira seribu orang, diperintahkan untuk mengambil posisi di sepanjang pesisir Teluk Saparua dan di dalam benteng Duurstede. Komando tertinggi dipegang oleh Kapitan Matulessia dan Anthonie Rhebok. Bukan main riuh-rendah pagi itu di pantai dan negeri-negeri Tiouw dan Saparua. Genderang perang berbunyi bertalu-talu. Cakalele menghangatkan suasana perang dan mempertinggi semangat tempur. Teriakan dan pekikan Alifuru dari Seram melengking mendirikan bulu roma. Lagu-lagu perang berkumandang di udara. Semua siap tempur.
Pasukan rakyat yang telah berkumpul kira-kira seribu orang, diperintahkan untuk mengambil posisi di sepanjang pesisir Teluk Saparua dan di dalam benteng Duurstede. Komando tertinggi dipegang oleh Kapitan Matulessia dan Anthonie Rhebok. Bukan main riuh-rendah pagi itu di pantai dan negeri-negeri Tiouw dan Saparua. Genderang perang berbunyi bertalu-talu. Cakalele menghangatkan suasana perang dan mempertinggi semangat tempur. Teriakan dan pekikan Alifuru dari Seram melengking mendirikan bulu roma. Lagu-lagu perang berkumandang di udara. Semua siap tempur.
Kira-kira pukul sepuluh kelihatan armada Beetjes memasuki Pelabuhan Saparua. Didepan pelabuhan Paperu armada itu memutar haluan ke sebelah timur, ke arah Benteng Duurstede. Tetapi pasukan tidak didaratkan. Haluan diarahkan ke Waihenahia, kira-kira seperempat jam sebelah timur benteng. Pasukan rakyat berlari-lari ke tempat itu. Tetapi ekspedisi tidak bisa mendarat karena ombak yang besar bergulung-gulung. Kembali haluan diputar menuju Paperu. Eskader Beetjes memutar haluan ke Waisisil, suatu tempat antara Paperu dan Tiouw. Beetjes menyiapkan pasukannya untuk mendarat. Pasukannya dibagi dalam tiga divisi. Ketiga-tiganya akan bergerak menyusur pantai menuju ke Benteng Duurstede. Divisi pertama dipimpin oleh Letnan Verbruggen, disertai Kadet 't Hooft yang membawa bendera tri warna untuk dikibarkan di benteng. Divisi kedua dipimpin Staalman dan akan menyusul pasukan dibawah komando Beetjes.
Daerah pantai Waisisil berawa-rawa penuh hutan belukar dan bakau. Melihat gelagat dari ekspedisi yang menuju lagi ke Paperu, segera Kapitan Thomas Matullesia dan Anthonie Rhebok, mengerahkan pasukannya ke Tiouw dan Waisisil. Sebagian terdiri atas pasukan dari Seram. Di hutan belukar dan semak-semak Waisisil pasukan mengambil posisi. Diduga pasukan Beetjes akan bergerak ke jurusan benteng. Jika demikian maka pasukan rakyat ditugaskan untuk menyerang pasukan Beetjes dari belakang memotong jalan kembali ke eskader. Penembak-penembak jitu ditugaskan untuk menembak opsir-opsir. Jika mereka tewas anak buahnya akan menjadi kacau.
Di pantai tempat pendaratan tidak tampak kegiatan. Suasana sunyi-sunyi saja. Beetjes memberi perintah untuk mendarat. Tetapi begitu pasukannya terjun ke laut, meletuslah berpuluh- puluh bedil dari balik hutan belukar dan tewaslah puluhan serdadu. Tembakan balasan dengan meriam kecil datang dan arombai. Tetapi banyak serdadu tidak segera dapat mempergunakan bedilnya, karena peluru dan mesiu menjadi basah sebab pasukan mendarat secara tergesa-gesa. Sekalipun demikian pasukan Verbruggen berhasil maju. Dua kali dia dipukul mundur dengan meninggalkan banyak korban. Staalman, Beetjes dan Abdulmana berusaha maju terus dengan pasukannya, sekalipun banyak korban yang jatuh. Pasukan Belanda terdesak. Ada yang terlempar ke laut dan banyak yang mati tenggelam atau mati tertembak.
Beetjes memberi perintah untuk mundur. Pada saat itulah jalannya dipotong oleh pasukan Anthonie Rhebok. Terjadi pertempuran mati-matian, seorang melawan seorang. Banyak pasukan Belanda terjun ke laut dan mencoba menyelamatkan diri dengan jalan berenang. Malang bagi pasukan Beetjes karena arombai-arombai tidak ada lagi. Tidak ada pasukan angkatan laut yang ditugaskan untuk menjaga eskader itu. Para penjaga yang ada dan para masnait Pelau menjadi takut lalu melarikan diri dengan arombai-arombai. Sementara itu air telah pasang sehingga banyak serdadu terpaksa harus berenang. Tetapi mereka terus diburu oleh perenang-perenang rakyat dari Alifuru dan Seram. Tewaslah mereka dipotong dengan kelewang atau parang. Begitu pula nasib Beetjes dan para opsirnya. Raja Siri-Sori Serani dan Salomon Kesaulya yang turut mendarat belum lagi menginjak pantai telah tertembak dan tewas seketika. Empat arombai dapat melarikan diri menuju ke Ambon.
Satu tiba tanggal 21 Mei dengan kira-kira tigabelas orang dan yang satu lagi dengan kira- kira lima puluh orang tenggelam sewaktu keluar Teluk Saparua. Semua orang mati tenggelam. Arombai lain yang dipimpin oleh orang kaya Batumerah dengan muatan mesiu, makanan dan air juga tidak selamat. Pada saat pendaratan orang kaya itu tidak bersedia turut serta. Pada waktu yang sangat kritis orang kaya itu dengan anak buahnya melarikan arombai mereka menuju ke Ambon. Karena dicurigai, maka setiba di Ambon ia ditawan. Kemudian tiba lagi sebuah arombai dengan duapuluh orang. Dari kurang lebih tigaratus orang serdadu dan opsir Belanda yang selamat hanya kira-kira tigapuluh orang. Sungguh suatu kekalahan besar dan suatu tamparan yang hebat bagi para komisaris, pimpinan militer dan angkatan laut Belanda.
Tiada ayal lagi siasat Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya berhasil gemilang. Ini diakui pula oleh ahli-ahli militer Belanda di kemudian hari. Mereka menilai kekalahan Beetjes itu sebagai suatu kesalahan militer yang besar. Mayor itu sebelum pendaratan tidak mengadakan manoeuvers, yaitu siasat pendaratan semu di berbagai tempat untuk mengelabui lawan, tidak melakukan siasat serangan, dan tidak membentuk basis untuk mundur dalam keadaan terjepit. Kesalahan itu menyebabkan pasukannya hancur dan berpuluh-puluh senjata jatuh ke tangan pasukan rakyat. Karena kesalahan strategi itu mayat mayor Beetjes dan pasukannya tergeletak di Pantai Waisisil dan terapung-apung di laut. Di antara mereka tergeletak juga mayat pasukan rakyat. Ada pula yang luka-luka. Pasukan Nusalaut tiba terlambat. Para kapitan mereka dihardik dan dimaki-maki oleh panglima perang. Sebagai hukuman mereka ditugaskan untuk menanam mayat-mayat pasukan Belanda dalam sebuah lobang yang besar. Mayat pasukan rakyat dibawa pulang ke negeri masing- masing. Pertempuran berakhir kira-kira pukul duabelas, jadi hanya satu jam bertempur. Suatu kemenangan yang gilang-gemilang. Kira-kira pukul tiga siang dua orang tua, Sahuleka dan Lukas Souhoka, disertai banyak orang Haria membawa pulang seorang tawanan Belanda. Sambil bersorak-sorak, mereka membawanya mengelilingi "baeleo". Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan. Kira-kira pukul lima, Kapitan Thomas Matulessia tiba disertai pasukan Haria dan Porto. Mereka juga membawa seorang tawanan.
Van Hamer dan Leidemeyer, demikian nama kedua orang tawanan itu, sangat beruntung, karena mendapat pengampunan dari Kapitan Matulessia. Yang satu karena memperlihatkan tanda rajah di tangannya dan mengaku orang Inggris. sedangkan yang lain adalah pemukul genderang dan penjahit yang kebetulan diperlukan oleh panglima perang. Keduanya kemudian berdinas langsung di bawah pengawasan Kapitan Matulessia sampai Saparua direbut kembali lalu mereka dibebaskan.
Van Hamer dan Leidemeyer, demikian nama kedua orang tawanan itu, sangat beruntung, karena mendapat pengampunan dari Kapitan Matulessia. Yang satu karena memperlihatkan tanda rajah di tangannya dan mengaku orang Inggris. sedangkan yang lain adalah pemukul genderang dan penjahit yang kebetulan diperlukan oleh panglima perang. Keduanya kemudian berdinas langsung di bawah pengawasan Kapitan Matulessia sampai Saparua direbut kembali lalu mereka dibebaskan.
Malam itu rakyat Tiouw dan Saparua bergembira ria. Api unggun menerangi setiap lapangan dan pantai. Rakyat berkumpul mengelilingi pasukan-pasukan yang baru pulang, berdendang dan menari. Lagu-lagu kemenangan berkumandang di udara. Tuak dan sopi menghangatkan suasana dan membumbui cerita-cerita pertempuran. Anak-anak dan para remaja mengerumuni pasukan mendengar berbagai cerita bagaimana musuh, Kompania Wolanda dihantam dan dihancurkan. Kesibukan di pantai Waisisil sampai dini hari menandakan pasukan dari Nusalaut bekerja keras menguburkan mayat-mayat. Dibanyak negeri rakyat bersukaria. "Kompania Wolanda sudah mati," begitulah berkumandang teriakan dan sorak-sorakan. Rakyat Haria dan Porto tidak ketinggalan. Semalam suntuk orang berdendang dan menari. Pemuda- pemuda Haria membanggakan diri bahwa rencana yang mereka cetuskan di Wailunyo terlaksana dengan baik.
3.8. Proklamasi Haria
Dibalik pintu rumah kediaman ibu Matulessia, istri Johannis sibuk melayani Thomas, Johannis, Anthonie Rhebok, Philip Latumahina, Jeremias Latuhamallo, Lukas Lisapaly, Patti Saba, Said Parintah dan lain-lain anggota pimpinan perang. Tuak, sopi, jenever, anggur dihidangkan. Pisang rebus dan goreng ubi, keladi dan lain-lain makanan dihidangkan. Wajah-wajah kaum lelaki yang berkumpul itu nampak kesungguhan dan tekad yang bulat. Mereka sedang memperbincangkan rencana selanjutnya. Tiga rencana penting dibicarakan, dan harus dilaksanakan dalam waktu singkat. Pertama, musyawarah besar raja-raja dan patih di Haria 26 Mei ditetapkan sebagai hari musyawarah. Dalam pertemuan itu akan dibahas keberatan-keberatan terhadap pemerintah Belanda dan sebab-sebab rakyat mengangkat senjata. Thomas dan beberapa kawan ditugaskan untuk membuat satu konsep. Kedua, serangan terhadap benteng "Zeelandia" di Haruku. Haruku merupakan jembatan loncatan bagi Belanda untuk menyerang Saparua. Oleh karena itu pulau itu harus dibersihkan dari pasukan Belanda, kemudian dijadikan kubu pertahanan untuk menangkis pukulan balasan, yang pasti akan datang dalam waktu yang singkat. Ketiga, seluruh Pulau Saparua harus dijadikan benteng pertahanan. Di semua negeri harus dibuat kubu-kubu pertahanan, juga disepanjang jalan. Di pantai-pantai dan jalan-jalan yang strategis harus dibuat lubang dengan ditanami bambu runcing dan ditutupi dengan rumput. Seluruh rakyat harus dikerahkan untuk membuat pertahanan, karena Belanda pasti akan datang menyerang. Semua arombai, kora-kora dan perahu harus disiapkan untuk melawan armada Belanda dan menghalau pendaratan pasukan musuh.
Keesokan harinya para kurir dikirim ke semua negeri di Lease, Seram Barat dan Selatan dengan surat dan perintah. dari Panglima Perang Thomas Matulessia kepada semua raja-raja dan patih serta para kapitan. Juga utusan dikirim ke Jazirah Hitu untuk menghubungi Kapitan Ulupaha. Kepada semua raja dan patih dari Saparua dan Nusalaut diserukan untuk datang berkumpul dan bermusyawarah di "baeleo" Haria pada tanggal 26 Mei. Para raja dan patih serta kapitan-kapitan di Pulau Haruku supaya bersiap-siap untuk mengadakan serangan terhadap Benteng Zeelandia dan menghancurkannya serta memusnahkan serdadu Belanda di benteng itu. Kepada raja-raja dan para kapitan dari Seram Barat dan Selatan diserukan supaya segera datang ke Hulaliu melalui Haria untuk memperkuat pasukan rakyat di Haruku.
Minggu itu sangat sibuk, pasukan-pasukan dari segenap penjuru membanjiri Haria menuju ke Hulaliu. Di situ didirikan markas komando pertahanan rakyat untuk Pulau Haruku. Kapitan Lukas Selano diangkat menjadi komandan dengan stafnya Kapitan Lukas Lisapaly dan Kapitan Pattisaba. Sebagai tanda pengangkatan panglima Matulessia menghadiahkan sebilah pedang kepada Kapitan Lukas Selano.
Sementara persiapan diadakan di Pulau Haruku, Senin tanggal 26 Mei raja-raja dan patih tiba di Haria untuk bermusyawarah. Ramai sekali negeri itu. Di baeleo telah berkumpul rakyat Haria, Porto dan pasukan yang sedang menuju ke Hulaliu, antara lain dari Kamarian (Seram Barat). Musyawarah besar ini sangat penting artinya. Sesuai dengan adat kebiasaan, tua-tua adat dari Haria, didampingi oleh raja mereka, membuka musyawarah besar yang dihadiri oleh raja- raja dan patih dari Honimua (Saparua) dan Nusalaut dengan didampingi tua-tua adat mereka. Kapitan Matulessia hadir lengkap dengan stafnya. Raja-raja dan patih dari Pulau Haruku tidak turut serta, karena harus memimpin rakyatnya mempersiapkan serangan terhadap Benteng Zeelandia.
Guru kepala J. Sahetappy dari Saparua mempersilahkan hadirin berdiri lalu memanjatkan doa syukur ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa seraya mendoakan keselamatan bagi segenap rakyat dalam perjuangan mereka melawan kelaliman penjajah. Dalam iklim dan suasana kemenangan yang gilang-gemilang, setiap mata kemudian ditujukan kepada Kapitan Thomas Matulessia, pahlawan mereka. Berdirilah Thomas Matulessia, disambut oleh sorak-sorai rakyat yang berkumpul. Dengan tegas dan berapi-api, Kapitan Matullesia membentangkan apa sebabnya rakyat mengangkat senjata melawan Pemerintah Belanda. Keberatan-keberatan yang disusun bersama stafnya, diajukan ke hadapan musyawarah itu untuk dipertimbangkan. Dua hari pemimpim-pemimpin rakyat bertukar pikiran dan berbincang-bincang yang kadang-kadang dalam suasana tegang dan panas. Akhirnya selesailah naskah akhir yang kemudian ditandatangani oleh semua raja-raja dan patih. Tanggal 29 Mei diumumkan "Proklamasi Haria" yang terdiri atas empatbelas macam keberatan dan diakhiri dengan pengkukuhan Thomas Matulessia sebagai kapitan panglima perang serta dibubuhi tanda tangan oleh duapuluh satu orang raja-raja dan patih sebagai wakil rakyat. Bunyi proklamasi tersebut adalah sebagai berikut :
Proklamasi Haria
Bersama ini kami dari Pulau Hunimua dan Nusalaut memberi pertanggungan jawab menurut kebenaran. Segala sesuatu terjadi karena Kapitan Thomas Matulessia, yang kami muliakan, dan raja-raja patih dan rakyatnya, sudah terlampau menderita akibat kekejaman Pemerintah Belanda, sebagai terbukti di bawah ini :
1. Mengenai agama : pemerintah Belanda bermaksud memecat guru-guru dan menghancurkan agama Kristen.
2. Pemerintah Belanda bermaksud hendak memisah semua laki-laki dari anak-istrinya dengan cara paksa dan mengirim mereka ke Batavia. Yang menolak perintah itu akan dirantai.
3. Kami, rakyat, tidak dapat mempergunakan uang kertas dalam hidup sehari-hari. Jika kami menolak untuk menerimanya dari gubernemen, kami dihukum keras. Lagi pula, jika kami hendak membeli sesuatu dari gudang/toko gubernemen dan hendak membayar dengan uang kertas itu, pemerintah tidak mau menerimanya, kami harus membayar dengan uang perak.
4. Kami banyak melakukan pekerjaan berat untuk gubernemen, akan tetapi tidak menerima upah untuk hidup.
5. Untuk pekerjaan semacam itu, kami terima bayaran bertahun-tahun dari pemerintah Inggeris dan pemerintah itu menghormati agama kami. Oleh karena itu pada waktu itu rakyat taat dan hidup damai, akan tetapi ketika orang Belanda datang untuk memerintah kami, terhapuslah segala-galanya itu. Oleh sebab itu rakyat sakit hati dan menentang pemerintah. Akan tetapi residen segera menjadi marah dan menembak dengan meriam dan senapan, lalu kami menjadi sakit hati dan mulai menentang orang semacam itu.
6. Residen juga memerintahkan kami membuat garam, dengan maksud menjualnya. Akan tetapi sejak dahulu sampai sekarang kami belum pernah melakukan pekerjaan itu untuk gubernemen. Oleh karena itu kami merasa tidak senang.
7. Residen berkeliling di Saparua dan Nusalaut untuk melakukan cacah jiwa. Mereka yang tidak segera datang untuk mencatat namanya dan nama-nama anggota keluarganya dipukul dengan rotan sekeras-kerasnya. Lagi pula, dahulu kepala dati harus membayar hanya 2 Str (ringgit Spaance inatten), tetapi sekarang mereka harus membayar 6 Str. Karena gubernemen bermaksud mengambil terlalu banyak untung dari rakyat yang miskin, maka rakyat merasa tidak senang.
8. Mengenai orang-orang borgor di berbagai negeri pada waktu pencatatan jiwa, Residen memerintahkan dengan tegas agar mereka bekerja untuk gubernemen di bawah pengawasan raja-raja Patih. Mereka yang ingin dibebaskan dari pekerjaan itu harus membayar sejumlah uang kepada Residen. Oleh karena itu mereka merasa tidak senang.
9. Jika ada rakyat yang mengadu rakyat lain, Residen tidak pernah memeriksa perkara mereka. Mereka yang terakhir datang untuk mengajukan pengaduan dihukum dan dirantai, sebagaimana telah terjadi.
10. Kami tidak bisa dibayar empat gulden (rupiah) untuk mengantar pos ke Seram.
11. Untuk mengantar pos ke Ambon dan kantor-kantor di sekitarnya, kami dibayar dua gulden (rupiah). Itu sangat menyakitkan hati kami.
12. Pemerintah Belanda memerintahkan kami menyerahkan ikan, garam, tanpa bayaran, tetapi tidak membebaskan kami dari pekerjaan rodi lainnya, agar kami bisa melakukan pekerjaan tersebut.
13. Lagi pula walaupun kami tidak sempat memelihara kebun-kebun cengkih dan kopi toh kami masih diperintahkan untuk membuka kebun-kebun pala. Hal ini menyakitkan kami laki-laki dan perempuan yang diharuskan bekerja berat untuk gubernemen.
14. Hal-hal tersebut diatas dinyatakan dengan benar. Jika pemerintah Belanda hendak memerintah kami, harus dilakukan dengan damai dan baik, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Inggeris, yang menepati janji mereka. Tetapi jika pemerintah Belanda tidak memerintah kami sebagaimana mestinya, maka kami akan memerangi mereka untuk selama-lamanya. Juga kami kepala-kepala negeri serta rakyat, tidak memilih kapitan kami tersebut diatas menjadi pemimpin kami, akan tetapi itu ditunjuk oleh Yang Maha Tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar