BAB IV. PASANG SURUT PERJUANGAN
4.1. Panik di Kalangan Belanda
Sementara rakyat Lease, Seram Barat dan Selatan merayakan kemenangan di Waisisil dan bersorak-sorai : "Tuan Kompania Wolanda sudah mati", dan rakyat Hitu turut menyambut dengan suatu serangan. Maka panik besar mulai meliputi Pemerintah Belanda di Ambon. Kekalahan pasukan Beetjes dan tewasnya begitu banyak opsir dan anak buah mengejutkan seluruh aparatur pemerintahan. Para komandan militer dan marine tidak dapat mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi. Yang pasti mereka salah memperhitungkan kekuatan rakyat. Mereka salah perhitungan dan meremehkan strategi dan taktik Kapitan Thomas Matulessia dan bekas anggota-anggota "Korps Lima Ratus", gemblengan Inggris. Mengapa kapal-kapal perang tidak dipergunakan ? Mengapa putusan semula, yaitu pengiriman kapal-kapal perang dibatalkan ? Mengapa gubernur dan Engelhard menerima nasihat para pembesar Inggris ? Akibatnya sikap saling menyalahkan mulai dilontarkan satu pembesar kepada yang lain. Siapa yang harus bertanggung jawab ? Bukankah Gubernur van Middelkoop dan Engelhard serta Overste Krayenhofr. Bukankah mereka adalah pucuk pimpinan pemerintahan ? Tetapi justru di pucuk pimpinan pemerintahan itu timbul kekacauan. Gubernur tidak bisa bekerja sama dengan Komisaris Engelhard. Kedua pembesar ini senantiasa bercekcok. Van Middelkoop yang berwatak kekanak-kanakan, impulsif dan naif, selalu menimbulkan kejengkelan pada Engelhard. Kerap kali gubernur mengeluarkan putusan tanpa minta nasihat atau tanpa disetujui oleh Engelhard. Kedua-duanya tidak bisa mengelakkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat di Batavia. Laporan mengenai kekalahan di Waisisil harus dikirim kepada para komisaris jenderal di Batavia. Tindakan harus diambil. Keadaan di Haruku dan Jazirah Hitu makin menggelisahkan.
Sesudah Duurstede jatuh dan rakyat di Jazirah Hitu mengangkat senjata, datang berita-berita tentang ketidak puasan rakyat di mana-mana. Maka sadarlah pemerintah di Ambon akan kekhilafan mereka. Dalam keadaan gelisah itu, pada tanggal 20 Mei, gubernur mengeluarkan suatu pengumuman yang berbunyi seperti berikut :
Mendengar : bahwa ada orang-orang yang bermaksud jahat, yang menyiarkan berita bahwa pemerintah Belanda sekarang ini tidak akan membayar kayu dan lain-lain bahan bangunan yang diserahkan kepada gubernemen ; mengenai orang-orang Kristen, yang guru-gurunya akan dihentikan ; mengenai umat Islam, yang katanya dipaksa untuk memeluk ajaran Kristus, akhirnya bahwa akan adanya paksaan untuk masuk dinas militer, sebagaimana terjadi di masa pemerintahan tuan-tuan Gubernur Cranssen dan Wielingen ;
Memutuskan : atas nama Pemerintah Belanda, memberi jaminan :
1. Bahwa tidak boleh ada penyerahan kecuali dengan bayaran seperti terjadi di masa pemerintahan Inggris dan seperti ditentukan oleh keputusan kami tanggal 12 April 1817 ;
2. Bahwa mengenai persekolahan umat Kristen, tidak akan ada perubahan dan tidak akan ada pemberhentian guru-guru ;
3. Bahwa dalam soal agama tidak akan ada paksaan, tetapi baik kepada umat Kristen maupun umat Islam, diberi jaminan kebebasan beragama dan kepercayaan ;
4. Bahwa gubernemen tidak bermaksud untuk memaksakan penduduk masuk dinas militer untuk dikirim ke Batavia dengan kekerasan dan sewenang-wenang, menceraikan mereka dari keluarga mereka, akan tetapi pengerahan menjadi serdadu dilaksanakan secara bebas dan disertai imbalan gaji yang wajar. Khususnya terhadap mereka yang pernah secara sukarela memasuki dinas militer sebagai suatu mata pencaharian di masa pemerintahan Inggris yang baru saja berhenti, dikandung maksud untuk mengalihkan mereka ke dalam dinas Yang Mulia Raja Belanda, sehingga dengan demikian terlepaslah mereka dari pengangguran dan akan memperoleh jaminan hidup yang tetap dan terhindarlah mereka dari perbuatan jahat dan pemerasan terhadap keluarga mereka atau menjadi beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka ; dan
5. Bahwa terhadap yang tidak mau memasuki dinas militer, akan dianjurkan secara lunak dan dipergunakan cara yang tepat, supaya mereka kembali ke negeri mereka masing-masing, agar di sana mereka bisa hidup tentram dan damai dan dengan jalan bekerja di ladang memperoleh hidup bagi mereka dan anak-anaknya.
Sekalipun isi pengumuman ini bermaksud baik, tetapi luka yang sudah berpuluh tahun, disebabkan cengkraman monopoli, ekstirpasi dan hongi, tidak bisa diobati dengan kata-kata yang merdu. Kata pepatah Belanda : Wie wind zaalt, zal ook wind oogsten (Mereka yang menabur angin, akan menuai angin pula). Orang-orang Belanda dalam dinas Kompeni menabur angin ribut, sekarang anak cucunya yang berwujud diri van Middelkoop, Engelhard, van den Berg dan Beetjes menuai angin ribut pula, yaitu revolusi rakyat.
Kehancuran pasukan Beetjes, yang beritanya tiba sehari sesudah pengumuman di atas, yaitu pada tanggal 12 Mei, melenyapkan sama sekali harapan dari Middelkoop dan Englhard, seperti terkandung dalam pengumuman itu. Pemerintah Belanda menjadi sungguh-sungguh panik.
4.2. Tindakan Belanda
Haruku terancam. Fort Zeelandia bisa mengalami nasib yang sama seperti Benteng Duurstede. Krayenhoff diperintahkan untuk mengambil tindakan militer. Tanggal 22 Mei satu pasukan, terdiri dari tiga puluh orang, dibawah pimpinan kadet Scheidius, dikirim ke Haruku. Sebelumnya Beetjes telah meninggalkan lima puluh lima orang serdadu untuk memperkuat Benteng Zeelandia ketika ia menuju ke Saparua beberapa hari yang lalu. Pertahanan Residen Haruku Uitenbroek dan Komandan Benteng, Musquetier, berada dalam keadaan lemah. Jatuhnya Benteng Duurstede, hancurnya ekspedisi Beetjes dan berita-berita tentang ancaman serangan pasukan Pattimura, menyebabkan mereka mengirim kurir ke Ambon untuk minta bantuan.
Kadet Scheidius tiba hari itu juga di Haruku. Sedangkan atas permintaan Uitenbroek dan Musquetier, pemerintah di Ambon minta bantuan Wilson, kapten kapal perang Inggris, Swalow, untuk mengangkut bala bantuan ke Haruku. Tanggal 23 Mei Swalow tiba dengan duabelas orang serdadu, senjata dan mesiu.
Engelhard juga minta bantuan kepada bekas residen Inggris di Ternate, Mackenzie, yang pada waktu itu berada di kapal perang Nautilus di Pelabuhan Ambon dalam perjalanan ke Benggala. Mackenzie maupun Kapten Kapal Hepburn menolak permintaan itu. Surat Engelhard tidak dibalas. Malahan Mackenzie menjadi marah pada Kapten Wilson. Kapten itu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di Benggala nanti. Ketika beberapa waktu kemudian para komisaris jenderal di Batavia mengirim protes kepada pimpinan Inggris di Benggala, protes itu ditolak, bahkan para pembesar sangat marah karena ada kapal perang Inggris yang membantu Belanda memerangi rakyat Maluku.
Sementara itu di hari-hari berikutnya Benteng Zeelandia terus-menerus menerima bantuan dari Ambon. Musquetier yang sering sakit digantikan oleh Kapten Infantri PL. Driel. Kepanikan yang terjadi karena malapetaka di Waisisil mendesak Pernerintah Belanda untuk mengerahkan orang-orang di Kota Ambon untuk menjadi serdadu. Kaum borgor dipanggil untuk masuk dinas ketentaraan. Delapan ratus orang diterima, diantaranya tiga ratus orang dipersenjatai dengan bedil dan yang sisanya dengan tombak. Hakim RN Cateau van Rosevelt, bekas letnan kelas satu pada kapal perang Nassau diangkat menjadi komandan. Duaratus lima puluh sampai tiga ratus orang sukarelawan terdiri atas pegawai-pegawai negeri rendahan, diterima. Seratus diantara mereka dipersenjatai dengan senapan sedangkan yang lain ditempatkan di bagian artileri. Empatpuluh orang Benggala yang ditinggalkan Inggris dikerahkan untuk menjadi polisi dan berpatroli dengan berkuda.
Di negeri-negeri di Leitimor telah ada tanda-tanda bahwa rakyat akan mengikuti jejak rakyat Saparua dan Jazirah Hitu. Oleh karena itu Belanda menggerakkan pasukannya untuk mengawasi penduduk negeri. Meriam-meriam kapal perang Evertsen dan lain-lain mengancam rakyat. Pasukan-pasukan Belanda dikirim ke Baguala (Paso), Hila, Hitu Lama dan Liang, untuk memperkuat pos-pos tentara agar dapat menahan serangan Ulupaha. Serangan pasukan Ulupaha terhadap Hila berhasil ditahan dan dipukul mundur. Salah seorang pemimpin pasukan rakyat di sana tertangkap dan kemudian digantung agar menjadi contoh bagi rakyat. Tetapi semangat rakyat tak kunjung padam.
4.3. Genderang Perang Bertalu-talu di Haruku
Kapitan Lukas Selano, Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron dan Kapitan Pattisaba mulai melakukan persiapan-persiapan untuk melancarkan serangan terhadap Benteng Zeelandia. Ada halangan-halangan dari beberapa pihak. Laporan komandan wilayah Haruku yang disampaikan ke markas besar di Haria menyebabkan Pattimura memerintahkan agar patih Hulaliu dan Aboru, guru-guru dari Hulaliu, Aboru dan Wassu datang ke Haria. Tanggal 22 Mei mereka tiba. Rupa-rupanya mereka ini sering menghalangi persiapan perang yang sedang dijalankan. Pattimura marah ; mereka dihardik dan diumpat, bahkan ada pula yang dipukul. Panglima perang ini bukan seorang yang lunak. la bertindak keras terhadap siapa saja yang menghalang-halangi perjuangan.
Sementara itu bala bantuan rakyat mengalir ke Haruku. Tanggal 26 Mei lima puluh delapan orang tiba dari Kamarian (Seram) di Haria pada saat musyawarah raja-raja-patih sedang berlangsung di baeleo, sehingga mereka sempat menyaksikan musyawarah itu. Pattimura kemudian memerintahkan agar mereka menuju ke Hulaliu, yang letaknya kira-kira seperempat jam berperahu dari Haria dan Porto.
Keesokan harinya, kira-kira pukul sepuluh, tiba di Haria pasukan lainnya dari Seram, yaitu dari Iha Luhu, Latu, Hualoi dan Amahai. Tengah hari pukul tiga tibalah raja Iha, Patih Latu, Orang-Kaya Sepai dan dua orang kaya dari Teluk Elpaputih dengan seratus orang pasukan. Pasukan Alifuru ini segera diberangkatkan ke Hulaliu pula.
Pukul lima sore, atas perintah Pattimura, raja Pelau, Patih Hulaliu dan orang kaya Kaibobu tiba di Haria. Mereka membuat suatu kesalahan, sehingga harus menelan kemarahan Pattimura. Mereka dihardik, ada yang dipukul dan diancam akan ditembak oleh orang-orang Haria yang mengepung mereka. Tindakan-tindakan Pattimura terhadap raja-raja dan patih yang masih ragu-ragu memimpin rakyat melawan Belanda sungguh keras.
Sementara pasukan rakyat mengalir ke Hulaliu. Kapitan Selano dan stafnya menggerakkan pasukan-pasukan untuk menduduki dan memperkuat Hulaliu, Kariu, Pelau, Kailolo, Oma, Ruhumoni dan Kabau. Seregu kecil serdadu Belanda yang menjaga Benteng Hoorn di Pelau tidak sanggup mempertahankan diri. Mereka semuanya tewas. Dari Kabau ke Negeri Haruku hanya lima kilometer. Di sini pasukan-pasukan disiapkan menunggu perintah penyerbuan. Pattimura dan stafnya menyeberang ke Hulaliu untuk memeriksa persiapan-persiapan. Sesudah itu ditetapkan tanggal penyerangan terhadap Benteng Zeelandia.
Kini pasukan rakyat di Pulau Haruku berjumlah kira-kira dua ribu orang. Seribu orang dari Seram, lima ratus dari Saparua dan lima ratus dari Haruku. Rakyat di tiap negeri sibuk membantu pasukan dengan menyediakan makanan, minuman, dan perumahan. Para kapitan sibuk mengatur pasukannya. Semangat tempur sangat tinggi. Suasana makin tegang dan panas. Satuan-satuan mulai menyusup masuk ke dalam hutan di sekitar Negeri Haruku. Kapitan Selano dan stafnya memindahkan markasnya di sekitar Benteng Zeelandia. Belandapun telah bersiap-siap. Sekitar duaratus orang mempertahankan benteng itu. Meriam meriam telah siap. Mereka telah mengetahui kekuatan rakyat. Belanda sangat berhati-hati, karena tidak menghendaki terulangnya nasib "Duurstede".
Jum'at 30 Mei, pagi-pagi benar terlihat kegiatan luar biasa di kalangan pasukan rakyat. Kapitan Selano membagi pasukannya dalam tiga divisi. Tujuhratus diantaranya bersenjata bedil ; yang lain tombak, anak panah, kelewang dan parang. Benteng akan diserang dari tiga jurusan. Pada pagi itu Belanda pun telah berjaga-jaga. Kelihatan serdadu-serdadu bersandar pada tembok di bagian atas benteng menunggu serangan rakyat. Tepat pukul dua siang komando serangan diberikan. Teriakan dan sorakan dari Alifuru Seram melengking memecahkan kesunyian diikuti dengan teriakan tari perang cakalele. Dengan pakaian perang yang menyeramkan mereka keluar dari tiga jurusan. Beratus-ratus bedil meletus segera dibalas dari benteng, disusul oleh tembakan meriam yang gencar. Di sana-sini korban luka-luka diantara pasukan rakyat mulai jatuh. Makin mendekati benteng makin hebat dan gencar tembakan musuh. Serangan pertama kali ini dipukul mundur.
Kapitan Selano memberikan perintah menyusun barisan lagi. Untuk kedua kalinya datang serangan. Tembak-menembak semakin seru. Meriam-meriam memuntahkan peluru mautnya. Serdadu-serdadu Belanda tetap bertahan di belakang tembok benteng. Untuk kedua kalinya serangan ini dipukul mundur. Pasukan rakyat semakin panas dan bernafsu. Sekali lagi serangan diadakan, tetapi kali ini pula pasukan rakyat tidak berhasil mendekati benteng. Untuk ketiga kalinya serangan itu dipukul mundur. Banyak juga korban yang jatuh, Di pihak Belanda ada yang luka-luka. Tidak diketahui berapa banyak serdadu musuh yang mati tertembak. Sesudah komandan stafnya berunding menimbang-nimbang keadaan, maka dikeluarkan perintah supaya serangan ini dihentikan, dan sore hari Adrian Rajawane, seorang pengintai dari Kariu, tertangkap oleh Belanda. Ia disiksa secara ganas sehingga terpaksa membuka rahasia. Dikatakannya bahwa duaribu orang akan mengadakan serangan pada tanggal 2 Juni yang akan datang. Serangan akan dilakukan dari lima jurusan antara pukul duabelas dan tiga siang. Kemudian Van Driel mengambil tindakan. Rajawane dibawa ke Ambon. Bala bantuan diminta lagi dari Komandan Kravenhoff. Pemerintah Belanda mengirim tahanan serdadu berupa para rekrut baru.
Sementara itu kegagalan serangan disampaikan ke Haria. Kapitan Pattimura menjadi marah. Ia mengumpat dan memaki-maki. Lalu dikirim kurir ke Nusalaut dengan perintah supaya segera pasukan dikirim ke Haria. Tanggal 31 Mei, pasukan tiba. Pattimura memilih delapan orang untuk dikirim ke Haruku. Begitu banyak pasukan mengalir ke Haruku, sehinggga memerlukan organisasi yang baik, disiplin yang baik, pengaturan dan perumahan, keamanan bagi kaum wanita dan gadis-gadis remaja. Kapitan Selano dan Aron terkenal sebagai kapitan-kapitan yang keras dan tegas. Tidak segan-segan mereka menghukum mereka yang bersalah.
Tanggal 2 Juni tiba. Belanda berjaga-jaga, tetapi sepanjang hari tidak terjadi apa-apa. Malam hari penjagaan diperketat. Tetapi semalam itu pun tidak ada serangan. Baru keesokan harinya dari berbagai jurusan pasukan-pasukan bergerak mengadakan serangan. Cakalele dengan sorak-sorai dan teriakan disambut oleh tembakan meriam yang gencar. Tiga jam lamanya pertempuran berlangsung, kemudian pasukan rakyat mundur.
Apa sebabnya benteng tidak diserbu ? Dengan kekuatan manusia yang begitu besar pasti benteng itu akan jatuh, sekalipun korban mungkin akan besar. Belanda sendiri tidak mengerti mengapa tidak ada penyerangan terhadap benteng. Kadet Scheidius dalam buku hariannya mencatat :
"Sangat mengherankan bahwa dengan kekuatan manusia yang begitu besar, mereka tidak berusaha mengadakan penyerbuan, sehingga dengan jumlah yang besar itu bisa membanjiri pertahanan kami. Andai kata hal itu terjadi, tamatlah riwayat serdadu-serdadu kami. Allah menjauhkan hal itu."
Kapitan Lukas Selano memerlukan konsultasi dengan kapitan Pattimura dan stafnya. Tanggal 4 Juni, kira-kira pukul enam pagi, ia menyeberang ke Haria dan membawa serta tiga orang yang luka-luka. Kepada markas besar ia melaporkan situasi serangan yang lalu.
Pukul sepuluh datang pasukan dari berbagai negeri di Saparua ke Haria. Kapitan Pattimura memilih delapan puluh orang untuk memperkuat para pejuang di Haruku. Lalu Kapitan Selano berangkat dengan pasukan itu kembali ke posnya. Keesokan harinya ia kembali ke Haria bersama Patih Aboru, Patih Wasuu, Raja Pelau, orang kaya Kaibobu, dan orang kaya Ruhumoni. Mereka melaporkan bahwa ada diantara rakyat Haruku dan Oma yang berusaha mengadakan perundingan dengan musuh. Pattimura menjadi sangat marah. Ia menghardik kepala-kepala itu dan memerintahkan untuk mencegah dan menolak perundingan apapun. Hukuman mati ditembak bisa dijatuhkan terhadap barang siapa yang mencoba mendekati musuh atau berunding. Kepala-kepala itu diperintahkan segera kembali dan memimpin rakyat mereka dengan baik.
Sementara itu Benteng Zeelandia diperkuat lagi menjadi tiga ratus orang ditambah dengan tujuhpuluh orang borgor. Kapal perang Inggris Swallow kelihatan di perairan Haruku dan turut membantu Belanda. Tanggal 9 Juni pasukan rakyat kembali mengadakan serangan umum, tetapi kali ini pun dipukul mundur. Sekali lagi tanggal 14 Juni serangan dilakukan dari tiga jurusan. Tetapi ternyata pertahanan benteng terlalu kuat untuk dipatahkan. Lagi pula Swallow turut memuntahkan peluru meriamnya ke tengah pasukan rakyat yang datang menyerbu, sehingga korban berguguran.
Siasat memecah-belah sekarang dipakai oleh Belanda. Ferdinandus, raja negeri Haruku, dipergunakan musuh untuk siasat ini. la diutus ke negeri Oma guna berunding dengan pemimpin-pemimpin pasukan rakyat dan raja Oma ditandu karena sudah berusia lanjut disertai duabelas orang. Tibalah raja itu di Oma dengan membawa bendera putih. Raja Oma, guru sekolah dan para kapitan menerima rombongan itu. Berkumpullah mereka di baeleo disaksikan pasukan rakyat Oma. Sesudah diadakan upacara adat perundingan dimulai, raja Haruku mengemukakan maksud kedatangannya. la datang sebagai utusan Belanda membawa pesan dari Residen Uitenbroek supaya raja Oma berangkat ke Haruku dan menyerahkan diri kepada Belanda. Si tua ini memperhitungkan usianya yang telah lanjut itu sebagai jaminan agar orang Oma dan rajanya akan menuruti nasihatnya. Tetapi alangkah salah perhitungannya. Bukan main amarah hadirin dan pasukan rakyat. Ini berarti suatu pengkhianatan. Raja Ferdinandus dan rombongannya disergap lalu dibunuh. Hanya empat orang berhasil lolos dan melarikan diri ke Haruku serta melaporkan kejadian itu kepada residen dan komandan Zeelandia.
Pembunuhan itu merupakan tantangan bagi Belanda. Van Driel dan Uitenbroek mengambil keputusan untuk menghukum rakyat Oma dan rakyat di negeri lain yang berdekatan dengan Negeri Haruku. Pasukan Belanda dikerahkan menyerang Oma. Pertempuran hebat terjadi. Tetapi akhimya pertahanan rakyat dapat dipatahkan. Rakyat menyingkir ke hutan dan gunung. Dari tempat itu mereka menyaksikan asap api mengepul naik ke udara. Setiap rumah musnah dibakar habis oleh tentara musuh. Sesudah itu Belanda mundur lagi ke benteng.
Dari Haruku menyusur pantai kapal perang kovert Iris. Di kawasan Ruhumoni pasukan didaratkan. Musuh ditangkis, pertempuran sengit pun terjadi. Dentuman meriam dari korvet Iris memaksakan pasukan rakyat mundur dari kedua negeri itu. Rakyat meninggalkan negerinya masuk ke hutan-hutan. Peristiwa di Oma terulang. Habislah terbakar rumah-rumah rakyat oleh musuh yang kemudian menarik diri ke kapal.
Tindakan pembakaran dan pemusnahan negeri sangat dipuji Komisaris Engelhard. Malahan dalam khayalannya ia ingin melihat kemusnahan rakyat. Ini ternyata dalam suratnya bertanggal 19 Juni yang dikirimkan kepada gubemur Belanda, Tielenius Krijthoff di Makasar, yang antara lain berbunyi :
"Berkahkah bangsa ini memberontak. Dalam tahun 1812 mereka juga sudah membunuh seorang Residen Inggris, demikian pula di Hila. Jadi untuk menjamin keamanan untuk selama-lamanya saya setuju supaya semua orang yang sudah dewasa dibunuh dan harus dijalankan dengan hati-hati agar kaum pemberontak tidak berkesempatan untuk melarikan diri."
Alangkah bejatnya moral seorang pembesar yang menamakan diri berasal dari bangsa yang beradab, yang ditugaskan untuk memerintah rakyat. Penuh nafsu pembunuhan. Jawaban rakyat adalah memerangi Belanda sampai merdeka atau mati.
Sementara itu apa yang terjadi di markas besar ? Pattimura dan stafnya tidak senang melihat kegagalan kapitan-kapitan dan raja-raja di Haruku. Sering ia marah-marah jika tiba berita yang tidak menyenangkan dari pulau itu. Pikirannya berputar-putar. Apa sebabnya pasukan yang begitu besar tidak berhasil merebut Benteng Zeelandia ? Pada tanggal 16 Juni orang-orang Hulaliu membawa raja Oma, guru sekolah Oma, lima orang laki-laki dan seorang anak kecil laki-laki, semuanya berasal dari Negeri Haruku. Raja Oma melaporkan peristiwa yang terjadi dengan raja Haruku. Kapitan Pattimura menjadi sangat marah. Demikian pula orang-orang Haria yang berada di markas besar. Orang-orang Haruku itu dipukul dan diancam untuk dibunuh.
Siang hari pukul duabelas, tanggal 18 Juni, ketika Pattimura berada di baeleo, datang orang-orang Aboru dengan sepucuk surat damai. Rupanya dari pihak Belanda. Setelah membacanya, Pattimura menolak menjawab surat itu. Dilemparkan surat itu ke tanah lalu berkata kepada orang-orang Aboru itu agar mengembalikan surat itu kepada pengirimnya. Orang-orang itu memungut surat itu lalu kembali ke Aboru.
Peristiwa pengkhianatan raja Haruku, yang diikuti serangan Belanda terhadap Oma, Kabau dan Ruhumoni mencemaskan Kapitan Pattimura dan stafnya. Mereka menyeberang ke Hulaliu untuk berunding dengan para komandan dan kapitan-kapitan setempat. Semua berpendapat bahwa pertahanan Belanda di benteng sudah sangat kuat, ditunjang oleh kapal-kapal perang. Jadi sudah sulit untuk merebut benteng itu. Kapitan Selano, Aron dan Pattisaba diperintahkan untuk menyusun barisan pertahanan Pulau Haruku. Belanda memang tidak berhasil diusir dari Haruku. Selalu saja terjadi kontak senjata dengan musuh yang beroperasi dari benteng. Keadaan ini berlangsung sampai bulan Oktober.
Berhari-hari rakyat di Pulau Saparua sangat sibuk. Tua-muda lelaki-perempuan, semua giat mengangkat batu karang, tanah dan pasir untuk membuat kubu-kubu pertahanan di negeri masing- masing. Kubu-kubu merupakan pagar batu, tinggi enam dan tebal empat kaki. Dengan peluru meriam empatpuluh delapan pon kubu itu tidak dapat ditembus. Kapitan Pattimura dan pembantu-pembantunya berkeliling mengawasi pembuatan kubu-kubu itu. Anthonie Rhebok ditugaskan menyeberang ke Nusalaut untuk mengatur dan mengkoordinasi pertahanan di sana. Kapitan Paulus Tiahahu ditetapkan sebagai komandan pasukan di Nusalaut.
4.4. Belanda Mencari Penyelesaian
Melihat keadaan di Haruku yang tidak bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata, Pemerintah Belanda berdaya-upaya supaya mendapat kontak dengan Panglima Perang Pattimura. Untuk sementara status quo di Haruku dipertahankan seperti keadaannya sekarang. Van Middelkoop dan Englehard berunding dengan pemimpin angkatan darat dan laut. Ekspedisi baru akan dikirim ke Pulau Saparua. Kali ini tiga buah kapal perang dengan anak buahnya disiapkan untuk diberangkatkan ke Hatawano, bagian utara Pulau Saparua. Maria Reygersbergen, Iris dan The Dispatch merupakan inti ekspedisi itu. The Dispatch adalah kapal perang Inggris yang turut membantu Belanda. Ekspedisi itu dipimpin Overste Groot, kapten kapal Reygersbergen.
Engelhard menggariskan tujuan dari ekspedisi itu. Pertama, mencari kontak dengan pimpinan perang rakyat untuk memperoleh keterangan mengenai sebab mereka mengangkat senjata melawan Belanda. Kedua, mendarat di Hatawano, di mana terdapat lima buah kampung dan mendudukinya, untuk memutuskan hubungan antara rakyat did aerah itu dengan pimpinan perang yang ada di Saparua dan Haria serta melemahkan kekuatan pasukan rakyat. Hari Rabu, tanggal 4 Juli, kapal-kapal perang itu bertolak meninggalkan Pelabuhan Ambon. Di antara pasukan yang dibawa terdapat tigapuluh enam orang Ambon borgor dan sejumlah awak kapal Bugis. Ombak, angin menghantam ketiga buah kapal itu di Tanjung Nusaniwe. Setelah melewati tanjung itu kapal-kapal itu menuju ke Haruku. Laut Banda sebelah selatan Kepulauan Lease mengamuk dalam musim penghujan ini. Terpaksa kapal-kapal itu harus menyusuri Selat Haruku, kemudian Selat Seram lalu mengarahkan haluannya ke Hatawano. Pasukan rakyat di sebelah barat dan utara Haruku berjaga-jaga ketika melihat ke tiga buah kapal perang itu. Mereka bersiap-siap kalau-kalau ada pendaratan di daerah mereka. Para kurir diperintahkan untuk memberitahukan markas besar di Haria tentang gerakan kapal-kapal musuh. Pengintai-pengintai di laut dan di darat membawa pula laporan tentang gerakan kapal-kapal itu.
Tanggal 9 Juli pagi ekspedisi Belanda itu tiba di perairan ujung utara Hatawano dan mulai memutar- mutar menyusur pantai Nolot dan Itawaka. Kedatangan kapal-kapal perang itu segera diberitahukan ke mana-mana. Juga kemarkas besar di Haria. Pasukan-pasukan rakyat bersiap-siap di hutan-hutan di tepi pantai. Rakyat telah menyingkir meninggalkan negeri karena pasti negeri mereka akan ditembaki. Tetapi pukul sepuluh meriam-meriam mulai memuntahkan peluru mautnya ke berbagai kampung dan memusnahkan banyak rumah rakyat. Tembakan-tembakan itu berlangsung hampir empat jam lamanya. Pasukan-pasukan rakyat membalas tembakan itu dengan bedil ketika kapal-kapal perang itu makin mendekati pantai. Badan kapal kena hujan peluru.
Segera sesudah markas besar menerima kabar dari Hatawano, Pattimura mengirim kurir ke semua negeri di Saparua dan memerintahkan para kapitan dan pasukannya bergerak ke Hatawano. Pattimura dan staf berpindah ke Saparua dan mendirikan markas besarnya di ibukota keresidenan itu. Jarak antara Jazirah Hatawano dan Saparua kira-kira tujuh sampai duabelas kilometer. Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, kapal-kapal perang mengulangi lagi tembakan-tembakan. Dibalas kembali oleh pasukan-pasukan rakyat. Beberapa orang pemberani muncul di pantai sambil berteriak : "Ayo Belanda, kalau berani, mari turun ke darat."
Sementara itu The Dispatch berpatroli di perairan antara Seram dan Hatawano untuk mencegah bala bantuan dari Seram. Tanggal 11 Juli tembakan-tembakan meriam diulangi dan dijawab oleh tembakan bedil yang lebih seru lagi. Muncul lagi beberapa laki-laki di pantai dan berteriak : "Hai Belanda, mari turun ke darat ambil hadiahmu, bawalah juga kaptenmu untuk ganti Mayor Beetjes yang sudah mati itu." Malam hari kelihatan kesibukan di kapal-kapal. Orang sedang memperbaiki kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh tembakan kaum pejuang, ketika kapal-kapal itu terlalu rapat ke pantai.
Tanggal 12 Juli pagi Reygersbergen dan Iris melepaskan tembakan lagi. Tetapi akhirnya Overste Pool, kapten Iris sadar bahwa tak berapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh tembakan-tembakan itu, kecuali rumah-rumah rakyat yang rusak. Tetapi kerugian diantara pasukan rakyat tidak ada sama sekali. Rakyat berlindung di balik kubu-kubu batu yang sulit ditembus peluru meriam. Sedangkan Belanda telah memboroskan begitu banyak peluru, tanpa hasil apa-apa. Tidak nampak adanya percobaan pendaratan. Rupa-rupanya Overste Groot tidak mau mengambil resiko terulangnya malapetaka Beetjes. Dari pantai kelihatan sekoci diturunkan dari Iris. Overste Pool turun menuju Reygersbergen untuk menemui Groot. Sesudah bertukar pikiran mengenai hasil tembakan meriam, ia mengusulkan agar tembakan itu dihentikan saja. Groot menyetujuinya lalu memerintahkan agar tembakan meriam dihentikan.
Komandan Groot beralih pada siasat lain. Kepada seluruh rakyat Saparua ia menulis sepucuk surat yang berbunyi :
"Sudah tiba saatnya untuk mengakhiri perlawanan kalian, jadi kami memberikan waktu dua puluh empat jam untuk kalian insyaf kembali. Kompeni sekarang sudah mengetahui bahwa kalian diperlakukan sewenang-wenang oleh residen. Oleh karena itu baiklah kalian memilih suatu perutusan dan mengirim mereka ke kapal saya, sehingga dapatlah mereka kemukakan keinginan kalian. Dan saya berjanji, Kompeni akan memenuhi keinginan kalian yang wajar. Bendera putih, mulai sekarang, akan terus berkibar dari kedua kapal perang selama dua puluh empat jam. Dan sesudah waktu itu berlalu, tanpa ada sesuatu putusan dari fihak kalian untuk menyerah, maka permusuhan akan dilanjutkan lagi. Kalian tidak usah khawatir akan nasib perutusan yang akan datang ke kapal itu. Mereka akan bebas dan tanpa cedera apapun akan diturunkan ke darat lagi."
Surat itu diikat pada sepotong tongkat bersama dengan sehelai bendera putih. Kira-kira setengah dua siang di ”Maria Reygersbergen” dan ”Iris” dinaikkan bendera putih disertai dengan satu kali tembakan penghormatan. Pada saat yang sama sebuah sekoci diturunkan dari Iris, dikayuh oleh awak kapal Bugis menuju ke darat. Setiba di pantai seorang mandor yang ditugaskan meloncat dari sekoci serta membawa tongkat berbendera putih itu dengan surat yang terikat pada ujungnya. Kira-kira sepuluh menit ia menunggu, tetapi tidak ada seorang pun yang muncul. Para kapitan yang mengawasi gerak-gerik musuh dari balik hutan dan semak sangat waspada dan berhati-hati. Mereka mencurigai tindak-tanduk kapal-kapal perang musuh. Tetapi mereka pun tidak terburu-buru untuk menembak awak kapal yang menuju ke darat itu. Seorang berteriak supaya mandor itu datang ke kampung. Akan tetapi karena hal itu bertentangan dengan perintah komandannya, maka ia menancapkan tongkat itu di pasir, meloncat kembali ke dalam sekoci lalu berkayuhlah awak kapal itu kembali ke Iris.
Tidak lama kemudian seorang laki-laki muncul dari balik hutan dan mengambil tongkat itu. Sekira setengah jam kemudian seorang pemuda tampil ke pantai lalu berteriak ke kapal : "Kami telah membaca surat itu. Jangan lagi menembak kami". Dari kapal terdengar teriakan, tidak akan menembak. Lalu pasukan rakyat muncul di pantai, semuanya bersenjata bedil. Seorang kapitan, panglima pasukan rakyat Hatawano digotong dengan tandu lalu diletakkan di atas pantai.
Pada petang hari, pukul lima, kelihatan kapal-kapal perang itu mengangkat jangkar seraya mendekati pantai. Hal ini mencurigai rakyat. Mereka berteriak : "Hai itu tidak jujur". Memang komandan Groot merencanakan untuk mendekati pantai sedapat mungkin dan membuang jangkar, dengan maksud jika ada terjadi tembakan dari darat segera meriam-meriam akan memuntahkan pelurunya dan pasukan akan didaratkan. Kelihatan seorang awak kapal mencoba melepaskan bendera putih dari kusutan ikatan tali haluan kapal. Melihat hal ini berteriak pasukan rakyat : "Hai jangan turunkan bendera itu". Mereka mengira bendera putih akan diturunkan tanda penembakan akan dimulai lagi.
Para kapitan dan raja-raja memerlukan waktu untuk menjawab surat Belanda itu. Rakyat perlu mengetahui isinya. Dan Pattimura perlu segera diberitahukan. Oleh karena itu sesudah matahari terbenam muncul seorang laki-laki lalu berteriak ke kapal : "Surat itu akan dibaca di semua gereja negeri-negeri pada hari Minggu tanggal 13 Juli. Jawaban akan diberikan baru pada hari Senin lusa. Sampai hari itu kami minta penundaan jawaban. "Overste Groot tidak menjawab. Pada malam hari Belanda mengadakan perondaan mengelilingi kapal perang dengan sekoci-sekoci yang dipersenjatai. Pasukan Pattimura mengawasi gerak-gerik mereka. Pada waktu pengawal kapal berteriak : "Semuanya beres", maka disambut oleh pasukan rakyat : "Jaga, jaga" berarti "awas, awas". Semalam suntuk kedua belah pihak intai-mengintai.
Segera sesudah surat itu diterima, disalin oleh tiap raja dan dikirim, ke negeri-negeri. Kurir dikirim ke Saparua membawa surat itu kepada Pattimura dan stafnya. Malam itu juga pimpinan perang mengadakan perundingan. Kurir dikirim kembali dengan perintah agar tidak mengirim utusan ke kapal, tetapi memancing kapten kapal turun ke darat.
Hari Minggu, tanggal 13 Juli lonceng gereja berdentang mengundang anak-anak Allah datang menyembahnya. Suasana pada pagi itu di lima Negeri Hatawano penuh ketegangan dan kekhawatiran akan tembakan meriam dari kapal perang. Rakyat turun dari gunung dan keluar dari hutan untuk berbakti. Gereja-gereja penuh sesak. Sesudah khotbah selesai dan doa dinaikkan untuk mohon perlindungan Allah Yang Mahakuasa dalam perjuangan menentang kelaliman Belanda, maka surat Overste Groot itu dibaca. Dengan tenang rakyat mendengar isinya. Surat itu akan dibalas sesudah musyawarah di baeleo Nolot sehabis kebaktian.
Raja-raja dan patih, para kapitan dan tua-tua adat yang ada di Hatawano segera berkumpul di baeleo Nolot setelah kebaktian gereja. Musyawarah diadakan untuk menentukan sikap berdasarkan instruksi dari Panglima Perang Pattimura. Segala kemungkinan diperhitungkan. Akhirnya disusun sepucuk surat sebagai balasan atas surat Overste Groot, yang berbunyi :
Kami telah menerima surat tuan dan mengerti isinya. Kami tidak mempunyai perahu untuk datang ke kapal. Tetapi jika kapten bersedia turun ke darat untuk bermusyawarah dengan kami di baeleo akan sangat menyenangkan kami. Kalau tidak, kirim kepada kami orang-orang Ambon bergor dan orang-orang hitam saja.
Tertanda,
Kapitan-kapitan dari Seram, Saparua dan Nusalaut
Pukul sebelas seorang lelaki muncul di pantai. Ia membawa sepotong kayu dengan surat itu diikat pada bendera putih. Kayu itu ditancapkan di pasir lalu menghilang dibalik belukar. Dari kapal perang Iris diturunkan sekoci, dikayuh oleh beberapa awak kapal ke darat. Surat itu diambil dan diantarkan kepada Overste Groot.
4.5. Perundingan di Hatawano
Overste Groot berhasrat besar dalam usahanya mencari perdamaian. Ia mengetahui bahwa alasan tidak ada perahu hanya tipuan belaka, sekalipun banyak arombai dan perahu-perahu sudah rusak ditembaki oleh kapal-kapal perangnya. Kapten Pool diundang ke kapal Reygersbergen. Kedua kapten itu berunding dan mempertimbangkan surat dari para kapitan itu. Sekalipun ultimatum dua puluh empat jam itu sudah berlalu, tetapi diputuskan tidak akan melanjutkan permusuhan. Utusan akan dikirim ke darat esok harinya. Letnan Ellinghuyzen, komandan pasukan pendaratan, dan Letnan Christiaansen, seorang pandu laut yang pandai berbahasa Melayu, ditugaskan untuk berunding dengan pimpinan rakyat. Sesudah pembicaraan kedua komandan itu selesai, Overste Groot mengirim surat kepada para kapitan di Jazirah Hatawano. Surat itu disampaikan dengan cara seperti sehari yang lalu. Isinya memberitahukan bahwa ia sendiri tidak bisa datang, tetapi ia akan mengutus seorang opsir disertai pandu Christiaansen. Tetapi dimintanya agar para utusan diterima dan diperlakukan secara terhormat. Dan oleh karena selama itu tidak akan ada sekoci bergerak dari kapal ke darat perahu pun tidak boleh ada yang menuju ke laut.
Seterima surat itu, para kapitan, raja-raja dan patih, tuatua-adat dan saniri-saniri negeri yang masih menunggu di baeleo, membicarakan isinya. Diputuskan untuk mengirim surat itu kepada Panglima Perang Pattimura di Saparua dan menunggu instruksinya. Jeremias Latuhamallo alias Salemba penasihat Kapitan Pattimura turut memainkan peranan dalam musyawarah ini. Ketika markas besar di Haria mendapat laporan bahwa ada kapal-kapal perang Belanda menuju ke Hatawano, Pattimura telah memerintahkan supaya Salemba berangkat ke Hatawano. Ia ditugaskan sebagai penghubung untuk memberitahukan semua kejadian kepada panglima perangnya.
Tanggal 11 Juli Salemba menulis surat kepada Pattimura dan menganjurkan supaya Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron ditarik dari Haruku dan dikirim ke Hatawano.
Sehari kemudian Kapitan Aron tiba di Hatawano untuk memperkuat pimpinan perang. Menghadapi perundingan yang penting raja Porto mengirim surat kepada Pattimura. Sebagai pengantar surat Overste Groot juga menasihati Pattimura dan pembantu-pembantunya agar tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Pukul dua siang, hari Minggu itu, seorang lelaki muncul di pantai lalu berteriak ke kapal Reygersbergen bahwa surat Belanda sudah dikirim ke Saparua dan besok baru akan diterima jawabannya. Kemudian ia menghilang di balik semak-semak. Setelah terima surat itu segera Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya berunding. Dipertimbangkan untuk mengajukan keberatan-keberatan yang tercantum dalam "Proklamasi Haria". Tujuh keberatan digariskan dalam surat yang akan disodorkan kepada utusan Belanda. Menjelang malam hari kurir membawa instruksi-instruksi untuk pimpinan perang di Hatawano.
Pagi, Senin tanggal 14 Juli. Di pantai orang telah sibuk. Dua buah tiang bendera putih ditancapkan di pasir. Beberapa anggauta pasukan pengawal ditempatkan pada masing-masing tiang. Melihat hal ini Overste Groot memerintahkan pandu Christiaansen supaya berkayuh ke darat untuk menanyakan maksud para pejuang. Diberitahukan kepadanya bahwa utusan Belanda ditunggu kedatangannya pukul sepuluh. Pandu itu kembali dan melaporkan berita itu kepada komandan Groot. Sementara itu sebuah meja dan dua buah kursi diletakkan diantara dua buah tiang itu.
Pukul sepuluh Ellinghuyzen dan Christiaansen dengan sekoci turun ke darat. Para kapitan dan para pengawal yang ada di pantai menerima mereka dengan sikap yang dingin, angkuh dan menantang. Ketika para utusan itu duduk di kursi, mereka dikerumuni para kapitan dan pengawal-pengawal pantai. Kapal-kapal perang bersiap-siap memuntahkan peluru jika terjadi sesuatu dengan para utusan Belanda. Perundingan dimulai.
Kepada para utusan disodorkan tujuh keberatan yang berbunyi :
1. Dalam menjalankan ibadah kami dihalangi oleh gubernemen ;
2. Kami sangat tidak senang dengan uang kertas yang dikeluarkan oleh gubernemen. Kami tidak bisa menggunakannya di gereja untuk membantu orang yang kekurangan, karena uang kertas itu tidak dapat dimasukkan ke dalam peti derma ;
3. Sesudah uang kertas itu beredar, tuan Fetor tidak mau menerimanya, tetapi kalau kami mau membayar kepada gubernemen, selalu dituntut uang perak ;
4. Tuan Fetor, mengancam, jika ada orang yang menolak uang kertas, dia akan dirantai dan dikirim ke Batavia sebagai orang tahanan, tetapi kalau orang itu membayar dengan uang perak ia akan dibebaskan lagi ;
5. Tuan Fetor menuntut dari kaum borgor dan rakyat biasa supaya surat bebas mereka diserahkan kepadanya, tetapi sesudah diserahkan tuan Fetor tidak mau mengembalikannya, kecuali jika ditebus dengan lima puluh ringgit uang perak Spanyol atau enam puluh ringgit uang tembaga ;
6. Rakyat diharuskan menyerahkan ikan, garam dan dendeng, tanpa pembayaran ; dan
7. Untuk berbagai pekerjaan dan penyerahan wajib bahan bangunan, yang dahulu dibayar oleh gubernemen Belanda dan Inggris, sekarang dilakukan tanpa bayaran.
Sesudah kedua opsir itu membaca dengan teliti isi keberatan rakyat itu dan meminta penjelasan seperlunya, maka bertanya mereka kepada para pemimpin rakyat : "Syarat apa yang kalian inginkan untuk berdamai ?" Salah seorang pemimpin mengemukakan : "Kirimlah dari Batavia dua orang pendeta untuk memimpin ibadah dan jema'at". Hadirin menyokong permintaan ini. Karena tidak ada lagi yang hendak diperbincangkan, kedua belah pihak menyetujui bahwa keberatan-keberatan itu akan disampaikan kepada gubernur. Dan agar terpelihara saling pengertian yang telah timbul, untuk sementara waktu, bendera putih tetap dikibarkan di daratan dan di kapal perang.
Sebelum kedua opsir itu kembali ke kapal, mereka menerima sepucuk surat untuk disampaikan kepada komandan Groot. Pukul sebelas kedua utusan itu tiba kembali di kapal lalu melaporkan hasil perundingan mereka kepada Kapten Groot dan Kapten Pool. Groot membuka surat yang dibawa oleh para utusan. Surat itu berasal dari raja-raja Negeri Ihamahu, Itawaka, Nolot, Tuhaha dan Paperu. Mereka minta supaya Christiaansen dikirim ke Saparua untuk berunding dengan Kapitan Pattimura. Komandan Groot mengemukakan hal ini kepada Christiaansen. Pandu ini tidak berkeberatan karena menurut pendapatnya cara para utusan diterima memperlihatkan niat yang yang baik. Christiaansen secara sukarela akan berangkat ke Saparua. Mungkin karena Christiaansen pernah menjadi pandu semasa pemerintahan Inggris di Ambon. Jika demikian ia mengharapkan dapat bertemu dengan bekas prajurit gemblengan Inggris, antara lain dengan Thomas Matulessia, yang mungkin sudah dikenalnya. Oleh karena itu ia berani berangkat sendiri dan harapan missinya akan berhasil. Akhirnya komandan Groot dan Pool menyetujui pengiriman ini.
Sesudah perundingan di Pantai Hatawano selesai, hasilnya diberitahukan kepada para kapitan dan raja-raja serta patih. Segera hasil itu disampaikan juga kepada Kapitan Pattimura. Juga dilaporkan tentang permintaan raja-raja dan patih untuk mengirim Christiaansen ke Saparua. Christiaansen dilengkapi dengan surat-surat untuk panglima perang di Saparua. Pukul tiga siang ia berangkat dan berkayuh dengan sebuah perahu berbendera putih dari labuhan Hatawano ke Pantai Ihamahu. Kedatangannya sudah diketahui oleh pasukan rakyat yang berjaga-jaga di pantai. Beberapa orang pemuda mengantarnya berjalan kaki ke Saparua, yang memakan waktu kira-kira sejam setengah.
Markas besar di Saparua bertempat di sebuah bangsal besar di lapangan. Anthonie Rhebok dan Latumahina menerima utusan Belanda itu. Sesudah surat-suratnya diperiksa lalu ia diantarkan ke hadapan Pattimura. Sekarang ia berhadap-hadapan dengan Thomas Matulessia, orang yang banyak disebut-sebut sebagai panglima perang. Sikap Pattimura menerima utusan itu tegas sebagai seorang panglima perang, tetapi dengan cara yang patut sebagai seorang militer yang berpendidikan. Tanya-jawab terjadi mengenai maksud kedatangannya. Kemudian Pattimura mengulangi keberatan-keberatan yang telah disampaikan di Hatawano. Karena lancar berbahasa Melayu, Christiaansen bisa mengerti sebab-sebab rakyat mengangkat senjata dan menangkap isi hati para pemimpinnya.
Selesai pembicaraan, malam telah tiba, Pattimura menganjurkan supaya Christiaansen bermalam saja di markas karena keselamatannya bisa terancam jika ia kembali dalam gelap gulita malam itu. Tetapi jika ia mau mengirim berita kepada komandannya, seorang kurir akan membawanya ke Hatawano. Christiaansen dibawa ke sebuah rumah, lalu menulis sepucuk surat kepada komandannya. Antara lain ia melaporkan bahwa sikap Pattimura dan stafnya wajar seperti seorang militer yang cukup ramah. Oleh karena itu Overste Groot dianjurkan supaya mengirim seorang opsir dan seorang kadet ke Saparua sesuai permintaan Pattimura. Surat itu kemudian diantarkan ke Hatawano dan sesudah diteriakkan dari pantai, datanglah seorang awak dengan sekoci lalu mengambilnya.
Setelah isinya dipertimbangkan oleh komandan Groot, malam itu juga seorang opsir, Boelen namanya, diperintahkan berangkat ke Ambon dengan sebuah berkas. Setibanya tanggal 16 Juli pagi, Boelen menghadap van Middelkoop melaporkan apa yang terjadi di Hatawano seraya menyampaikan keberatan-keberatan rakyat terhadap gubernemen. Dilaporkan pula apa yang ditulis oleh Christiaansen. Gubernur kemudian mengemukakan keinginannya untuk hadir pada perundingan selanjutnya di Hatawano. Keinginannya itu dicantumkan pula dalam suratnya kepada Overste Groot.
Sementara itu kirim-mengirim surat secara teratur terjadi antara Christiaansen dengan komandannya. Pattimura menginginkan agar raja-raja dan patih bertemu dengan komandan Groot pada tanggal 19 Juli di daratan Hatawano. Untuk itu supaya komandan mengirimkan seorang opsir ke Saparua guna menjemput raja-raja. Groot dan Pool memutuskan untuk mengirim seorang opsir lagi memenuhi permintaan Pattimura, sekaligus ia dapat mempergunakan kesempatan untuk melihat-lihat gerak-gerik pasukan rakyat dan para pemimpin mereka serta persenjataan yang mereka miliki. Pilihan jatuh pada Letnan Feldman yang pandai berbahasa Melayu. la berangkat tanggal 17 Juli ke Saparua sebagai utusan Belanda. Surat van Meddelkoop dibicarakan oleh komandan dengan para opsirnya.
Mereka memutuskan untuk mengirim sebuah surat kepada van Middelkoop. Keinginan gubernur itu tidak dapat diterima dengan alasan bahwa Pattimura dan stafnya hanya mau berunding dengan utusan yang dikirim dari Batavia.
Apa yang terjadi dengan Feldman ? Dari Pelabuhan Hatawano ia diantar ke pantai Ihamahu pada pukul delapan pagi dengan sekoci berbendera putih. Segera sesudah mendarat, enam orang pengawal pantai mengantarnya ke Negeri Ihamahu. Dari sini keenam orang itu membawanya dengan perahu nelayan, melewati sebuah tanjung, lalu mendaratlah mereka. Dari pantai itu mereka berangkat ke Saparua. Feldman membawa sepotong tongkat berbendera putih. Sepanjang jalan mereka bertemu dengan rombongan pasukan pengawal yang turut serta menggabungkan diri, sehingga makin besar rombongan itu menjadi kira-kira enam puluh orang jumlahnya. Setiba di perbatasan Saparua, Feldman diperintahkan agar menunggu. Seorang pengawal perbatasan diperintahkan untuk memberitahukan kedatangan utusan Belanda itu kepada Pattimura.
Ketika pengawal itu tiba di markas, Kapitan Pattimura sedang berada di tengah sebuah pasukan yang besar jumlahnya. Berita disampaikan. Setengah jam kemudian Pattimura menuju ke perbatasan diikuti oleh pasukan rakyat. Feldman sangat terkejut ketika dari jauh kedengaran sorak-sorai pasukan-pasukan yang muncul dari hutan-hutan. Semuanya menuju ke arahnya dengan senjata bedil, kelewang, tombak, panah dan lain-lain. Di depan Pattimura berjalan sepasukan Alifuru yang datang mengancam Feldman dengan tombak. Kapitan Pattimura biasanya dikelilingi oleh pasukan pengawal penembak jitu. Kapitan itu berpakaian sederhana saja seperti pasukannya. Dua buah pistol bergantungan pada pinggangnya dengan kelewang di tangannya.
Dengan cahaya mata penuh penghinaan, Pattimura memandang utusan itu. Kemudian tanpa bicara ia kembali lalu memberi isyarat supaya Feldman mengikutinya. Setiba di markas besar Feldman tidak melihat Christiaansen karena pandu itu telah berangkat kembali ke Hatawano. Untuk menakut-nakuti Feldman, ia diperintahkan berdiri di depan bangsal, dikelilingi oleh pasukan-pasukan yang mengancamnya. Beberapa waktu kemudian Pattimura menyuruh orang menanyakan Feldman tentang maksud kedatangannya ke Saparua. Feldman mengatakan bahwa ia datang memenuhi keinginan Kapitan Matulessia sendiri untuk menjemput raja-raja yang akan datang ke Hatawano pada hari Sabtu tanggal 19 Juli guna berunding dengan pihak Belanda. Hal ini telah diberitahukan oleh Groot kepada Pattimura beberapa hari yang lalu dalam suratnya. Kelewang Feldman diambil dan akan dikembalikan lagi jika ia hendak berangkat kembali ke kapalnya. Kemudian dia disuruh masuk ke bangsal menghadap Pattimura.
Pembicaraan berlangsung. Pattimura menanyakan Feldman mengenai kapal apa yang pagi itu masuk ke Hatawano. Feldman menjawab bahwa ia tidak tahu. Pattimura menjadi marah dan mengancam utusan itu. Tetapi Feldman menjawab bahwa sewaktu ia berangkat kapal itu masih jauh, tidak dapat dikenal. Dengan nada marah Feldman diperintahkan supaya segera menulis surat kepada Overste Groot, minta supaya komandan itu atau seorang opsir kapal datang ke Saparua nanti malam. Segera surat itu ditulis dan dibawa oleh kurir ke Hatawano. Pattimura masuk ruangan meninggalkan utusan itu dengan raja-raja yang ada di situ. Ketika ia keluar lagi, kapitan itu telah mengenakan pakaian militer. la disambut dengan sorakan oleh para pasukan. Feldman diajaknya pergi ke pantai dekat Benteng Duurstede. Di tengah jalan Pattimura menunjuk ke arah pasukannya dan berkata ; lihatlah, masih ada beribu-ribu lagi. Tiba di pantai melalui teropongnya ia melayangkan pandangannya ke laut mencari kalau-kalau ada kapal perang musuh. Dari situ rombongan kembali ke markas. Pattimura memerintahkan menyiapkan kudanya dan kemudian menuju ke Haria diikuti oleh Feldman dan para pengawal dengan berjalan kaki. Di tengah jalan Feldman ditakuti-takuti akan ditembak, ditombak, ditikam dan lain-lain oleh pasukan yang berjaga-jaga sepanjang jalan. Begitu benci mereka kepada Belanda. Pattimura yang telah jauh didepan terpaksa kembali lagi untuk menentramkan anak buahnya. Sejam kemudian mereka tiba di Haria dan menuju ke rumah keluarga Matulessia. Disitu letnan itu bertemu dengan ibu Thomas yang sudah tua. Ia dipertemukan juga dengan dua orang tawanan Belanda dari pasukan Beetjes. Mereka mengira bahwa dia datang untuk membebaskan mereka. Mereka kelihatan segar-bugar dan berpakaian seperti rakyat biasa. Tetapi kemudian mereka dibawa kembali ke tempat tawanan.
Siang hari rombongan dari Saparua itu makan bersama. Di antaranya ada beberapa orang raja. Sementara makan Pattimura menanyakan Feldman tentang keluarganya. Letnan itu menjawab bahwa ayahnya seorang pendeta. Hadirin merasa tertarik dan mengangguk-angguk, suatu pertanda baik. Sambil bergurau Pattimura mengatakan : "Letnan Feldman, tulislah ayah tuan agar dia datang kemari menjadi residen di Saparua". Mulai saat itu letnan itu diperlakukan dengan baik, sebab rakyat sangat menghormati seorang pendeta.
Menjelang malam hari mereka kembali ke Saparua. Malam itu dan malam-malam selanjutnya, letnan itu bermalam di bangsal bersama pasukan pengawal. Sebetulnya kepadanya telah ditawarkan sebuah rumah, tetapi karena takut, maka dimintanya agar ia bermalam saja di bangsal. Tetapi tidurnya itu terganggu semalaman oleh bunyi tifa dan dendang pasukan.
Dua hari lamanya dia berada bersama Pattimura. la dibawa kemana-mana kecuali ke dalam benteng. Pengalamannya dengan Kapitan Pattimura menyebabkan ia bisa menilai temperamen panglima perang. la baik hati, tetapi segera marah bila ada hal yang tidak disenanginya atau jika jawaban Feldman tidak menyenangkan hatinya. Feldman harus berhati-hati agar tidak menyinggung perkataan kapitan. Ketika mereka pada suatu siang meliwati sebuah gereja di Haria, dari jauh Pattimura telah mengangkat topinya, mengatup kedua tangannya serta dengan rendah hati melewati gedung itu. Suatu tanda bahwa ia beragama yang mendalam. Melihat hal itu Feldman segera mencontoh Pattimura.
Tanggal 19 Juli pagi panglima perang memerintahkan supaya Feldman diantar kembali ke Hatawano. Ketika letnan itu menanyakan apakah Pattimura tidak turut serta, kapitan itu menjawab : "Tidak, sampaikan kepada tuan komandan bahwa raja-raja akan berada di Hatawano. Katakan kepada tuan overste supaya datang berunding dengan mereka. Pedangnya diserahkan kembali dan pulanglah Letnan Feldman. Setibanya di kapal ia melaporkan segala sesuatu kepada komandannya.
Pada hari itu Kapitan Thomas Matulessia dan stafnya mengatur siasat menghadapi perundingan. Kepercayaan yang telah ditimbulkan pada Christiaansen dan Fledman membuka jalan bagi terpancingnya Overste Groot untuk turun berunding ke darat. Pattimura memerintahkan supaya raja-raja dan patih berunding dengan utusan Belanda. Kapitan Lukas Lisapaly alias Aron harus bersiap-siap dengan pasukannya untuk menghadapi segala kemungkinan. Raja-raja yang berada di Saparua diperintahkan agar berangkat ke Hatawano dan turut dalam perundingan. Sebagian dari pasukan yang dipusatkan di Saparua diperintahkan untuk berangkat ke Hatawano untuk menghadapi kemungkinan pecahnya pertempuran. Diperkirakan, jika perundingan gagal, pertempuran pasti terjadi. Pukul dua telah ditetapkan dan disetujui oleh Groot sebagai waktu perundingan dimulai. Pukul tiga Pattimura dan stafnya akan tiba di Hatawano.
Pukul dua siang Overste Groot disertai Letnan Ellinghuyzen dan kapten kapal The Dispatch, Grozier yang akan bertindak sebagai juru bahasa turun ke darat. Dua orang serdadu mengawal mereka. Sebelum berangkat Kapten Pool dan para opsir diinstruksikan supaya menyiapkan meriam-meriam dan anak buah untuk menghadapi segala kemungkinan. Setiba di pantai utusan Belanda diterima oleh empat orang raja. Rombongan diantarkan ke sebuah rumah. Di situ telah menunggu raja-raja dan patih yang berjubah hitam. Jubah atau pakaian hitam dipakai untuk ke gereja atau kesempatan yang menuntut kekhidmatan seperti dalam musyawarah. Suasana dalam tempat perundingan itu memantulkan kesungguhan pada wajah raja-raja dan patih. Di tempat perundingan itu Overste Groot bertemu kembali dengan Christiaansen. Utusan Belanda dipersilahkan duduk. Segera Overste Groot mengajukan pertanyaan mengapa raja-raja dan rakyat memerangi Belanda. Raja Nolot meminta supaya komandan bersabar, karena masih ada tiga orang raja lagi yang akan hadir. Sesudah ketiga orang itu tiba, perundingan dimulai. Overste Groot mengulangi lagi pertanyaannya. Sebagai jawaban keberatan-keberatan diulangi lagi. Rakyat tidak dapat menerima tindakan-tindakan Belanda yang tidak sesuai dengan agama yang Belanda sendiri anut, dan yang mereka siarkan di dalam masyarakat, yaitu agama Kristen Protestan.
Sementara perundingan berjalan, pasukan-pasukan di bawah pimpinan Kapitan Aron mengepung rumah tempat perundingan. Rupa-rupanya firasat Groot menjadikannya waspada. Mungkin juga dari celah-celah dinding para utusan Belanda sempat melihat gerakan di luar rumah yang mencurigakan. Lalu Groot menghentikan perundingan dan memutuskan untuk kembali ke kapal. Ia meninggalkan pesan supaya pemimpin-pemimpin rakyat mengirim saja surat ke kapal dan menjelaskan sikap mereka. Kemudian rombongan itu minta diri dan kembali ke kapal. Kapitan Lukas dan pasukannya tidak bisa berbuat apa-apa karena instruksi dari Saparua berbunyi : "Tidak boleh bertindak, tunggu kedatangan Pattimura."
Kira-kira pukul tiga Pattimura dan stafnya tiba, tetapi utusan Belanda sudah tidak ada. Ia datang dengan perhitungan bahwa Belanda akan menolak tuntutan raja-raja, sehingga perlu diambil sikap yang tegas, seraya memberi pimpinan kepada rakyat dalam pertempuran. Perundingan kilat dengan raja-raja dan patih diadakan. Perundingan selanjutnya dengan Belanda ditolak. Pertempuran akan diteruskan. Kira-kira setengah jam kemudian mereka menerima surat dari Groot. Pattimura memerintahkan agar surat itu dikembalikan disertai pesan bahwa rakyat siap bertempur.
Raja-raja dan patih bermusyawarah lalu menyampaikan pendirian mereka, kepada Belanda yang berbunyi :
"Dengan hikmat Allah kami telah memilih Thomas Matulessia menjadi panglima kami untuk melanjutkan perang. Kami tidak mau lagi diperintah oleh Kompania Wolanda. (gubernemen Belanda)."
Rakyat tidak sudi lagi dijajah. Kapitan Pattimura mengumpulkan para kapitan dan memerintahkan supaya bersiap-siap untuk bertempur. Tiang bendera putih dicabut dari tancapannya di pantai. Di kapal Reygersbergen Overste Groot mengumpulkan para opsir untuk membicarakan sikap Pattimura dan raja-raja serta tindakan apa yang akan diambil selanjutnya. Keesokan harinya, bendera putih diturunkan dari tiang kapal-kapal perang.
4.6. Kemenangan Rakyat Hatawano
Tanggal 21 Juli, pagi-pagi benar, pasukan rakyat telah siap. Dentuman meriam dari kapal-kapal perang Reygersbergen, Iris dan The Dispatch memuntahkan peluru-pelurunya ke darat, melindungi pasukan Belanda yang mendarat. Pertempuran hebat terjadi. Serdadu Belanda ada yang terperosok ke dalam kolam-kolam berbatu tajam dan runcing di sepanjang pantai yang tidak diketahui musuh. Peluru-peluru meriam tidak bisa menembus kubu pertahanan rakyat, yaitu pagar-pagar batu berkarang yang tebal. Tetapi rumah-rumah dan perahu musnah dan hancur terbakar kena tembakan meriam.
Pasukan Belanda digempur dari berbagai jurusan. Akhirnya mereka terpaksa melarikan diri tergesa- gesa ke kapal. Dari kedua belah pihak jatuh korban, ada yang tewas dan luka-luka. Sekali lagi terlihat dari pantai beberapa kapal dan sekoci bergerak maju menuju daratan. Pasukan Belanda itu dipimpin oleh Letnan Boelen. Tujuan pasukannya adalah membakar arombai, perahu dan rumah rakyat.
Tetapi pendaratannya digempur dan dipukul mundur. Gagal lagi serangan Belanda. Juga usahanya untuk membakar beberapa arombai di Pantai Ihamahu disambut dengan tembakan yang gencar sehingga gagal pula usaha itu. Sementara itu keadaan menjadi reda seketika. Tetapi terlihat sekali lagi bahwa Komandan Groot menggerakkan pasukan pendaratannya. Kali ini pasukan Belanda berhasil menerobos masuk ke Negeri Nolot. Arombai dan perahu dibakar. Rumah rakyat, rumah raja dan gereja menjadi mangsa api. Para kapitan mengerahkan pasukannya mengepung pasukan Belanda. Tetapi kedengaran ada perintah mundur ke kapal. Selamatlah pasukan itu !
Hari-hari berikutnya penembakan dan pendaratan terulang lagi, tetapi pasukan-pasukan Belanda tidak dapat mempertahankan diri di daratan. Pasukan rakyat selalu memukul mundur pasukan musuh. Mulai dari tanggal 26 Juli tembakan-tembakan sudah berkurang dan pendaratan menjadi jarang karena banyak korban telah ditelan oleh kolam-kolam yang penuh dengan borang-borang (bambu tajam dan runcing).
The Dispatch yang pada tanggal 21 Juli siang dikirim ke Haruku untuk memberi laporan yang harus diteruskan ke Ambon, telah kembali pada akhir Juli. Sampai waktu itu Belanda tidak berhasil merebut sejengkal tanah pun. Lagi pula, sekalipun kapal-kapal perang Belanda berusaha memutuskan hubungan antara Seram dan Saparua, tetapi bala bantuan dari Seram tetap terus mengalir ke Hatawano. Kekuatan rakyat tidak bisa dipatahkan. Overste Groot terpaksa merencanakan siasat baru yaitu mencoba mendaratkan pasukannya di Negeri Saparua. Perjuangan di jazirah Hatawano merupakan suatu kemenangan bagi rakyat Hatawano.
4.7. Patih Akoon Berkhianat
Nusalaut juga dinamakan Nusahalawano atau pulau emas. Bukan karena pulau kecil ini menghasilkan emas, akan tetapi karena hasil cengkihnya yang besar mengalirkan emas ke dalam kantong rakyat. Tetapi karena cengkih ini pula monopoli menindas rakyat. Sekalipun rakyat Nusalaut termasuk rakyat yang lebih tenang daripada rakyat Saparua, tetapi mereka pun tidak bisa membiarkan berlangsung terus. Nusalaut hanya mempunyai tujuh buah negeri. Segenap rakyatnya beragama Kristen. Berlainan dengan Saparua dan Haruku yang selain beragama Kristen juga ada yang beragama Islam.
Sejak semula rakyat dan raja-raja serta patih berdiri di belakang Thomas Matulessia. Anthone Rhebok yang ditugaskan Pattimura untuk mengatur pertahanan di Nusalaut telah mengangkat Kapitan Paulus Tiahahu sebagai komandan pasukan rakyat di sana. Benteng Beverwijk di Negeri Sila dan Leinitu sejak semula telah direbut rakyat. Pasukan Belanda yang jumlahnya hanya beberapa orang tewas. Para pejuang Nusalaut mengambil bagian dalam pertempuran di Saparua, Haruku dan Hatawano. Raja-raja dan patih Nusalaut ikut menandatangani "Proklamasi Haria".
Paulus Tiahahu adalah raja Abubu. Mungkin karena umurnya sudah lanjut, ia menarik diri dari pemerintahan dan diganti oleh Patih Manusama. Pengaruh Paulus yang besar di kalangan rakyat menyebabkan dia diangkat menjadi kapitan pasukan-pasukan Nusalaut. Paulus mempunyai seorang putri yang bernama Christina Marta. Putri raja ini mendampingi ayahnya dalam usaha menghalau penjajah dari buminya. Ia juga mengalami keganasan peperangan yang hebat. Semangat rakyat Nusalaut yang berapi-api itu ternyata dikhianati oleh patih Akoon, kepala sebuah negeri di pulau itu. Tanggal 26 Juli Komandan Groot memerintahkan Pool supaya berpatroli dengan kapal Iris di perairan Nusalaut. Ketika Iris menghampiri Akoon, terlihat sebuah perahu dengan bendera Belanda menghampiri kapal itu. Iris memperlambat kecepatannya sampai perahu itu merapat dengan kapal. Naiklah Patih Akoon dan Dominggus Tuwanakotta ke kapal Iris lalu diantarkan ke tempat Kapten Pool. Patih ini memberi laporan yang mengkhianati seluruh rakyat yang sedang berjuang mati-matian. Beberapa hari kemudian komandan itu membentuk suatu komisi untuk menginterogasi patih Akoon mengenai keadaan di Nusalaut dan Duurstede, sehingga dapatlah dia mengambil siasat yang sesuai dengan keterangan itu.
Dominggus Tuwanakotta memberi keterangan yang sangat merugikan pertahanan rakyat dan menguntungkan Belanda terutama tentang keadaan Duurstede. Keterangan itu berbunyi sebagai berikut :
Sedari saat pemberontakan sebagian rakyat Nusalaut menentang hal itu. Rakyat menunggu-nunggu kedatangan Belanda. Jika Iris atau kapal perang yang lain datang ke Nusalaut, rakyat telah mufakat untuk serentak dengan raja-rajanya naik ke kapal dan menyerahkan orang-orang yang memberontak. Sekarang ini mereka berdiam diri karena takut pada orang Saparua. Di benteng Beverwijk hanya terdapat dua pucuk meriam, besi tumpunya telah dihancurkan. Benteng itu tidak dijaga. Benteng Duurstede masih utuh, hanya meriam-meriam telah dipaku oleh Thomas Matulessia dan pintu-pintu dipalang dengan palang besi. Pantai-pantai penuh dengan kolam yang diberi borang. Setiap orang Saparua diberi bedil. Sewaktu komandan Groot berunding di darat pada tanggal 19 Juli, Kapitan Lukas berada dekat tempat perundingan dan ia memberi perintah, jika ia muncul, maka semua orang Belanda harus diserang dan dipancung kepalanya. Kapten Grozier harus diselamatkan karena ia orang Inggris, yang dianggap sekutu rakyat.
Keterangan itu benar-benar menguntungkan Belanda. Tetapi bahwa rakyat Nusalaut setia kepada Belanda adalah suatu kebohongan. Pada saat patih Akoon memberi keterangan itu, pahlawan-pahlawan dari Nusalaut sedang mempertaruhkan jiwa raganya di medan laga di Hatawano dan Haruku. Kebohongan itu akan terbukti lagi dalam bulan-bulan yang akan datang yaitu ketika Kapitan Paulus Tiahahu memimpin pejuang-pejuang Nusahalawano memerangi Belanda di Nusalaut dan Jazirah Tenggara Saparua. Munculnya Christina Martha di tengah-tengah pasukan rakyat mempertinggi semangat juang pahlawan-pahlawan Nusalaut.
Kebohongan itu terbukti lagi ketika beberapa hari kemudian patih Akoon itu diantar oleh The Dispatch kembali ke negerinya. Setiba di Akoon ia diturunkan ke darat dengan sekoci. Tetapi begitu dia menginjak pantai, ia dikejar oleh rakyatnya sendiri dan nyaris tertangkap, jika tidak segera meloncat ke dalam sekoci yang melarikannya. Grozier sendiri memberi kesaksian dalam laporannya kepada Groot sewaktu ia tiba kembali dengan patih itu. Ketika ia mendekati Akoon, ternyata orang-orang yang ada di darat memusuhinya.
Pengkhianatan Dominggus Tuwanakotta itu akan menyebabkan malapetaka bagi mata rumahnya. Beberapa hari kemudian putrinya dicemar dan kakaknya, Julianus Tuwanakotta dibunuh oleh rakyat Porto dan Haria.
4.8. Mengatur Pemerintahan
Kapitan Pattimura bukan hanya seorang panglima perang, tetapi juga seorang koordinator pemerintahan. Cita-citanya bukan mendirikan suatu kerajaan atau suatu kesultanan atau suatu negara republik. Struktur masyarakat adat Maluku Tengah tidak memungkinkan terbentuknya suatu negara pada waktu itu. Proses pembentukan suatu negara akan memakan waktu yang sangat lama dan panjang untuk mempersatukan tiap-tiap negeri otonom. Peperangan melawan penjajah tidak memberikan waktu untuk memikirkan hal itu. Yang dikehendakinya ialah lenyapnya penjajahan dari muka bumi Maluku.
Raja-raja dan patih telah menyatakan dalam "Proklamasi Haria" akan tunduk pada perintah panglima perang. Sebaliknya Kapitan Thomas Matulessia memberi instruksi kepada semua raja-raja dan patih untuk memerintahkan rakyatnya bersikap dengan baik dan teratur, tetapi tegas. Kebun-kebun cengkih harus dipelihara. Ladang-ladang harus ditanami, produksi sagu harus diperbanyak supaya dapat membantu pasukan-pasukan di medan perang dengan makanan. Semua usaha harus ditujukan untuk perjuangan melawan Belanda. Barang siapa yang melawan atau mengacaukan ketentraman di dalam negeri harus dihukum oleh raja dan saniri negerinya. Kehidupan keagamaan harus diutamakan. Kebaktian di gereja maupun di rumah-rumah tangga harus berjalan seperti biasa di bawah pimpinan para guru. Di negeri-negeri Islam, rakyatnya harus beribadah menurut keyakinan dan ajaran agamanya. Di dalam keluarga Kristen, para orang tua dituntut supaya menyerahkan anak-anaknya seperti biasanya kepada guru-guru agar dididik pada jalan dan ajaran Kristus. Sebaliknya tuan guru berkewajiban untuk mengajar anak-anak, baik dalam soal keagamaan maupun dalam pelajaran yang biasa seperti membaca dan berhitung.
Pattimura mengirim para pembantunya secara teratur ke semua negeri untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Sekalipun demikian raja-raja tetap otonom menjalankan pemerintahan seperti sediakala. Dalam masa-masa yang genting sekalipun, raja-raja patih tetap diakui oleh Pattimura sebagai kepada pemerintahan dan wakil rakyat, sebagaimana terbukti dalam musyawarah mereka di Hatawano, baik dalam perundingan dengan Overste Groot, maupun dalam musyawarah antar raja-raja patih untuk menuangkan pendirian mereka dalam surat kepada komandan Belanda itu. Tetapi terhadap raja-raja yang bersalah Kapitan Pattimura bertindak keras dan tegas, ada yang dihardik, dipukul, sampai-sampai dipecat. Terhadap raja yang berkhianat tidak ada ampun. Mereka dibunuh dan keluarganya dihancurkan, seperti halnya keluarga patih Akoon. Bagi rakyat yang berkhianat disediakan tempat gantungan di dua batang pohon yang berdiri di Gunung Saniri.
Raja-raja dan patih selalu dihubungi langsung oleh Pattimura dengan surat. Demikian pula dengan kapitan-kapitan di medan pertempuran Hatawano, Haruku dan Ulupaha di Hitu. Di dalam peperangan ini rakyat Seram, Ambon dan Lease tidak berjuang sendirian. Bantuan datang juga dari luar. Pattimura dan stafnya sadar bahwa mereka memerlukan senjata api dan mesiu. Meriam, bedil dan kapal perang tidak dapat dilawan dengan tombak dan anak panah seperti dalam masa perjuangan para datuk-datuk. Sebagai seorang bintara dalam ketentaraan Inggris, Kapitan Pattimura sadar benar-benar nilai senjata api bagi suatu pertempuran. Sayang meriam-meriam di Duurstede tidak dapat dipergunakan karena tidak ada peluru dan mesiu meriam. Tetapi dalam benteng itu ada tersimpan sepuluh ribu pon cengkih yang sangat berharga untuk membelanjai peperangan, cengkih ini ditukarkan dengan mesiu dan senjata api. Pada tanggal 21 Juli, ketika pertempuran di Hatawano sedang berlangsung, orang-orang Kelmuri dari Seram memasuki Teluk Haria dengan dua buah arombai. Mereka membawa mesiu.
Berita itu disampaikan kepada Pattimura yang pada waktu itu sedang memimpin pertempuran di Hatawano. Orang-orang Kelmuri itu disuruh datang ke Hatawano. Didalam pertemuan dengan Pattimura mereka menawarkan bantuan kepada para pejuang. Mereka membawa mesiu untuk ditukar dengan cengkih. Sebab itu Pattimura memerintahkan para pembantunya supaya pergi ke Benteng Duurstede dan mengambil cengkih yang diperlukan oleh orang-orang Kelmuri itu. Inilah permulaan bantuan rakyat Seram Timur kepada para pejuang di Saparua. Mesiu itu sangat diperlukan dalam pertempuran yang sedang menghangat di Hatawano.
Pada tanggal 27 Juli datang orang-orang dari Seram Selor dengan sebuah arombai penuh mesiu. Pimpinan perang sangat gembira dengan bantuan dari Seram Timur itu. Mesiu itu ditukar pula dengan cengkih. Rupanya seruan Pattimura pada awal perang kepada semua raja-raja di Seram supaya membantu rakyat Ambon dan Lease dalam perjuangan mengusir Belanda dari tanah air mereka, tidak sia-sia.
Para pelaut dan para pedagang Seram Timur, dengan perahu layar yang disebut rakyat perahu "bot", adalah pelaut-pelaut yang tangguh dan berani. Karena dimasa sebelumnya mereka tidak langsung dikuasai oleh Kompeni, mereka lebih bebas bergerak ; mereka tidak terlalu menderita karena tekanan monopoli. Mereka bisa berlayar sampai ke Sulawesi, Bali dan Lombok. Mereka inilah yang menjadi penghubung antara rakyat yang berjuang dengan rakyat Makasar dan raja-raja Bali dan Lombok. Para pelaut ini datang ke Saparua, Haria, Hatawano dan Hitu menerobos blokade Belanda, dan mengadakan hubungan dengan Kapitan Pattimura di Saparua dan Ulupaha di Hitu. Mereka membawa mesiu dan bedil yang ditukarkan dengan cengkih. Kemudian mereka berlayar ke Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan. Di situ mereka menceritakan perlawanan rakyat Seram, Ambon dan Lease. Raja-raja di Bali dan Lombok memberi bantuan berupa senjata dan mesiu yang ditukar dengan cengkih. Selama peperangan berjalan, para pelaut Seram Timur ini sangat berjasa bagi rakyat yang sedang berjuang. Demikian pula raja-raja di Bali dan Lombok. Sekalipun kapal-kapal Belanda berpatroli di perairan Maluku, tetapi pelaut-pelaut Makasar berhasil juga menembus blokade itu dan membawa bantuan berupa mesiu, senjata api dan beras bagi para pejuang yang ditukarkan dengan cengkih.
4.9. Saparua Terancam
Pattimura dan stafnya yang datang dan pergi antara Saparua-Hatawano untuk memimpin pertempuran, melihat bahwa keadaan menjadi reda sesudah tanggal 26 Juli. Pendaratan Belanda dihentikan, demikian pula penembakan dengan meriam. Mungkinkah Belanda sedang merencanakan pendaratan di tempat lain ? Di Saparua kah ? Kapitan Pattimura dan stafnya hanya dapat menduga-duga saja, sedangkan Belanda telah mendapat informasi dari patih Akoon tentang pertahanan di Saparua, terutama keadaan Benteng Duurstede. Komandan Groot memang telah merencanakan pendaratan di Saparua untuk merebut benteng itu. Hampir tiga minggu lamanya pasukan rakyat ditambat di Hatawano. Segenap tenaga dipusatkan di sana untuk menghalau dan melawan musuh yang mendadak mendarat. Karena keadaan sudah mereda, segera Kapitan Pattimura memerintahkan supaya pasukan ditarik ke Saparua. Pasukan-pasukan yang ada di lain- lain negeri diperintahkan supaya datang ke Saparua pula.
Sementara Hatawano bergolak, Ulupaha dan pasukannya tidak saja bergerak di daerah Hitu, tetapi mereka juga menyeberang ke Seram Barat. Rakyat Luhu menggabungkan diri dengan pasukan Hitu lalu menyerang dan merebut benteng di Luhu. Hal ini segera diberitahukan kepada panglima perang. Pada tanggal 28 Juli kakak laki-laki kapitan Pelau tiba di Haria membawa sepucuk surat dan memberi laporan kepada Kapitan Pattimura tentang perebutan benteng di Luhu. Komandan Pieter Weynand dan serdadu-serdadu Belanda semuanya dibunuh. Surat dan berita itu adalah suatu tanda bahwa Pattimura diakui oleh para kapitan Hitu yang sedang berjuang dan diakui pimpinannya dalam peperangan. Pattimura juga menerima laporan bahwa Haruku sedang meningkatkan kewaspadaan. Terjadi tembak-menembak selama minggu-minggu terakhir, setiap kali pasukan rakyat bertemu dengan pasukan Belanda yang sedang berpatroli. Beberapa kali terjadi serangan terhadap Benteng Zeelandia, tetapi tidak lagi sehebat yang sudah-sudah. Karena Pattimura berpendapat bahwa Saparua terancam, maka diperintahkannya agar cengkih yang ada di benteng segera dipindahkan. Cengkih itu terlalu berharga sehingga kalau direbut oleh Belanda akan sangat merugikan perjuangan rakyat. Pattimura dan stafnya merundingkan keadaan Saparua. Bagaimana menghadapi Belanda jika ada pendaratan di Saparua ? Siasat apakah yang akan dipakai ? Akan terulangkah malapetaka Beetjes jika siasat dulu dipakai lagi ? Akan dipertahankan atau dibiarkan Duurstede direbut Belanda ? Jika akan dipertahankan pasukan di dalam benteng akan menjadi bulan-bulanan tembakan meriam kapal perang karena benteng tidak dapat membalas dengan tembakan meriam. Melepaskan benteng membawa risiko bahwa musuh mendapat sejengkal tanah di daratan untuk bercokol dan bertahan. Merebutnya kembali akan membawa banyak korban, jika Belanda telah memperkuatnya dengan pasukan yang besar dan meriam. Pengalaman di Haruku telah membuktikan hal ini. Dari benteng Belanda bisa melancarkan serangan. Memang demikian, tetapi tentaranya bisa mati kelaparan dan mati kehausan kalau benteng itu dikepung. Demikianlah berbagai kemungkinan yang dihadapi oleh para pemimpin perang. Putusan akhir mereka akan diambil dalam satu dua hari kemudian.
Sementara itu dari Hatawano datang kurir melaporkan bahwa tanggal 1 Agustus kapal-kapal perang telah berangkat meninggalkan perairan Hatawano, membelok di ujung Itawaka, menyusur pantai timur menuju ke Saparua. Segera Pattimura memerintahkan agar para kapitan dan pasukan-pasukannya bersiap-siap, mulai dari Tanjung Paperu sampai ke Tanjung Ouw.
Tengah hari, tanggal 2 Agustus, Maria Reygersbergen dan The Dispatch memasuki Teluk Saparua. Kedua kapal itu mendekati Duurstede dan memuntahkan peluru-pelurunya ke pantai sekitar benteng itu. Tetapi sampai malam hari tidak terlihat tanda-tanda pendaratan. Pattimura tidak mengerahkan arombai, kora-kora dan perahu-perahu untuk menyerang musuh. Pengalaman di Hatawano membuktikan bahwa arombai mudah jadi mangsa tembakan meriam. Oleh karena itu semua arombai, kora-kora dan perahu disembunyikan di hutan belukar di tepi pantai.
Keesokan hari dalam cuaca yang cerah, kembali kapal-kapal perang melepaskan tembakan meriam ditujukan ke pantai sekitar benteng. Benteng Duurstede diincar kalau-kalau ada tembakan dari sana. Jika informasi patih Akoon benar, maka pendaratan tidak akan mendapat tembakan dari benteng ini. Karena tidak ada juga tembakan dari benteng, maka Groot memutuskan untuk menurunkan beberapa sekoci. la meyakini kebenaran informasi patih itu. Komandan dan para opsir Belanda berhati-hati. Mereka mengatur pendaratan itu secara teliti sesuai teknik militer. Tidak boleh terulang malapetaka Beetjes. Oleh karena itu target pasukan pendaratan ialah merebut, menduduki dan memperkuat Benteng Duurstede. Pasukan pendaratan berada dibawah komando Letnan Ellinghuyzen, bergerak menurut siasat yang telah diatur. Sementara itu meriam-meriam menghantam pantai. Armada rakyat tidak nampak menyerang dan menghalau pendaratan itu. Makin mendekati daratan, makin menyebar sekoci-sekoci menjauhi benteng. Tetapi tidak ada tembakan dari Duurstede, juga tidak kelihatan adanya pasukan dalam benteng. Pasukan Belanda berhati-hati karena mereka mengetahui bahwa pantai-pantai penuh dengan lubang-lubang berborang.
Sementara itu Pattimura telah menempatkan penembak-penembak jitu di hutan-hutan belukar sekitar benteng dan di pantai-pantai sekelilingnya. Ketika musuh menginjak pantai meletuslah bedil-bedil dari balik hutan. Meriam-meriam kapal membalas tembakan itu. Serdadu-serdadu Belanda bergerak menurut siasat yang telah diinstruksikan. Tetapi yang mengherankan tidak ada pasukan Pattimura yang menyerbu ke pantai pendaratan. Tembakan-tembakan mereka bertujuan menewaskan, melukai dan memancing musuh supaya bergerak meninggalkan pantai dan menyerbu masuk ke dalam pertahanan rakyat. Disitu telah disiapkan beratus-ratus pasukan untuk menghabiskan musuh, tetapi ternyata musuh tidak akan terpancing. Serdadu-serdadu Belanda bergerak langsung ke benteng. Musuh heran mengapa dari benteng tidak ada tembakan. Lambat laun sadarlah mereka bahwa benteng itu tidak dipertahankan. Tetapi mereka dihambat oleh penembak-penembak jitu yang mengakibatkan jatuhnya korban-korban.
Setelah komandan Groot dan para opsirnya yang mengamati pendaratan itu dari kapal mengetahui situasi di darat, ia segera memerintahkan supaya segenap kekuatan dikerahkan untuk merebut Duurstede. Dari laut sekoci-sekoci yang penuh dengan serdadu menyerbu ke bagian selatan benteng, sedangkan dari timur dan barat pasukan-pasukan berlari-lari membawa tangga dan tali untuk memanjat tembok benteng itu. Menjelang petang hari terlihat bendera merah-putih-biru berkibar di Benteng Duurstede. Tanggal 3 Agustus, pukul enam sore Duurstede kembali jatuh ke tangan musuh. Bersorak-sorai musuh di dalam benteng, disambut oleh meriam-meriam yang menghujani pertahanan rakyat di sekitar benteng itu.
Menurut siasat yang telah diputuskan oleh Pattimura dan stafnya, benteng itu tidak akan dipertahankan. Meriam-meriamnya toh tidak dapat dipergunakan. Pasukan pertahanan akan menjadi bulan-bulanan tembakan meriam kapal. Sebab itu dengan mudah sekali benteng dapat direbut. Pattimura bermaksud untuk memancing musuh menurut siasat yang pemah dijalankan terhadap pasukan Beetjes. Tetapi ternyata musuh tidak kena terpancing. Karena informasi patih Akoon dan laporan kedua opsir Belanda yang dikirim ke Saparua beberapa waktu yang lalu, maka Overste Groot mengetahui betapa kuat persenjataan pasukan rakyat. Inti pasukan Pattimura, "Korps Limaratus" bekas serdadu Inggris, menunggu serdadu-serdadu Belanda di hutan belukar sekitar benteng. Seandainya serdadu-serdadu Belanda menyerbu masuk pertahanan rakyat, maka malapetaka Beetjes akan terulang lagi.
Tetapi sekarang benteng telah direbut musuh. Betapa keliru perhitungan Pattimura dan stafnya. Benteng itu akan menjadi suatu kubu pertahanan dan penyerbuan yang kuat bagi musuh. Dalam bulan-bulan mendatang akan terbukti bahwa benteng itu menjadi duri dalam pertahanan pasukan rakyat. Pengepungan hanya akan berhasil dalam jangka pendek. Tetapi dalam jangka panjang penguasaan benteng itu sangat penting bagi musuh. Sekali benteng itu direbut, Belanda langsung memperkuatnya dengan pasukan dan meriam-meriam dan bantuan tembakan-tembakan dari kapal perang, maka akan sulit direbut kembali dan dikepung terus-menerus.
Segera sesudah Duurstede diduduki, Groot memerintahkan supaya enam buah meriam diangkut dari kapal perang ke Duurstede. Setibanya meriam-meriam itu, maka pada malam hari pertahanan rakyat di sekitar benteng dihujani dengan berpuluh-puluh peluru. Komandan Groot mengangkat Letnan Ellinghuyzen menjadi komandan Benteng Duurstede. Keesokan harinya The Dispatch diperintahkan berangkat ke Ambon untuk melaporkan direbutnya Benteng Duurstede kepada pimpinan pemerintahan. Bahan makanan dan air diangkut dari kapal untuk mencukupi persediaan bagi pasukan-pasukan untuk beberapa hari. Di sekeliling benteng dipasang bambu runcing dan disebarkan pecahan botol untuk mempersulit pasukan rakyat. Rumah-rumah di sekitar benteng diperintahkan untuk dibakar, termasuk rumah residen.
Sementara itu pasukan Pattimura bergerak dan menembaki para serdadu yang sedang sibuk bekerja di luar benteng, tetapi setiap kali mereka ditembaki oleh meriam-meriam. Dalam hari-hari berikutnya Pattimura mengerahkan pasukannya untuk menembak setiap serdadu yang kelihatan di luar benteng. Ini adalah siasat jitu. Salah satu kesulitan Belanda ialah persediaan air minum. Di luar benteng, tidak jauh dari tangga terdapat sebuah sumur yang telah disumbat dengan rumput-rumput, batu, kayu dan lain-lain. Itulah satu-satunya sumber air bagi pasukan di benteng dan bagi kapal-kapal. Sebab itu Pattimura menempatkan penembak-penembak jitu berhadapan dengan perigi itu. Setiap kali serdadu musuh keluar untuk membersihkan perigi itu, setiap kali pula gugur satu dua orang serdadu. Letnan Dua van Geuricke telah tewas pada tanggal 7 Agustus ketika memimpin beberapa orang serdadu untuk membersihkan perigi itu. Tetapi akhirnya juga Belanda berhasil membersihkan sumur itu. Awak kapal yang turun dengan sekoci untuk mengambil air tidak luput dari tembakan penembak jitu. Ada yang luka, ada pula yang tewas. Selama benteng itu dikepung, perigi itu menjadi sumber maut bagi pasukan Belanda.
Di dalam suasana perang yang ganas itu, pada tanggal 6 Agustus, raja-raja dan patih mengundang rakyat Pulau Saparua untuk berkumpul di perbatasan Tiouw. Di dalam musyawarah ini Kapitan Pattimura membentangkan situasi perang yang dihadapi rakyat. Tekad perjuangan sekali lagi dibulatkan. Bersumpahlah hadirin, apabila terjadi perdamaian atau apabila Kompania menang, maka tidak akan ada seorang pun membuka rahasia mengenai alasan-alasan perjuangan dari permulaan sampai dibunuhnya residen.
Tanggal 10 Agustus rakyat Haria berkumpul di baeleo. Di sini mereka bersumpah dan berjanji tidak akan membuka rahasia bahwa perjuangan dimulai dari Haria. Dalam pada itu rakyat Haria dan Porto selalu siap sedia, di daratan maupun di lautan. Kapal-kapal perang yang datang dan pergi antara Ambon-Saparua diawasi agar tidak memasuki Teluk Haria dan mendaratkan pasukan. Johannis Matulessia ditugaskan untuk mengatur pertahanan di sini.
Pengepungan berjalan terus. Kekurangan makanan dan air semakin menekan musuh. Komandan Groot mengirim Letnan Boelen ke Ambon untuk meminta bantuan. Kesulitan itu merisaukan para komandan militer di Ambon. Sebuah barkas Anna Maria disewa, dan bersama The Dispatch diberangkatkan ke Saparua dengan bahan makanan, air minum, peluru dan bermacam-macam alat perang. Tiga orang opsir berangkat bersama-sama untuk meneliti keadaan benteng dan pertahanan. Tanggal 10 Agustus mereka tiba di Saparua dengan Anna Maria. Dua hari kemudian komisi itu telah kembali ke Ambon. Groot minta supaya Ambon segera mengirim lebih banyak bantuan lagi, karena tekanan pasukan Pattimura makin berat.
The Dispatch yang singgah di Haruku bertemu dengan kapal perang Inggris Willoughby yang dipimpin oleh Kapten Croiset. Dari kapal itu diambil dua pucuk meriam dan beberapa kereta pengangkut meriam. Ketika mendekati Tanjung Hatuwalane, The Dispatch melepaskan tembakan meriam ke Negeri Porto dan Haria. Sejak semula rakyat Lease tidak saja berhadapan dengan Belanda, tetapi juga dengan kapal-kapal perang Inggris yang turut membantu Belanda di Haruku. Hatawano dan Saparua. Sedangkan selama perjuangan rakyat berlangsung senantiasa menganggap Inggris sebagai sekutu rakyat.
Belanda tetap dikepung rapat oleh pasukan Pattimura. Ellinghuyzen dan stafnya tidak berani mengerahkan serdadu-serdadunya untuk menyerang pasukan rakyat dan menerobos kubu-kubu pertahanan. Groot selalu gelisah karena bantuan dari Ambon sangat kurang. Ia pun tidak berani mengambil tindakan atau risiko untuk menyerang. Anna Maria dan The Dispatch sampai akhir Agustus datang dan pergi antara Saparua-Ambon untuk meminta bantuan pasukan, makanan, air, peluru, mesiu dan senjata. Sekalipun benteng sudah jatuh, tetapi seluruh Pulau Saparua tetap dikuasai oleh pasukan Pattimura.
Para komisaris jenderal di Batavia menjadi gelisah, tidak percaya bahwa keadaan bisa menjadi begitu buruk di Maluku. Berita mengenai penghancuran pasukan Beetjes lebih menggelisahkan lagi. Ditambah dengan berita-berita yang datang melalui berbagai pegawai tinggi tentang pertentangan antara Gubernur van Middelkoop dengan Komisaris Engelhard. Tindakan harus diambil. Pertama-tama, bala bantuan harus dikirim ke Ambon. Kedua, harus diambil tindakan penggantian pimpinan pemerintahan di Maluku. Untuk itu Laksamana Muda Buyskes, salah seorang anggota komisariat jenderal, akan dikirim ke Maluku.
Akhir Agustus tiba bala bantuan dengan kapal Amerika, Lady Patterson dari Batavia. Kapal itu membawa pasukan dan alat-alat perang. Dibawa pula berita bahwa Laksamana Buyskes akan datang ke Ambon. Segera, pasukan Belanda sebanyak seratus tigapuluh orang dipindahkan ke kapal perang The Dispatch. Lalu berangkatlah kapal itu ke Saparua. Tanggal 3 September kapal itu tiba dan membuang sauh dekat kapal Reygersbergen. Kecuali pasukan, dibawa pula beberapa pucuk meriam, peluru, mesiu, bahan makanan dan air minum.
Pattimura dan stafnya yang sudah mendapat laporan dari Pulau Haruku tentang kedatangan The Dispatch mengawasi gerak-gerik kapal itu. Nampak pasukan dan alat-alat perang mulai diturunkan. Begitu sekoci-sekoci mendekat pantai, pasukan rakyat menyambutnya dengan tembakan yang gencar. Pada saat itu juga meriam-meriam dari kapal perang menghantam barisan rakyat. Begitu hebat tembakan meriam itu sehingga pasukan rakyat terpaksa mundur. Tetapi sebelumnya duel tembakan berlangsung sampai malam hari. Nampak pula bahwa kekuatan Belanda semakin bertambah. Komandan Groot mulai berani bertindak. Kapten Lisnet diangkat menjadi komandan Duurstede mengganti Letnan Ellinghuyzen. Letnan Boelen diserahi pimpinan bagian artileri. Rupanya penggantian ini berhubungan dengan suatu rencana penyerangan Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 4 September, pada siang hari tampak oleh pimpinan perang rakyat kesibukan yang luar biasa di sekitar benteng. Pasukan Belanda turun ke lapangan, dua buah meriam diturunkan dan dipasang pada keretanya. Dibawah pimpinan Letnan Boelen pasukan itu mulai bergerak, kira-kira berkekuatan seratus orang. Dengan dipelopori oleh sepasukan borgor Ambon, untuk membuka jalan dan membersihkan penghalang-penghalang, pasukan Belanda menyerbu masuk pertahanan rakyat dan mulai membakar rumah-rumah. Sejalan dengan itu meriam-meriam yang dibawa dan meriam-meriam di benteng dan di kapal-kapal perang memuntahkan pelurunya ke pertahanan rakyat. Begitu hebat tembakan itu sehingga Pattimura memerintahkan pasukannya mundur. Ada maksud lain juga, yaitu makin jauh mereka mundur makin jauh pula musuh masuk ke dalam daerah pertahanan rakyat. Saat inilah yang ditunggu berminggu- minggu.
Pasukan Boelen bergerak maju, tetapi ternyata pasukan rakyat seolah-olah telah menghilang. Mereka telah menghilang di balik hutan belukar, menunggu komando serangan serentak. Pasukan Boelen tiba di Tiouw pada jalan jurusan Haria-Porto. Ia memerintahkan supaya pasukannya kembali lagi dengan alasan pasukan rakyat tidak kelihatan lagi. Serdadu-serdadu borgor Ambon mendesaknya untuk maju terus, tetapi komando mundur telah diberikan.
Sebenarnya para opsir Belanda telah mencurigai pasukan borgor Ambon. Ada prasangka bahwa secara diam-diam mereka berhubungan dengan pasukan Pattimura. Overste Groot mencatat dalam buku jurnalnya tanggal 1 September sebagai berikut :
Kaum borgor Ambon tidak bisa dipercaya lebih lama lagi. Mereka memperlihatkan ketidak puasan dan pada malam hari mereka diajak oleh para pemberontak untuk menyeberang.
Oleh karena itu Boelen tidak meluluskan desakan mereka. Pasukan Belanda kembali. Mereka mendekati jembatan yang tadi mereka lalui. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh teriakan perang pasukan Pattimura. Teriakan ini menyelamatkan pasukan Belanda, yang menyangka bahwa pasukan rakyat sudah mundur dan menghilang. Karena teriakan ini mendahului serangan, maka pasukan Belanda berkesempatan untuk berjaga-jaga, sehingga ketika mereka diserang dapatlah mereka menangkis serangan itu. Sekalipun demikian ada korban yang jatuh. Di dalam bukunya Boelen mencatat :
Jembatan yang tadi kami lalui masih jauh di depan kami. Andaikata musuh (pasukan rakyat) dengan diam-diam beroperasi maka mungkin kami disergap. Akan tetapi teriakan perangnya menyadarkan kami pada waktunya.
Serangan Boelen ini memancing pembalasan. Pattimura memutuskan untuk menyerang benteng keesokan harinya. Pada siang hari pasukannya menyergap seregu serdadu Belanda yang sedang membongkar tembok-tembok rumah residen yang telah terbakar beberapa hari yang lalu. Sebelumnya tembok-tembok itu dipakai oleh para penembak jitu untuk bersembunyi dan dari situ mereka menembak serdadu-serdadu yang berada di luar benteng. Tembak-menembak terjadi sepanjang hari. Pada malam hari menjelang tengah malam, dalam gelap gulita, pasukan rakyat yang terpilih mengadakan serangan terhadap Duurstede. Mereka berhasil memanjat tembok lalu menyerbu masuk benteng. Pertempuran sengit terjadi. Banyak korban jatuh di kedua belah pihak. Malam berikutnya terjadi lagi serangan mendadak yang tidak disangka-sangka oleh Komandan Lisnet. Terjadi pertempuran seorang melawan seorang dalam keadaan gelap gulita. Tetapi akhirnya pasukan rakyat dipukul mundur karena tembakan meriam dan pertahanan yang kuat di dalam benteng. Sekalipun demikian pasukan rakyat setiap hari mengincar setiap kepala yang muncul dari balik tembok.
Bulan September itu adalah bulan adu kekuatan antara kedua belah pihak. Bala bantuan mengalir dari Ambon ke Saparua. Bala bantuan juga mengalir dari Seram ke Haria. Sekalipun kapal-kapal perang berpatroli untuk memutuskan hubungan antara Seram dan Saparua, bantuan tetap bisa mengalir. Selama bulan itu orang Seram Timur berhasil memasuki Teluk Haria sebanyak lima kali. Mereka membawa mesiu dan senjata untuk dipertukarkan dengan cengkih. Mereka terus-menerus berlayar ke Bali dan Lombok untuk mendapatkan bantuan dari raja-raja di sana berupa mesiu, peluru, senjata api dan lain-lain keperluan perang. Bantuan ini tetap mereka berikan dalam bulan-bulan berikut.
Bagi Belanda kemajuan di medan tidak tercapai. Hal ini mengesalkan mereka, terutama para opsir di Saparua. Sekalipun Overste Groot telah mengeluarkan Surat selebaran, yang menjanjikan hadiah sebesar f.1000 (seribu gulden) kepada siapa yang berhasil menangkap dan menyerahkan Pattimura kepada Belanda dan f.500 (lima ratus gulden) bagi penyerahan pembantu-pembantunya, tetapi usaha itu sia-sia saja. Rakyat telah bertekad bulat merdeka atau mati dengan pemimpin-pemimpinnya. Sumpah setia dalam berbagai musyawarah yang senantiasa dibaharui, dipegang teguh.
Pasukan Pattimura pun tidak berhasil mengusir Belanda dari Benteng Duurstede. Hanya tembakan-tembakan dari balik hutan dan kubu-kubu batu yang sementara itu dibikin dekat benteng, menyebabkan banyak serdadu musuh yang luka atau tewas. Sebaliknya tembakan meriam menyebabkan pasukan rakyat banyak yang luka dan tewas juga.
Sementara pertempuran berjalan, di mana-mana rakyat bekerja keras menyelesaikan dan memperkuat kubu-kubu pertahanan sepanjang jalan atau di kampung-kampung untuk menghalau setiap serangan musuh. Seluruh Pulau Saparua dijadikan bastion atau kubu pertahanan rakyat yang tangguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar